Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Petualangan Hilda 1

Gill_sexplorer

Guru Semprot
Daftar
2 Jun 2019
Post
570
Like diterima
2.595
Bimabet
Salam jumpa lagi pirsawan yang budiman, hamba yang hina ini numpang berkarya kecil-kecilan lagi, setelah petualangan Jenny 1 & dan petualangan Jenny 2 ( yang belum tamat, maafkan hamba).
Genre masih sama, seputar hubungan abnormal antara wanita curvy (BBW mungkin masih belum tepat, ini masih langsingan dikit) dengan siapa saja yang biasanya dalam masyarakat kurang mendapat tempat dan perhatian.
Hamba berharap coretan-coretan nakal ini bisa memberi kenikmatan bagi pirsawan sekalian, dan untuk mulustrasi akan hamba update segera.
Mohon dimaafkan segala keamatiran hamba dalam tulis menulis, semoga tiap cerita baru hamba berkembang menjadi lebih baik.
Enjoy!




Aku bersandar di sudut belakang, dalam sebuah kaleng bermesin, berplat kuning.
Kulit jariku putih bersih, kontras dengan pelapis sandaran tangan di jendela belakang yang sudah pecah-pecah.
Tidak seperti biasanya, ada perasaan aneh, ketika ada unsur tertentu diambil dari sebuah rutinitas, namanya: waktu.
Setiap hari selama tujuh tahun lebih, aku berada di dalam kaleng bermesin ini, atau tepatnya beberapa kaleng bermesin yang berbeda, tapi jurusannya selalu sama.
Sama-sama kutumpangi dua kali sehari.
Pertama saat suasana masih sejuk di pagi hari, dengan deretan orang-orang yang masih rapi dengan aroma wewangiannya masing-masing, meski tak jarang sulit menyembunyikan kelelahan dan kebosanan dalam diri mereka.
Kedua di saat suasana semrawut, dipenuhi lampu-lampu kaleng bermesin lainnya, lampu-lampu jalan, dicemooh oleh suara klakson saling mengejek antara kaleng bermesin tadi, dan tak lupa suara gas buangnya, yang semuanya bersekutu untuk menutup 8 jam rutinitasku di depan komputer, menjadi lebih BURUK.
Hari ini sedikit berbeda.
Suasana semrawut tadi sudah tidak ada.
Boleh dibilang, ini adalah pengalaman terbaikku selama menumpangi kaleng bermesin ini.
Jalanan sepi, meski baru pukul 11.15 siang, setelah kulirik jam tangan kotak kecilku yang sudah tidak pas di jamannya.
Kaleng bermesin ini hanya terisi tiga orang, salah satunya yang duduk di balik setir, dengan handuk yang sesekali diusapkan di keningnya, lalu dilempar seenaknya ke dashboard.
“Sebelum Alfa kiri ya bang!” aku berteriak, walau nafasku terhalang masker kain bermotif batik merah hijau, seperti motif hari Natal.
Dengan lirikan singkat ke spion, sang supir memberi tanda lampu orange kedap-kedip di sebelah kiri, mengalihkan lirikannya ke kaca sepi-yon lalu perlahan berangsur menepi.
Aku menjepit rambut hitam kecoklatanku yang panjang berombak, sebelum berjalan menunduk keluar dari pintu kaleng bermesin itu.
“Makasih ya bang” aku menyodorkan dua lembar kertas yang terlipat dua dengan rapi, sambil sedikit menunduk. Beginilah nasib gadis yang tingginya di atas rata-rata perempuan Asia.
Sang supir mengangguk pelan tanpa ekspresi.
Atau mungkin ada sedikit senyum, namun terhalang oleh masker hitamnya.
Aku membawa sekotak kecil barangku dengan kedua tanganku.
Seperti di film-film Barat, yang pasti kalian sudah paham artinya.
Ya, aku korban PHK, Thanks to Mr. Covid 19.



Aku Mathilda by the way, panggil saja Hilda.
Ibukota ini sebenarnya perantauanku, dan sebenarnya, sudah menjadi kampung halamanku.
Ceritanya panjang, kalian akan tahu nanti.
Tidak semua jelek di hari-hari kedatangan Mr. Covid ini, malahan banyak efek samping yang terasa menyenangkan.
Ya, tetap terasa menyenangkan, meski di tengah kepasrahan akibat situasi jobless ini.
Langit Jakarta kembali menjadi biru cerah, walau mungkin hanya untuk sementara.
Nggak main-main, birunya seperti sedikit berpendar, kayak di film-film.
Kebisingan kaleng bermesin sudah tidak menjadi gangguan lagi bagiku.
Aku bahkan bisa kembali mendengar nyanyian kawan-kawan kecil bersayapku, suara anjing menggonggong dari balik pagarpun jelas terdengar.
Suara-suara alam tadi lebih nyata.

Hanya sekian detik aku berjalan dari jalan raya, tibalah langkahku di pagar kost-kostan ku.
Kost-kostanku adalah kavling bangunan tua dari masa sebelum kemerdekaan, dengan halaman yang lumayan luas dan sebuah pohon mangga yang meneduhinya dengan murah hati.
Bagi yang tahu bioskop Megaria di Cikini, rasanya mereka terlahir di era yang sama.
Aku menutup pagar kecil sambil membetulkan posisi bawaan barang-barang ‘pindahan’ku.
“Neng Hilda tumben sudah pulang?” terdengar suara wanita setengah baya yang lembut dan tegas, sejenak menghentikan ritualnya menyapu dedaunan kering.
“Iya bu, saya dipecat.” Kata-kata itu mengalir begitu saja tanpa kurencanakan.
“Apa?” bu Ratih menurunkan masker putihnya “ Ibu gak salah dengar? Dipecat?” dipertegas lagi olehnya bersama kerutan yang ikut menegas di dahinya yang mengkilat.
“iya..nggak salah bu, Hilda dipecat…ini barang-barang Hilda udah dibawa pulang semua” aku menjawab tanpa melihat beliau, melempar pandangan ke samping.
Sesaat baru kusadari, tindakanku tidak sopan.
Secepatnya aku kembali menatapnya, sambil menambahkan senyum “Gapapa ibu, nanti juga dapat kerjaan lagi yang lebih oke.”
“Iya neng, ibu paham..semoga kita sama-sama tetap tabah dalam masa pandemic ini ya” balasnya lagi sambil ikut tersenyum
Jawaban yang menurutku sangat pas, tidak berlebihan, namun juga tidak kurang maknanya, bagi seorang ibu penjaga kost, yang menurut beliau, bahan tidak sampat tamat SD.
Kayak jawaban dalam sinetron-sinetron aja, mungkin juga bu Ratih kebanyakan nonton sinetron, jadi sudah terlatih.
Sepanjang perjalanan sampai kembali ke sini, aku memang berusaha memenuhi diriku dengan hal-hal yang positif saja.
Beruntung juga, aku tidak..atau tepatnya belum pernah, menjadi galau akibat hal-hal seputar percintaan.
“Mungkin karena ini” aku berkata sendiri, sambil melihat lipatan lemak di perutku, yang tidak mampu disembunyikan kaos ketat dibalik jaket jeansku.
Tinggi badanku 160 cm, lumayan menutupi lebar perut dan bagian berlemak lainnya.
Pendeknya, tidak ada cowok mau mendekatiku, karena aku 'gemuk'.
Itu sebuah hal positif menurutku, sehingga aku tetap bisa berfokus di karir, yang baru saja tamat sementara.
Ironis.



Aku terus ke belakang, melewati ruang tengah yang sepi, mendapati halaman belakang dengan pohon belimbing sayur yang banyak buahnya.
Kost ini memang sudah sepi bahkan sebelum virus sial ini datang.
Kost ini punya 5 kamar, sejauh yang pernah kuhitung.
Tiga di bawah, dua di atas, namun penghuninya hanya aku dan bu Ratih sebagai penjaganya.
Aku melangkah naik diikuti suara berdebam dari lantai kayu, setelah melepas kedua sepatu selopku dengan bantuan kakiku sendiri.
Tangga dan selasar bangunan ini dari kayu, semua masih licin terawat berkat bu Ratih yang membersihkannya tiap hari, seorang diri.
Di selasar kayu lantai dua itulah, berderet dua kamar, dengan satu ruang duduk di antaranya.
Kuletakkan sejenak dus PHK bawaanku, yang baru kusadari lumayan berat juga.
Aku duduk perlahan di kursi santai rotan, di ruang duduk.
Pandanganku menerobos keluar dari jendela yang terbuka, melihat awan tipis dengan latar belakang biru cerah, ada satu buah kotak kaca jendela yang retak.
Seperti di pedesaan, serasa bukan di Jakarta.
Aku memejamkan mata, mencoba hanya mempertajam pendengaranku, mencoba mengosongkan sementara beban-beban PHK ku.
Sayup-sayup terdengar suara kaleng-kaleng bermesin sesekali lewat.
Berganti suara angin yang meniup dedauan pohon mangga di depan.
Lebih sayup-sayup lagi masih bisa terdengar suara daun-daun kering disapu bu Ratih di depan.
Sesekali suara burung gereja, mendekat, dan menjauh.
Lalu hening lagi.
Dan seterusnya.



Aku rasanya hendak terlelap sampai terdengar suara seng berderik.
Aku melihat ke plafon tripleks tua yang memiliki lis profil di atasku.
“Hmm, pasti mimpi, rumah ini gentengnya masih genteng kodok dari tanah liat. Mana ada suara seng berderik,” Gumamku.
Lalu suara itu terdengar lagi.
Aku bergegas berdiri menghampiri jendela, melirik ke samping rumah tua yang tak berpenghuni.
Suara tadi ternyata benar berasal dari sana.
Seorang gadis berseragam putih-biru tua berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu.
Suara seng tadi ternyata dari penutup jendela yang disibak sedikit saat keluar dari bangunan itu.
“Ngapain anak SMP itu keluar dari rumah horor itu?” bisikku kepada kepalaku sendiri.
Aku masih tetap memperhatikan anak SMP tadi, yang berjalan menyusuri lorong samping rumah tua itu, yang dipenuhi tanaman liar, sampai menghilang ke jalanan di depan.
Saat aku menoleh kembali ke jendela berlapis seng tadi, spontan aku setengah berbisik “Anjing!”
Aku jatuh terduduk ke lantai kayu selasar, terkaget oleh sekilas sosok yang berdiri di depan jendela seng tadi, tempat anak SMP tadi keluar.
Aku beringsut ke jendela sebelah, yang masih tertutup jendela krepyaknya, memberanikan diri untuk berdiri, pelan-pelan mengintip kearah jendela seng tadi.
Tidak ada apa-apa.
Hanya rumput liar setinggi pinggang, namun jelas terlihat setapak yang biasa dilalui orang.
“Masa hantu?” pikirku.
Aku menutup mata, coba membayangkan kembali sosok tadi, yang kurang jelas karena separuh tubuh bawahnya terhalang tumbuhan liar.
Sosok itu jelas pria, berbaju putih, aku merasa rambutnya pendek, bahkan mungkin memakai topi.
Entahlah.
Aku kembali menuju jendela pertama yang terbuka lebar tadi, masih menatap ke arah tadi.
“Sial, mana ada hantu di siang bolong gini..” aku berkata dalam hati.
“Ehm..” suara serak muncul dari sebelah, kali ini dari sebelah kiri, dari arah lorong samping yang dilalui anak SMP tadi.
Mungkin karena rasa kagetku sudah berlalu, aku kali ini melihat sosok itu dengan jelas, kali ini aku menatapnya tanpa bergeming.
Pria itu juga melihatku dari sebelah, menengadah.
Ia perlahan berjalan kembali ke arah jendela seng tadi, tanpa melepas tatapannya.
Aku entah kenapa, tak mampu berpaling, namun juga tidak merasa takut seperti tadi.
Mungkin karena ada perasaan lega, karena yang kulihat ternyata bukan hantu.
Tapi tetap saja, ada perasaan merinding dan aku tidak mampu berpaling.
Aku mulai merasakan perasaan tercekik, saat pria setengah baya itu mulai merogoh celananya dari depan.
Ia tidak melepaskan tatapan tajamnya padaku, bersama rambut di kepalanya yang sudah menipis dan kumis jenggot yang tidak terawat.
Ia bahkan mulai memejamkan matanya sesekali, lalu kembali menatapku.
Aku tidak tahu perasaan apa ini, yang membuatku tidak rela berpaling dari pertunjukan yang ganjil ini.
Pria setengah baya itu menunduk, mulai menurunkan celana jeans lusuhnya yang tidak bercelana dalam.
Ia melakukannya dengan tetap memberi tatapan menantang padaku.
Senjatanya menggantung lemas, menyembul di antara rambut kemaluannya yang keriting rapat.
Pria setengah baya itu berusaha keras mengocok senjata tuanya yang setengah bergantung lemas.
“Pasti dia habis make anak SMP bodoh tadi! Shit! ” ujarku dalam hati dengan perasaan setengah jijik.
Si pria setengah baya bergerak tak menentu.
Sepertinya kobaran nafsu di kepalanya sudah tidak mampu ditolerir oleh usianya.
Senjatanya tetap bergantung setengah lemas, dielusnya, dikocoknya perlahan, dan tetap demikian.
Aku menjadi iba padanya, sebuah perasaan yang tak kalah ganjilnya dengan keadaan ini sendiri.
Terlintas begitu saja di kepalaku “kalo aku nunjukin dia buah dadaku, apa yang bakal terjadi?”.
Sebuah pikiran nakal yang spontan mengalir, dalam sejarah kehidupanku sebagai gadis baik-baik, yang menonton film porno pun tak pernah.
Paling tidak, aku tidak pernah dengan sengaja menonton film porno, karena setelah aku pernah melihatnya, menurutku membosankan.
Tapi ini, kejadian ganjil ini, membuat loncatan-loncatan listrik aneh yang menjalari tubuhku, dan juga membuat rasa gatal yang merayap di selangkanganku.
Aku menajamkan telinga, mencoba mencari suara daun-daun kering disapu, sambil menoleh ke arah depan rumah.
Masih ada, Bu Ratih masih menyapu halaman.
Aku kembali melayangkan pandangan ke rumah sebelah, pak tua itu masih mengocok senjata tuanya dengan wajah penuh harap.
Aku jadi teringat kucing-kucing liar yang berkumpul menengadah ke atas saat aku hendak membuang tulang ikan dulu.
Seperti itu tatapannya.
Sekali lagi aku menoleh ke arah halaman depan, memastikan bu Ratih masih menyapu halaman, masih terdengar suara gemerisik daun disapu.
Lalu dengan hati-hati aku berdiri di tengah-tengah bukaan jendela, seakan mencoba memberikan pemandangan terbaik bagi pak tua.
Aku membuka jaket jeansku perlahan, dalam sunyi ini malah hanya suara jaket bergesekan dengan lenganku yang dapat kudengar, selain suara gemerisik daun di depan.
Kujatuhkan ke lantai.
Aku terus memandang ke bawah, pipiku menghangat.
Aku menundukkan kepala, melihat belahan buah dadaku dari balik kaos ketat tipis berwarna salem, lumayan tipis sehingga renda bra ku dapat sedikit terlihat teksturnya dari luar.
Jantungku berdegup kencang, aku mendengar desahan nafasku yang mulai tak beraturan.
Kusingkap kaos ketatku, menaikkannya melewati buah dadaku yang terlindungi bra renda berwarna putih.
Badanku ikut menghangat seperti pipiku, diikuti perasaan aneh dari antara kedua pahaku.
Aku tidak membuka kaosku, hanya menggulungnya di atas buah dadaku.
Aku memberanikan melihat ke arah pak tua, sambil meremas gemas buah dadaku bersama bra ku.
Pak tua melotot dengan wajah seperti serigala lapar, mulutnya membuka.
Senjatanya mengeras, menunjuk kedepan, membentuk lengkungan ke samping kiri.
Kepala senjatanya mulai membesar diikuti urat-urat yang mengakar.
“Ini hadiah buatmu pak tua, aku tahu kita sama-sama menginginkannya. “ aku berbisik.
“Aku dipecat hari ini pak tua, tapi mungkin hari-harimu jauh lebih berat dari hariku.” Mataku berair, tanganku semakin liar meremas-remas buah dadaku sendiri.
Senjata pak tua sudah keras sepenuhnya, kocokan-kocokannya semakin kasar.
Kedua kakinya bergetar, sambil memicingkan mata ia terus mengurut senjatanya.
Nafasku bahkan lebih tak teratur dibanding tadi, perasaan aneh di antara kedua pahaku lebih menjadi letupan-letupan sekarang..
Tanganku dengan cepat menggapai ke belakang tubuhku, mencoba melepas pengait bra ku.
Pengait pun terlepas, dan aku menyingkap satu-satunya penghalang antara buah dadaku dan tatapan pak tua.
Kuremas dengan lebih kasar kedua buah dadaku, saling mendekat, menjauh, kuacak-acak ke segala arah.
Kutarik-tarik lembut kedua putingku yang mengeras sedari tadi.
Aku menutup mataku dan menengadah, ada gemetar dalam nafasku.
“Ouhhh…” aku mendesah sepelan mungkin.
Takut ketahuan oleh bu Ratih.
Aku meringis, mataku sayu dan memohon, kulirik pak tua.
“Oooh…aarghhhh…” suara parau pak tua terdengar untuk pertama kalinya.
Kocokannya berakselerasi, semakin cepat dan kasar, menyiksa batang senjatanya.
“Aaaaaarggggh…oooooooh…” pak tua jatuh pada lututnya.
Mataku tak berkedip diantara nafasku yang berkejaran.
Badan kurusnya terhentak-hentak, senjatanya memuntahkan cairan bening yang nyaris tak nampak.
Pak tua masih berlutut mencoba mengatur nafasnya, memeras senjatanya, sampai tidak ada lagi tetesan mani jatuh di atas rumput.
Terdengar langkah kaki setengah berlari dari arah depan.
“Shit, itu bu Ratih!” bisikku panik sambil memerosotkan badanku ke lantai kayu.
Bu Ratih berjalan ke arah lorong yang bersebelahan dengan lorong rumah tua itu, mencari-cari sumber suara pak tua itu.
Aku berlutut bersembunyi di balik jendela.
Kuberanikan diri mengintip apa yang terjadi dari balik deretan krepyak, bu Ratih sedang berjinjit menengok ke sebelah, dan di bagian lain pak tua sedang berlari-lari kecil di halaman depan rumah tua tersebut.
Bu Ratih geleng-geleng kepala, lalu berjalan pelan kembali ke depan.

Aku buru-buru merapikan kaos dan bra ku sekenanya, memungut jaket jeansku, berlari ke kursi rotan tadi mengangkat dus PHK ku, lalu setengah berlari menuju pintu kamar kostku.
Kututup pintu, mengunci secepatnya dari dalam, lalu duduk bersandar lemas.
Aku menutup mata, mengatur nafasku.
Keadaanku berantakan sekali, dengan bra yang belum terkait, Cuma dipasang seadanya dengan kaos yang tidak tertutup sepenuhnya.
Kupandangi perutku sendiri, menepuk-nepuk lipatan lemaknya.

TOK TOK TOK

“Neng Hilda….
Aku sigap berdiri tanpa bersuara, secepat kilat memperbaiki busanaku dan menjawab setenang mungkin “ya bu Ratih….”
“Ada apa bu Ratih?” aku melongok dari balik daun pintu.
“Oh..nggak..neng lagi beberes? “ bu Ratih bertanya dengan kening berkerut dan tangan saling mengatup.
“Nggak kok bu.” Aku membuka lebar pintu dan melangkah keluar.
“Ini…kamu tadi ada lihat sesuatu?” tambahnya lagi.
“Liat apa ya bu? Aku menjawab datar, “Aku dari tadi di kamar kok bu. Memangnya ada apa?”
“Ooh..nggak, tadi ibu dengar ada suara di rumah sebelah, takutnya ada maling atau apa.” Jelasnya, mukanya mulai cerah.
“Bu Ratih tenang aja, aku selalu kunci kamar kok. “ ucapku mengangguk.
“Iya neng, bu Ratih suka kuatir, soalnya di rumah yang lumayan gede ini, cuma ada kita berdua kan, mana semuanya perempuan,,,” ucapnya sambil meremas rok batiknya.
“Ya udah, kamu udah makan? Kalo belum, ibu sekalian masak buat dua orang.” Ucapnya laiknya seorang ibu kandung sendiri.
“Udah bu Ratih tadi, sebelum pulang kemari.” Jawabku berbohong.
“Okelah, ibu masak dulu ya di bawah neng..” ucapnya sambil berbalik pergi.
“Iya bu, silahkan.” Aku melihatnya sampai menghilang menuruni tangga.
Aku tidak lapar, setelah semua kejadian ini.
Lagipula skip makan satu kali nggak ngefek juga, malah mungkin sedikit membuatku langsing.
Aku ingin berbaring-baring saja, tanpa melepas baju kerjaku.
Aku berbaring di kamar kostku yang sedikit berbau apek, kunyalakan kipas angina berdebu di sudut ruangan.
Dinding samping sebagian catnya mengelupas, aku bisa melihatnya setiap hari berjatuhan di lantai kayu kamarku.
Berapa kalipun kusapu, akan muncul lagi.

Mataku sulit terpejam, kembali teringat-ingat kejadian ganjil tadi.
Seperti ada yang tidak terselesaikan dengan endapan nafsuku yang selama belasan tahun tersimpan.
Aku turun dari ranjangku ke lantai, menarik dus PHK ku, satu demi satu isinya kujejerkan di hadapanku.
Ada buku-buku teknik, kliping-kliping, bahkan mug kopi yang bertuliskan kopiko.
Pajangan-pajangan di atas meja kerjaku tidak lupa kubawa pulang semua.
Lalu sampailah aku pada sebuah benda yang tak kukenal.
Sebuah flashdisk putih Kingston.
Tertulis, 2GB.
“Ini bukan punyaku, apakah punya Jenny?”batinku.
Jenny adalah teman sekantorku yang aku tidak seberapa akrab dengannya.
Dia baru pindah beberapa bulan lalu ke ibukota, sebelum bernasib sama denganku.
Kami sama-sama chubby, dan sama-sama korban PHK.
“Nanti aku WA dia tanyakan flashdisk ini,”pikirku lagi.
Hendak kumasukkan ke dalam tas tanganku, sebelum muncul senyum nakal di wajahku.
Kunyalakan laptop HP ku, dan segera kucolok flashdisk itu.
Folder demi folder berlalu bersama aktivitas jariku di mouse, semuanya biasa saja.
Tibalah pada satu folder yang paling terpencil letaknya.
Nama foldernya menjanjikan: “Julia.”
Kuklik, sesaat aku melotot menganga.
Berderet belasan file dengan extension .mp4.
“Ini gak bener nih, aku bisa ngerasain” batinku sambil memicingkan mata.
Aku melihat sekeliling memastikan keadaan aman, memberanikan diri mengklik salah satunya.
“Aku kan di dalam kamar, ngapain juga tengok-tengok dulu,” pikirku sambil garuk-garuk kepala.

“Mmmmhhh….ummmmm….” muncul desahan-desahan pada volume tertinggi.
“Shit!” secepat kilat aku memencet mute.
Aku tidak percaya yang kulihat.
“Jenny ternyata seorang lesbian? yang bener aja.” bisikku.
Dalam video itu, Jenny yang bodinya mirip-mirip aku (tapi untungnya buah dadanya masih gedean aku), sedang menyatu bibir dan lidahnya dengan wanita lain yang lebih mungil, langsing, kulitnya lebih putih, lebih petite juga.

“Dan kamu yg namanya Julia yang tertulis di folder tadi,” ucapku tanpa berpaling sedikitpun, menunjuk Julia di layar.
Kuambil headsetku, kunaikkan kembali volumenya.
Jenny melepaskan tautan bibirnya dengan Julia, sesekali masih saling mematuk bibir dan lidah, lalu beringsut turun dari ranjang, memposisikan diri di depan selangkangan Julia.
“Mmmm…..srrpppppp..ahh…”Jenny mengoral liang nikmat Julia, dengan gerakan yang agak ganjil.
Jenny membelakangi kamera yang sepertinya diletakkan di atas sebuah meja, sehingga menghalangi pandangan akan kegiatan mengoralnya.
Barulah ketika Jenny menggeser badannya kembali ke atas ranjang, mencari posisi lebih nyaman, aku kembali mendapat kejutan.
Julia kini bertopang dengan kedua tangannya di belakang tubuhnya sambil menengadah, membuka lebar kedua pahanya, menahan gelora kenikmatan hisapan demi hisapan Jenny di senjatanya yang mulus tanpa sehelai rambutpun.
Sesekali Jenny melepaskan hisapannya, hanya menjilati ujung kepala senjata Julia yang mengeras mengkilat, sambil jari tangan satunya memainkan kantung zakarnya yang tergantung.
“Wah nggak bener nih, gak jadi aku kembalikan deh..mending dimusnahin aja. Ini..sangat-sangat tidak baik, kalau Jenny tahu aku tahu.” Pikirku.

BLINGPONG

Muncul notifikasi Whatsapp.
Aku hanya melirik sekilas dari layar notifikasi, sambil menyipitkan mata.
*Jenny SG: halo Hil, kamu ada ne…*
Kututup hapeku dengan bantal.
“Kok kamu tau sih Jen?” aku menunjuk ke arah hapeku yang sudah tertutup bantal.
Kusilangkan kakiku, kembali menyimak video tadi.
Jantungku memukul-mukul dari balik buah dadaku.
“Cepet masukin honey…” mata Jenny sayu, memposisikan dirinya terlentang dan menguak ke samping bibir liang sorganya.
Julia merangkak ke arah Jenny, senjatanya mengkilap berayun-ayun.
Dipanjatinya Jenny, dilumat buah dadanya dengan brutal, dengan geraman-geraman maskulin.
Otot-otot lengan dan punggung Julia mengeras, berkilap dengan butiran keringat.
Gerakannya yang tadi lemah lembut, mulai menjadi kasar dan sigap.
“Ahhhhh….” Jenny menahan kepala Julia di dadanya, yang masih menggeram, sedang menyapukan lidahnya kesana kemari, menyebarkan impuls-impuls kenikmatan ke sekujur tubuh Jenny.
“Buruan masukin…..hohhhh…” Jenny kesetrum seluruh badannya diserang dengan kasar di buah dadanya.
Julia mendadak mundur, membuka lebar-lebar kaki Jenny, mengocok pelan senjatanya yang lengkungannya ke bawah.
Julia kembali lemah, dengan desahan pelan menyisipkan senjata kecilnya ke tengah-tengah pangkal paha Jenny yang besar itu.
“Oooooh…” Jenny terhentak.
“Ya honey…yaaahh…gituuu……” Jenny meraih kedua tangan Julia saling berhadapan.
Aku juga menekan-nekan selangkanganku yang masih terbungkus celana kerjaku.
“Jenny, kamu nakal ya…aku juga ingin seperti kamu” aku bicara sendiri, tak lepas menatap laptopku.
Di dalam layar, jari-jemari Jenny yang padat berisi bertemu dengan jari Julia yang lentik dan berurat.
Julia memejamkan mata, memajukan pinggulnya, memundurkannya, dan lagi..dan lagi.
Setiap millimeter tarikan dan dorongan senjatanya dirasakannya, dengan gerakan lembut namun kuat.
Saat menghujam, ditekannya selama dan sedalam mungkin, diimbangi dengan desahan tertahan Jenny, “Yes honey….like that…mmmmh”
Jenny bangkit, menopang badannya, perlahan tegak dan Julia perlahan menyambut ranjang dengan punggungnya, meluruskan kakinya.
“aku yang goyang ya honey…” Jenny dengan mata sayu menyibak rambutnya yang sebagian menempel di dahinya yang basah oleh keringat.
“Pelan-pelan ya dear…nanti aku keluar” Julia nampak pasrah.
Tanpa menjawab permintaan Julia tadi, Jenny meliuk-liukkan perutnya dan bokongnya yang tebal, diatas badan Julia yang tipis, dengan kelembutan yang sama dengan Julia tadi.
Badan Julia yang langsing nampak timbul tenggelam di ranjang, dikuasai oleh Jenny si bongsor yang sedang woman on top.
“Honey..maaf..” Jenny berbisik.
“Ya dear..?” Julia meringis, berjuang keras di bawah goyangan Jenny.
“Aku nggak tahannnn..lagii…” goyangan Jenny mendadak liar.
“Akuu…harus goyangg….ahhhhhh” Jenny memekik, mencakar pundak Julia.
Jenny menghentak-hentak, orgasmenya sudah menjemput.
Kembali Jenny menggoyang Julia dengan cepat “akuu masihh…mauhhhh..
“Akhhhhh…dearrr..lepasin duluhhhh…aku gak tahann…..” Julia mendorong Jenny dan mundur.
“Nungging honey…buruan…” perintah Jenny.
Julia berbalik, nungging membelakangi Jenny, dan dengan cepat Jenny meraih senjata Julia dari belakang.
“A..ahhhhh….keluarin pejuku dear…” Suara Julia sebagian terhalang bantal yang ditimpa mukanya.
Jenny mengocok senjata Julia dengan cepat dari belakang antara kedua kaki Julia.
“A…aku..ke…” Julia memekik terputus-putus.
Jenny dengan cepat memposisikan dirinya berhadapan dengan pantat Julia, dan menghisap senjata Julia
“Aaaaaaaaaaahhhhhh….”Julia terhentak-hentak badannya dalam keadaan nungging.
Jenny dengan tenang dan setia tetap di sana, tidak melepaskan bibirnya dari senjata Julia.
“Mmmmm…pejumu manis dear…..mmmmmmm” dikulumnya terus sampai senjata Julia basah oleh liur Jenny, namun tak tampak setetespun maninya tertinggal.

-bersambung-
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd