Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA PERJALANAN.

ga sabar menanti update berikutnya... semoga tante fia sudi dihamilin wkwkw
 
CHAPTER 6​

Aku mengambil tas tante Fia dan meletakkan di kursi belakang, sekalian ku bukakan pintu untuknya agar duduk di sebelahku. “terimakasih... duh gentleman banget deh keponakanku yang satu ini.” Katanya sambil tersenyum melirik ke arahku. Aku balas dengan senyum sambil mengedipkan sebelah mata.

Hujan telah berhenti, namun aku sengaja mengemudi lebih lambat agar kami bisa menikmati momen heningnya kota sesaat setelah hujan. Ini kota yang cukup besar, dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Genang air di jalanan membuat refleksi cahaya nan indah dari gemerlap lampu kota.

“Gimana kabar di rumah tante? sehat semua?” kataku memecah keheningan.

“Alhamdulillah sehat semua man. Kamu gimana?” tante Fia bertanya balik.

“sehat juga tante. Cuma ada sakit sedikit disini.” kataku menepuk dada.

“eh? Sakit kenapa?.”

“ehmkangenehm..” kataku sambil tersenyum dan pura-pura batuk.

“isss... ga percaya ah. Toh kamu banyak yang ngurus.” Katanya sambil menjulurkan lidah mengejekku. “oh ya, yang lain belum dateng?” katanya bertanya. Kami menantikan beberapa orang lagi datang, ada yang harus aku sampaikan besok.

“belum tante, kemungkinan besok pagi.” Jawabku.

“ummm.. iya juga ya, cuma tante yang bisa ga kena macet karena naik kereta. Mereka semua pada naik bus kan?”

“iya. Oh ya, mau langsung pulang atau cari makan dulu? Tante udah makan belum?”

“udah man di kereta tadi beli nasi kaya hokben gitu. Kita langsung pulang aja, lumayan capek dari tadi duduk, mau rabahan.”

“yess mam.” Kataku singkat sambil tersenyum ke arahnya. Aku pun langsung melaju pulang ke rumah bersama tante Fia.

10 Tahun lalu...​

Aku terbangun, kamar yang tadinya berantakan sudah rapi. kubuka selimut dan tutun dari ranjang, kemudian aku rapikan lagi ranjang dan selimut tante Fia. Posisiku masih telanjang bulat. Aku lihat tante Fia sudah tidak ada di kamar ini dan kamar mandi. Kamudian kubuka sedikit tirai jendela, masih gelap.

Aku keluar kamar, tidak ada suara Dio, mungkin dia masih tertidur. Aku lihat jam dinding masih menunjukkan pukul 04.45 dini hari. Kemudian aku lihat ke arah dapur, ternyata tante Fia sudah mulai memasak. Oh ya, dia harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Dio hari ini. Aku berjalan pelan tanpa suara ke arah tante Fia. Masih dalam kondisi telanjang.

Aku perhatikan pundak tante Fia dari belakang. Ia mengenakan kaus oversize tipis berwarna putih yang menampakkan tulang pundaknya.. bawahannya celana tidur pendek yang longgar nan seksi. Sepertinya ini celana yang ia kenakan saat aku menjamahnya di sofa malam itu. Kemaluanku mulai berdiri lagi. Aku jongkok dan memposisikan wajahku di hadapan pantat tante fia. Kemudian secara tiba tiba aku pelorotkan celananya.

“ya ampun!” tante Fia kaget, melepaskan tangannya yang sedang mencuci sayuran kemudian berbalik ke arahku. Kemaluannya kini tepat di hadapanku. Langsung saja...happp. aku melahap kemaluan tante Fia dengan mulutku. “anak tuyul bikin kaget aja” kata tante Fia sambil melotot namun tidak dengan nada marah...

Aku biarkan saja sambil terus menjilat dan melumat kemaluannya. Tante Fia pun tidak keberatan dan tangannya berpindah memilin-milin rambutku. “emmhhh...” katanya sedikit bersuara. “sayang... ga bau apa tante belum mandi loh...” katanya.

“iyasih agak asemm” kataku sambil menoleh ke atas. Srettt kemudian ia menjambak rambutku dan ditariknya ke atas sampai aku berdiri. “eeee.... sakit sayang.” Kataku manja.

“mana yang asem?” katanya sambil melotot lucu lagi.

“ini..” kataku sambil menjulurkan lidah.

Kemudian tante Fia mendekatkan bibirnya dan menjilat lidahku dengan penuh penghayatan. Aku balas jilatannya dan kudekap pinggangnya merekat ke arahku. Spontan saja kemaluan kami saling bersinggungan. Kemudian kami fokus saling jilat dan saling menggesekkan kemaluan.

Aku gesek-gesek perlahan... kemaluanku yang tegang aku maju mundurkan untuk di himpit selaput-selaput vagina tante Fia. Tante Fiapun mengimbangi gerakanku, terkadang ia goyangkan pinggulnya ke kiri dan kanan membuat penisku semakin tegang.

“ding donggg” suara bel pagar rumah berbunyi.

Kami berhenti sejenak dan sama-sama melihat ke arah pintu depan. Dapur dan ruang tamu hanya berbataskan meja yang menempel dinding seperti meja bar. Jadi kami bisa melihat pintu depan dari sana.

“siapa pagi buta begini?” kataku. “om Juri?”

Tante Fia hanya menaikkan bahu sambil menggeleng. “katanya sih pulang selasa, harusnya besok.” Kata tante Fia.

Tidak perduli, aku balik menoleh ke arah tante Fia lagi dan kembali menciumnya dan menggesekkan kemaluan kami. “ahhhhh” “muuuhcchhhh”

“dok dok dok..” pintu depan di gedor. “BUKAK PINTUNYA!” suara om Juri samar terdengar menjerit dari luar pintu.

“masuk kamar man..” tante Fia cepat menghentikan aksi kami. Aku langsung cepat sedikit berlari dan masuk ke kamarku. Tante Fia mengangkat kembali celananya dan bergegas menuju pintu depan untuk membukanya.

Sampai di kamar aku tutup pintu dan melekatkan telingaku. Ada apa Om Juri pulang pagi buta begini? Pakai acara panjat pagar segala.

“LAMA AMAT SIH!” Om juri teriak sambil masuk ke rumah dengan nada paksa terburu-buru.

Cepat aku kenakan pakaian dan kembali menempelkan telingaku di pintu berusaha mendengarkan. Langkah kaki Om Juri terlihat seperti orang marah. Sepertinya mereka meuju ke kamar. Kamarku tidak pas bersebelahan dengan kamar mereka, jadi agak sulit menguping kejadian tersebut, walau masih terdengar samar.

“kenapa sih pa? pulang pagi buta marah-marah pula. Katanya pulang besok” Suara tante Fia terdengar.

“mana koper?” Om Juri tidak mengindahkan perkataan tante Fia.

“koper buat apa?” tante Fia bertanya lagi.

Om juri keluar kamar dan menuju gudang di sebelah kamar mandi belakang. Ia membuka pintunya dan mulai mengobrak abrik tempat itu secara tidak sabar sampai akhirnya menemukan sebuah koper.

Ia cepat kembali ke kamarnya dan mulai mengemasi pakaian, beberapa surat, dan beberapa barang berharga miliknya seperti jam tangan. Tante Fia hanya kebingungan dan berdiri menyaksikan apa yang dilakukan Om Juri.

“pa, papa kenapa sih? Ngomong pa. Ada apa?” tante Fia mencoba bertanya sekali lagi.

“itu... kalung sama gelang-gelang emasmu yang kemaren mana? Cepet mana?” Om Juri malah balik bertanya ke tante Fia.

Tante Fia yang kaget dan bingung dengan kelakuan Om Juri menolak untuk memberikan apa yang Om Juri Inginkan. Om juri tidak sabar dan kemudian berdiri menggenggam kedua pergelangan tante Fia dan mendorongnya sampai ke pinggir dinding kamar.

“MANA CEPETAN!” katanya mulai dengan nada tinggi mengamuk.

“papa sadar. Ada Dio disebelah papa mau dia bangun dan liat kita begini. Sadar pa!”

“PERSETAN!”

“PLAKKK” tamparan mendarat di pipi tante Fia. Diringi dengan jeritan kecil dan hempasan tubuh tante Fia yang sepertinya tersungkur di lantai.

Aku cepat membuka pintu dan menuju ke arah kamar mereka. Saat di depan pintu kulihat Om Juri sudah menaikan tangan untuk kembali memukul tante Fia. Aku berlari gesit dan memposisikan diriku berdiri di antara tante Fia yang sudah terduduk di lantai dan Om Juri yang berdiri bersiap memukul tante Fia lagi.

Om Juri melotot ke arahku. “Arman, tidak usah ikut campur urusan Om dan balik ke kamarmu!” katanya mencoba mengintimidasi.

“sabar om, jangan pakai kekerasan... semua bisa dibicarakan dengan baik-ba..”

“plaaak” om Juri menampar wajahku. Kemudian menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. “OM BILANG JANGAN IKUT CAMPUR DAN KEMBALI KE KAMARMU!”

Aku kembali memalingkan wajahku ke arah om Juri. Aku pandang ia tepat saling beradu pandang. “Om... tolong jangan pakai kekerasan.” Kataku masih dengan nanda yang ringan dan lembut.

“oooh udah berani ngelawan aku kau ya..” Om Juri memegang kedua kerahku.

“paa udah pa..” tante Fia mencoba melepaskan tanganya dari kerah kemeja yang kukenakan.

Spontan om Juri melepaskan tangannya dan kembali ingin memukul tante Fia. Aku pegang lengan kirinya yang akan memukul tante Fia dengan tangan kananku. Om Juri mencoba melepaskannya namun kutahan erat-erat dan ia tak bisa menggerakkannya. Ia kemudian melotot ke arahku.

“plaaaaak” ia kembali menamparku. “anak Jaka sialan lu emang sekeluarga bawa sial, anjeeng!” katanya sambil masih berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari genggamanku.

Sekali lagi ia mencoba mengayunkan tangan kanannya untuk menamparku. Namun kali ini kuayunkan sedikit tubuhku ke belakang dan mengelak. Tidak kena. Gantian aku angkat bogem di tangan kiriku dan kuarahkan tepat di hidungnya.

“durrrggg” kuhempaskan bogem mentah ke wajahnya. Tanganku merasakan ada yang patah, tapi di bagian hidung Om Juri. Om Juri terhempas ke belakang dan hampir terjatuh. Namun tanganku yg masih menggenggam pergelangan tanganya menahannya dan membuatnya kembali tegak.

“anjeeeeeeeeenggg! sialan! Babi! Anak haram kau! Aaahhhhh hidungku” katanya sambil memegangi hidungnya yang mulai meneteskan darah.

Kemudian aku lepaskan tangannya yang sedang ku pegang. Ia terkaget dan meoleh ke arahku. Belum selesai Om Juri ingin mengatakan sesuatu, bogem tangan kananku kembali mengayun menghantam wajahnya. Kali ini di rahang sebelah kiri. Ia benar-benar tersungkur dan pingsan.

Wajah Om Juri memang terlihat pucat dari tadi, ada kantong mata besar di wajahnya. Mungkin selain karena pukulanku, ia juga tertidur karena kelelahan. Mungkin. Sementara tante Fia yang berdiri di belakangku hanya terkaget sambil menutup kedua mulutnya.

“maaaaaa.. mamaaaa” suara Dio terdengar dari kamar sebelah. Akhirnya dia terbangun juga.

“tunggu disini man, tante coba ajak Dio tidur lagi ya. Tolong kamu liatin Oom-mu ya.” Kata tante Fia cepat langsung keluar kamar.

Aku amngkat tubuh om Juri dan aku letakkan ia di kasur tidurnya. Yang semalaman aku gunakan bersama tante Fia, istrinya. “setelah apa yang barusan terjadi, sorry i’m not sorry om” kataku dalam hari. Aku mencoba mencari seutas tali untuk mengikat kedua tangan dan kakinya. Kalau-kalu dia terbangun dan mencoba berulah lagi.

Aku membuka beberapa laci pada meja rias tante Fia, tidak ada apapun. Kemudian aku membuka lemari pakaian, kulihat ada beberapa laci di bawahnya. Aku membuka laci tersebut dan kutemukan barang-barang perkakas. Ada lakban hitam besar... hmmm lebih bagus.

Tante Fia kembali ke kamar dan melihat Om Juri sudah kulakban tangan dan kakinya dengan sangat rapat. Kondisinya masih pingsan dan tertidur menyamping di ranjang. Dengan kedua tangan di belakang.

“duuhh.. gimana man? Kayaknya Oom-mu tau kita ngapain aja seharian kemarin. Apa ada cctv rahasia di kamar ini ya? Padahal kan tante di rumah terus kapan dia masangnya.” Tante Fia terlihat khawatir. Ia merapatkan kedua telapak tangannya dan merapatkannya ke mulut sambil menoleh ke arahku.

Aku menuju ke arah tante Fia dan memeluknya dengan erat. “bukan.. ini bukan masalah kita tante. jangan khawatir.” Kataku mencoba menenangkannya.

“kamu tau dari mana man?”

“kan tadi om Juri bilang, Arman jangan ikut campur dan balik ke kamar. Kalau om Juri tau apa yang kita lakuin, dia pasti langsung naik pitam dan nggak nyuruh Arman balik ke kamar.” Jelasku pada tante Fia. Begitu juga yang kupikirkan tadi.

“iya juga ya... tapi kalo bukan karna kita, karena apa lagi? Masa gara-gara pekerjaan, ga pernah dia sampe begini. Mau beresin barang-barang segala” katanya sudah mulai tenang.

“dind dong...” kembali terdengar bunyi bel pagar rumah. Kami saling pandang.

“biar tante aja man.. kamu jagain Oom disini.” Tante Fia bergegas membuka pintu dan menuju pagar untuk membuka gemboknya.

Aku melihat dari pintuk kamar tante Fia sambil mengawasi om Juri yang masih tertidur. Tirai jendela yang sedikit di buka tante Fia membuat aku bisa memerhatikan ia di luar sana sedang berbicara dengan dua orang yang mengenakan jaket kulit berwarna gelap. Dua orang tersebut memberikan secarik kertas kepada tante Fia, kemudian tante Fia terlihat gusar dan mulai memegang dahinya dengan jari-jarinya.

Rasanya aku ingin keluar sana menanyakan apa yang terjadi, namun tante Fia segera memersilahkan kedua orang tersebut masuk dan menghampiriku di depan kamar. Satu orang yang berpostur agak lebih tinggi dariku berjalan melewatiku dengan sedikit senyum dan berkata “permisi pak”.

“Pak, masih pingsan ini. Bagaimana?” Kata satu orang yang sudah berada di kamar memeriksa keadaan Om Juri.

“ di bopong aja ke mobil bisa ga nji?” kata seorang yang berada di ruang tamu bersama tante Fia.

“siap. bisa pak!” balas orang yang di dalam kamar lagi. Kemudian ia mengangkat tubuh om Juri yang masih pingsan ke atas bahu kirinya dan mulai membopong Om Juri keluar kamar. Seorang satunya yang sedang bicara dengan tante Fia lalau memberikan hormat sebelum mereka berdua keluar dari pintu depan. Tante Fia menutup pintu.

Aku menghampiri tante Fia dan bertanya.. “ada apa tante? siapa orang-orang tadi.?”

Tante Fia hanya mengela nafas panjang sambil menggeleng... ia kemudian berjalan ke arahku dan memberikan secarik kertas yang ia pegang dari dua orang tadi.

Surat Perintah Penangkapan?



Bersambung...













CUPLIKAN CHAPTER 7​

Aku masuk ke rumah Om Joni dan menemukan dua orang perempuan sedang asik bercengkerama dan memakan irisan buah mangga di atas sofa ruang tengah. satu orang berhijab dan satunya lagi berjilbab sangat lebar dan mengenakan cadar dengan warna serba hitam. Aku tak tau apa itu namanya. Yang berhijab biasa tampak berusia kira-kira tiga puluh, dan yang mengenakan jilbab besar aku tak bisa memastikan karena, well... Cuma matanya saja yang terihat. Tinggi keduanya mungkin hampir sama, sekitar 160cm.

“eh.. ini pasti Arman ya.?” Kata sorang yang mengenakan hijab biasa. Ia kemudian menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku bersalaman dan metakkan punggung tangannya di keningku ciri khas salim anak baik Indonesia.

“iya.. ini tante Asri?” kataku balik bertanya, sambil kami masih saling bersalaman.

“bukan... nama tante Kirana. panggil aja tante Ana. Tante istinya om Jono. Kami tinggal ga jauh ini beda dua rumah aja rumah tante sama Om Jono, makanya tante sama tante Asri sering saling mampir ke rumah masing-masiing. Itu tante asri yang pakai burka.” Sambil menunjuk ke arah perempuan yang kemudian juga berdiri dari sofa di belakang tante Ana.

“salam kenal arman” kata tante Asri sambil sepertinya mengayunkan kedua tangannya bersalaman jarak jauh tanpa harus bersentuhan denganku.

“duduk dulu Arman.” Kata tante Ana mempersilahkanku duduk. Akupun duduk di sofa yang berseberangan dari sofa mereka duduk tadi.

“oh ya, sri, masih ada kue oleh-oleh dari kota sebelah kemaren?” kata tante Ana pada tante Asri dengan posisi mereka masih berdiri di seberang meja dari tempatku duduk.

“lha kubawak ke rumah mbak semua kemaren.” Kata tante Asri menjawab.

“ehhh, kok dibawak semua toh. Yaudah biar tak ambil.. enak itu biar Arman coba juga.”

“ga usah repot-repot tante...” sambungku.

“udaaah gapapa.. sebentar aja, ga pake lama paling 5 menit rumah tante deket.” Katanya sambil mengayunkan pergelangan tangan di depan wajahnya pertanda itu bukan masalah besar. “kamu buatin minum Arman aja dulu sri, aku tak ngambil kue bentar..”

“iya mbak...” kata tante Asri. Sepertinya tante Ana lebih tua dari tante Asri, mungkin umur tante Asri akhir dua puluhan? Atau seumuran tante Fia. Tapi usia tante Fia saja terpaut jauh dari Om Juri, masa kakaknya punya istri degan jarak usia lebih jauh lagi. Tante Ana kemudian keluar rumah untuk mengambil kue yang ia sebutkan tadi.

“Arman mau minum apa?” kata tante Asri mengagetkanku. “Ada teh, kopi, susu, sirop.. kalo mau yang dingin juga ada.” Tambahnya lagi.

“sirop yang dingin aja boleh tante.” jawabku.

Tante Asri kemudian berjalan menuju ke dapur, namun burka-nya sedikit tercantol ke pegangan kursi yang terbuat dari kayu rotan, aku mencoba mengingatkan namun sudah terlambat. Ia kemudian dalam posisi kurang seimbang dan terjatuh terlentang agak menyamping ke arahku. Alangkah kagetnya aku ternyata ia tidak mengenakan pakaian, hanya dalaman saja... kulit perutnya terlihat karena bukanya sedikit tersingkap... namun yang membuatku lebih kaget lagi adalah...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd