Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Petualangan Hilda 1

Lanjutan pendek 5: sebuah oase

Aku terbangun.
Plafon tua di atasku sedikit berputar, perlahan stabil.
Ini kamar kostku.
Rangkaian kejadian tadi masih berkelebat acak di benakku.
Aku belum menghimpun tenaga untuk menganalisanya, mimpi atau sungguhan.
Kuangkat kepala, memandang tubuh terlentangku.
Aku telanjang.
Bau keringat.
Kuraih selangkanganku, kudapati sisa-sisa lelehan sperma.
Ah, sial. Aku gak mau hamil.
Aku terisak, kututup wajahku sebisanya dengan kedua tanganku rapat.
"Mam... " Hanya itu yang bisa terucap.
Ya, mamaku.. Bukan Tuhan, atau yang lain.
Masihkah aku layak hidup?
"Mam.. Boleh aku ikut saja denganmu? " Air mataku semakin deras, mengalir ke telinga dan rambut coklatku.
Dalam hitam pandanganku, muncul setitik sinar putih.
Perlahan membesar, mulai menyilaukan.
"Hilda.. " Suara yang kuidam-idamkan menyapa halus.
"Jalan hidupmu masih panjang Hildaku.. "
Aku bingung.
Aku tidak tahu, sedang menutup atau membuka mata.
Kututup mataku, lalu kubuka.
Tetap sama.
Hanya cahaya putih yang sama.
"Mama gak bisa nolong kamu, cuma bisa nemenin nyemangatin dan hadir sebagai pengingat.. "
"T.. Tapi mam.. " Kucoba mengangkat tanganku meraih cahaya tadi.
Dan cahaya itupun meredup.
Berganti dinding kamarku yang sedikit mengelupas.
Aku kembali berhadapan dengan realita.
Aku bukan perempuan lemah.
Kalau memang harus mati, gapapa, toh akan ketemu mama juga.
Aku duduk, melihat ke lantai.
Pakaianku tadi terserak di lantai.
Kalau mereka mau mengulangi yang tadi, mereka harus berhadapan dulu dengan guntingku yang tajam ini.
Kubuka lemariku, kuraih gunting kain besar yang berujung lancip.
"Ini dia.. Kamu akan kubawa kemana-mana sekarang" Pesanku pada srigunting.
Aku baru hendak memungut pakaianku, hingga aku mendengar langkah kaki, lalu berhenti di depan kamarku.
Kugenggam erat srigunting, berlari ke arah pintu, lalu kubuka dengan cepat.
"Kurangaj... " Kuangkat gunting tadi.
"Woooo.. " Hamdi terduduk di lantai sambil mengangkat sebelah tangannya melindungi wajahnya.
"Ah.. Aduh.. " Aku sama kagetnya, dan bingung.
Aku mundur, membanting pintu lalu duduk di lantai juga.
"M.. Mbak... Maaf mbak.. Saya ngagetin.. " Terdengar suara Hamdi samar di balik pintu.
Aku hanya diam, menutup mataku.
Entah apa yang dipikirkannya.
"Aku pergi dulu ya mbak.. Maaf maaf.. "
"Eh.. " Aku berdiri, membuka pintu sedikit.
Aku sudah sadar, masih telanjang, hanya kumunculkan separuh wajahku dari daun pintu.
"Saya yang maaf. " Ucapku pelan dengan wajah sayu.
Hamdi masih menjaga jarak.
Aku paham.
Siapa juga yang gak menjaga jarak setelah baru saja diancam gunting oleh perempuan telanjang?
"Kenapa mas Hamdi nyari saya? " Aku belum bergeming dari posisi tadi.
"Anu.. Eh.. Gimana ya.. " Hamdi menengok ke belakang, ada yang merisaukannya.
"Saya masuk ya.. Lebih aman di dalam mbak.. Nanti saya jelasin, " desaknya.
"Masuk.. " Aku melebarkan pintu namun tetap menyembunyikan ketelanjanganku di balik pintu.
Segera kupungut bajuku, kupakai menutup dada sampai setengah pahaku.
"Gini mbak.. Oh aduh maaf.. " Hamdi menjadi salah tingkah menyadari aku belum berpakaian.
"Gapapa, cerita aja dulu mas.. " Aku menenangkan sambil duduk di tepi ranjangku.
"Mbak.. Aku mau kabur dari sini.. Aku dah liat semua.. " Suaranya sedikit bergetar.
"Kenapa mas? Duduk dulu, ceritakan perlahan. "
"Mereka.. Mereka semua jahat mbak, mereka komplotan.. " Hamdi ikut duduk di ranjangku memulai ceritanya.
"Salahku mbak.. Aku telat memperingatkan mbak Hilda.. "
"Bu Ratih, dan orang-orang itu mbak..pokoknya, kemasi segera barang-barangnya mbak, ikut aku dulu. " Tak menyelesaikan ceritanya, Hamdi bergegas keluar.
"Buruan mbak, aku sudah berkemas duluan tadi. " ucap Hamdi lagi setelah keluar.
Aku tak berpikir dua kali.
Dalam sekejap, aku sudah berpakaian, menenteng tas travel kecilku.
Aku hanya membawa seperlunya.
Aku bergegas keluar, Hamdi sudah di ujung tangga, melirik ke bawah, sesekali ke jendela, melirik ke samping dengan ransel di pundaknya.
Aku berlari-lari kecil ke Hamdi.
"Mbak, kalau ketemu bu Ratih, pura-pura semuanya baik-baik aja ya? Bilang aja kita mau ke Bandung ada interview kerja. "
Masuk akal juga pikirku.
Ya, aku sebenarnya tidak berpikir lagi sekarang, hanya coba mengikuti insting.
Kami sedikit berlari menuruni tangga.
Rumah nampak kosong.
Sesaat setelah keluar ke teras depan, benar saja, ada bu Ratih di pagar depan, seperti sedang menunggu sesuatu melirik ke jalan.
"Ayo.. Ingat yang tadi ya.. "
Aku berjalan santai di samping Hamdi, memasang senyum dan muka rileks.
"Eh.. Neng Hilda.. Mau kemana? " Sapa bu Ratih segera setelah menyadari kehadiran kami.
"Mau ke Bandung bu, ada interview disana. Ini pas banget mbak Hilda juga ada interview disana, jadi bareng aja. "Hamdi menjawab.
Aku hanya mengangguk tersenyum mengiyakan penjelasan Hamdi.
"Ah.. Neng Hilda, ibu senang. Bener kan, berbuah juga penantiannya. "
"Ah bu Ratih, ini kan baru interview.. Belum pasti keterima juga. "
"Maaf bu Ratih, kami jalan ya, biar ga ketinggalan kereta. " Hamdi membuatnya secepat mungkin.
Aku terpikir juga jangan sampai bu Ratih mencoba mengulur-ulur waktu karena suatu hal.
"Iya.. Eh tunggu bentar ya neng.. Ibu mau nitip sesuatu. " Bu Ratih melangkah cepat ke dalam rumah.
"Aduh.. " Bisik Hamdi.
Bu Ratih sudah menghilang ke balik pintu kaca teras depan.
Semenit, dua menit berlalu.
Rasanya mulai terlalu lama.
Hamdi memasuki kembali pekarangan, melongok ke dalam rumah.
Tiba-tiba ia berlari kembali ke arahku.
"Ayo pergi! " Ia melewatiku sambil menarik tanganku melewati pagar.
Kami masih berlari-lari kecil menenteng tas masing-masing menuju jalan utama yang hanya beberapa belas meter.
Kami tetap berjalan dengan tergesa, tanpa berbicara satu sama lain.
Beberapa kali Hamdi menoleh ke belakang.
Setelah cukup jauh, dan suasana jalanan sedikit ramai, ia memelankan langkahnya.
"Tadi.. " Hamdi menoleh lagi ke belakang.
"Tadi.. Bu Ratih masuk untuk nelpon.. Aku liat dari pintu kaca. "
"Dia lagi ngulur waktu, pasti nelpon komplotan tadi lagi. "lanjut Hamdi.
" Kita mau kemana sekarang? " Tanyaku.
"Ke kost temanku aja, lagi kosong, tapi aku slalu pegang kunci serepnya.. Kita naik angkot itu aja. "
Sejurus kemudian aku melihat mikrolet biru mendekat.
"Mbak di depan aja, belakang sudah penuh.. Nanti aku yang bilang abangnya kalo udah nyampe. "
Aku duduk di depan, merenungi semua yang terjadi di atas kaleng bermesin ini.
Jalanan masih sepi, khas masa pandemik.
Jam tanganku ketinggalan.
Kulirik lampu di dashboard mikrolet.. Pukul 17:21.
Kulirik dari spion, lutut dan sepatu Hamdi nampak menyembul dari pintu.
"Depan kiri ya bang.. " terdengar suara Hamdi dari belakang.
Aku bergegas mengeluarkan lembaran 10ribuan.
Si abang belum berhenti juga, masih santai menyetir sambil mendengarkan lagu yang bising.
"Bang.. Kiri.. " Aku berbicara agak keras.
"Oh.. Iya mbak.. Depan dikit ya.. " Abang sopir mendadak tersadar.
Kusodorkan uang 10ribuan tadi.. Lalu kuterima kembaliannya tanpa menghitung lagi, segera kumasukkan ke saku celana jeansku.
Kami turun, jalan bersebelahan memasuki jalanan kecil dengan rumah-rumah satu lantai model lama kiri kanannya.
"Ini dia mbak, kost teman saya.. Dia lagi pulang ke Bali dan belum balik sejak pandemi. " Kami tiba di depan kontrakan deret, total ada 3 kontrakan berwajah sama.
"Mbak masuk dulu ya... Aku mau beli nasgor dulu di depan, sekalian makan malam. "
Aku masuk, menyalakan lampu ruang tamu yang sekaligus kamar.
Hanya ada pemisah kecil dengan wc dan dapur di belakang.
Hamdi sudah menghilang, tasnya saja lupa ditaruh dulu.
Kututup pintu dari dalam, dan duduk berselonjor di atas karpet dengan beberapa bantal di sudut.
"Huffff... " Ini mungkin momen paling melegakan hari ini.

-bersambung-
-segera-
 
Lanjutan 6: tabir kecil

Perutku berbunyi.
Cocoklah kalau Hamdi pesan nasgor, sekali suap habis nih.
Kuambil HP ku dari kantong celana depan.
Wah 6 missed call.
Semuanya dari bu Ratih.
Ada teks whatsapp juga.
Kuberanikan diri membukanya.

Bu Ratih kost: neng tadi kok lgsg pergi? Udah sore juga sendirian ga baik, tadi bu Ratih mau ngasih cemilan..

Bu Ratih kost: sekalian nelpon mesanin ojol, biar langsung sampai Gambir

Bu Ratih kost: gpp, hati2 di jln ya neng.. Ibu telpon2 mgkn sdh km silent

Aku merasa ada perasaan bersalah sama bu Ratih juga.
Aku ke belakang, mengambil gelas kaca yang masih tertelungkup, mengisinya dengan air dari dispenser.
Seharian aku belum minum sejak kejadian tadi siang.
Tunggu dulu, sepertinya ada yang janggal.
Mendadak bulu kudukku berdiri.
Kuletakkan gelas di meja cuci piring, lalu kembali meraih hp ku.
Kubaca kembali teks whatsapp tadi.
Kurogoh kantong celana jeansku, mencari kembalian mikrolet tadi.
Selembar seribuan lusuh dan selembar lima ribuan.
Aku berlari ke halaman kontrakan itu.
Aku mencari-cari jejak kaki kami di halaman yang sebagian berpasir.
Ya, cuma ada jejak kakiku seorang.
Hamdi itu, tidak ada.
Aku melihat ke langit sore yang mulai keunguan.
Kucoba mengingat-ingat kembali peristiwa demi peristiwa.
Siapa yang pernah bertemu Hamdi selain aku?
Bu Ratih tidak pernah, bahkan saat hari pertama Hamdi tiba.
Bu Ratih hanya mengabari kalau akan ada penghuni baru.
Saat kami makan malam, Hamdi tidak sekalipun muncul.
Siapa dia?
Dan kembalian mikrolet tadi, 6 ribu.
Berarti abang sopir hanya menghitung 1 orang.
Abang sopir juga tidak bereaksi ketika Hamdi meminta menepi.
Apakah Hamdi sungguhan? Khayalanku?
"Ngapain mbak berdiri di situ? Udah mau magrib, ke dalam aja.. Nanti abangnya yang bawain nasgornya.. Udah kenal saya soalnya." Suara Hamdi memecah lamunanku.
Aku masuk ke kontrakan.
"Aku mandi duluan ya mbak.. Gerah hari ini. Nanti baru aku ceritain sambil makan. "
Hamdi melewatiku, aku bisa mencium aroma deodorantnya.
Aroma ini bagian dari khayalanku juga?
Sambil menunggu Hamdi mandi, pikiranku campur aduk.
Aku sampai mendekati pintu kamar mandi, menguping, mendengarkan suara siraman gayung mengenai pintu kayu yang bagian bawahnya sudah lapuk.
Aku bisa merasakan sedikit percikan airnya keluar dari bawah pintu.
"Mas.. Nasgornya mas.. "
Aku bergegas keluar.
"Mas.. Eh mbak.. Ini pesanan masnya tadi. "
"Eh.bang.. Beneran ini mas Hamdi yang pesan tadi? "
Abang nasgor terdiam sejenak.
Lalu tertawa renyah.
"Hahaha.. Ya iya donk mbak.. Masa tetangganya yang mesenin. Makasih ya mbak.. " Abang nasgorpun berlalu.
Ah, kebanyakan pikiran, yang jelas nasgor ini sungguhan.
Aku sempat menimang-nimangnya untuk memastikan nasgor ini memiliki bobot.
"Eh udah ada nasgornya.. Yuk mandi dulu mbaknya baru kita makan. "
Aku sampai terkaget melihat Hamdi yang cepat sekali mandinya, dengan posisi handukan.
"Kita makan dulu deh baru aku mandi ya.. Udah ga tahan.. " pintaku.
"Iya.. Terserah mbak aja.. Aku salin dulu ya. "
Hamdi menutup tirai ruang tengah yang menjadi pembatas portable antara ruang karpet depan dengan kamar tidur yang sebenarnya tak bersekat.
"Piring sendok ambil di belakang aja mbak" Hamdi berseru dari balik tirai.
Aku melewati tirai tadi untuk menuju belakang.
Kulirik sejenak bokong Hamdi yang sedang memakai celana dalam.
Bokong itu khayalan juga?
Kutepis pikiranku dan segera mengambil piring lalu kembali ke depan.
Kualasi masing-masing bungkusan nasgor tadi dengan piring kaca bening.
"Aku makan duluan ya.. " Dan sebelum jawaban terdengar, suapan pertama sudah memenuhi rongga mulutku.
"Ya mbak. "
Dan saat Hamdi sudah salinan, piringku tinggal setengah.
Hamdi duduk bersila menggunakan celana pendek longgar, membuka perlahan bungkusan nasgor bagiannya.
"Bagus mbaknya nggak mandi dulu.. Karena aku juga udah la.. " Kalimatnya terpotong, melihat piring kosongku.
Aku baru saja melayangkan suapan terakhir ke mulutku.
"Wah cepat skali makannya mbak.. Jangan-jangan porsinya dikit sekarang, " Sambung Hamdi sambil melihat isi bungkusan nasgornya.
No, isinya banyak kok, cuma dia belum tau aja kecepatan makan seorang Hilda yang kelaparan akibat digangbang tadi siang.
Momen makan nasgor itu aku manfaatkan sebaik-baiknya mengamati Hamdi lagi.
Setiap detail.
Masa iya khayalan?
Kuamati setiap suapannya, setiap suara "cp cp cp cp"nya saat mengunyah dengan lahap, dan berakhir pada kulit pahanya yang halus meski sedikit berbulu.
Mulai deh.
" Jadi, gimana tadi di bu Ratih? " Aku membuka percakapan.
"Cp cp.. Mmm.. Iya.. Itu.. " Hamdi mengangkat sendoknya hendak memberi penjelasan.
"Makan dulu deh mas.. Ntar keselek. "
"Mm.. Okwe.. Cp cp cp.. "
Kuambilkan segelas air.
Setelah suapan akhir yang diselesaikannya dengan cepat, Hamdi segera meneguk airnya.
"Ahhh.. Segar.. Ok begini.. " Ucap Hamdi sambil meletakkan gelasnya tanpa menimbulkan suara.
Ya iya diletakkannya di karpet.
"Aku melihat semuanya di sebelah.. Dan, aku gak bisa melakukan apa-apa karena.. " Hamdipun terdiam.
"Sebentar, aku nambah air dulu, mau cegukan. "
Hamdi segera kembali dari belakang dengan gelasnya terisi penuh.
"Ya.. Aku ngeliat semuanya, dan sudah tahu dari hari sebelumnya, pas nguping percakapan bu Ratih di telepon. "
Diletakkannya gelas penuh air itu di karpet lagi.
"Diminum dong, nanti kamu cegukan. "
"Knapa? Oh iya ya.. " Diminumnya segera cepat-cepat sampai tersisa setengah gelas.
"Sampai dimana tadi? Oh iya, percakapan bu Ratih di.. "
"Sebentar, kamu belum nerusin kalimat pertama tadi.. " Potongku cepat.
"Kalimat yang mana? "
"Waduh.. Masih muda udah lupaan.. Aku bantu yaa.. Kalimat "dan aku gak bisa melakukan apa-apa karena...? "
Hamdi terdiam lagi.
"Karena aku pengecut. " Jawabnya sedih.
"Bukan karena sebenarnya kamu gak berwujud kan? "
Sebuah pertanyaan klimaks.
Kalau di film-film, mungkin adegan ini disertai suara guntur, kilatan petir, dan lampu mendadak mati.
Aku membuka hp ku, menunjukkan padanya chat bu Ratih.
"Bu Ratih gak pernah ngeliat kamu mas. "
"Tapi aku belum berterima kasih atas bantuanmu tadi mas.. Tapi, kamu sebenarnya siapa? Atau.. Apa? "
Hamdi tersenyum.
"Mbak.. "
"Maaf aku gak bisa menjawabnya.. Paling tidak, penjelasannya tidak bisa terbaca oleh logika manusia. "
"Well.. Try me" Tantangku.
"Begini, mbak pasti mengenal istilah karma? "
"Yes.. "
"Nah, aku itu bagian dari sistem karmanya mbak Hilda. "
"Trus? "
"Ya udah gitu doang. "
Aku dari penasaran menjadi tertawa dalam hati, mending mandi dulu.
"Nanti aja lanjutnya, aku mandi dulu ya mas. "
"Silahkan mbak.. Sabun dan sampo seadanya ya.. "
Guyuran air dari bak mandi ini segar sekali.
Segar dan dingin.
Aku mandi sebersih-bersihnya, bersih dari dosa-dosa siang tadi.
Dosa yang nikmat.
Dosa yang membuatku menangis sekaligus orgasme.
Aku tersadar ada yang kurang.
Handuk.
Ah bodo amat, si Hamdi juga udah pernah liat aku digangbang kuli-kuli itu.
Aku keluar kamar mandi dan melap tubuhku dengan baju bekasku tadi.
"Mas, boleh ambilkan tasku kesini? " Aku mengintip dari balik tirai.
Hamdi bergegas berdiri membawakan tasku.
Entah kenapa dan bagaimana, aku spontan menarik tangan Hamdi ke balik tirai.
Aku terduduk ke belakang dan Hamdi di atasku, posisi muka kami berhadap-hadapan.
"Oh.. Aduh, maaf mbak.. " Hamdi buru-buru berdiri.
"Mas.. " Kugenggam lengannya.
"Aku tadi belum berterima kasih kan sama mas. "
Kutarik lengannya sehingga Hamdi perlahan duduk di sampingku.
"Kamu semacam malaikat pelindungku gitu ya? " Tanyaku lembut.
Kuraih wajahnya, kupagut bibirnya.
Kami duduk di lantai depan WC di balik tirai.
Aku yang masih telanjang, yang baru saja mendinginkan kepala dengan mandi, mendadak kembali panas.
"Malaikat bisa keras juga nggak ininya? " Bisikku sambil tetap memagutnya.
Kuraba selangkangan Hamdi dari balik celana longgarnya.
Hamdi diam saja, balas saling berpagutan denganku.
Kulit wajahnya lembut, klimis tanpa kumis dan janggut.
Kuselipkan tanganku ke dalam CD nya.
Ternyata malaikat, atau apapun dia, bukan khayalan.
Saat ini aku sedang merasakan tekstur kontolnya, merasakan kulitnya yang lembut, tonjolan urat, dan bulu halus di pangkalnya.
Ini nyata.
Nyata dan keras.. Dan semakin mengeras.
Nafas Hamdi mulai memburu ketika kukocok lembut kontolnya yang sudah keras seperti batu akik.
"Sini mas, aku mau coba kontolmu sungguhan nggak. " Aku bergeser ke bawah, menarik celana pendek beserta CD nya lolos dari tubuhnya.
Dan berdiri tegaklah kontol Hamdi, malaikatku yang tampan.
Seandainya ada beberapa Hamdi yang menyetubuhiku, daripada kuli-kuli tadi, mungkin orgasmeku bisa lebih hebat.
Aku mendekat, giliran kontol Hamdi yang kupagut.
Kuhisap, kujilati, kupuaskan dengan berbagai cara.
Hamdi hanya berselonjor, menopang badannya dengan tangan di samping.
Matanya tertutup menahan kenikmatan.
"M.. Mbak.. "
"Iya sayang? " Jawabku sambil tetap menjilati bagian bawah kontolnya.
"A.. Aku gak bisa begini.. " Ujarnya gemetaran.
"Mbak gak perlu begini...
" Memang aku gak perlu mas.. Tapi aku ingin sekali. " Sambil kukocok lembut perlahan kontolnya yang semakin mengkilat.
"Aku pengen dientot kamu sayang.. Aku belum pernah ngerasain kontol cowok tampan kayak kamu... Mmmm" Kulanjutkan mengulum.
Liang sorgaku sudah berdenyut-denyut, menanti sapuan kontol Hamdi.
"Kamu udah pernah beginian belum mas? "tanyaku manja.
" Belum mbak... Aishhh.. " Hamdi kegelian ketika kujilati topi baja kontolnya.
"Masa tampan kayak kamu gak ada cewek klepek-klepek mas? "
"B.. Bukan gitu mbak... O.. Ohhh enaknya mbak... Ahhhh... "
"Aku kasih memek pertama buat kamu kalau gitu ya.. " Aku berdiri, menduduki kepala kontol Hamdi yang tegak seperti tiang hydrant.
Liang sorgaku sudah basah sekali.
Kuturunkan tubuhku perlahan, liang basahku dengan mudahnya menjepit kontol Hamdi, cm demi cm perlahan masuk.

BLESSS

Mulailah percintaan kami, seorang panlok chubby dengan seorang, entahlah mungkin malaikat yang tampan.
Aku menggoyang tiang hyrant Hamdi maju mundur, di balik tirai kontrakan, yang pintu depannya bahkan belum sempat ditutup.
Aku mendorong lembut Hamdi, agar dia telentang di lantai.
Kogoyang semakin cepat, aku ingin segera merasakan orgasme tanpa akhir.
Aku ingin, semesta kenikmatan itu muncul lagi, kali ini dengan pria yang tepat.
"Ahhhh.. Ouhhh.. Hoohhhh.. Oohhhhh... " Aku sudah siap, dengan liang sorgaku dan kontol Hamdi yang masih sekeras batu berkecipak, beradu di bawah sana.
"Ahhhhhhhkk... " Aku berhenti menggoyang Hamdi.
Badanku menegang, liang sorgaku menjepit kuat kontol Hamdi.
"Akhh.. Akhhhh.. Ah.. Ahh.. " Aku tersentak pada orgasme-orgasme yang berbaris rapat ini.
Hamdi hanya terdiam saja, tangannya pun tidak memainkan buah dadaku.
Tapi aku puas, bahkan dengan hanya diamnya Hamdi, aku sudah multi orgasme.
"Mmmh... " Aku terkulai menindih tubuh Hamdi.
Kupagut kembali bibir lembutnya, di antara kulit wajah kami yang berpeluh.

-bersambung-
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd