Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Perlu pakai bahasa resmi negara nggak nih ? (bahasa Inggris, Itala, Jerman, Dll)

  • Ya ! (biar feel dramanya terasa) / dua-duanya nggak papa

    Votes: 38 17,8%
  • Nggak usah ! (Bahasa Indo aja, biar gampang)

    Votes: 176 82,2%

  • Total voters
    214
!! Next Update :

S1E07 ‘TRADISI FURBIZIA’

“Dalam budaya barat, saat bangsa Inggris maupun orang-orang Perancis menjunjung tinggi wibawa dengan maskulinitas kelas atas. Masyarakat Italia agaknya tidak peduli dengan budaya seperti ini.

Karena mereka lebih mempercayai ‘Furbizia’. Seni licik namun tidak dilarang bagi seseorang untuk memenangkan lomba.

Luciana Viagnelli (Monica Bellucci) mengambil langkah lebih berani daripada Barry (Benicio Del Toro). Ia berpikir untuk melangkah 1 kaki lebih maju.


Semua orang yang disebut berkaitan dengan plot penangkapan Ayah Lucia, Miguel saudara laki-lakinya, dan Gio sang suami, satu persatu coba ia temui.

Sialnya, itu sudah sejak lama terjadi sementara baru sekarang Lucia coba mencari ‘keadilan’ yang jelas untuk mereka.

Awalnya, Lucia masih menduga ini semua hanya praktik ‘politik kotor’ biasa yang dilakukan untuk menghancurkan karir mereka bertiga, namun pada kenyataannya lebih dari itu.
Lucia tidak akan menyangka, bahwa dengan keberaniannya coba membuka kasus ‘abu-abu’ ini sama artinya juga menyeret dirinya ke dalam plot operasi khusus intelijen...
Edisi ke tujuh, sang pengungkap fakta !”

- Sanji_blackleg
** Oh ya, supaya paham jangan lupa baca Intro S1E07 dan keterangan baca pada halaman sebelumnya ! Wassalam...
 
Terakhir diubah:
EPISODE 7 PART I : TRADISI ‘FURBIZIA’
1999's



(Hotel dan Casino dell’Aurora Roma)
5 April 1999 | Pukul (UTC+1) 07.30 malam

Sehari pasca pertemuan...
Sedan Jaguar XJ8 warna silver edisi 1998 menikung dengan mulus, ‘mengeblong’ antrean mobil dari sisi jalan lain, tetap saja malah dipersilahkan masuk ke basement hotel oleh penjaga.

‘Grrngggggg...’
‘Tin! Tin!’

(Bunyi klakson antrean mobil)

Sepanjang 1 km mobil di belakang, sudah kesal karena 30 menitan menunggu antrean masuk, cuma bisa melongo dan melirik sinis siapapun dibalik kemudi Jaguar barusan.

“Bastardo !” (Woy, Kampret !)

Sebagian dari mereka mau repot-repot membuka jendela, mengeluarkan jari tengah dan mengumpat dengan bahasa kotor.

Sepanjang perjalanan ke tempat ini, Lucia tak henti-hentinya menilik tiap jalanan Boulevard. Dengan atraksi cahaya air mancur yang memukau.

“Bukan orang sembarangan yang bisa masuk apalagi bahkan membayar iuran suap di sini. Sudah bukan rahasia umum di koran-koran, tiap akhir pekan pejabat seperti walikota bahkan gubernur dari region (provinsi) lainnya datang ke sini. Sekedar bertaruh kecil-kecilan.” - Lucia

Deretan mobil Limousine terparkir. Juga bangunan-bangunan hotel, resort abad pertengahan yang menyajikan meja-meja judi berhadiah senilai jutaan dolar.

Kawasan perumahan elit yang disulap menjadi pusat judi dan taruhan legal di Roma. Mungkin salah satu yang terbesar saat itu.

Keterangan alih bahasa :
🇮🇹 : Percakapan Native bahasa Italia
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇩🇪 : Percakapan Native bahasa Jerman

(🇮🇹)

“Sudah biasa mencuri antrian?” tanya Lucia, agak sinis ke sosok pria tua pengemudi di sampingnya.

Mobil Jaguar tadi memasuki area basement, sempat berkeliling mencari tempat kosong. Baru pukul 7 malam, hotel casino disini memang biasa sudah full house.

“Oh, ayolah jangan rusak rencana kencan kita dengan kesan seperti itu.”

‘Priittt ! Pritttt !’

Seorang petugas valet parkir menangkap kegelisahan si pengemudi. Kemudian menawarkan jasanya.

Menunjuk si petugas valet. “Pria di sana itu, juga semua penjaga, sudah tahu aku ini siapa.” jawabannya masih saja arogan, menyombongkan diri.

“Si ? (Oh ya?) Itu membenarkamu untuk melangkahi antrian barusan?”

“Kenapa begitu mempermasalahkan antrian, bu Lucia?” Si pria tua bertanya demikian, namun cuek membuka jendela untuk memberikan tip ke tukang valet.

‘Jglek!’

Guitano tergopoh saat membukakan pintu untuk Lucia, busana yang pria ini gunakan terlalu kuno bagi Lucy.

“Mi scusi (maaf), biarkan aku disini untuk sementara, sampai selesai (merias). Aku perlu menebalkan make up. Pak Guitano masuk duluan saja,”

Che diavolo?! (Ada apa denganmu?!)” habis sudah kesabaran Pak Guitano untuk meladeninya.

Apetta (tunggu), awalnya kau mengatakan hanya untuk makan malam, bertemu seorang kolega, kenapa malah berakhir di tempat judi?” tantang Lucy.

Selalu pamer, memperlihatkan ini-itu berpikir bisa membuat Lucy berkesan. Padahal muak dan menjijikan melihat sifat angkuhnya dengan hal-hal sekecil ini.

“Aku tidak suka dipaksa, apa kupanggil saja taksi dan pulang ke Salerno?” ancam Lucia kepada si tua Guitano, menegaskan dirinyalah yang memegang kendali.

‘Jglek!’

Guitano membanting pintu keras, masuk ke lobby casino lebih dulu, meninggalkan Lucia yang tengah mengoleskan lipstik.

“Huh! Maledetta cagna ! (Dasar janda sialan!)”

Merajuk. Rusak sudah mood si profesor mesum di kencan pertama mereka.

....

Di dalam Casino...
Lucia tampil anggun, gaun malam warna hitam model punggung terbuka. Tapi jangan sombong, ada banyak perempuan sepertinya bahkan lebih muda dan seksi menemani para tamu.

Sebagian dari mereka sudah digiring ke kamar-kamar melalui lobby.

Tidak sulit menemukan meja pertemuan. Guitano sudah memberinya ‘karcis’ ke ruangan VIP.

Ada pesan dari Guitano kepada Lucia sebelum mereka berdua masuk :

“Mereka akan terlihat akrab, namun sejatinya tidak saling mengenal. Jadi, lakukan sewajarnya. Jangan terlalu gugup apalagi sampai membuatmu terlihat seperti anak magang. Ramah dan basa-basi adalah hal yang utama.”
‘Fyuhhh~’

Lucia menghela nafas begitu tiba di depan pintu ruang VIP ‘201’.

‘Ngikkkk—’, Lucia masuk, seorang penjaga langsung menutup pintu.

Di dalam, delapan pria tengah berkumpul. Termasuk Pak Guitano. Semuanya mengenakan jas, dengan kerlipan aksesoris serba emas, mirip acara reuni angakatan ayahnya dulu.

‘Trkk ! Trngg !’, mereka bersulang gelas saat Lucia baru saja masuk.

Yang memberi sambutan, sosok kakek tua dengan rambut putih. Lebih tua dari Guitano.

Beliau duduk di antara lima orang, menyorot kepada tiga lelaki lain yang berjaga setelah mempersilahkan Lucia masuk.

Ya, hanya Lucia perempuan pilihan Guitano malam ini.

Sosok kakek tua beruban yang barusan, biasa Guitano panggil ‘Don scontrose’ yang artinya ‘Tuan Pemarah’.

“signore (Tuan), ijin kan saya memperkenalkan staf Rumah Tangga baru di keluarga ini. Aku sudah kenal lama, Nn. Claudia Cantore bisa diandalkan.” Guitano berbisik nyaring kepadanya.

Guitano mengenalkan Lucia sebagai nama lain kepada kakek ini. Sesuai ‘rencana’ mereka sebelumnya.

“Grazie, per la cena stasera sig.(Terima kasih, atas jamuannya malam ini, pak)”

Lucia berbisik, mendekati telinga kakek misterius ini.

MEHJYWZ_t.gif

“Ho portato vino locale da casa. (Aku juga bawakan anggur lokal dari perkebunan sendiri). Mau mencicipi?” menawarkan hadiah untuk si kakek.

Sebelumnya Guitano juga mengatakan kalau Pak Tua ini punya masalah pendengaran.

Jadi, hal wajar jika Guitano, Lucia dan tamu-tamu lainnya berkomunikasi dengan berbisik seperti itu.

“Eheum...”

Mengangguk, mengiyakan, tak peduli. Tidak seperti yang Lucia harapkan. Pembawaan si Kakek tua terkesan remeh, pun mempersilahkan Lucia mengambil bingkisan anggurnya. Diikuti lirikan sinis orang-orang diujung ruangan.

“Semuanya dingin. Apa pembawaanku kurang menarik? Seolah bertanya-tanya, dari keluarga mana aku ini? Ungkapan tersirat, enyahlah kau dari sini. Tapi, bagaimana sebelumnya aku berada di tempat semacam ini bersama Guitano?” - Lucia




(Rumah Lucia, kota Salerno)
2 April 1999 | Pukul (UTC+1) 8.15 malam

Flashback. Distrik San Giovanni, 3 hari sebelumnya.

Roxanne
You don't have to sell your body to the night
His eyes upon your face
His hand upon your hand
His lips caress your skin

It's more than I can stand~

Alunan musik dansa ‘El Tango De Roxanne’ dari musisi José Feliciano menggema. Musik hits terbaru. Bercampur dengan suara bising serangga malam...

‘Krikk... Krik... Krikkk...’
(Suara berisik jangkrik bercampur dinginnya udara malam)

“Terlalu larut bagi siapapun untuk bertamu ataupun menerima tamu. Tapi siapa yang peduli dengan seorang janda sepertiku?” - Lucia
Di antara alunan dan volume keras turntable. Wajah Lucia sudah begitu masam dan bosan meladeni ajakan dansa Pak Guitano yang entah tanpa janji terlebih dahulu, bertamu ke rumah.

Saat kedatangan Pak Guitano, Lucia belum sempat mandi atau ganti baju. Kebetulan Lucia baru saja pulang dari perkebunan karena urusan ijin ekspor anggur yang tengah ia proses.

Yah, memang belum dikatakan larut.

Namun, apa pantas lelaki beristri ‘nekat’ masuk berduaan ke rumah seorang janda paling ‘wangi’ seantero San Giovanni?

Bakal runyam kalau seseorang lewat atau mergoki, pasti jadi bahan ghibah dan fitnah untuk Lucia keesokan harinya.

Karena ogah berbasa-basi, Lucia persilahkan saja ia masuk. Pikirnya, urusan orang ini cuma mengantar oleh-oleh yang dibawakan Nyonya Guitano setelah pulang dari luar negeri.

(🇮🇹)
“Sudah hampir jam 9 malam, sebaiknya anda pulang sebelum Renato tiba.” imbau Lucia sementara kedua tangannya saling berpegangan dengan Pak Guitano saat mereka berdansa.

“Oh ya? Hahaha aku sampai lupa waktu bu Lucia,” jawab Pak Guitano enteng. “Memang kemana anakmu jam segini pergi?” tanyanya.

“Huh? Bukankah sekolah mengadakan wisata edukasi hari ini ? Biasanya ‘Miki’ mengantar sebelum pukul 9 malam.” tanya Lucia, seharusnya soal ini beliau sudah tau.

“Oh maaf, hahaha. Aku lupa kalau agenda kegiatan itu yang seharusnya hanya sehari jadi 2 hari sampai besok? Tebak karena apa?”

“Scusi ? (Maaf?)”

Mereka berdua masih berlenggak-lenggok. Berdansa. Dalam iringan musik yang sudah berputar untuk kali ke-4.

Terang saja, Lucia sudah jijik, muak dan ingin segera menendangnya keluar jika mulai kurang ajar.

“Supaya aku punya kesempatan menginap malam ini ... hahaha,”

‘Plak !’

Tangan Pak Guitano yang semula di pinggul Lucia, lancang turun menepuk keras bokong Lucia.

“Huh? Dannazione! (Kurang ajar!)”

Lucia langsung melepas pegangan tangan mereka berdua. Merasa aneh, Lucia sedikit mendorongnya.

“Hehehe juga soal ‘ongkos’ bensin perjalanan kita berdua ke Roma besok. Masih ingat soal agenda kita?” tanya Pak Guitano

‘Degh!’

Lucia baru ingat. Perjanjian tak waras yang telah ia setujui dengan tua bangka satu ini.

Semuanya, soal orang-orang partai yang Guitano ketahui terlibat dalam plot penangkapan Ayah, Miguel saudara laki-lakinya, dan juga Gio suaminya.

Sehari setelah pelecehan yang menimpanya. Pak Guitano malah makin menjadi-jadi. Guitano jadi sangat terobsesi dan makin berani mengganggunya, mengirimkan banyak sekali bunga dan pesan romantis anonim di teras sampai pagi ini.

“Sekitar dua hari yang lalu. Pagi sekali saat aku mengantar Renato ke sekolah. Apes, aku malah bertemu si tua ini, niat sekali mencegatku di koridor kantor staf pengajar. Dia memaksa menyeret dan hendak melecehkanku di ruang kerjanya. Beruntung seorang wali murid yang sudah hafal dengan ‘kelainan’ si Guitano, segera membawa ku pergi. Mencegah Guitano melakukan hal yang menjijikkan kepadaku. Gila, dasar sinting memang!” - Lucia

Pak Guitano juga tak kehabisan akal. Semakin Lucia menolak dan menjauhinya, obsesi dan sugesti cabulnya malah makin menjadi-jadi.

Guitano mempersiapkan semuanya, termasuk ‘mengkondisikan Renato untuk tidak dirumah’ khusus malam ini.

“Pak, sudah kubilang aku bisa pergi sendiri tanpa bantuan mu. Cukup berikan alamat dan kartu nama kolegamu itu.” tolak Lucia.

“Hmm... enak saja! Ibu pikir mereka orang sembarangan. Ibu pikir aku menemanimu hanya untuk bersenang-senang, Nn. Lucia?” Pak Guitano mulai menunjukkan perangai aslinya.

Lucia gemetaran saat menyodorkan uang kepadanya.

“Itu. ‘ongkos bensinmu’. Ambil saja kembaliannya dan aku mohon segeralah pulang!”


“Lho-lho. Kalo cuman receh segini, mending buat beli rokok!” balasnya cuek sesaat kemudian langsung melempar pemberian uang Lucia tadi.

“Bayaranku 2x lipat malam ini sayang~ karena bu Lucia sendiri yang lancang menolak ajakan (ngewe) di ruangan ku tempo hari. Hahaha.” tawanya angkuh.


“Ehmm, Enggak Pak! nggak!”

“Kau jelas tau kebiasaan orang Italia kan? jika gagal mendapatkan dengan cara normal. Dapatkan dengan cara lain nan tak kalah cantik. ‘Furbizia’, bisa berarti curang yang diagungkan!” ocehan Pak Guitano semakin menyeramkan bagi Lucia.

Lucia mundur perlahan, tangannya ke belakang berupaya meraih gagang payung di anak tangga menuju lantai atas. Saat ‘paham’ maksud ucapan Pak Guitano barusan.

‘Degh!’

Kaget, saat tidak menemui benda apapun untuk mempertahankan dirinya saat itu. Termasuk payungnya.

“T-tutto questo è un malinteso (I-Ini semua salah paham), A-anda bilang hanya mengantar oleh-oleh?”

“Loh? Cuma nganter oleh-oleh? Apa maksudmu?” kata Pak Guitano coba meraihnya untuk berpelukan.

Lucia terpojok. Ia berusaha menghindarinya dengan setengah berlarian naik ke kamarnya di lantai atas. Sialnya Pak Guitano yang sudah kelewat mupeng malah kegirangan saat berkejaran seperti ini.

“M-maaf! Tidak ada tempat untuk Pak Guitano malam ini. Besok pagi saya harus mengurus perkebunan. Anda sudah mabuk, Ah! ini kelewatan!”

“Hahaha... ayolah! Kita bisa memulainya tanpa paksaan seperti saat pertama.”

Lucia bersusah payah menghindari tangan gila itu yang sesekali menyingkap dress hitam Lucia. Namun tidak cukup kuat untuk menahan gejolak nafsu si tua bangka ini.

“Ouh! Ough! Non mi infastidire! (Kumohon jangan ganggu aku lagi!) Nggak! Nggak! Akhhh!” Lucia kerepotan saat tiba di bordes pintu kamarnya.

Ia mengiba dan coba mempertahankan harga dirinya. Namun pak Guitano tetap tidak peduli dan terus berusaha menyingkap rok bawahan dress, sementara Lucia coba menahannya.

“Istriku sudah cukup tua untuk berada di ranjang. Bukankah aku sosok yang tepat untukmu, bu Lucia ku sayang?” celotehnya sudah hilang akal.

Malang. Lucia sendiri yang didorong paksa Pak Guitano masuk ke kamar.

‘Krkkkk! Krrttttt!’, Dress Lucia dibredel paksa.


“Ouh! Arghhh! Tolongggg! Ampunnn! No, per favore (Kumohon jangan lagi), Nggak! Nggak!

Teriakan Histeris Lucia saat Pak Guitano merusak dress hitamnya.

“Pas malu-malu seolah menolak seperti ini, justru yang ‘di bawah ini’ malah makin tegang aja lho bu, Hahaha.”

Beberapa kali kerepotan saat Pak Guitano coba melorotkan Bra berikut dalaman yang menghalangi. Stoking-legs Lucia juga tidak luput dirusak Pak Guitano.

‘Ngggkkk... Ngikkkk...
Ngikkk ! Ngikkk !’
(Suara Ranjang berderit)

Lucia dipaksa merebah di ranjang. Ranjang usang, peninggalan Gio yang menjadi kebanggaan keduanya saat masih bersama membina bahtera rumah tangga. Kini, hanya menjadi saksi gugurnya mawar paling indah di San Giovanni.

‘Srrkkk! Brtttt...’


Dada cantik Lucia, dengan itil bersihnya bak ‘kacang gunung’ itu langsung ‘dicucup’ Guitano.

‘Clppp... Clppp... Muach! Hemph! Hemph!’

“O-ohhhh! Emphhh! Emphhh!”
Lucia menggeleng, meronta, menengadah keatas, membuang wajahnya.

“Tetek paling wangi seantero salerno, ya cuman milikmu bu! Hemph! Muach!”

“A-Argh! E-errnghhh!”

Tetek Lucia terasa lengket, ceceran liur dan bekas cupangan memerah di keduanya.

Lucia makin menangis malam ini saat Pak Guitano sudah ada untuk menindihnya dari atas, kemudian mengusap sebentar bawahan Lucia dan...

‘Hmmppghhh! A-Arghhhhh! Oughhhh!’

“A-akhhhh~ Emphhh! Emmmhfffg... O-Oughhh!”

Pada sentakan pertama yang tidak bisa dikatakan ‘halus’, keduanya sama-sama menjerit.

Pak Guitano merasa seperti ter setrum. Menjerit nikmat dan Lucia hanya meringkih sakit, menerima tindihan dan sentakan pinggul Guitano.

“Selalu demikian, gerakan yang kasar, nafasnya yang menjijikan dan seolah tidak peduli dengan rasa sakit yang ku derita.” - Lucia

Namun...

Di balik cahaya lampu remang dan rintihan pilu dari dalam kamar Lucia...

Malam itu, baik Lucia maupun Guitano tidak menyadari, semua hal yang terjadi nyatanya tak luput dari sepasang mata penguntit melalui celah tembok rumah.

[ XXXIX ]



(Rumah Clemenza Bertini, kota Roma)

3 April 1999 | Pukul (UTC+1) 8.55 malam

Flashback. Komplek perumahan elit D’Lossendra di pusat jantung kota Roma.

Tak ada satupun penjaga yang menyadari majikan mereka sekaligus pemilik rumah sedang dalam bahaya.

Lelaki Latino yang datang bersama Clemenza Bertini dari lobby hotel Racolla beberapa saat yang lalu.

Begitu topik pembicaraan mereka yang membahas masa lalu, Clemenza dikejutkan saat lelaki bernama Barry itu mengacungkan pistol beramunisi penuh di ruang tengah.

Beberapa saat sebelumnya, mereka berdua sudah terlibat cekcok dalam perjalanan menuju kesini saat Barry menanyai Clemenza beberapa hal...

(🇮🇹)

“E allora?! (Lalu kenapa?!) Apa itu alasan mu untuk tetap diam, sementara para pembunuh itu masih bebas berkeliaran diluar sana?” Barry coba mengancam dengan dingin.

Yang jadi sasaran ancaman, Clemenza Bertini (42) istri Miguel, kakak ipar Lucia. Tak berkutik saat telapaknya disundut ujung pistol yang sangat panas.

Clemenza hanya bisa memohon belas kasihan dan mengaduh kesakitan.

“Barry, kumohon! Arghhh!”

“Apa? Apa alasanmu mengkhianati suamimu sendiri, Dasar Lonte!” nada bicara Barry tambah naik sekali lagi.

Tak hanya menekan ujung pistolnya lebih keras hingga meninggalkan luka merah di punggung tangan Clemenza, Barry juga menjambak rambut Clemenza. Sudah habis kesabarannya.

Menuntut Clemenza mengakui dosa. Dosa dan tuduhan tidak berdasar.

“Non è vero (Itu semua tidak benar), aku—Arghhh!”

“Apa kau, hmm... menginginkan semua ini? Kau mau merebut semua warisannya? Apa yang sudah ‘mereka’ janjikan kepadamu, perek kotor!” umpat Barry sesekali, berusaha menekan Clemenza untuk buka mulut.

Emosi Barry sudah tidak karuan bila mengingat nasib Miguel.

“Aku tidak mengkhianatinya, dia sendiri yang menyerahkan diri. Dia melakukannya untuk melindungi anakku juga kalian semua ! Aku sudah menjalankan semua rencanamu!” terangnya ditengah siksaan yang Barry berikan.

“Senza senso! (Omong kosong!) Semua bukti selama ini mengarah padamu. Kau pikir aku bakal diam saja, membiarkanmu mengukir skenario kebohongan ini, kau pikir ‘kami’ sudah kalah?” serang Barry.

Tak peduli. Informasi A1 yang Barry dapatkan dari Luca Cordero mengungkap bahwa Istri Miguel ini sendiri yang turut berperan dalam plot penangkapan dan pembunuhan sang suami. Ada beberapa hal yang cukup membuatnya untuk dicurigai.

“Kau salah paham ! Miguel justru melindungiku, Lucia dan Gio. Juga kalian semua dari rencana ‘mereka’!” timpal Clemenza, berdalih demikian.

“Kau diberitakan berselingkuh dengan Gio (suami Lucia) demi menyingkirkan suamimu. Wanita macam apa—”

Yang langsung dipotong Clemenza. “—omong kosong apalagi yang kau dengarkan?! Lalu, dimana kau sendiri saat Miguel dan dua teman membutuhkanmu ? Kau sendiri yang tiba-tiba menghilang saat Amelie, Antoine, dan Miguel sedang diburu intelijen dalam negeri. Lalu, berselang 4 tahun kembali muncul bak utusan tuhan dengan tuduhan aneh seperti ini. Pengecut macam apa kau ini?!” bentak Clemenza.

‘Degh!’

Clemenza berhasil ‘Menampar’ balik Barry. Membalas dengan fakta yang nyata.

“Kau juga lupa menjanjikan perlindungan ekstradisi untuk anakku. Kemana saja kau saat ‘orang-orang’ berbahaya itu meneror kami?! Pengecut, bersembunyi dimana kau selama ini?!”

Clemenza kembali memojokkan Barry.

‘Degh!’

Barry kadung mati kutu, mengalihkan pistol.

Perangainya jadi lebih dingin. Atau karena malu pada dirinya sendiri...

“Lalu, katakan padaku sekarang juga ! Apa yang kalian kerjakan sampai ‘orang-orang’ ini memburu keluargaku, juga Lucia ?! Siapa yang sebenarnya tengah kalian hadapi? Aku yakin ini karena ulah kalian juga!”

Clemenza meluapkan amarah sekaligus tanda tanya paling rumit dalam hidupnya.

Selain berprofesi sebagai politikus yang menjanjikan pada masanya. Keluarga Viagnelli bahkan Istri Miguel sendiri tidak pernah diberitahu pekerjaan apa yang Ia lakukan bersama Barry, Amelie, dan Antoine saat itu.

Yang mereka tahu, ‘pekerjaan’ ini melibatkan jaringan luas internasional. Miguel sering bepergian keluar negeri, tanpa ada agenda yang jelas.

Itu jadi sebuah benang merah yang mau tak mau harus di tafsirkan Clemenza sendiri.

“Apakah suamiku, Miguel... bersama Amelie, Antoine dan Barry terlibat dalam sebuah plot organisasi/biro kriminal. Hingga pada akhirnya mereka diincar oleh musuh yang bekerja sama dengan intelijen dalam negeri sendiri? Entahlah.” - Clemenza

....

Keadaan lebih baik dari sebelumnya. Kepala dingin. Setelah terlibat cekcok, kini keduanya sudah mampu berbicara dengan pikiran jernih, menahan ego masing-masing.

Barry dan Clemenza (setidaknya) bisa berbicara lebih tenang.

Sementara, Clemenza memperlihatkan beberapa berkas juga alat bukti yang selama ini sudah dia kumpulkan bersama Lucia untuk mengungkap dalang dibalik plot penangkapan Miguel dan Gio.

Bisa dibilang, ini adalah referensi baru yang Barry dapatkan. Namun, untuk sekedar mempercayai Clemenza, Barry masih belum sepenuhnya mampu.

Satu hal yang membuat Barry untuk kali ini ‘mencoba’ mempercayai Clemenza.

Sekilas, Barry melirik ke arah bingkai foto di rak meja. Ada 2 foto yang tidak asing bagi Barry terhadap sosok sang sahabat.

Kedua foto saat Miguel dan Clemenza bersama di sebuah pesta malam di acara pertunangan Barry. Dan yang kedua, saat mereka berlibur ke Pasifik.

Masih sama, dan tidak tergantikan.
“Barry, aku mohon. Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?” Clemenza masih ngotot ingin mendengar cerita Barry sendiri.

“Jaga dirimu saja. Juga anakmu. Kau tidak akan paham.” ketus Barry.

“Lalu, harus bagaimana aku jika mereka mengincar ku dan bahkan—juga soal suami Lucia. Apakah dia harus dibohongi dengan fakta menyakitkan seperti ini? Lalu sampai kapan? Kenapa kau tidak segera membukanya—”

“...” Barry hanya diam.

Masih menutup rapat rahasia ini. Sesekali memainkan pelatuk pistolnya. Tapi mata tipisnya tidak bisa dibohongi, berkaca-kaca.

“Barry, terkadang kebenaran memang menyakitkan—” Clemenza berusaha meyakinkannya.

Langsung dipotong Barry. “Stai Zitto ! (Diam!)” bentak Barry langsung melepaskan 2 tembakan ke atas.

‘PSYU! PSYUU!
PYAR! PYARR!’

(tembakan pistol silencer Barry memecahkan lampu gantung ruang tamu)

“A—Akhhh!” Clemenza terpekik kaget, saat melirik pecahan lampu sudah berhamburan di meja.

Barry bangkit berdiri. Mematik rokok dan meraih sesuatu dari dalam kantungnya.

‘Ctik... Ctik.. Fyuhhh~”

“Sementara aku bergerak. Tutup rapat rahasia ini sampai aku menemui Lucia sendiri. Jika sampai bocor, kau yang akan ku bunuh pertama kali. Dengan fakta bahwa kau satu-satunya orang yang tau dimana tempat persembunyian ‘Red Licence’ sesaat sebelum Miguel tertangkap. Juga jangan lupa, kau pernah memiliki hubungan gelap dengan Gio. Aku tak segan-segan menembak kepalamu saat itu terjadi.” kata Barry lirih, mengepulkan asap rokok.

Bergegas pergi begitu saja meninggalkan benda mirip kartu ATM hitam dengan sign barcode warna merah, seperti yang ia berikan kepada Q dan Daphine beberapa saat lalu.

Clemenza mengamati kepergian Barry dari balik jendela halaman. Menerawang, juga sedikit mengingat-ingat.

“Kau benar. Miguel, sahabat Latino-mu ini, masih saja bersemangat seperti dulu.” Clemenza bergumam.


Francesca d'Aloja from 'Swingers' (1992)

Clemenza masih merasakan hal sama. Ngeri tapi juga takjub saat diperkenalkan pertama kali oleh Miguel kepada sosok mantan kriminal asal Monterrey itu.

Clemenza bertemu Barry pada pertengahan musim dingin tahun 1985. Melalui pertemuan yang cukup unik...

[ XL ]



(Cafe Limmorta, kota Roma)
6 April 1999 | Pukul (UTC+1) 5.30 petang

Limmorta, berada di deretan street cafe daerah Colosseum.

Barry baru saja tiba, sementara yang pertama datang lebih dulu adalah Q. Perempuan itu sudah duduk di meja cafe, mengenakan turtle-neck model rajut tanpa lengan warna merah maroon.

Qristal makin sibuk akhir-akhir ini. Belum juga 2 x 24 jam rehat semenjak bertugas di Kosovo, dilanjutkan pertemuan di Frankfurt, dia sudah harus kembali terbang ke Italia karena perintah rahasia Barry untuk secepatnya ke Roma.

(🇬🇧)

“Sudah berapa lama menunggu? Pengemudi taksi disini memang payah!” Ungkapan rasa kesal Barry kepada Q.

Qristal tiba lebih dari 1 jam yang lalu. Sementara si pembuat janji malah telat hampir 20 menitan.

“Alasan yang masuk akal. Bisa kita selesai dalam 40 menit?” balasnya cuek.

“Menurutmu ini cuma interview kerja? Barry seperti mencari seseorang. “Ngomong-ngomong, dimana Daphine? bukankah, sudah kuminta kau untuk mengajaknya juga?”

“Dia ada sedikit masalah. Dan memangnya, kenapa kau berbicara seolah orang lain selalu menyetujui ajakanmu? But, Anyway tenang saja, aku sudah memindahkan lokasi pertemuan lanjutan. Ini untuk menghindari polisi intelijen yang mulai MI6 sebar.”

Qristal membetulkan posisi duduknya, obrolan tiba-tiba bertambah serius.

“Juga seorang telah ditugaskan menggantikan mendiang Michael. Komunikasi kita akan lebih dibatasi.”

“Okay. Tidak masalah. Aku ikuti caramu.”

“Lalu, ada perlu apa aku mesti repot-repot datang kesini, melonggarkan pengawasanku. Itu mengganggu jam kerja, demi tuhan! Bahkan aku belum sempat istirahat setelah mendarat!” protes Q.


“What? Aku mengganggu jam kerja mu? mulutmu mulai berani sepedas ini?”

Dipotong Q. “—Sudahlah, aku tidak mau mendengar wejangan tak berguna apapun hari ini. Jadi, apa yang akan kita bicarakan?”

“Ini seharusnya menjadi tempat pertemuan kita berempat. Aku, Kau, Daphine, dan satu lagi temanku. Tapi, berhubung Daph tidak jadi berkumpul. Aku mau kau melakukan tugas lain saja.”

‘Srrk! Srrkk!’

Barry mengeluarkan berkas dari dalam tas selempang. Ada 2, map warna merah dan hijau.

“Are you joking me? Jadi pertemuan ini cuma omong kosong?” Qristal protes, namun tetap menerima berkas tugas itu dari Barry.

“No! No... Hey look, gagasanmu memindahkan pertemuan ke tempat lain sepertinya tepat kali ini. Jadi, setelah tugas ini selesai. Akan kutambah upahmu.”

“Huh, siapa juga yang tertarik dengan hal semacam itu? lagipula siapa temanmu ini? apa dia jadi bagian dari rencanamu, membentuk ulang tim impianmu apalah itu, Red... Red apalah itu ‘Red-Fish’?”

“Hahaha. Bodoh. Tebakan yang salah. Q, sebelum misi ini selesai... Kita tidak akan membicarakan apapun yang berkaitan dengan aliansi, team, ataupun liburan dan upah. Kau paham Q?”

“Terserah lah. Kapan ini dikerjakan? Aku harus terbang lagi besok pagi.”

“Malam ini, biasakan baca detail tanggal dan jam dengan teliti!”

“Hari ini?! dasar kampret aku bahkan tidak membawa pakaian ganti. Bisa-bisanya seenaknya saja—”

“Hsssstt!” Barry menyuruhnya diam. Sedikit berbisik. “Amatir, bukankah sudah kubilang bawa seragam tugasmu juga? Susah sekali mengajarimu profesional!”

“Pak tua, kau mesti kenakan sendiri seragam latex murahan itu. Dan bukannya, kau punya uang? Kenapa pelit sekali untuk men-transfer sedikit dana keperluan mendesak seperti hal semacam—”

Barry menunjukkan kartu yang kemarin juga ia berikan kepada Q dan Daphine.

“Centurion card,
yang sudah kuberikan pada kalian. Jangan bilang kau tidak membawanya juga? Untuk jaga-jaga. Tidak untuk berfoya-foya.”

Setelah berkata demikian, Barry bangkit berdiri, beralih ke kasir. Hendak membayar pesanan.

“Oh I see, Yesss sir! Thank you~ Dolce Gabbana, I’m coming!” suara girang Qristal yang sudah tau cara menggunakan kartu aneh ini.

[ XLI ]



(Apartemen Daphine, Frankfurt)
2 April 1999 | Pukul (UTC+1) 00.15 dini hari

Flashback, Apartemen Doorman Welle.

‘Tok! Tok! Tok!’
(Ketukan pintu terdengar dari luar)

Ketukan kedua di kamar Daphine, diikuti ketukan yang ketiga. Jantungnya berdetak makin cepat saat Daphine memberanikan diri untuk bergerak menuju pintu.

‘Grkkkk’, Daphine refleks membuka laci meja rias terlebih dahulu.

Meraih sesuatu dari dalam laci meja rias. Ada senjata api beramunisi penuh di dalam. Seperti, sudah lama ia simpan.

Insting masa lalu, ia paham harus berbuat apa.

Daphine mengokang pistol Luger model 08 semi-otomatis tadi saat berjalan mengendap, mengintip melalui celah lubang intip pintu apartemennya.

‘Ngikkk!’, terlihat pintu unit apartemen seberang ditutup cepat-cepat.
Lewat kaca intip, Daph sekilas melirik pintu kamar apartemen yang ada di seberang koridor kamarnya ditutup dari dalam.

“Tidak ada seorang pun disana. Namun, pintu unit seberang kamar ku baru saja ditutup oleh seseorang. Yah, mungkin orang iseng tadi. Aku tilik 10-30 detik. Aku hanya menyimpulkan 2 kemungkinan. Pertama, sekedar aksi teror usil. Kedua, penghuni kamar depan yang coba berkenalan denganku.” - Daphine

Ditunggu sampai 5 menitan, namun tetap tidak ada seorang nongol.

Mengira cuma gangguan iseng, Daphine kembali untuk menyimpan senjata ke dalam laci.

“Senjata yang hampir 3 tahun tidak kugunakan. Aku masih ingat betul lekukan detailnya, bahkan wajah target pertamaku dulu. Aku masih ingat wajahnya,” - Daphine

‘Tok! Tok! Tok!’
(Ketukan pintu terdengar lagi dari luar)
‘Degh!’

Bukan main pikir Daph, berani-beraninya orang itu balik mengganggu.

“Shh! Verdámmt ! (Sialan !)”


Daphine kembali ke pintu, kali ini ia masih mendengar ketukan si ‘Annoying’ satu ini.

“Aku sedang dalam mood untuk memberi pelajaran si tetangga iseng. Mungkin 2-3 pukulan telak di tembolok untuk perkenalan, tidak begitu buruk...” - Daphine

(🇩🇪)

Mit wem dort ?!
(Dengan siapa disana ?!)”


Daph bertanya, bersikeras tidak akan membuka sebelum ada jawaban dari luar.

..

...

....

Hampir semenit, tidak ada jawaban, tapi suara ketukan sepatu boots orang itu sangat dikenali telinga Daphine.

Diikuti, suara berat laki-laki berbahasa Eropa timur. Suara dan aksen yang Daph kenali, akhirnya kembali muncul...

“это я, Сергей... открой скорее дверь, сука!”

“Yang artinya, ‘Ini aku, Sergey... cepat buka pintumu jalang!’ kata orang yang berdiri didepan pintu kamarku.” - Daphine

[ XLII ]
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd