Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA PERJALANAN.

CHAPTER 7​

“Arman.. mikirin apa sih nyetir sambil ngelamun.” Tante Fia membuyarkan lamunanku. Kami masih di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah. Ia kemudian mengarahlan tangannya ke kepalaku dan mengusap-usapnya.

“mikir 10 tahun lalu tante. masih inget nggak?.” Jawabku.

Tante Fia menatapku dengan tatapan lebih mendalam. “masih dooong... you have done a great job sayang... I’m proud of you.” Katanya sambil masih mengusap-usap kepala dan rambutku.

“beneran? Bukannya kesel?” tanyaku lagi.

Tante Fia memindahkan tangannya dan mencubit pinggangku. “pikir aja sendiri!” katanya samibil melirik tajam ke arahku.

“adededede sakit...” kataku bereaksi sambil tertawa cekikikan.

Malam masih panjang dan kami masih melaju dalam sedan hitam. Di jalan pulang.

Masih 10 Tahun lalu...​

Om Juri di tangkap atas kasus penipuan. Ternyata sudah beberapa tahun ini ia menarik investor dengan skema ponzi. Intinya uang keuntungan yang diberikan kepada investor sebelumnya di ambil dari uang investor setelahnya. Tidak ada properti yang dikerjakan. Semua scam.. hanya beberapa petak tanah milik orang yang ia dan teman-temannya sewa untuk diperlihatkan sebagai lahan garapan properti.

Tante Fia menjadi murung seharian. Dio tidak jadi sekolah hari itu. Ditangkapnya Om Juri berimbas pada kami berdua. Mobil Om Juri, serta rumah yang kami tempati akan segera disita, kami dipersilahkan bersiap dan berpindah selama satu minggu. Uang rekeningku yang di kelola Om Juri ternyata juga sudah terpakai sebesar 270 juta, padahal keperluan kuliah dan hidupku hanya menghabiskan paling banter 50 Juta satu tahun terakhir. Kini tinggal tersisa 230 juta lagi untukku.

“ga ada jalan lain man... sepertinya tante harus pulang ke rumah ibu tante.” katanya padaku.

“tapi tante, kita bisa tinggal di rumah Arman, memang rumahnya tidak sebesar ini, tapi ada dua kamar.. kalo tante mau kamarku dengan Dio digabung juga gapapa. Biar kamar tante bisa luas sendiri.” Ucapku memberikan solusi yang lebih baik. Jujur saja setelah kejadian kemarin mungkin aku sudah tidak bisa menahan hawa nafsu secara sabar lagi.

“tante ngerti, tante juga mau man. Tante tau apa yang ada di pikiran arman.. ia mengelus rambutku sambil manatapku tajam. Tapi harus kita pikirkan lagi man.... kalau tante tinggal sama Arman, uang Arman akan lebih cepat lagi habisnya. Menopang keluarga itu bukan perkara mudah sayang...”

“hmmm..” aku berpikir lagi.”gimana kalau uangnya kita pakai untuk usaha tante. kaya jualan, atau gimana gitu.”

“tante punya pikiran sama sih kaya kamu. Tapi lokasi rumah Arman kurang bagus man... plus kita ga punya pengalaman dagang apa-apa. Tante ga mau uang kamu malah terbuang sia-sia.. mulai dagang ga mudah, sewa tenpat aja udah puluhan juta.”

Aku berpikir lagi...”yaudah tante, gimana kalo Arman diskusiin sama pengacara almarhum papa dulu Pak Luki, ini masalah uang yang dipakai Om Juri juga Arman belum tau gimana silsilahnya. Suapaya jelas. Nanti tante ambil keputusan setelah diskusi sama dia aja ya.” Kataku mencoba menahannya agar tidak lekas mengambil keputusan.

Tidak lama, malamnya Pak Luki datang ke rumah Om Juri untuk mendiskusikan wasiat dan harta warisan bapak. Kini aku memegang penuh kendali rekeningku yang tersisa 230 juta. Namun pak Luki mengingatkan, untuk mendapat sisa tanah 40 hektar yang ada di kampung, syaratnya tetap sama. Aku juga meminta nasihat kepadanya... kuberitahukan bagaimana kondisi anak dan istri Om Juri yang di tinggal tanpa banyak simpanan yang mereka miliki.

Sialnya, ia memiliki pemikiran yang sama dengan tante Fia. Untuk saat ini lebih mudah jika aku hidup sendiri dengan jumlah uang segitu, karena uangnya tidak berputar dan hanya berkurang saja. Memulai usaha juga riskan, karena rumahku tidak strategis, tidak ada kendaraan, tidak ada waktu jika jadwal kuliah sudah mulai lagi, dan tidak ada pengalaman. Dengan modal terbatas maka bisa-bisa uang tersebut habis sebelum aku lulus kuliah.

Pak Luki memberi 3 saran kepadaku. Pertama, jika ingin memulai usaha lakukan setelah tamat kuliah, mungkin masih ada sisa uang dari yang kumiliki saat ini. Kedua, jika memang ingin memulai usaha sekarang (agar membantu tante Fia dan ia tidak pulang ke rumah ibunya) maka jalan terbaik adalah memakai modal lain selain uang yang aku miliki... ia menyarankan aku meminjam sementara pada para pamanku yang tidak aku kenal itu. Ketiga, aku bisa mengelola 40 ha tanah yang ditinggalkan bapak kepadaku untuk berkebun sayuran/palawija. Mumpung liburku masih selama 3 bulan. Hasilnya baru digunakan untuk modal berbisnis di kota.

Aku memikirkan opsi-opsi tersedia, opsi pertama jelas tidak akan kulakukan karena itu berlawanan dengan tujuanku. Untuk membuat tante Fia tinggal bersamaku disini. Opsi kedua, sebenarnya aku malas berhubungan dengan paman-pamanku ini karena aku tidak kenal dengan mereka. Namun, paling tidak aku harus mencobanya.

Dari 6 orang saudara bapak hanya 2 yang memungkinkan untuk di mintai tolong, yaitu Om Jono dan Om Joni. Si kembar yang usianya 3 tahun di atas Om Juri dan 3 tahun di bawah bapak. Paman yang paking tua baru kelihalangan istrinya beberapa hari lalu, paman kedua tertua sedang umrah, dan paman ketiga tidak memiliki nomor handphone untuk di hubungi.

Setelah berbicara dengan Om Joni via telepon aku pun memutuskan untuk mengunjunginya di kota tempat ia tinggal, 8 jam perjalanan via kereta dari kotaku. Aku tidak langsung mengutarakan niatku karena tidak enak... aku bahkan belum bertemu dengannya secara resmi. Jadilah dua hari setelah Om Juri di tangkap aku meninggalkan tante Fia dan Dio, aku hanya memiliki waktu satu minggu, jadi harus cepat.

Sesampainya di kota tempat tinggal Om Joni aku langsung ke alamat kantor yang ia berikan kemarin saat kutelepon. Disana aku bertemu Om Joni yang mengelola bisnis travel haji dan umrah. Disamping kantornya ada kantor Om Jono yang juga berbisnis travel antar kota, namun om Jono sedang keluar kota hari ini. Disana Om Jonipun menyambut kedatanganku.

“Assalamualaikum... wah... keponakan Oom sudah besar ini.” Katanya menyambut dn memberikan tangannya kepadaku.

“waalaikumsalam Om, iya maaf kemarin belum sempat salim karena Arman berkabung...” kataku sambil salim ke tangan om Joni.

“nggak papa, Oom minta maaf juga karena kemarin itu mendadak banget.. kerjaan masih banyak jadi terpaksa pulang pagi. Mau bangunin kamu nggak enak jadi Oom biarkan istirahat. Kabar kamu gimana, sehat?” katanya panjang...

“sehat Om alhamdulillah..”

“perjalanan lancar ya... tanpa kendala.”

“lancar om, cuma kereta masih suka berhenti lama di stasiun sampe buat jadwal berangkat telat terus.”

“oooh biasa itu emang.. entah apa lagi yang ditunggu. Oh ya man... ini Oom pesenin ojek langganan Oom ya, sebenernya tadi Oom mau ajak kamu pulang bareng naik mobil aja, sekalian makan malem... tapi ini tiba-tibaaaaaa banget ada calon klien ngajak makan malem... jadi kamu neik ojek pulang duluan gapapa ya.” Katanya pdaku, padahal aku baru sampai. “nanti kita cerita-cerita temu kangen lagi du rumah ya. Mungkin malem Om Jono juga udah pulang jadi bisa sekalian.. oke?”

“siap om.. tapi di rumah ada siapa om?” tanyaku.

“ada tante Asri, istri oom... oh ya, ini bawa aja kunci cadangan siapa tau dia lagi maen ke rumah ana.” Katanya sambil menyerahkan kunci cadangan padaku.

Aku pun langsung jalan lagi naik ojek menuju rumah Om Joni, kepalaku rasanya pusing. Perjalanan kereta yang harusnya 8 jam menjadi 9,5 jam karena terlalu banyak berhenti. Kursi kelas ekonomi juga membuat badanku sangat pegal karena tidak bisa tiduran. Di jalan aku sempat heran memikirkan... kenapa Om Joni tidak menanyakan kabar Om Juri atau tante Fia sedikitpun. Jelas mereka sedang tertimpa musibah.

Sesampainya di depan rumah Om Joni aku mencoba mencari bell di pintu pagarnya, tapi tidak ada. Aku keto-ketok kunci pengaitnya agar bersuara, “Assalamualaikum..”kataku. tidak ada jawaban juga. Aku membuka pagar yang tidak di gembok dan masuk meuju teras. Aku ketuk pintunya sekali, tidak ada suara... dua kali, sama, tidak kali, juga tidak ada balasan.. maka aku gunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah Om Joni.

Aku masuk ke rumah Om Joni dan kulihat ruang tamu kosong... aku lanjutkan masuk ke dalam lagi ke area ruang keluarga dan menemukan dua orang perempuan sedang asik bercengkerama dan memakan irisan buah mangga di atas sofa. satu orang berhijab dan satunya lagi berjilbab sangat lebar dan mengenakan cadar dengan warna serba hitam. Aku tak tau apa itu namanya. Yang berhijab biasa tampak berusia kira-kira tiga puluh, dan yang mengenakan jilbab besar aku tak bisa memastikan karena, well... Cuma matanya saja yang terihat. Tinggi keduanya mungkin hampir sama, sekitar 160cm.

“eh.. ini pasti Arman ya.?” Kata sorang yang mengenakan hijab biasa. Ia kemudian menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku bersalaman dan metakkan punggung tangannya di keningku ciri khas salim anak baik Indonesia. Ia tau aku datang, mungkin sudah diberitahu oleh Om Joni kemarin.

“iya.. ini tante Asri?” kataku balik bertanya, sambil kami masih saling bersalaman.

“bukan... nama tante Kirana. panggil aja tante Ana. Tante istinya om Jono. Kami tinggal ga jauh, beda dua rumah aja sama rumah Om Joni ini, makanya tante sama tante Asri sering saling mampir ke rumah masing-masiing. Itu tante asri yang pakai burka.” Sambil menunjuk ke arah perempuan yang kemudian juga berdiri dari sofa di belakang tante Ana.

“salam kenal arman” kata tante Asri sambil sepertinya mengayunkan kedua tangannya bersalaman jarak jauh tanpa harus bersentuhan denganku.

“duduk dulu Arman.” Kata tante Ana mempersilahkanku duduk. Akupun duduk di sofa yang berseberangan dari sofa mereka duduk tadi.

“oh ya, sri, masih ada kue oleh-oleh dari kota sebelah kemaren?” kata tante Ana pada tante Asri dengan posisi mereka masih berdiri di seberang meja dari tempatku duduk.

“lha kubawak ke rumah mbak semua kemaren.” Kata tante Asri menjawab.

“ehhh, kok dibawak semua toh. Yaudah biar tak ambil.. enak itu biar Arman coba juga.”

“ga usah repot-repot tante...” sambungku.

“udaaah gapapa.. sebentar aja, ga pake lama paling 5 menit rumah tante deket.” Katanya sambil mengayunkan pergelangan tangan di depan wajahnya pertanda itu bukan masalah besar. “kamu buatin minum Arman aja dulu sri, aku tak ngambil kue bentar..”

“iya mbak...” kata tante Asri. Sepertinya tante Ana lebih tua dari tante Asri, mungkin umur tante Asri akhir dua puluhan? Atau seumuran tante Fia. Tapi usia tante Fia saja terpaut jauh dari Om Juri, masa kakaknya punya istri degan jarak usia lebih jauh lagi. Tante Ana kemudian keluar rumah untuk mengambil kue yang ia sebutkan tadi.

“Arman mau minum apa?” kata tante Asri mengagetkanku. “Ada teh, kopi, susu, sirop.. kalo mau yang dingin juga ada.” Tambahnya lagi.

“sirop yang dingin aja boleh tante.” jawabku.

Tante Asri kemudian berjalan menuju ke dapur, namun burka-nya sedikit tercantol ke pegangan kursi yang terbuat dari kayu rotan, aku mencoba mengingatkan namun sudah terlambat. Ia kemudian dalam posisi kurang seimbang dan terjatuh terlentang agak menyamping ke arahku. Alangkah kagetnya aku ternyata ia tidak mengenakan pakaian, hanya dalaman saja... kulit perutnya terlihat karena bukanya sedikit tersingkap... namun yang membuatku lebih kaget lagi adalah ada beberapa bekas lebam di tubuhnya. Aku memalingkan wajah karena kaget.

Tante Asri cepat membenahi posisi burkanya dan kembali berdiri. Ia tampak malu-malu dan segera menuju dapur. Membuatkanku sirop dingin dan kembali duduk di sofa seberang tempat dudukku. “ummm gimana perjalanan Arman, berapa jam dari sana kesini naik kereta?” katanya sambil memastikan posisi burkanya aman menutupi semua bagian tubuhnya kali ini.

“jadwalnya 8 jam tante, tapi karena banyak jadwal berhentinya terlalu lama, jadi molor 9,5 jam..” jawabku.

“wah.. lama juga ya. Berarti dari sana jam beraoa itu man? Jam 7?”

“jam 6 tante.. jadwalnya Cuma ada jam 6, 8, 10, sisanya jadwal malem semua.”

“oooh.. iya itu kabarnya kemaren mau di renovasi dulu apa gimana jalur keretanya. Gerbongnya banyak yang ga layak apa gimanaa gitu.” Katanya menambahkan keterangan.

“oooh... gitu.” Kataku. Suasana hening sesaat, tidak ada diantara kami yang mampu mencari obrolan. Ia nampak malu-malu dan aku pun lelah karena perjalanan jauh. Mana pula tante Ana katanya sebentar tapi tidak datang-datang.

“ooh iya, Arman pasti capek ya. Gimana kalo tante anter ke kamar kamu dulu. Biar sekalian lihat lihat.” Akhirnya dia memecah suasana awkward ini kataku dalam hati.

“boleh tante... Arman mau sekalian istirahat langsung aja kayanya. Udah capeek banget.”

“oh ya boleh-boleh...” katanya.

Ia mengantarku menuju kamar tamu. Tidak tunggu lama setelah ia keluar kamar aku langsung rebahan dan terlelap dalam tidur, padahal waktu masih menunjukkan pukul 5.30. tapi rasa lelah mengamnbil alih tubuhku untuk tertidur.

“maaan... bangun mann..” seseorang terasa menggoyangkan kakiku. “arman... bangun nak bangun..”. aku terbangun.

“eee... iya tante?” kataku sambil mengusap mata, aku lihat tante Astri duduk di samping ranjang sambil menggoyang-goyangkan kakiku. Ia masih mengenakan pakaian dengan jenis sama serba hitam, namun sepertinya da yang berbeda. Sepertinya burkanya kali ini sedikit lebih kacil dari yang tadi siang kulihat.

“bangun nak udah lewat maghrib, kamu mandi, sholat, terus makan ke bawah ya.”

“ooh.. oke siap tante.” kataku hendak sekalian turun dari kasur.

“oh ya Arman...” kata tante Asri sambil memegang pergelangan tanganku.

“ii iya tante?” kataku agak kikkuk, karena kau baru saja mengenal dia... ada apa ini?

“tadi kamu liat apa aja?” katanya mendadak. Aku kaget dan bingung harus menjawab apa.

“ummm ga liat apa-apa sih tante.”

“tante mau minta tolong sama Arman... tapi arman harus jujur dulu, tadi Arman liat apa aja nak?” katanya lagi mendesakku.

“ehh.. Arman liat kulit tubuh tante..” kataku sedikit gugup.

“sama, ada sesuatu yang lain ga?” tanyanya lagi.

“ada lebam dan memar tante...” jawabku pelan.

Ia kemudian menggengam kedua punggung tanganku. Eeeeh? Apaan ini membuatku makin awkward. Kulit tangannya putiiiih sekali, sama seperti kulit tubuhnya tadi. Warna lebam jadi sangat jontras dan kentara.

“Arman, di bawah ada tante ana... tolong Arman simpen masalah lebam itu ya nak.. jangan di tanya, jangan dibahas, apalagi di depan umum. Intinya, biar kita aja yang tau... oke?” ia meligatku sambil tangannya menggenggam tanganku.

“oke tante...” aku kemudian memberikan isyarat mengunci mulut kepadanya.

“yaudah..” katanya senyum “buruan mandi, sholat, terus turun kebawah.. makan sama tante sama tante ana.”

“okeesiap tante.” kataku sekali lagi.

Kami membicarakan banyak hal di meja makan. Mengenai bisnis Om Jono dan Joni, mengenai tante ana yang ingin memulai bisnis pakaian lewat facebook, mengenai kuliahku saat ini dan banyak lagi. Kami juga membicarakan masalah om Juri dan anak istrinya yang saat ini terbengkalai, aku mengutarakan niatku pada mereka... dan mereka berjanji akan membantu bicara pada Om Jono dan Om Joni.

Hingga pukul 10 malam Om Jono dan Om Joni belum juga pulang, tante Ana sudah pulang ke ruamhnya jaga-jaga siapa tau Om Jono pulang dini hari nanti. Tinggallah aku dan tante Asri sendirian di rumah. Tante Asri ini bukan tipikal orang yang banyak bicara, sama saja seperti aku. Suasanaoun kembali awkward.

“ummm tante, memar di tubuh tante sudah di kompres?” kataku memberanikan diri bertanya. Saat itu posisi kami berdua modar-mandir sambil membereskan meja makan dan bekas makan di ruang keluarga.

“udah man... udah di kompres pake es” katanya singkat..

“emang memarnya udah berapa hari tante?” sebenarnya aku ingin bertanya memar kenapa, tapi kuurungkan karena mungkin itu kejadian yang ia tidak ingin orang lain mengetahui.

“sudah sekitar dua hari man.” Jawabnya lagi..

“oh udah 2 hari ya.. kalo udah dua hari bukannya lebih bagus pake air hangat tante?.” kataku.

“oh iya? Tante ga tau itu man.. kalo air hangat gimana buat kompressnya?” katanya lagi.

“biar arman buatun tante.. ada bekas botol sirop?” tanyaku..

“ada itu banyak di balik pintu belakang di dekat keran.” Jawab tante Asri.

Aku mengambil 3 botol sirop dan mengisinya dengan air panas+air keran biasa.. jadilah air hangat. Aku balut dengan handuk, maka jadilah kompres air hangat. Aku kemudian membawa pada tante Asri dan memberikannya.

Iseng-iseng aku bertanya “mau Arman bantu kompres, tante?” tanyaku

Tante Asri berpikir sejenak. Lah... aku kira sudah pasti di tolak, ternyata ia masih memikirkannya. “enggak usah deh man, biar tante sendiri aja, masih sampe pake tangan sendiri.”

Hmmm... aku berpikir, sebenarnya enak juga kalo aku bisa meihat tubuh tante Asri lagi dengan alasan mengompres... tapi bagaimana kalau dia sudah tidak mau. Aku iseng bertanya lagi..

“yang bagian belakangnya gimana tante, apa bisa di kompres sendiri?” tanyaku memancing keraguannya lagi.

“kayanya ga usah deh man.. biar bagian yang bisa tante kompres sendiri aja.” Katanya...

“hmmm tante, Arman mohon maaf bukannya sok tau. Tapi takutnya memar yang tertindih itu nanti malah jadi darah beku. Itu bahaya.. tadi Arman liat sekeliling tubuh tante ada bagian memarnya semua, berarti ga perduli tante tidur menghadap mana, tetep ada bagian yang tertindih. Mending di kompres semua aja sebelum jadi darah beku tante. kalau tante ga mau sama Arman, bisa sama Om Joni mungkin pas Om Joni nanti pulang.. tapi saran Arman harus tetep di kompres.” Panjang sekali semoga tidak sia-sia, pikirku.

Tante Asri berpikir agak lama. Ia mengerutkan dahi dan mulai menggaruk-garuk kepalanya. “yaudah man... bantuin tante kompres bagian pungung ya. Tapi di kamar kamu aja biar mudah kelihatan depan kalo-kalo Oom-mu pulang. Kamar tante susah di atas.” Katanya..

“oke siap tante.!” hmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm pikiranku malah pergi keman ini... padahal tujuanku datang untuk hal lain.



Bersambung..​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd