Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Perlu pakai bahasa resmi negara nggak nih ? (bahasa Inggris, Itala, Jerman, Dll)

  • Ya ! (biar feel dramanya terasa) / dua-duanya nggak papa

    Votes: 38 17,8%
  • Nggak usah ! (Bahasa Indo aja, biar gampang)

    Votes: 176 82,2%

  • Total voters
    214
!! Next Update :

S1E08 ‘BUSUR & PEDANG’

“Semua berawal saat Lucia, Barry, juga Qristal memulai pergerakan. Menarget orang-orang yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Miguel.

Sementara di Jerman, Daphine terlibat kontak dengan seorang mantan kombatan intelijen. Apa tujuan mereka ? Siapa sosok Daphine sebenarnya ?

Yang pasti. Mereka semua tidak akan menyangka, muara dari semua kejadian ini akan membuka satu-persatu trauma kelam di masa lampau.

Edisi ke delapan, mereka yang mulai bergerak !”

- Sanji_blackleg
** Oh ya, supaya paham jangan lupa baca Intro S1E08 dan keterangan baca pada halaman sebelumnya ! Wassalam...
 
EPISODE 8 PART I :
BUSUR & PEDANG

1999's



(Fußballfeld of TU University, kota Dresden)
6 April 1999 | Pukul (UTC+1) 07.10 petang


‘Pritttttt !’
(Wasit meniup peluit kick-off pertandingan)

Sorak-sorai seluruh mahasiswa-mahasiswi jurusan TU (Teknik) ketika memeriahkan acara yang bertempat di lapangan sepak bola kampus Universitas Dresden.

‘TU ! Nanana~
TU ! Nanana~

TU ! Nanana~’

Mereka kompak menyanyikan chant untuk mendukung tim sepak bola universitas, USV TU Dresden, melawan tim amatir FV Haven dalam festival olahraga bertajuk ‘Stadtliga’ yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Dresden.

USV TU lebih diunggulkan karena diperkuat pemain skuad utama SG Dynamo Dresden, Max Stolze.

* Stadtliga, event tahunan ini dijadikan sebagai ‘agenda’ bagi para atlet pada jenjang SMA-Mahasiswa sebelum promosi ke kompetisi profesional. Tidak hanya sepak bola, Turnamen ini juga memiliki 12 cabang olahraga yang dilombakan. Popda, Tarkam, ‘sunday league’ apapun istilahnya.

Sampai menit ke 77’ kedudukan masih imbang 0-0. Tim lawan bermain lebih baik dengan beberapa peluang yang sukses bikin pendukung kampus TU ketar-ketir.

“MAX ! MAX ! MAX !”

‘DUG !
DUGDUGDUG DUG !

(Tabuhan Bass Drum pendukung)

Pun beberapa kali mengelu-elukan nama Max yang bertindak sebagai kapten. Tapi usahanya masih buntu karena satu-persatu rekannya sudah kelelahan.

Keterangan alih bahasa :
🇩🇪 : Percakapan Native bahasa Jerman
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇮🇹 : Percakapan Native bahasa Italia
🇷🇺 : Percakapan Native bahasa Russky

( 🇩🇪 )

“Brich ihm einfach das Bein !
(Patahkan saja kakinya !)”

Teriak pendukung kampus TU karena sudah pesimis dengan penampilan tim mereka.

Menit 82’ saat serangan balik yang dimulai dari penguasaan bola Max kemudian memberikan umpan lambung kepada rekannya di posisi penyerang sayap. Berlari begitu kencang, membuat kiper tim lawan terpaksa menekel telat kakinya di kotak pinalti.

‘Prittttt !’
(Wasit meniup peluit, menunjuk titik putih, Tendangan penalty !)

‘YEAAAAKHHHHH !!’

‘DUG !
DUGDUGDUG DUG !’

(Tabuhan Bass Drum pendukung)

Makin bising terdengar, gemuruh pendukung Tim kampus TU saat wasit memberikan penalty. Pemain lawan sempat protes, beberapa melakukan provokasi. Tapi tidak dihiraukan wasit, sementara Max tetap tenang saat membawa bola ke titik 12 yard.

Max selalu dipercaya menjadi algojo penendang pinalti oleh pelatih maupun rekan tim.

‘Hufttt~’

Max menghela nafas perlahan, dan berjalan mundur mengambil ancang-ancang menendang.

Di momen krusial seperti ini. Penonton terbagi menjadi 2 tipe. Pertama, mereka yang tegang, berdoa khusyuk, sampai tidak berani menyaksikan tendangan. Kedua, mereka yang tetap saja berteriak lantang mengelukan nama Max.

‘MAX ! MAX ! MAX !’

‘Prittttt !’
(Wasit sudah meniup peluit untuk Max)

Kiper tim lawan sempat tersenyum seolah sudah tau kemana arah tendangan Max.

Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.

Wussshh!

‘GOLL !’


‘WOAW ! YESSS ! YEAHHH !’

Tendangan Max tidak terlalu keras, tapi berlawanan dengan arah tangkapan kiper. Ketenangan, insting dan pengalaman yang berbicara.

Gol untuk tim dari kampus TU Dresden, disambut aplause penonton yang semakin bergemuruh menjelang menit tambahan terakhir.

‘Prittttt !
Pritttttt !’

(Wasit membunyikan peluit panjang)

Full time ! Pertandingan berakhir dengan kedudukan 1-0 untuk kemenangan tim kampus TU. Seluruh pendukung, dosen, staf pengajar, bahkan rektor ikut meneriakkan nama Max dari pinggir lapangan.

‘DUG !
DUGDUGDUG DUG !’

(Tabuhan Bass Drum pendukung)

‘MAX ! MAX ! MAX !’


Setelah pertandingan...

Max berada di parkiran kampus bercanda dengan Demon, Phill, juga Dominik.

( 🇩🇪 )

“Pinalti tadi harusnya bisa lebih keras, es nervt! (payah !)” omel Phillip Greiml kepada Max.

“Seandainya keras apa mesti gol ? Enggak juga kan ?” komentar Demon, ikut sebal dengan Phill.

“Hahaha, cuman gede omong !” ejek Max kepada Phill.

“Oke, sini aku yang pegang Demon. Biar Dom yang seret dia ke sini. Tengil banget mainnya !” balas Phill, masih tidak terima.

Müssen Nicht ! (nggak usah !)” cegah Max.

Max berinisiatif membantu temannya yang berjalan pincang dengan balut perban melilit kakinya.

‘Demon’ panggilan akrab si teman India mereka, Jaulil Desmukh. Dipapah oleh Max dan Dom setelah kena tackle dari kiper lawan barusan. Berkat dia juga tim kampus TU mendapat pinalti yang bisa dituntaskan oleh Max. Cedera Demon tidak begitu parah, hanya terkilir, tapi perlu setidaknya 2 hari recovery.

Kalau Phill diibaratkan sebagai ‘penabuh genderang perang’, Dominik Janczke ini ibarat ‘tukang pukul’ dalam sirkel pertemanan mereka. Pun begitu, sifat aslinya yang pendiam dan tidak aneh-aneh dalam pergaulan. Dom yang berpostur paling jangkung bakal pasang badan untuk membela, tiap ada masalah yang melibatkan teman-temannya.

Untuk masalah ini Phillip merasa kiper tim lawan tadi harus diberi pelajaran.

“Ketiga temanku ini masing-masing bernama Phillip Greiml (19), Dominik Janczke (19), dan Jaulil Desmukh (20). Mereka ini teman akrabku semenjak hari pertama masuk kuliah. Sekaligus, penghuni kamar nomor ‘79’ asrama kampus. Alicia saja sudah sangat akrab dengan sirkel ‘79ROOM’. Bahkan kalau mampir ke dorm, Alicia tidak lupa membawakan menu makanan favorit kami berempat,” - Max


“Nun, was ist der plan ? (Sekarang, apa rencananya ?)” tanya Dom.

“Kita gendong Demon sampai ke rumah?” usul Phill.

Ogah ! Ide buruk.” jawab Demon dengan logat India. Menahan nyeri kakinya.

“Abangmu bakal jemput ?” tanya Max.

“Pesankan saja taksi ! Abangku pasti sibuk lembur di kantor.” jawab Demon.

Kasihan, kadang merintih karena ngilu di sekitaran telapak kaki.

“Kita angkutin truk damkar aja bagaimana ?” usul Phill, sempat bercanda.

“Mendingan Truk damkar, ketimbang truk kebersihan...” timpal Dom.

“Hahahaha...”

Mereka bertiga sempat bikin lelucon receh seperti ini...

“Diese ! (Tai !)” balas Demon kesal.

Tengah berunding, namun perhatian mereka dialihkan oleh mobil VW Golf IV yang tiba-tiba mengklakson mereka.

‘Tinnn !
Tinnn !’

(Bunyi klakson, mobil tadi menepi)

Max seperti tidak asing dengan mobilnya. Tunggu, kenapa dia tiba-tiba datang? tidak sesuai dengan rencana sebelumnya.

“Yo, Dom selamat. Sepertinya tuhan mendengar doa kita. Aku bertaruh untuk pukulan pertama.” kata Phill.

Mengira pengemudi mobil itu adalah salah satu pemain tim lawan.

‘Jglek !’

Dari dalam, satu-persatu kaki perempuan turun menapak trotoar.

Perempuan berambut Ginger, dengan pinggul yang seksi, terlihat melenggok bagaikan adegan slow motion dalam film.

Mengenakan kemeja warna hijau dengan bukaan dada rendah, bawahan rok span selutut hitam, juga sepatu heels membuat ‘aura alpha’ Daph lebih menonjol.

Dia berjalan menemui Max dengan tiga temannya yang melongo.


Suara ketukan heels Daphine saat menghampiri Max, malah terkesan sexy bagi mereka.

“Seperti biasa, tidak memberiku kabar pulang, Daph ?” tanya Max. “Aku perlu membelikanmu ponsel baru ?”

Ketiga konconya langsung melirik kepada Max. Loh? bingung juga. Kenapa bisa kenal, siapa perempuan ini? tanya mereka.

“Hehehe. Sorry, ada keperluan mendadak, ini juga baru sampai. Woah, ada apa ini ?” tanya Daphine.

Melirik kaki Demon yang sedang dipapah.

Maaf ?” tanya Phill.

“Oh sial... Hey Daph, perkenalkan ini penghuni kamar ‘79’ yang biasa kuceritakan. Phill, Demon, juga Dominik. Dan Teman-teman, ini bibiku yang biasa memasak kue untuk kita di asrama. Yah, terkadang~” kata Max seperti agak malas memperkenal mereka.

Bibi ?” tanya Phill dan Demon bersamaan.

“Max bersama bibi di tinggal di rumah ?” tanya Demon masih tidak percaya.

“Daphine. Panggil saja aku Daph. Apa kalian perlu bantuan ?” tanya Daph setelah memperkenalkan diri, melirik kaki Demon yang cedera.

“Benar, Emmh... kami, eh Demon perlu tumpangan !” jawab Phill sudah ngelantur.

“Juga perlu obat, supaya tidak bengkak besok pagi.” imbuh Dom.

“Okay. Tapi sebelumnya, aku mesti mengambil pesanan furniture dulu sebelum mengantar kalian pulang ke—” tanya Daphine.

Dipotong. “—rumah Max ! Yah, paling dekat dari sini. Kita juga belum pernah nginep di rumah Max. Ya kan Max ?” jawab Dominik dan Demon kompak berbarengan.

“Hey, asrama lebih dekat !”

“O-Okay... Well, kalian bisa bantu Max memasang rak dinding pesananku ?”

Mereka langsung terlihat seperti bocah menyedihkan. Dasar Polos. Dasar Perjaka tulen. Dasar jomblo. Mata mereka tidak lepas mengamati Daphine dari bawah ke atas. Sialan, pikir Max.

“Kalian tentu paham, isi kepala cowok-cowok menjelang dewasa seperti mereka. Inilah alasan ku ogah diantar, apalagi dikunjungi Daphine selama menginap di Asrama musim dingin.” - Max



‘Grrnggggg!
Tinnn ! Tinnn !’

(Suara mesin & klakson mobil)


( 🇩🇪 )
“Serius ? sekelas turnamen mahasiswa, sampai main kasar seperti ini ?” tanya Daphine di sela perjalanan pulang ke rumah.

“Bibi Daph, bagi mereka ini juga ajang pembuktian untuk dilihat scouting. Tidak ada salahnya main ngotot... makanya lain kali sempat kan waktu, datang ke lapangan. Rasakan sendiri antusiasme,” sindir Max, masih tidak terima karena Daphine absen mendukung pada pertandingan profesional pertamanya.

“Hahaha... Max ini punya gagasan soal dukungan yang buruk tentang aku~”

“Ya, tapi alasan bibimu itu benar, Max ! Kenapa kau malah mencegahku menghajar si kiper tadi ?” tambah Phill, sok kejagoan.

Mereka bertiga duduk di bangku belakang. Sementara Max yang sudah malas berdebat dan terlampau lelah, hanya mendengus dan duduk bersandar di bangku kursi depan.




(Rumah Daphine, kota Dresden)

30 menit kemudian saat mereka sudah tiba di rumah Max.

Sementara Phill memapah Demon masuk ke kamar Max di lantai atas, Dominik membantu membawakan barang belanjaan.

( 🇩🇪 )

“Phillip, bawa temanmu langsung naik ke kamar lantai atas. Dom, letakkan saja belanjaan di dapur. Bor dan Perkakas lain ada di loteng.” imbau Daphine setelah turun dari mobil.

“Beres bibi Daph~” jawab mereka bebarengan.

“—mandi aja dulu. Jangan sampai berebut water-heater sama Max !”

“Apa Hanna ke rumah ?” tanya Max.

Melirik mobil Hanna yang terparkir saat mereka berjalan sampai tiba di teras rumah.

“Yah, dia perlu seorang untuk mendengar curhat (lagi). Seperti biasa~”

“Kita bicara sebentar !” kata Max, sebelum sempat membuka pintu, Max langsung menahan tangan Daph.

“Ada apa ?”

Daphine menghentikan langkah saat tiba di teras rumah.

“Bagaimana denganmu ? Kau sendiri tidak pernah cerita apapun akhir-akhir ini.” Max membuka pertanyaan.

Ada yang aneh dengan perubahan rencana Daphine sebelumnya. Dia bilang akan pulang dari Frankfurt 5 hari lagi.

“Ada masalah denganku ?” tanya Max.

“Nothing. Malah, hanya kabar baik yang kubawa untukmu. Aku diterima di bagian administrasi CLO,” ungkap Daphine. “Dengan gaji, tunjangan, bahkan ruang kerja yang lebih besar. Tidak perlu repot berkeliling cari nasabah seperti biasanya.”

“Bukan. Bukan itu yang kumaksud—” bantah Max.

Merasa jawaban Daphine tidak Singkron. Seperti cenderung mengalihkan pembicaraan.


Daph masih melanjutkan. “—aku punya perlu sebentar dengan Pak Roger perihal pemutusan kontrak kerja.”

“Okay, kalo soal Pak Roger, dia datang ke rumah sebelumnya. Aku dengar kau mengajukan resign ?”

“Entahlah, aku merasa sudah tidak dibutuhkan.” balas Daphine, tidak masuk akal pikir Max.

“Dia juga berjasa memberimu pekerjaan ini, Daph ?” tanya Max. “—Ini yang membuatmu tergesa-gesa pindah ke Frankfurt ? Itu saja sudah aneh.”

Seperti ada yang tidak beres dengan pekerjaan Bibinya akhir-akhir ini. Ada sesuatu yang seperti disembunyikan Daphine darinya.

“Ada masalah dengan Alicia ?” tanya Daphine, malah balik bertanya.

“Bibi, aku menghargai rencanamu untuk membawa kita pindah. Aku pergi kemanapun kau pergi. Tapi, tidak bijak jika hanya dengan alasan seperti tadi,” terang Max.

“Kau sudah bekerja keras, melebihi apa yang ayah dan ibuku mampu. Merawat ku selama ini. Aku selalu memintamu, mendengar semua cerita. Dari yang penting sampai tidak penting,” imbuh Max. “—Itu juga berlaku untukmu kalau ada masalah, kau paham ?”

Obrolan jadi bertambah panas dan emosional.

“Max... kau tahu, apa kemiripan dengan ayahmu ? Kalian sama-sama pelindung, baik atau buruk. Kadang,sikap kalian jauh lebih dewasa dariku. Aku merasa beruntung, punya ‘Antoine’ kedua sepertimu. Terima kasih, tapi aku baik-baik saja.” imbuh Daphine.

Tapi, masih terlihat jelas ada keresahan di wajahnya. Max tau betul. Belakangan Daph selalu melamun, entah memikirkan apa.

“Oh, come on~ kenapa tiba-tiba kau jadi ‘keren’ seperti ini ? Look, kau sudah semakin dewasa...”

Daphine bermaksud memeluk Max, namun ditepis anak ini. Dia tau, bibinya menanggung masalah pelik dengan kepura-puraan yang diperlihatkan.

Max bergeming, muak. Meninggalkan Daphine masuk ke dalam.

“Aku harap, kau mau ceritakan semua. Aku di lantai atas sampai akhir pekan,” ujar Max. “—juga, jangan sering muncul dengan pakaian seperti ini di depan mereka. Kau tau pikiran remaja puber seperti kami ?”

“Untuk satu itu, aku tidak bisa jamin~” canda Daphine.

Centil sekali memang kalo urusan penampilan.

Harusnya ku usir saja mereka,” gerutu Max melengos masuk.

‘Ngikkk...’

“Huffftt~”


Daphine cuma menggeleng tidak habis pikir, sembari menghela nafas panjang.

“Antoine, lihatlah anak cowok ini. Mirip sekali denganmu, dalam hal perhatian. Apalagi, semua argumen saat kau berdebat dengan ayah-Ibu dulu. Kalian sangat mirip.” - Daphine

[ XLVI ]



(Apartemen Daphine, kota Frankfurt)
4 April 1999 | Pukul (UTC+1) 08.15 pagi

Flashback, yang seharusnya jadi hari pertama Daphine untuk bekerja di kantor kedutaan besar.

Namun, dari kamar unit apartemen yang sama seperti sebelumnya.

‘Drrkk... Drrkk !
Drkk... Drkkk !’
(Suara tubrukan ke kaca jendela kamar)

“Egh! Egh!”

“Emmffh... Emh! Emh!”

Suara hembusan nafas bengal, disertai guncangan kaca jendela yang bertubrukan dengan Daphine.

“Emph! Emph!”

“Ekh! Ekh!”


Daph mengerang sesekali terpekik, dipaksa menungging, bersender wajah dan berpegangan ke gorden jendela saat dihantam berkali-kali oleh laki-laki di belakangnya.

‘Plok… Plok… Cpok ! Cpok !’

( 🇷🇺 )

“Mmmmh... Emph! Ekh! Ekh!”

“Bo skol'ko ty ukhodish’ ?
(Pukul berapa kira-kira berangkat ?)”

Si pria yang berbicara bahasa ‘Russky’, adalah sosok yang semalam menakuti Daphine.

Brewok dan rambutnya yang beruban sudah dicukur. Penampilannya sangat rapi. Ini yang membuat Daphine sempat tidak mengenali.

Seychas 8.30, no iz-za tebya bardak ! (Jam 8.30, bisa berantakan gara-gara kamu !)”

Daphine terdengar kerepotan saat menjawab.

“Emmmph... Engh ! Enghh! ”

Selingan nafas yang memburu, saat merasa penetrasi yang makin keras. Lelaki itu yang kadang kelewat kasar, saat menggunakan pinggul Daph sebagai pegangan.

Mencengkeram erat pinggul-pinggang Daphine, sampai meninggalkan bekas ruam merah.

‘Plok… Plok… Cpok ! Cpok !’

“Mmmmh... Emph! Ekh! Ekh!”

“Ouh ! Ekh ! Hhh... Nu i chto ? (Mau gimana lagi ?) aku nggak sempat cari mangsa, kamu juga tambah seksi aja. Berapa lama kita nggak ketemu ? Ugh! Ugh! Hmm ?”

Kto znayet (entahlah), dua tahun ? Emmhh... bukannya aku sudah memintamu menunggu di rumah saja, Barsinov ? A-akh!”

‘Plok… Plok ! Cpok ! Cpok !’

“Soal perintah mendadak. Jika tidak, ngapain repot-repot ke sini ?” jelasnya. “Ough! Ough! memekmu juga tambah rekat aja.”

Lelaki itu seperti setengah sadar, makin mantap juga sentakan pinggul ke pantat Daph.
“Kenapa ikut terlibat ?”

“Rencana tingkat lanjut. Mmhh... kontak informan, sandi ‘Burung-merpati’ bakal hinggap di kedutaan. Peluang hari ini, menurut mereka... Egh ! Egh !”

“Aku ada jadwal pertemuan... A—AKHH!”

“Hssstt ! Jangan banyak bicara, goyangin aja ini pantatmu !”
“Yoryd Alexei Barsinov (48). 'Barsi', panggilan singkatnya. Pria sosiopat asal Georgia, yang masuk daftar (cekal : buron) di negaranya karena kasus penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan dengan jumlah korban mencapai 30 orang terkonfirmasi. Kini, mendapat perlindungan ekstradisi di Moskow. Pernah menjadi ‘agen lapangan’ KGB sebelum bubar. Jika kalian bertanya, siapa lelaki yang sering melakukan kontak denganku menggunakan Bahasa Rusia? Dialah orangnya.” - Daphine


Billy Bob Thornton from 'Bad Santa' (2003)

“Prosto dobav’te svoy aromat~
(Makin wangi aja kamu ini)~”

Barsi mengendus pundak Daphine, mendesah dengan tempo tepukan bokong Daph yang makin keras.

‘Plok… Plok… Cpok ! Cpok !’

Daph terhimpit diantara Barsi dan jendela kacanya.


“Apa kau melacak nomor kamarku ?” tanya Daphine, diantara tubrukan kelamin Barsi yang makin yahud dari belakang. “Gimana bisa tahu ?”

“Emhh... Enghh... Hekh! Argh!”


Tetek Daphine sampai tercetak, tergencet kaca jendela. Bokongnya ditumbuk, tusukan penetrasi yang makin liar.

“Ough! Hsssh... dari janitor yang tadi malam... Hashh! Emph ! Emph!” terang Barsi.

“Ehm~”

‘Cplk... Plok… Plok!’

Daphine kadang menggeleng sesekali. Dadanya makin bergemuruh. Badannya terasa panas, begitu juga pangkal pahanya.

Gerakan Barsi mulai melemah, dorong-keluar-sentak-keluar. Perlahan saja, tapi sentakan burungnya berganti dengan tusukan-tusukan mantap ke dalam.

Di momen-momen terakhir inilah Barsi menelusup kan tangan, meremasi kasar kedua dada Daphine.


“Hegh! Hegh! Hegh!”

“Emphhhh~”

“Emmh~ Emmh~ Emmh~”

Daphine menggigit bibir, meringis ngilu dan membuang muka begitu Barsi makin dekat.

“OUGH! ARGHH! ARGHH!”

Barsi mengejang, mencengkeram pinggang Daphine untuk menembakkan begitu banyak di dalam sana.

“Ssshh... Ekh! Emhh! Ekhh!”

Daphine mendesis, begitu 1-3 kedutan Barsi menyemprot dalaman. Lumeran hangat, sampai mengalir di kedua celah paha dalam.




(Kantor konsulat AS, Frankfurt)
Pukul (UTC+1) 09.15 pagi

10 menit dari Apartemen Daphine, di gedung konsulat AS untuk Jerman di Frankfurt.

Pagi itu, di halaman gedung sudah ramai awak media yang meliput dan pihak kepolisian yang untuk berjaga-jaga. Duta besar AS akan mengeluarkan release statement terkait kemungkinan pembentukan personel militer gabungan AS & Jerman untuk melancarkan serangan pertama ke ibu kota Belgrade.

Daphine berjalan melewati iring-iringan mobil awak media untuk masuk ke dalam gedung. Dia harus menemui seseorang di bagian Administrasi CLO.

Daphine naik lagi ke lantai 3. Ada dua lagi akses tangga yang harus di lewati. Beberapa bagian gedung di sini masih mempertahankan model lama.

Tidak ada pemugaran / renovasi untuk menghindari akses data ‘cetak biru’ bocor keluar. Akses Lift hanya terdapat di Hall pertemuan dan kantor dubes utama.

Belakangan, hal sepele seperti ini yang bikin Daphine kecele, saat memilih ‘resign’, meninggalkan lingkungan dan suasana kerja lama di Dresden.

Daphine datang ke bagian front office. Si petugas langsung mengarahkannya untuk masuk ke ruangan Petr Clauss.

Ruangan di setiap lantai gedung konsulat memiliki akses khusus berupa alat pemindaian sidik jari untuk membuka pintu.

“Teknologi semacam ini (finger-scan, eye-scanner) sudah lumrah digunakan ke beberapa kantor diplomat negara anggota NATO. Ini supaya tidak memberi celah bagi pihak-pihak ‘curang’ untuk mencuri/menyadap informasi yang ada. Terlebih pasca perang dingin, dimana banyak sekali pihak yang dicurigai CIA sebagai ‘kolaborator’ musuh.” - Daphine

( 🇬🇧 )

“Pak ada seorang yang harus kau temui.” terdengar suara petugas tadi setelah masuk ke sebuah ruangan.

Daphine menunggu sebentar, sebelum dipersilahkan masuk ke dalam. Ruangan dengan nama tag tergantung, Petr Clauss.

‘Ngikkk...’

“Good Morning ! Tn. Clauss, saya baru saja tiba sesuai permintaan yang tertuang pada panggilan.” Daphine mengucap salam.

Atau sekedar berbasa-basi saat dipersilahkan duduk. Pria ini masih sibuk mengecek banyak berkas.

‘Srkkkk— Srkkk !’

Petr Clauss sibuk membolak-balik halaman.

“Miss Daphine ternyata masih fasih bahasa Inggris. Itu bagus!” sembari mengamati detail berkas tadi.

Lanjutnya. “Daphine Leonides. Anak tunggal. Lahir dari pasangan Ayah orang Jerman, sementara ibu seorang Irlandia. Tinggal di Amerika 10 tahun, dan kini menetap di Jerman hampir 19 tahun. Benar ?” tanya pria itu, membaca berkas penerimaan milik Daphine.

“Yes Mr. Clauss, That’s right...”

“Dugaanku benar. Namanya, Petr Clauss (45), pria dengan penampilan ‘tertata’ rambut disisir rapi. Pria berkaca-mata yang tebal. Posturnya lumayan tinggi, 182cm dengan badan ramping. Tidak terlihat ‘berbahaya’. Hanya saja, tangan beliau tidak berhenti mengetukan bolpoin ke meja semenjak aku datang. Dan itu sangat mengganggu,” - Daphine


“Hmm, ya. Aku dengar kau bekerja di perusahaan Roger sebelumnya ?”

“Roger ?”

“Iya, Roger. Si tua mata duitan itu. Aku tau banyak soal orang itu. Hahaha,” terang sosok lelaki dengan kumis dan kaca mata tebalnya.

“Oh ya ? Wow, seakrab apa ? Apa kau masih mengintip surat penerimaanku ?”

“Wah, tunggu sebentar...”

‘Tututututttt~’

Petr Clauss mengetik nomor di pesawat telpon.

“Yo, Roger ! Nona Daphine sudah tiba di sini. Jangan lama-lama karena dia akan sangat sibuk hari ini,” Petr langsung menyerahkan pada Daph, Roger sudah tersambung disana.

“Good Morning sir, aku tidak menyangka kalian akrab sekali.” Kata Daphine

“Mana sudi aku berteman dengan orang sok pinter di depanmu itu ?!” balas Roger.

Malah bikin Daph bingung. Padahal sebelumnya Clauss terlihat begitu ‘frendly’ dengannya.

“Well, apa anda berdua terlibat piutang atau ini hanya lelucon orang-orang Amerika ?” tanya Daph bercanda, melirik kepada Pak Clauss di depan.

‘Cklek! Tutttttt... Tutttt...’

Telepon langsung ditutup.

“Hahaha. Baiklah. Aku akan mengantar ke ruangan kerjamu. Kemari !” ajak Petr.


Mereka beralih ke ruangan staff, ada sekitar 5-10 ruang dengan tampilan tidak biasa. Layout bangunan ini lebih mirip sel penjara ketimbang gedung konsulat.

Pengawasannya sangat ketat. Terdapat CCTV, akses scan, bahkan masuk-keluar barang bawaan harus melewati 2x pengawasan seorang petugas jaga.

Daph kemudian dibawa masuk ke salah satu ruangan. Wangi dan lebih ‘cozy’ ketimbang ruang di kantor lama.

‘Ngikkk...’

“Ini adalah ruanganmu. Sebentar lagi, kau bisa menuju bagian keamanan untuk mengisi data sidik-mata yang akan diunggah pada sistem. Sudah jadi prosedur di kantor kami. And Anyway, beberapa jam lagi Pak Dubes akan berpidato di halaman. Semua staff harus ikut.” jelas Petr panjang lebar.

Ruangan yang ‘baru saja’ dibuka, luasnya sekitar 3x4 meter. Dengan dinding-bilik kayu tua tebal. Masih tercium bau karpet dan porselen wangi. Juga, ada sensor sidik jari pada gagang pintunya.

“Sekali lagi, aku berhutang padamu Mr. Clauss, Ini semua luar biasa. Sebuah kehormatan kau mempercayaiku.”

“Ehmm...” Petr mengangguk. Imbuhnya, seraya menepuk pundak Daphine. “—ada harga dari sebuah kepercayaan,” jawabnya, sebelum berlalu keluar ruangan.

“Entah apa maksudnya, tidak begitu penting. Yang jelas sudah saatnya aku untuk mengabarkan,” - Daphine

‘Tuttt... Tutttt... Tutttt...’

“Ini aku Daphine. Kurasa tidak akan sempat menghadiri pertemuan yang kita janjikan. Ada sedikit ‘ember tumpah’. Memang merepotkan, aku harus menyelesaikannya dulu, setidaknya sampai ‘pagi ke-7’.” Daphine mengirim pesan sandi rahasia kepada Q.

Daph tak sengaja melirik ke arah jendela. Saat seorang petugas wiper kaca sedang membersihkan 2 petak jendela ruangan.

Namun, ada yang aneh dengan aktivitasnya. Saat petugas tadi melewatkan jendela ruangan Daphine.

‘Degh !’

Itu sebuah pesan sandi, dan Daph baru menyadari...

“Pada kaca jendela, aku langsung mendekat karena ada sesuatu yang sengaja ditinggalkan oleh seseorang. Sebuah corat-coretan debu, seperti sengaja ditujukan khusus untukku. Entah apa maksudnya, tulisan terbalik saat dibaca berlawanan menjadi, ‘it wasn't him’...” - Daphine

Tulisan sandi, ‘Itu bukanlah dia’ yang lantas membuat Daphine merubah rencana.

Daphine juga langsung menjadwalkan perjalanan pulang ke Dresden akhir pekan nanti. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini.

Daphine merasa harus menanyakannya langsung kepada Roger Kartheiser...

[ XLVII ]



(Kanal sungai Tiber, kota Roma)
6 April 1999 | Pukul (UTC+1) 11.00 malam

Susana yang makin gelap, sunyi, saat hanya ada ketakutan dan ancaman.

Kini, giliran Nicola Calipari, yang sudah babak belur duduk bersiumpuh di samping Pak Filippo.

( 🇮🇹 )

“Seseorang memintamu memusnahkan tiket perjalanan Miguel saat itu ?” tanya Barry.

Berjongkok dan memainkan pistol beramunisi. Ancaman yang awalnya tidak membuat Nicola gentar sedikitpun.

Tai ! Siapa kalian ? Berani-beraninya memaksa bicara ?!”

“Jawab saja !” tambah Lucia.

“Itu sudah lama terjadi, apa i urusan kalian ?!” bentak Nicola.

“Bagaimana dengan Gio ? dia menghilang semenjak pergi ke kongres. Anda yang mengatur perjalanan dia juga ?” tanya Lucia lagi, beralih menanyakan sosok suaminya.

“Ha? bagaimana bisa kau menanyakan hal lain hanya karena tuduhan tak berdasar mencelakai Miguel ?”

“Miguel tewas dalam sebuah operasi intelijen, kan? dia tidak meninggal dalam masa penanganan dengan tuduhan keterlibatan teror bom seperti yang media katakan,” jelas Barry. “—itu karena kau yang membuatnya telat sampai bandara. Men-sabotase tiket penerbangan, sehingga seorang agen ‘Red Licence’ bersama polisi berhasil menangkapnya.”

“Hey, apa buktinya ?!”

‘Srrkkk—’

Lucia memperlihatkan sebuah dokumen surat kuasa yang dituliskan seseorang dengan nama samaran ‘C F’ yang berarti, Castana-Filippo.

Lucia dapatkan itu dari Clemenza. Mudah sekali bukan?

“Bagaimana ? puas ?” tanya Lucia.

“Dasar teroris ! seseorang akan segera menemukan dan membunuh kalian satu persatu!”

‘DORR !
DORR !’

(Tembakan pistol)

“AAAAARGHH!”

“Siapa, yang memerintahmu ?” tanya Barry setelah melubangi paha Nicola.

2 tembakan yang membuat Nicola jadi sesak nafas. Darah segar langsung membekas di balik celana kain. Barry tidak bercanda.

“AAARGHHH!”

Nicola terus berteriak histeris. Air matanya mengalir deras. Filippo hanya bisa pasrah saat melihat langsung tembakan tanpa silencer melubangi rekannya.

Itu sebuah peringatan. Barry tidak main-main. Tidak peduli siapapun yang akan mereka hadapi.

“Arghhhh ! Ada 2 orang pemilik simbol barcode itu. Hhh... Seorang agen CIA dari... Amerika. A-aku lupa namanya. Yang kedua, lelaki Prancis. Jasmine Locin. Dia yang menemui Bettino Craxi dan... meminta ijin melaksanakan ‘operasi khusus’, yang belakangan... hanya dalih untuk mengincar Miguel saja saat itu.” jawab Nicola.

Nafasnya mulai berat.

“Jasmine Locin, dimana dia tinggal ?” tanya Barry.

“Paris... semua orang kenal... dengan pria ini.” jelas Nicola.

“Bertugas di dinas DGSE ?” Barry sekali lagi bertanya.

“Aku juga tidak tahu. Enyahlah ! Urus saja masalah kalian sendiri,” pekik Nicola makin sesak nafasnya.

‘Ckrak !’

Lucia tiba-tiba maju untuk merebut pistol dari tangan Barry.

“Hey ?!Qristal refleks bersiaga, menodong balik Lucia. Mengira akan mencelakai Barry.

Barry malah mencegah Q. “Jangan ganggu dia,”

“Kau benar, aku akan mengurus masalah ini dengan cara ku sendiri.” ucap Lucia, menatap tajam kepada Nicola. “Terima kasih, sudah berkata jujur. Aku harap pengampunan atas dosa mu—tapi, sebagaimana cara kalian bekerja sama. Inilah cikal bakal pepatah, Nyawa harus dibayar nyawa.” tambah Lucia.

‘Ckrak !’

Lucy membidik Nicola dari jarak kurang dari 1 meter. Terompet kematian bagi Nicola sudah di depan mata.

“T—tunggu, jangan ! A-aku...”

“Neraka untuk para pendosa dan pembohong! Kalian akan bersua di tempat yang sama!” bentak Lucia keras, diikuti...

‘DORR !
DORR !
DORRR !’

(Tembakan pistol)

‘GBRKK !’

Darah dan isi kepala, terlontar keluar. Berceceran. Saat kedua pria yang duduk bersimpuh di hadapan Lucy, satu persatu ambruk dengan lubang tembak menganga, masing-masing tepat di pelipis kepala.

BRGGK !’


“Woah~ kau serius kami harus bekerja sama dengan perempuan ini ? Look, emosinya saja tidak stabil.” bisik Q kepada Barry.

Mengomentari sinis sekaligus mengacungi jempol nyalinya.

“Ya, aku serius. Lucia bakal memimpin rencana kita mulai dari sini,” jawab Barry mantap, langsung beralih dan meminta pistolnya kembali. Juga menyodorkan rokok untuk Lucia.

“Hey, what ?!”

“Bagaimana dengan yang di bagasi?” tanya Barry.

Angelo dibantu Q langsung menyeret kedua jasad Filippo dan Nicola, mendekati sungai dan...

‘BYURRR !
BYURRR !’

(Dua mayat dihanyutkan ke kanal sungai)

“Dia (Pak Guitano), masih kubutuhkan dalam rencana ini. Hanya saja, apa kau punya ide? supaya dia tidak lagi melecehkan perempuan janda seperti kami?” tanya Lucia.

‘Ctik ! Ctik !’

Lucia mematik rokok, mengepulkan asapnya.

“Fyuhhh~”


“Ada semacam perasaan tak biasa. Balas dendam. Melihat orang-orang ketakutan. Mendengar rintihan, juga ampunan mereka sebelum mati. Apa manusia bisa berumur panjang karena melakukan ini (balas dendam) ?” - Lucia

“Yap, serahkan saja padaku,” jawab Barry, berkacak pinggang. “Jadi, apa kita sepakat membentuk aliansi bersama Qristal dan satu temanku yang lain?”

“Aku tidak peduli dengan apapun, termasuk aliansi konyolmu ini. Aku hanya ingin mengetahui cerita sebenarnya.” jawab Lucia ketus.

Lucy berbalik badan, meninggalkan Barry.

“Lucy ! Kami memerlukanmu ! Kumohon, aku berhutang pada Miguel !” Barry memohon, terus meneriakinya.

Lucia menapaki tiap anak tangga, keluar kanal. Ada pergolakan batin. Dia seperti tidak peduli, di sisi lain juga penasaran dengan rencana yang sedang dikerjakan Barry saat ini.

“Ya. Aku ikut,” jawab Lucia. Seketika, menghentikan langkahnya. Lucy melinguk kepada Barry.

“—tapi aku mengajukan 1 syarat untukmu.”

[ XLVIII ]
 
Terakhir diubah:
EPISODE 8 PART II :
BUSUR & PEDANG

1999's



(Rumah Daphine, kota Dresden)
6 April 1999 | Pukul (UTC+1) 09.30 malam


‘Tingg... Tingg... Tinggg’
‘Tingg... Tingg... Tinggg’

(Bunyi mesin oven)

Daphine dan Hanna baru saja beres urusan masak-memasak di dapur. Kali ini lebih seru, karena menyiapkan lebih banyak porsi makanan untuk teman-teman Max.

Malam ini, mungkin sampai 2 hari ke depan, teman-teman Max akan menginap di rumah.

‘Trkk ! Trngg ! Trkk !’
(Hanna meletakkan piring ke meja)
Mereka bertiga begitu antusias. Selain karena perantau, ada alasan lain yang membuat Max akhirnya menyerah dan mau mengajak mereka ke rumah kali ini.

Alasan pertama. Perkuliahan semester baru dimulai 2 hari lagi, itu pun hanya sebatas pendaftaran dan submit matkul. Tidak ada kewajiban berangkat, bukan?

Alasan kedua. Ide Max untuk mengadakan ‘thanksgiving’ yang sering ditagih karena sebatas wacana semenjak tahun lalu.

Alasan ketiga. Mereka jelas bosan hanya jadi penunggu asrama dorm. Sudah sering mati listrik, makanan cuma kentang, minuman juga cuma soda.

Walau bisa dibilang Max sendiri awalnya keberatan karena tingkah dan akhlak mereka yang kadang menjengkelkan, tapi tak apalah sekali-sekali.

Siapa lagi teman seru-seruan Max kalau bukan mereka ini ?

Keterangan alih bahasa :
🇩🇪 : Percakapan Native bahasa Jerman
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇷🇺 : Percakapan Native bahasa Russky
🇮🇳 : Percakapan Native bahasa Hindi

( 🇩🇪 )
“Dann ist es soweit. Max, ihr drei auch ! (Sudah saatnya makan. Max, kalian bertiga juga !) kita makan sama-sama di bawah !” panggil Daphine setelah semua beres.

‘Ngingggggg!
Trtttttt ! Trtttttt!’
(Bunyi mesin bor)

Sementara di lantai atas, Max bersama Phill dan Dominik terlibat pekerjaan memasang rak dan sepasang lampu hias yang barusan Daphine beli.

Sesekali melempar gurauan ke Daph dan Hanna di kitchen bawah.

“Nun, meine schönen Köche~
(Siap, chef-chef cantikku~)”

Terdengar seorang menjawab demikian, diikuti suara cekikikan. Tidak lama berselang, suara gaduh langkah kaki terdengar menuruni tangga.

“Apa menu masakan kita malam ini ?” tanya Max, diikuti Phill juga Dom yang membantu Demon turun pelan-pelan.


“Kalkun...” jawab Hanna.

“Wow, jarang sekali kita makan Kalkun ramai-ramai seperti ini.” celoteh Phill.

“Cuci tangan kalian, lalu duduklah di kursi. Max yang akan memimpin doa kali ini~” kata Daphine, meletakkan satu persatu piring beserta sendok di atas meja makan.

“Siap~”


Setelah makan malam, mereka lanjut ke sesi mengobrol di meja makan. Dari cerita mereka, Daphine bisa mengenal satu-persatu latar belakang geng ‘76ROOM’ ini.

( 🇩🇪 )

“Sag es mir jetzt (sekarang ceritakan padaku), versi masing-masing, bagaimana first impression awal kalian berkenalan sampai kumpul jadi seruangan asrama ?” tanya Daphine, setelah meneguk minuman di gelas.


Selingan anggur wine di meja, jadi pelengkap cerita pertemuan awal mereka. Untung mereka semua sudah cukup umur untuk mengkonsumsinya.

“Yang pertama adalah Phillip Greiml (19). Kalau dilihat-lihat penampilannya seperti seorang ‘junkies’. Ternyata benar, remaja ini memang datang jauh-jauh dari Marxloh—kota di ujung barat perbatasan Jerman (terkenal dengan kasus kriminal karena sudah jadi kawasan ‘slumdog’). Alasannya berkuliah ke Dresden adalah paksaan orang tua. Mereka harus melarikan Phill ke tempat lain karena terlibat kasus narkotika. Mendengar pengalaman dan ceritanya, aku harus lebih memperhatikan pergaulan Max mulai saat ini. Tapi Max meyakinkanku, kalau Phillip ini sudah benar-benar berubah dan meninggalkan dunia hitam itu.” - Daphine


Di antara mereka berempat, Phillip yang paling menonjol soal komedi. Senang melontarkan lelucon yang lumayan ‘gerr’. Yap, dia adalah badut dalam kelompok ini.

Phillip ini tingginya 170 cm, tapi posturnya agak bungkuk. Daphine amati pada beberapa kali, Phill ini sering menjilat bibir kadang mengelusi bagian resleting celana dari bawah meja makan.

Daphine malam ini mengenakan piyama dengan motif floral. Kadang posisi duduknya menyender rebah. Cuek saja pada bagian dada yang sengaja tidak dikancingkan malah melonggar, menampakkan belahan dadanya.


“Ouh, wow~”

Daph kemudian membenarkan posisi duduknya.

“Yang kedua adalah Dominik Janczke (19). Remaja kulit hitam, paling ‘irit bicara’ di antara mereka bertiga. Posturnya besar dan tinggi mencapai 183cm. Sebagian wajah Dom rusak pasca operasi karena mengalami kecelakaan saat masih kanak-kanak. Perawakan juga sifat pemurung inilah yang membuatnya sering mendapat perlakuan rasis dan bullying bahkan dijauhi anak-anak lain di kampung halaman. Dari Max juga, aku tahu cerita memilukan darinya. Ayah Dom yang seorang keturunan Jamaica. Pekerjaan ayahnya pun bisa dikatakan serabutan, mulai dari supir taksi, penjaga toko, atau menjadi satpam di rumah bordil. Selain pemabuk, keluar-masuk penjara, ayahnya juga sering memukuli Dom. Pernah juga 2x minggat dari rumah, bahkan sempat menelantarkan Dom bersama ibunya di usia 5 tahun. Mungkin, ini yang membuat Dom tumbuh jadi pribadi yang tertutup. Beruntung Max dan teman-teman hadir untuknya.” - Daphine


Dominik ini jago dalam berkelahi. Dia tergabung dalam klub tinju regional kampus. Tapi, menurut Max jika tidak terdesak, Dom lebih suka menghindari pertarungan karena takut terlibat masalah.

Alasannya ? mungkin ini terdengar klise dan terkesan melebar...

Jerman adalah salah satu negara dengan tingkat rasisme tertinggi di Eropa pada saat itu (atau mungkin sampai saat ini?). Tidak akan ada hukum ataupun otoritas yang benar-benar melindungi masyarakat kulit hitam seperti mereka.

Selama pembicaraan, Dom ini begitu tertarik dengan topik seputar dunia perfilman. Yap, cita-citanya adalah menjadi seorang aktor film action.

Spesifik sekali bukan ?

Aktor favoritnya adalah Silverstone Stallon sang lakon dalam film Rambo, sementara aktris pujaannya adalah Drew Barrymore. Tahun depan salah satu film ikonik Drew, ‘Charlie Angels’ akan di rilis. Dan Dominik tentu tidak sabar untuk menyaksikan sang idola berakting sebagai salah satu dari tiga karakter utama.

( 🇩🇪 )

“Daph, ketahuilah ini bukan soal akting Drew Barrymore saja. Dom ini memang punya fetish ke cewek redhead yang suka genit nan bitchy,” ledek Max.

“Hahahaha...”

Kekeh mereka bersamaan. Sementara Dom langsung mati kutu, malu.

“Ehm ! Sorry ?” Hanna berdehem. Seketika membuat suasana jadi canggung.


Sempat hening ketika Hanna melirik Daphine yang kebetulan secara spesifik punya model rambut ginger redhead, sesuai yang Max sebutkan barusan.

‘Degh !’

Kebetulan yang sangat mind blowing bukan ?

“Well, apapun itu... kita semua tetap sepakat kalau Dom ini adalah kolektor poster majalah dan fans Drew Barrymore nomor 1 di dunia.” tambah Max, si penyebab awkward moment.

“Yang ketiga dan yang paling tua, tentu saja Jaulil Desmukh (20). Remaja berambut afro-Indian. Diaspora (imigran) asal Bangladesh yang beruntung mendapat beasiswa di kampus TU Dresden. Karena penampilan dan muka dekilnya, juga kebiasaan jarang mandi, yang membuat Max cs suka memanggilnya ‘Demon’. Menurut Max, Demon ini adalah anak ke-3 dari 6 bersaudara. Kakak pertama Demon adalah ‘kloter pertama’ arus migrasi dari India-Bangla-Pakistan yang tiba dengan selamat ketika marak demo - sweeping menentang UU imigran oleh kelompok ekstrimis sayap kanan Jerman. Menariknya, musim depan Demon akan menyusul Max promosi ke skuad senior Tim SG Dynamo Dresden. Membuatnya jadi pemain dari Asia pertama yang bisa menembus kompetisi regional Jerman.” - Daphine


Weißt du ! Viel Glück ! (Selamat yah ! Semoga sukses !)” puji Daphine.

Dibanding Phill atau Dom, Daphine justru lebih tidak nyaman dengan gerak-gerik Demon, semenjak mereka ada di mobil.

Bukan penampilan atau kebiasaan dekilnya. Yang bikin ilfeel adalah sorot mata anak ini selalu mengekor jelalatan, seolah mengintai Daph dari lantai atas ketika dia dan Hanna memasak di dapur.

Tapi selama tidak tengil, Daph tidak akan sampai hati. Karakter, budaya, juga kebiasaan orang berbeda-beda dan unik.

Ada yang gemar menebar gombalan-rayuan memabukkan. Ada yang senang lewat cara physical touch. Ada yang terlihat cuek tapi perhatian. Mungkin ini cara Demon untuk mengagumi Daphine dan para kaum wanita pada umumnya.

Jika dilihat sepintas. Perawakan, rupa, fisik, dan penampilan Demon ini mirip sekali dengan si Rakash Srepal, petugas teknisi kontrak di kantor Daphine.

“Mengenal karakter orang seperti mereka ini kadang bikin penasaran tapi juga merinding.Tau sendiri kan maksudku ?” - Daphine

Mereka berbincang lumayan lama malam itu. Tak terasa sampai sekitar pukul 11.15 malam, baru mereka pamit untuk beristirahat.

Max kebagian beres-beres meja.

“Daph, lusa aku berencana mengajak Alicia pesta BBQ di kebun belakang. Was denkst du ? (Bagaimana menurutmu ?)” Max bertanya demikian.

Er kam allein ? (Dia datang sendirian ?)” tanya Daph.

“Aku ajak dua sahabatnya juga. Kau tidak ada acara keluar ?” tanya Max.

Menggeleng. “Wer weiß (Entahlah), mungkin cuma mengurus kontrak kerja. Paling lambat pulang sore hari,” jawab Daph. “Itu artinya kalian harus menyelesaikan pekerjaan ini sebelum berbelanja. Jangan sampai lupa !” tambah Daphine, mengingatkannya.

“Oh God ! yang ada di sebelah sini juga ?” tanya Max.

Mereka barusan juga selesai menandai titik posisi pemasangan rak dinding untuk mengganti kerusakan beberapa barang di ruang keluarga. Tebak apa penyebabnya ? hehehe.

“Widersprochen ? (Keberatan ?)”

“Okay-Okay ! kita kerjakan pagi ini. Selamat malam Daph !” pamit Max, sebal, menyusul 3 temannya naik ke atas.

[ XLIX ]


(Rumah Daphine, kota Dresden)
7 April 1999 | Pukul (UTC+1) 06.15 pagi

Keesokan paginya, saat bunyi bising mesin bor dan pukulan paku lumayan mengganggu tidur Hanna di dalam kamar Daphine.

‘Ngingggggg !
Trtttttt ! Trtttttt !’
(Bunyi mesin bor)


( 🇩🇪 )

“Ini terlalu pagi, Max !” protes Hanna, langsung mendekap erat bantal.

Du Faulpelz ! (Dasar pemalas !)” gurau Max, lumayan bikin Hanna sebal.

Sementara Daph sudah bersiap menghidangkan sarapan roti daging cincang untuk mereka bertiga.

Dibantu Dominik dan Phillip, Max sibuk memasang rak beserta lampu yang akan memberi nuansa ‘vibes’ baru di ruang tengah.

‘Dok! Dok!
Dok! ! Dok!’

(Bunyi pukulan palu ke tembok)

Sementara Demon yang mengalami cedera, masih terlelap di kamar Max.

“Nimmst du den Demon nicht heraus ?
(Demon tidak kalian ajak ?)”
tanya Daph.

“Nein (nggak), mana mau repot-repot anak itu ?” jawab Max.

Sudah 80% pemasangan bagian yang dikerjakan, tinggal finishing (menempel wallpaper) dan lampu pita saja. Selesai sarapan, mereka langsung bersiap pergi keluar.

Max, Phill, dan Dominik akan pergi keluar, berbelanja keperluan bahan dan pernak-pernik untuk memeriahkan pesta BBQ besok malam. Sebelumnya, Max sudah minta izin meminjam mobil Daphine.

“Pukul berapa kalian pulang ?” tanya Daphine, mengantar mereka bertiga sampai masuk ke mobil.

“Entahlah. Aku harus mengantar mereka juga mengambil baju ganti.” jawab Max.

‘Jglek !’

Max mengangguk untuk kemudian naik ke dalam, disini hanya dia yang paling berpengalaman menyetir mobil.

Sementara Phill ada di bangku samping, Dom duduk di bagian penumpang tengah.

Badan Daphine agak membungkuk bertopang lutut saat berbicara kepada Max. Belahan dada Daph langsung terjangkau mata cabul Phill dari tempatnya duduk.

Glek...

Phill meneguk ludah, pagi-pagi langsung disuguhi pemandangan seperti ini.

“Oh iya, aku mungkin tiba sore atau menjelang malam. Sampai itu tiba, pastikan kalian sudah kenyang di luar.”

“Beres~ kalau bibi Daph sendiri perlu kami jemput ?” tanya Phill dari samping.

“Nein (Nggak perlu). Aku bersama Hanna kali ini. Jangan khawatirkan aku,” jawab Daph. “Jangan lupa, sudah kalian ingatkan Demon soal obat resepnya ?”

“Schon~ (Sudah~) jawab mereka serempak.

“Baiklah. Hati-hati di jalan~”

“Tschüss (Sampai jumpa), Daph~” jawab mereka bertiga begitu Daphine masuk kembali ke rumah.

“Max, weißt du was ? wir waren letzte Nacht wirklich neidisch (Kau tahu ? kami benar-benar iri semalaman)”

“Hah ?” tanya Max heran, segera menarik handrem dan menyalakan mobil.

“Jika memang bibi mu belum menikah, itu artinya... ketika bayi kau punya kemungkinan mendapat asupan susu berlimpah dari Daphine.” celoteh Phill.

“Bufffkhhhh...”

Dom sampai tertawa meringkik mendengar lelucon ngawur temannya ini.

“Yah, well. Aku kadang juga iri... kau punya banyak ‘asupan’ lelucon hasil dari sepongan ke kontol ayahmu.” balas Max, tidak kalah sarkas.

“Bufffkhhhh—”

‘Grrnggggg...’
(Mobil melaju, meninggalkan halaman rumah)



20 menit kemudian...

‘Krukkkkklkk~’

Demon terbangun dalam keadaan perut keroncongan. Suaranya bersaing dengan alarm jam weker di kamar Max.

“Hoakh !”

Demon menguap, meregangkan tangannya. Mengucak mata.

Tidak ada suara mesin bor dan pukulan palu. Apa itu artinya pekerjaan sudah selesai di bawah ? Sialan, kemana setan-setan ini meninggalkannya sendiri ? pikirnya.

“Max, Dom, Phill ?” panggil Demon.

Tidak ada jawaban, dengan sedikit usaha dan susah payah, Demon merambat dinding, keluar kamar.

Mengintip ke lantai bawah, sepi. Pun ada sepiring makanan yang sudah dipersiapkan untuk Demon.

Masalahnya adalah, apa baik (sopan) makan tanpa ijin penghuni rumah ?

Demon bergegas menuruni tangga, perlahan, hati-hati dengan langkah kecilnya. Menuruni tangga walau terpincang, berpegangan pada railing dan tembok, itu bukan masalah untuknya. Perutnya makin keras bersuara, itu yang jadi masalah.

“Huhh~” saat berhasil sampai dengan selamat di bawah.

Demon mengamati pekerjaan Max cs, sepertinya sudah hampir selesai. Tapi, bor, palu, perekat, juga perkakas lainnya masih berserakan di lantai.

‘Brkk ! Brkk !’

Demon berinisiatif mengemasi alat-alat perkakas. Memasukkan kembali ke dalam box. Memang minus mereka ini, kalo soal kedisiplinan.

‘Ngikkk !’
‘Srrrrrrrsshhhhh...’
(Kran shoower diputar, air mengalir)

Samar-samar Demon mendengar suara air shower mengalir. Sepertinya ada kamar mandi pada sisi lain dinding tempat Max melubangi dengan bor.

( 🇩🇪 )

“Beeilen Sie sich, kommen Sie nicht zu spät ! (Cepetan, biar nggak telat !)”

“Yah, baru juga jam 07.30~”

“Oh, jadi seperti ini kebiasaanmu ? pantas sering telat, Daph! ”

Demon spontan menguping, menjelajahi permukaan dinding karena ada kasak-kusuk pembicaraan dua orang di dalam. Sepertinya Hanna dan Daphine yang ada di sana.

Itu memang Daphine dan Hanna, alamak !

Tangan Demon langsung meraba sekeliling dinding yang sudah terpasang rak dan lampu. Tapi masih bisa dibongkar.

Senyum Demon merekah. Bunga-bunga erotisisme bermekaran dalam benak Demon. Bakal seru, pikirnya.

Pekerjaan Max dan teman-teman tidak bisa dikatakan rapi. Lubang-lubang bekas bor yang lumayan menganga di sana-sini.

Setelah memastikan tidak ada orang, Demon segera beraksi...

Lampu dinding yang belum sepenuhnya dikaitkan, langsung Demon copot lagi. Ada lubang seukuran jari telunjuk yang masih plong belum dimasuki sekrup fischer.

Huh, kesempatan pikirnya. Tapi ketinggian celah lubang itu lumayan sulit, sehingga Demon harus pakai pijakan.

‘Drrttkkk—’

Saking semangatnya, Demon menarik kursi sampai berderit keras. Hampir saja buyar. Bisa saja Daph atau Hanna curiga kalau mendengar derit kursi tadi. Tapi sepertinya tidak berpengaruh.

“Ough— Upsss...

Maka dengan langkah pincang, Demon bopong kursi tadi sebagai pijakannya untuk mengintip melalui celah lubang dinding tadi. Demon menaikinya, bertapak 1 kaki. Menyusuri pandangan dan...

‘Degh !’

Demon bisa mengintip jelas, Daphine dan Hanna sedang membilas di bawah pancuran shower.

Demon mengintai cabul ke arah Daphine yang bugil, polos, basah oleh derasnya air shower.

Bibi Max ini sangat menghayatinya, mengilustrasikan sempurna langsung kepada Demon tentang apa yang seharusnya wanita lakukan saat mandi. (Tsaah!)

Memulai dengan menengadahkan kepalanya ke atas shower. Membilas lembut rambut, turun membilas ke pundak, menggosok, memutari punggung dan berakhir membasuh tetek.

Perut, pinggul, juga bokongnya yang menantang semalaman, dibilas belakangan.

Kemudian kembali membentangkan tangan ke atas, membilas rambut ginger panjangnya.

Tetek Daphine yang mengkal, mengembung mirip seperti bola disco, dengan puting areola warna kecoklatan sebagai puncak menara, bentuknya bulat sempurna walau sedikit turun.

Semalaman, itu jadi bahan gunjingan Demon bersama Phillip, pagi ini langsung bisa dia saksikan dengan mata kepala sendiri.

Bulir tetesan air jatuh merembes, membasahi kulit Daph. Mengalir mulus melewati celah pangkal pahanya yang dicukur bersih.

Semua detail itu Demon saksikan jelas.

Demon... sampai meneguk ludah.

Ada momen paling seksi, saat Daphine berurutan membilas rambutnya dengan kedua tangan terangkat. Ketiak, leher, juga dada Daphine begitu mulus pada momen gerakan remeh ini.

‘Srrrrrrsshhhhh...’
(Air shower mengalir makin deras)

Wangi sabun dan shampo, bercampur uap air hangat, seketika membius dan mengambil alih kesadaran Demon.

“Hmphh~”

Demon menghirup aromanya kuat-kuat. Mata Demon sampai terpejam, meresapi kesempatan langka ini.

‘Degh !’
Turun perlahan, Demon memasangkan lagi lampu dinding tadi, namun berbeda titik pada lubang lainnya.

Demon juga menutup lagi celah lubang intip tadi dengan paku tusuk juga secarik gulungan lakban perekat untuk menyumbat, diatur sedemikian rupa sehingga bisa dibuka kembali tanpa meninggalkan bekas cabutan.

Dengan langkah pincang, Demon bopong kursi tadi ke tempat semula. Perkakas dan alat pertukangan kembali Demon bongkar. Membuat seolah tidak ada siapapun disana.

Selanjutnya, entah, bisikan setan atau apalah itu, yang mulai merasuki kepala dan mengontrol niat.

Pintu terdorong perlahan dari luar. Demon nekat menyelinap masuk kamar Daph yang tidak terkunci. Di sini dia merasa sadar - tidak sadar. Dengan kaki pincangnya perlahan mengendap-ngendap, menapak masuk.

Ranjang, lemari baju, juga meja buffet Daph masih berantakan. Ada banyak merk brand parfume dan kosmetik mahal tertata di meja rias.

Sebuah cermin model vintage, turut menyatukan gaya 80s interior ruang yang berwarna blue-royal. Memang elegan selera Daphine ini.

Demon masih ragu sampai sini. Tapi mendengar derasnya air shower yang mengalir, sepertinya hanya itu yang bisa dia jadikan patokan hidup atau mati.

‘Srrrrrsssshh...’
(Air shower masih mengalir)

Mati, jika tiba-tiba Daph atau Hanna keluar. Memergokinya bagai maling cabul. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Matilah sudah.

‘Ngikkk...’

Bunyi derit ranjang, empuk saat di duduki. Pun sampai Demon serampangan ada di ranjang Daph seperti ini, dua orang tadi masih belum juga menyelesaikan mandi.

“Hmmph~ Hmph~”

Demon hirup aroma dan wangi kamar Daphine. Sejuk sekali kamar disini.

Demon jadi teringat sosok ibunya. 2,5 tahun sudah berlalu. Demon tidak punya pilihan selain berpisah dengan keluarganya, ribuan mil merantau ke Jerman, menjemput abangnya.

Demon akan melangkah keluar. Rasa penasaran dan fantasi sedikit tersalurkan. Sempat memperhatikan sekeliling. Di samping meja rias Daphine, ada keranjang rotan seukuran koper orang dewasa berisi tumpukan pakaian kotor yang sudah menggunung.

“Hanya beberapa dalaman BH ukuran Big size, juga g-string yang belum sempat masuk mesin cuci. ‘Hmmph~’, kuendus, rupanya masih wangi. Ada beberapa pasang disana, mungkin ini yang semalam Daphine gunakan.” - Jaulil Desmukh.

‘Srrrkk... Srrkkk !’

Lumayan absurd saat Demon mengendus bau set dalaman Daph satu persatu. Seolah, memilih yang paling wangi dan langsung mengutilnya masuk ke kantung celana Demon.

Terpilih satu set dalaman, BH dan g-string warna hitam berenda.

“Ekh ?”

Ada hal lain, yang membuatnya lebih tertarik. Saat menilik lebih dekat. Itu semacam kain mirip selendang pria yang menjuntai dari dalam keranjang. Warna magenta. Cuma selendang usang, seperti sudah lama ditinggalkan atau mungkin tidak terpakai lagi.

“Hmph~”

Sekali lagi, Demon mengendus baunya.

Saat dipegang seperti ada tekstur bubuk warna dengan aroma yang juga khas di permukaan kain. Yah benar, tidak salah lagi, ini bau bubuk powder pewarna.

“Terlihat familiar, aku pungut sebentar juntaian kain tadi. Memastikan itu sama seperti yang biasa kami gunakan pada acara-acara tertentu. Dan yah, itu memang selendang *Dupatta.” - Jaulil Desmukh

Selendang Dupatta bekas festival Holi. Tapi memang apa yang salah? pikir Demon saat itu.

Sibuk dengan aktivitas anehnya ini, tiba-tiba matanya menemui semacam detail di ujung selendang Dupatta.

“Lho ?”

Demon mengerjap mata, mungkin salah lihat.

“Bukan tag. Bukan juga coretan yang tidak disengaja. Itu membuatku lumayan berpikir keras dan coba menerka. Bagaimana bisa, ada coretan nama abangku?!” - Jaulil Desmukh

Heran, kepikiran, juga penasaran. Kenapa tertulis nama abangnya di selendang itu ? Apa mereka saling kenal ?


‘Ngikkk !’
(Kran shower diputar, air berhenti mengalir)

Tiba-tiba pancuran air shower berhenti, bersamaan dengan diputarnya gagang pintu kamar mandi.

“Huh ?”

Panik. Melinguk sana-sini. Tidak ada tempat, bahkan sempat untuk bergerak. Sekujur tubuh Demon terasa kaku, membeku. Kakinya tidak sanggup diangkat, apalagi melangkah.

Tidak akan sempat, tidak akan selamat !

‘Ngikkk—’

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, Hanna yang keluar lebih dulu.

( 🇩🇪 )

“Du bist schön, musst sicher sein (Kamu sih cantik, aman-aman aja), tinggal jilat lidah sana-sini. Nah kalo aku ?” kata Hanna, melangkah keluar kamar mandi.

Diikuti Daphine di belakang. Masih basah, pun terlilit handuk di atas lutut, buliran air masih menetes ke lantai kamar.

“Nggak ada hubungan antara cantik sama datang telat, Erstaunt ! (heran deh !)” gerutu Daphine.

“Ja da ist ! (Ya ada dong !) Mereka yang cantik, mereka juga yang bakal selamat !” jelas Hanna.

Hanna dan Daphine berkaca di cermin meja rias. Membuka lilitan kimono dan handuk masing-masing.

‘Wushhh !’

Melempar
dalaman masing-masing ke keranjang di samping meja rias.

Mereka berdebat soal penilaian Pak Roger kepada staf-staf cantik yang tidak pernah kena semprot jika terlambat mengikuti rapat.

“So dumm~ (Terserah~)”




(Kantor asuransi AOK, kota Dresden)
Pukul (UTC+1) 08.15 pagi

Beberapa menit kemudian, setelah perdebatan Daph dan Hanna semenjak di kamar mandi hingga perjalanan menuju ke kantor. Terlambat 15 menit.

Bukan masalah bagi Daphine, tapi masalah bagi Hanna. Status Daphine hanya tinggal menunggu surat kesepakatan kontrak kerja.

Pun datang kesini hanya untuk menemui Roger dan mengemasi beberapa barang yang masih tertinggal di meja.

( 🇩🇪 )

“Hast du dich mit Radhaj versöhnt ?
(Kamu udah baikan sama Radhaj ?)”


Sindir Daphine saat melirik kepada Hanna yang terlihat senyum-senyum sendiri begitu masuk ke lift.

Barusan mereka berdua berpapasan dengan Radhaj Shrav, si supervisor bagian IT asal India di lantai dasar.


“Baikan banget sih belum~” jawab Hanna, pun tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang merona merah.

Baikan banget ? Hey, setidaknya perlihatkan nilai jualmu. Jangan mudah percaya apa yang laki-laki katakan,” balas Daphine.

"Memang apa yang tidak bisa kupercaya dari radhaj ?"

Bukan cuma Radhaj, aku bilang semua laki-laki. Dan jika 'kuda pony' kecil di depanku ini bingung, mungkin sekali-sekali kau boleh iseng menanyakan pada pacarmu... seperti apa kriteria cewek idealnya ? Contoh, seksi ganas sepertiku atau lugu lemot sepertimu ? Lalu jika maun lebih seru telusuri tiap kontak di ponselnya, jika pengakuannya benar, Radhaj tidak akan terganggu...” jelas Daphine kepada Hanna yang cuma melongo.

"Hmmm ?"

“Dummes Gör ! (Dasar labil !)”

‘Tingg !’

Pintu lift terbuka, mereka tiba di lantai 3.

‘Duo kate & kuda poni’ ini keluar dari lift dengan penampilan busana kerja style ala 80an.

Daphine mengenakan dress kerja warna hijau tosca ketat, dengan model berenda bagian dada. Sementara Hanna mengenakan blouse yang lebih casual warna navy.
Ketukan heels Daphine dan Hanna, kompak membuat semua mata langsung tertuju pada mereka berdua. Ada wajah-wajah karyawan anyar yang baru mulai bekerja disini, seolah dibuat kagum dan terpukau dengan inspirasi style kantor klasik ala Daphine dan Hanna.

Beberapa staf cowok kasak-kusuk juga membicarakan mereka berdua, sesekali mereka mengintip dari smooking-room. Seperti biasa, bergosip disini sudah bukan kebutuhan perempuan saja.

( 🇩🇪 )

“Yang melirik itu orang-orang baru. Sie haben vor einer woche mit der arbeit angefangen (Mereka mulai bekerja seminggu yang lalu)” jelas Hanna.

“Ahaa...”

“Aku ke meja dulu. Kalau Pak Roger sampai, kuberi kabar secepatnya.” pamit Hanna, beralih ke meja kerja.

“Oke !”

Daphine dan Hanna beralih ke meja kerja mereka masing-masing.

Sesekali mengemasi berkas, memasukkanya ke dalam dus, Daphine kaget juga terharu begitu menemukan banyak stick-notes yang tertempel pada bilik meja kerja.

Ada beberapa coretan kertas notes berisi ucapan perpisahan tertempel di bilik, sepertinya dari rekan-rekan kerjanya.

Pesan-pesan mengharukan, ada yang lucu, sedih, bahagia, apapun kesan mereka kepada Daphine selama ini.

Well, walau ada satu - dua orang yang biasanya menyebalkan bagi Daph, tapi setidaknya ‘ucapan sayang’ mereka ini bisa bikin Daph tersenyum-senyum, terharu. Hal langka yang Daph rasakan selama bekerja disini.

Suasana kantor dan keriweuhan pagi hari seperti ini yang akan Daphine rindukan nantinya.

Saat membuka laci, mengeluarkan barang-barang dari sana, sekilas Daph tertuju pada secarik kertas yang tertempel diantara ada coretan bergambar sketsa yang sepertinya memang ditujukan kepada Daphine.

‘Degh !’

“Daph ! Pak Roger—” panggil Hanna.

Tiba-tiba muncul, niatnya sekedar memberitahukan kalau Pak Roger sudah tiba ke ruangan.

“Hssssstt ! Berisik, setidaknya biarkan dia menghisap rokoknya dulu !” sahut Daphine, ketus.

"Kau tidak bawa makanan atau cemilan kesukaan roger sepeeri biasanya ?" tanya Hanna.

Kebiasaan Daph ketika meeting dengan Roger atau direksi perusahaan lainnya adalah membawakan makanan yang Daph buat secara homemade.

Aneh, baru saja pulang dari Frankfurt, dan kau telat menjemputku... pikirmu aku sempat ?”


Saat remeh mengecek satu persatu berkas tidak sengaja Daphine melirik ke arah gambar kertas yang tertempel di cermin kaca. Hanna juga langsung menyadarinya...

Oh tidak...

‘Drrrkk !’

Daphine langsung bangkit dan keluar ruangan. Mukanya kesal dan marah. Hanna ikutan mengekor. Lumayan, ada tontonan asyik nih pagi-pagi.
Ketukan heels Daph, langsung terdengar keluar dari ruangan. Dia akan sedikit beramah-tamah kepada tiga orang staf yang sedang duduk santai, merokok di smooking room.

“Apa itu tadi ?” tanya Daphine dingin. Menunjuk ke arah meja kerjanya.


“Hey, selamat pagi Daphine, sudah lama jarang kelihatan ?” jawab seorang.

“Apa salah satu kalian yang menggambar ?”

Mengulangi pertanyaannya. Mode paling kalem. Daphine mencoba tidak terpancing lebih dulu.

“Mereka pikir aku cuma main-main ? No ! Aku siap kalau musti bertarung lawan 3 banci ini. Itung-itung, pemanasan sebelum meminta pak Roger men-skorsing mereka. Masing-masing bernama Mike (28), Ludwig (30), dan Rudy (27). Ketiga orang ini kerap berulah di kantor. Melempar gurauan mesum, menggoda para SPG perusahaan, juga jenis pelecehan verbal lainnya. Jadi kenapa perusahaan masih menampung orang-orang toxic seperti mereka ini?” - Daphine

“Welches Bild ? (Gambar apa sih ?)” jawab Rudy. Berpura-pura, padahal ‘cengengesan’ di belakang.

“Sketsa Pornografi,” jawabnya. “Kalian yang membuatnya ?”

“Oh, Hahaha...” tawa bodoh mereka bertiga, benar-benar bikin naik darah.

“Jadi begini, ada anak baru di lantai 2 yang ternyata jago lukis sketsa cepat. Kita minta dia, ngelukis sketsa gambar buat kenang - kenangan untukmu. Berhubung kita belum sempat cari kado, jadi kita kasih aja surprise tadi itu,” jelas si Ludwig, bajingan memang.

“Ouw, really ?”

“Cuma momen pas kamu ketahuan lagi fellatio itu yang paling membekas bagi kami, hehehe.” imbuh Mike.

Daphine sempat terdiam mendengar ejekan trio toxic ini. Hanna yang merasa kasihan sebenarnya bisa saja langsung menampar mereka, namun Daph sudah memintanya untuk tidak ikut campur karena tak ingin ada kegaduhan sebelum menemui Roger.

“Baik, terima kasih. Anyway, itu surprise yang ‘unik’ menurutku, juga gambar yang keren, tolong sampaikan pada temanmu tadi,” celoteh Daphine. “Lalu yang jadi masalah, moral atau keharmonisan kalian ya? Kutebak, istri kalian masing-masing terlalu peyot, menyedihkan atau memang kalian sendiri yang terlalu ringkih sehingga tidak mampu menuntaskan fantasi sendiri. Jadi, kalian membuat ide berdasarkan ‘fantasi tak tersalurkan’ itu kepadaku dalam bentuk gambar. Terima kasih, aku sangat tersanjung.” imbuh Daphine.


Sindiran 'savage' si redhead kesayangan kita semua ini cukup untuk menampar telak ketiga staf kurang ajar itu. Mereka semua langsung terdiam.

Daphine tersenyum puas, melengos, meninggalkan mereka...

Bahkan Hanna lebih dilirik si tua Thomas ketimbang istri kalian bertiga ketika di pesta !” ledek Daphine sebelum meninggalkan mereka semua.

“Schlampe ! (Dasar perek !)” balas Ludwig, yang malah berbalik emosi mendengarnya.




(Ruang kerja Roger Kartheiser)

Roger sebetulnya punya urusan bisnis bersama kolega asal Berlin. Berhubung mampir ke kantor, Daphine meminta Hanna untuk menyempatkan waktu pertemuan mereka.

( 🇬🇧 )

“Untuk merayakan pengangkatanmu sebagai staf kedutaan, kali ini kita bicara bahasa Inggris saja.” canda Pak Roger mengawali.

Sekali lagi mengisi penuh gelas Daph dengan whisky.

Trngg !’

Roger menuang whisky ke gelas, mengajak Daph bersulang.

‘Glk. Glek.. Glek...’

Daphine meneguknya nikmat. Whisky milik Roger selalu jadi yang terbaik. Sudah menjadi semacam tradisi di setiap pertemuan mereka.


“Jadi kapan mulai bekerja di sana ?” tanya Roger di sela obrolan dengan Daphine.

“I don’t know, yang penting urusan kontrak disini selesai. Setelah itu, terserah~”

‘Fyuuhhh~’

Daphine kemudian mengepulkan asap rokok.

“Kenapa sampai sejauh ini ? maksudku, bukan cuma kau... bagaimana soal keselamatan Max ?” jawab Roger.

“Ouw, kenapa seolah anda jadi mengkhawatirkan keluargaku ? aneh.”

“Daph, ini bukan soal khawatir atau tidak. Mungkin, ini soal menyangkut keselamatanku juga...” balasnya.

“Lalu, kenapa masih berdiam di sini ? kenapa menyetujui surat pindah ku sampai masuk kedutaan, kau melihat peluang dariku ?”

“Sudah kubilang, jangan libatkan aku lagi pada urusan ini. Kau hanya belum paham, sekumpulan orang-orang menakutkan, akan terbangun begitu tau rencana pergerakanmu,” jelas Roger. “Itu sama saja mengusik mereka.”

“Hahahaha. Benar kata Big. Herb pak, anda ini memang terlalu naif~” jawab Daphine.

Sepertinya selain Barry, Herber dan Barsi, Pak Roger ini juga salah satu orang yang mengetahui rahasia dan latar belakang Daphine.

“Aku tidak sudi berurusan dengan mereka. Jadi apapun yang terjadi, jangan sangkut-pautkan aku !” tambah Roger.

‘Fyuuuhh~’

Daphine sempat mematikan puntung rokok ke asbak. “Aku punya dua kolega yang bisa memberi pilihan. Satu tangan kiri adalah busur, dan satu tangan kanan adalah pedang. Itu tergantung dimana posisiku yang akan datang.”

“Oh ya, siapa mereka ?”

“Hahaha, mau tau aja !” sahut Daphine. “Jadi apa anda benar-benar akrab sama si Petr Clauss itu ?” tanya Daphine melanjutkan.

“Hubungan kami cuma sebatas teman kampus di New York. Memang kenapa ?” jawab Roger.

“Sekedar menvalidasinya,” dalihnya. “Bagaimana hubungan kekerabatan mereka ? adik, ayah, ibunya ?” tanya Daphine.

“Kalau soal itu, aku tidak tahu.”

“Ehmm, yasudah~” jawab Daphine. “Setelah ‘cuti’ ini, atau jika hal yang paling parah, terjadi... aku tidak akan sudi menandatangani perpanjangan kontrak ! Kau boleh cari orang baru. Tapi, aku tidak menanggung atas apa yang akan terjadi dengan bisnis juga keluargamu di Los Angeles. ancam Daphine.


Sama. Daphine punya kartu ‘As’ untuk memaksa Pak Roger ikut terlibat.

“Sudah pasti kau akan mengancamku. Tapi maaf, aku tidak akan menarik kata-kataku. Aku tidak tertarik untuk ikut terlibat—” jawab Roger.

‘Brak !’

Daphine langsung menggebrak meja. Gelas di tangannya sudah siap menimpuk kepala Roger.

Pak Roger hanya melongo, lumayan ngeri saat tiba-tiba tangan Daphine cekat meraih gelas dan sedetik kemudian sudah berjarak 2 inchi dari matanya.

“You okay ?” tanya Roger.

Daphine yang merasa sudah kelepasan, perlahan merebah ke kursi. Menyeka air mata yang sudah berlinang.

Pak Roger paham dengan perasaan Daph, menyodorkan tissue untuknya.

“Bukan maksudku menghalang-halangi. Kau hanya perlu menunggu di waktu yang tepat. Rencanamu belum matang, Daph.” ungkap Pak Roger.

Daphine menangis, tidak begitu deras. Tapi ada seperti rasa penyesalan.

“Setiap malam, aku selalu bermimpi buruk. Antoine, datang memintaku berhenti berbuat, padahal akulah yang paling berdosa besar !” kata Daphine, sembari menangis sesenggukan.

“Aku paham...” jawab Roger. “Justru aku lebih mengkhawatirkan Max. Kau mudah merencanakan, lalu jika saja berakhir nahas seperti abangmu. Siapa lagi yang Max miliki ?” imbuh Roger. “Saranku. Pikirkan saja dulu. Jangan gegabah. Tunggu waktu yang tepat.” tutup Roger.

‘Ngikkk...’

( 🇩🇪 )
“Pak Roger, Ehm ?” panggil Hanna, tapi saat melihat Daphine menangis mengelap tisu.

“Mein Gäste sind angekommen ? (Tamu ku sudah datang ?)” tanya Pak Roger. “Oh ya, Nona Hanna, tolong bawa rekanmu pergi makan. Dia begitu terharu dengan perpisahan ini.” imbuh Pak Roger, berdalih demikian.

Hanna mengangguk lalu pamit, merangkul dan membawa Daphine keluar.

Danke für ihre zeit herr~ (Terima kasih atas waktunya, pak~)”




(Rumah Daphine, kota Dresden)
Pukul (UTC+1) 07.15 malam

Menjelang makan malam, juga saat semua orang sibuk mempersiapkan acara pesta besok.

Daphine dan Hanna kebagian memasak kue dan mencoba resep masakan ala Mexico, Burrito.

‘Dok ! Dok !
Dok! ! Dok !’
(Bunyi pukulan palu ke tembok)

Dominik kebagian menyelesaikan sisa pekerjaan di ruang tengah. Max bersama Phill kebagian pekerjaan lain yang ada di halaman belakang, menata pernak-pernik.

( 🇩🇪 )

“Apa ada yang ngeliat si Demon ?” tanya Max kepada semua orang di dalam rumah.

“Dia bilang ada sedikit masalah pencernaan.” jawab Dom, masih fokus menancapkan paku untuk lampu pita.

“Memang makanan apa yang dia makan hari ini ?” tanya Hanna.

“Apa dia bermasalah dengan junkfood sebelumnya ?” tanya Phillip.

“Sepertinya tidak. Was hat aunt Daphine zum Frühstück gekocht ? (Apa yang bibi Daphine masak saat sarapan ?)” tanya Max bergantian.

“Roti daging cincang, bukannya kalian juga makan ?” jawab Daphine, sembari melumer adonan kue.

“Max, apa kita menggeser posisi lampu sebelumnya ? lihatlah.” tanya Dominik, merasa ada hal ganjil dengan peletakan lampu, seperti bergeser dari titik sebelumnya.

Ini karena ada banyak lubang bor yang berantakan.

“Das glaube ich nicht (Aku rasa tidak menggeser lampu). Ya sudahlah, selesaikan saja dan cepat bantu aku di halaman.” pinta Max.

‘Ngingggggg!
Trtttttt ! Trtttttt!’
(Bunyi mesin bor)

Sementara itu...

Keributan dan keriweuhan di bawah nyatanya tidak menganggu kesenangan Demon yang sejak sejam yang lalu berdiam di bathub kamar mandi Max.

Demon merebah di bathub kamar mandi Max, celananya sudah menggantung di telapak kaki yang menjuntai keluar dari bathub.

‘Srrrrrrrshhhh...’
(Pancuran deras air bathub)

Sesekali merasakan gemericik pancuran air, menyembunyikan erangan cabulnya.

( 🇩🇪 )

“Ouffhh... ssshhh... Akh! Akh!”

Tak ada yang menyangka. Di dalam kamar mandi, Demon asyik beronani. Berfantasi kepada sosok wanita.

“Ough... ough... ough! Bibi Daph! Akhhh~”

Sesekali mengerang menyebut nama Daphine. Tangannya terus mencekik, tidak berhenti bergerak, mengocok selangkangan yang dibungkus dengan set dalaman g-string milik Daph yang dia curi pagi ini.

‘Clk. Clk. Clk. Clk.’

Pikirannya yang sudah tak kuasa membendung imajinasi ketika merasakan sensasi g-string bekas pakai Daph, membungkus selangkangan, menggosokkan beberapa saat sebelum memulai ritual utama.

‘Clk.. Clk.. Clk.. Clk..’

“Hehehe...”

Wajahnya menengadah, matanya terpejam, ada seringai mesum. Seolah membayangkan Daphine memainkan ini kepada Demon.

Apalagi membayangkan badan Daph yang begitu mengkilap di bawah guyuran shower, saat dia intip pagi ini.


Gerakan dan cekikan tangan ke selangkangannya makin keras dengan tempo gesekan cepat.

‘Clk... Clk... Clk... Clk...’

“Ough... Ough... Oohh! Bibi Daph... Yah terus Bibi, Yah Argh! Argh! Arg! Akhhh~”

Demon mulai terobsesi kepada Daphine semenjak kejadian pagi tadi. Disisi lain juga masih penasaran dengan selendang Dupatta bertuliskan nama abangnya, yang dia temukan di kamar Daph. Belum mempan, Demon berganti meranggih BH hitam Daphine. Satu set dengan g-string barusan.

‘Clk... Clk... Clk... Clk...’

Benda miliknya dalam genggaman, langsung mengacung tegak begitu di kocok dalam bungkusan BH Daphine.

“Hh... Hh... Ough !

Nafasnya menderu menikmati kocokan tangan sendiri sambil membayangkan Daphine melakukan blowjob.

“Empppffffkkk... Sshhhhh!!”

Kocokan itu makin cepat ketika dia merasa penghujung kepala mulai ‘nyut-nyut’an. Fantasi gila sosok Daphine semakin mempercepat kedutan di bawah sana.

“Empppffffkkk... Eghh! Egh! Ukhh~”

Demon menumpahkan 1-3 cipratan segar, diakhiri tetesan demi tetesan ke cup BH Daphine.

Kaki Demon yang diperban, terjuntai, melemas ketika menumpahkan ‘tabungan’ yang dia tahan-tahan sejak tadi malam.

‘Tok ! Tok ! Tok!’
(Suara ketukan pintu dari luar)

( 🇩🇪 )

Warten~ (Tunggu~)” jawab Hanna yang pertama mendengar, akan meraih handle pintu untuk membukakan.

“Lass mich (biar aku saja), Dia... dia rekanku. Emph, kita sebetulnya punya janji sebelum ini...” jawab Daphine, terkesan tidak biasa bagi Hanna.

“Okay~”

Hanna kembali ke dapur. Tetapi, aneh juga melihat gerak-gerik Daphine ini. Daph beralih untuk membukakan sendiri pintunya.

‘Ngikkk—’

Edan ! bukan main pikir Daph, berani-beraninya orang ini datang kesini. Daph terlihat marah dan langsung menarik lengan lelaki itu keluar teras.

“Kau sudah berjanji sebelumnya tidak muncul ke sini !” bentak Daphine.

Ich will nur Max sehen. Habe ihn lange nicht gesehen (Aku cuma mau menemui Max. Kita lama tidak bertemu)”

“Hey Bangsat, aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Max !” balas Daphine.

Mereka terlibat cekcok di halaman Daphine. Si pengetuk itu tidak lain, Yoryd Barsinov (48). Lelaki berbahasa russky, yang sama di apartemen Daph sebelumnya.


“Fängst du an zu schnappen ?
(Kau mulai berani membentak ?)”

Barsi rupanya juga fasih berbahasa Jerman.

“No ! No ! Please, ayo kita pergi dari sini. Kita bicara di tempat biasa, aku akan bersiap—”

“Paman Baier, kau kah itu ?” panggil Max, tiba-tiba muncul dari pekarangan.

“Wohooo ! jagoanku sudah punya pacar sekarang rupanya ?” sambut Barsi.

Max dan Barsi sudah lama saling mengenal. Mereka begitu akrab, layaknya keluarga sendiri. Keduanya saling berpelukan, Barsi juga memberinya hadiah kado.

Max memanggil Barsi dengan nama ‘Baier’. Dia tidak pernah mengerti sisi lain Baier dalam sosok Barsi.

“Du siehst chaotisch aus ? (Kalian terlihat berantakan ?)” tanya Barsi.

“Es ist so ein Zufall ! (Kebetulan banget !) Paman sejak kapan datang ? kami akan menggelar pesta besok malam. Ada cewekku juga, kau mau bergabung ? Oh God, aku sudah lama merindukanmu. Bagaimana kabar keluargamu, paman ?” kata Max, sembari menuntunnya masuk ke dalam.

Tak lupa memperkenalkan kepada Hanna, juga ketiga sahabatnya.

Daphine masih berdiri di teras. Wajahnya tiba-tiba pucat. Gemetaran, pikirannya jadi tidak nyaman. Barsi benar-benar menampakkan diri di rumah.

“Itu artinya, sesuatu yang mengerikan akan terjadi.” - Daphine

Daphine melirik ke halaman. Sebuah mobil sedan Mercy S-class hitam keluaran terbaru berhenti di seberang jalan. Samar-samar terlihat dua orang asing duduk dibalik kemudi. Seolah mengawasi, mengintai Daphine dari kejauhan.

Daphine menyusul masuk, segera menutup pintu rapat, ‘klik !’ menyalakan alarm keamanan rumah. Berjaga-jaga dengan panggilan darurat kepolisian. Bersembunyi dari jangkauan mata mereka.

“Apa itu mereka, si orang-orang mengerikan? Yang tidak akan pernah mau kutemui lagi seumur hidupku. Perlahan, ingatan itu kembali diputar. Malam ke 13, bulan Maret 1998...” - Daphine

[ L ]



(Apartemen Altbau, Kota Berlin)

13 Maret 1998 | Pukul (UTC+1) 10.00 malam [Flashback]

Max kedengaran tengah menelpon seseorang perempuan dari dalam kamar mandi, sembunyi-sembunyi. Sementara Daphine sibuk merias diri di dalam kamar.

( 🇩🇪 )

“Aku pergi dulu~” pamit Daphine malam itu, tidak berselang lama.

“Kau jadi pergi malam ini ?” tanya Max menyusul Daph keluar dari kamar mandi apartment. “Bibi Daph, apa kita akan menjemput kakek-nenek lusa ?”

Mereka sementara tinggal di apartemen lama warisan kakek-neneknya. Ini adalah libur panjang sebelum trip ke kota selanjutnya.

“Tentu. Jam 8 pagi, jangan sampai telat bangun mulai besok.” imbau Daph.

‘Tingg !’

Daphine masuk ke dalam lift menuju parkiran basement.

“Tidak apa-apa pergi sendirian ? Daph, setidaknya kenakan coat atau mantel.” pinta Max, sempat menasihatinya sebelum pintu lift tertutup.

“Ayolah Max, kita tidak sedang di Dresden malam ini. This is Berlin, baby~”

Daphine tampil cantik malam ini. Riasan pesta, dengan rambut ginger panjangnya diikat Ponytail.

Daphine keluar malam mengenakan setelan jenis jumpsuit casual hitam tanpa lengan. Ada beberapa lekukan menonjol karena detail busana ini cenderung mengekspos badan.

“Bagian dadanya itu yang kelihatan mengkal, malah sengaja dilonggarkan. Setiap kali perdebatan kami, alasan yang kutanyakan adalah kenapa dia suka sekali berpakaian sexy seperti ini? Daphine bilang, ini semua soal selera fashion~” - Max


Setiap Daphine keluar malam, Max selalu mendampinginya. Tentu jika sedang tidak sibuk.

“Hanna sudah menunggu di basement, bakal repot kalau mesti naik kesini dulu. Tchuss~ (sampai jumpa~)” jelas Daph.

‘Tingg !’

Pintu lift tertutup.

Max merenungi kepergian Daph. Sejatinya, dia bersedia menemani Daph ke pesta malam ini. Tapi apa boleh buat, Max juga terlibat kencan online dengan Alicia, pacar barunya, yang rewel karena sakit demam, minta ditemani via panggilan telpon.

Masa muda baru bercinta~




(Kota Berlin, Jerman)

Daphine kembali ke kota kelahiran ayahnya untuk kesekian kali. Sudah sekitar 4 tahunan semenjak pindah ke Dresden.

Bulan lalu, Daphine dan Hanna mendapat undangan pernikahan teman kuliah mereka. Sebuah pesta resepsi yang juga bertajuk ‘Reuni di malam Holi’.

‘Grrnggggggg...
Tinn ! Tinn !’

(Mobil Daphine menerobos lampu merah di sekitar kawasan sungai Elbe)

“Willkommen in Berlin !” teriak Daphine kepada beberapa mobil yang dia salip barusan.

“Selamat datang di Berlin !” artinya. Kota terbesar ke-2 Eropa, seluas 892 km persegi. Kota yang juga menyimpan beragam pesona sejarah.

Daphine sampai menghafal betul kata sambutan ini. Tertera pada baliho ukuran 8x8 meter yang terpampang di pelataran parkir Berlin Tegel Airport.

Banyak spot ramai terlebih di malam minggu seperti ini. Mencoba beer Jerman sambil menikmati lampu di taman, hal yang paling diminati para turis jika berkunjung ke jantung Berlin.

Berlin memang selalu identik dengan pesta dan kehidupan malamnya yang semarak. Semua jenis hiburan dan pesta berbau kesenangan tersaji di ibu kota Republik Federal Jerman ini.

Di Berlin ada banyak destinasi unggulan. Brandenburg Gate, gerbang berdesain neo-klasik. Alexanderplatz, alun-alun paling romantis dan ikonik di beberapa scene film. Monumen ‘Checkpoint Charlie’, lokasi batas penanda antara Berlin Timur - Barat di era perang dingin. Juga Berlin Zoo, kebun binatang yang sudah dibuka sejak 1844 (tertua di Jerman).




(Hotel Berlin ‘Savoy’, Kota Berlin)
Pukul (UTC+1) 10.30 malam

Telat 1 jam dari agenda. Lokasi undangan menunjuk ke arah Hotel Berlin ‘Savoy’.

Begitu masuk, Daphine dan Hanna langsung disambut oleh bebunyian suling dan tabuhan gendang, musik folk tradisional India, hingga taburan kembang dan wewangian khas Hindi. Ini benar-benar mirip dalam scene film Bollywood, pikir Daph.

‘Sapne hai jhalke kalke,
sab ishk ke hai ye nishan
Ho tum ab ye mano,
ya na mano meri jaan
La lai lai lai lalai

La lai lai lai lalai~’

Juga diputar, lagu hits 90an berjudul ‘Ek Shararat Hone Ko Hai’ karya musisi Kumar Sanu.

Pesta resepsi ini menyuguhkan banyak kebudayaan India mulai dari ‘Baarat’ (arak-arakan pengantin pria), dilanjutkan prosesi ‘Jai-Mala’ untuk mempelai perempuan, juga upacara ‘Saptapadi’ semacam tarian langkah mengitari api unggun.

Ada banyak tamu yang yang datang, sebagian bahkan terbang langsung dari India. Maklum, calon mempelai pria dari teman kuliah Daph ini memiliki status sebagai putra dubes India untuk Jerman.

Acara ini juga dihadiri beberapa pejabat negara lain sekaligus calon dubes India untuk Jerman periode selanjutnya, Ronen Sen (54).

Daphine dan Hanna yang baru saja menyalami kedua mempelai, segera bergabung dengan kelompok reuni kampus mereka dahulu.

Daphine begitu populer dan terlihat sangat akrab dengan semua orang, memeluk satu-persatu rekan seangkatan, bahkan tidak ada lupa satupun nama mereka.

Mereka adalah alumni fakultas Matematika, Universitas Humboldt Berlin. Daphine, termasuk dalam 10 lulusan terbaik sepanjang berdirinya jurusan ilmu penghitungan ini.

‘Tingtung... Tingtung... Tingtung...’

Di tengah momen senda gurau kegembiraan reuni, ponsel Daphine sempat-sempatnya berdering, ada panggilan tanpa nama kontak dari sana.

‘Degh !’

Subjek dan nomor ini, membuat Daphine langsung gemetaran, sempat ragu menekan ‘terima panggilan’.

( Percakapan telepon 🇷🇺 )
“Da, chto so zvonkom v eto vremya nochi ? (Ya, ada apa malam-malam begini nelpon ?)”

“Memang apa salahnya ? Zzzttt... dimana kau sekarang ?”

“Pesta keluarga, bukan urusanmu juga.”

“Ya sudah. Hey Daphine, aku dengar Zzzttt... ada surat kaleng kemarin. Zzzttt... ada misi khusus untukmu.”

“Aku tidak sempat membacanya. Lagipula, tidak mungkin bertemu target malam ini !”

‘Zzzttt... Zzzttt...’
(Suara bising sinyal panggilan)

Oh ya ? bagaimana jika kuberitahu, Zzzttt... kalau ternyata target kita malam ini ada diantara pesta Zzzttt... india ini...” jawab orang itu.

“What ? Hey Barsi, jangan bilang kau sengaja melacak dan membuntuti kami dari apartemen ?!” tanya Daphine.

“Itu mudah. Zzzttt... Aku bisa saja menyuruh orang-orangku mengambil Max malam ini jika mau—”

сволочь ! (Keparat !) lupakan saja keinginanmu, aku tidak membawa senjata malam ini !” umpat Daphine, menggunakan bahasa russky.

Hingga beberapa tamu meliriknya heran, langsung Daphine pergi dari tengah Hall.

“Huh, alasan. Zzzttt... pergilah ke toilet, sudah kusediakan khusus untukmu. Ambil dan akan kujelaskan detail target kita malam ini.” kata orang itu.
Daphine langsung melipir dan berlarian menuju toilet wanita. Benar saja, begitu menggeledah salah satu tangki kloset, Daph mendapati bungkusan handbag wanita. Di dalamnya berisi pistol jenis Walther dan alat kejut berbentuk pulpen.

“Surprise ! Aku pilihkan sesuai favoritmu. Sekarang, mari beralih ke 2 target ini. Zzzttt... Seorang staf di kedutaan US dan India. Mereka yang memiliki detail laporan perjanjian ekonomi energi atom yang akan berlangsung beberapa bulan lagi, Zzzttt...

“Apa ?! Hey, Barsi aku sudah mengatakan sebelumnya. Aku tidak pernah terlibat pekerjaan koto’, Tugas lapangan tidak pernah dikeluarkan biro untukku ! Apa kau coba menyeretku lagi ?!” jawab Daphine.

Orang ini ternyata adalah Yoryd Alexei Barsinov (48), mengawasinya dari seberang Hotel Berlin saat ini.

“Barsinov bekerja untuk detasemen GU Moskow, tanpa perlindungan diplomatik (Agen lapangan lepas). Dalam bertugas, hanya diawasi oleh 2 polisi intel dari sub divisi militer GRU Rusia,” - Daphine

Hubungannya dengan Daph ?

“Aku pernah bertugas sebagai informan dari divisi kontra-spionase SVR (setelah KGB bubar) di Abkhazia & Ossetia Selatan (Georgia), Tajikistan, hingga yang terakhir di wilayah Jerman Timur. Namun aku kini berada dalam pengawasan khusus pemerintah Moskow lantaran beberapa bulan terakhir— menurut mereka, aku mulai ‘tidak kooperatif’ dalam menjalankan tugas.” - Daphine

Disinilah Barsi memainkan trik liciknya. Menjadikan Daph tameng hidup dengan dalih menakut-nakuti. Jika tidak membantu misi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Barsi sendiri, maka Max dan keluarganya bakal terancam teror.

“Ini pelanggaran etik ! Aku tidak pernah diberikan perintah bertugas malam ini !” bentak Daphine.

“Kau pikir, mereka peduli dengan protokol semacam ini. Zzzttt... Kau saja masuk daftar merah.” balas Barsi.

“AAAARGHHHH !!” teriak Daphine, kesal.

“Jika sampai kau menyentuh Max, kau adalah orang pertama yang kutemui bersama Barry ! jangan lupa, bahkan di dalam kubur aku masih bisa mencekikmu !” balas Daphine, balik mengancam.

“Huh ! sudah kubilang, aku benci perempuan yang suka berselingkuh. Beruntung kita dalam misi. Jika tidak pasti kuberi kecupan manis di keningmu.” ancam Barsi sebelum menutup telepon. “Aku mau kau membidik si India. Aku akan mencari si Amerika. Kita bertemu di lantai 3 setelah kuberi kode ‘Mein-Kampf’, kau paham ?” Imbuh Barsi.

‘Cklek! Tutt.. Tutt... Tuttt’

....

Bebunyian musik tradisional India berganti menjadi musik electronic-dance.

Acara berikutnya, pesta Holi. Holi adalah salah satu tradisi yang diadakan di India, merayakan kebaikan dalam melawan roh jahat.

‘Wohooo ! Hahahaha !’

‘Suittt ! Suittt !
Prok ! Prok !’

(Tepukan dan teriakan tamu)

Para tamu berpindah dari Hall, berkumpul di tengah bar hotel untuk berjoget, berdansa, bernyanyi, dan saling melempar serbuk pewarna kering, senjata air, dan balon air.

Sebelumnya, mereka juga diberi souvenir berupa kain selendang dupatta khusus untuk puncak pesta Holi ini.

‘Let’s go ! Wohoooo!’

Diiringi dengan beat musik DJ sebagai pengatur irama tempo musik. Kilatan lampu disco turut memeriahkan pesta malam ini.

‘Yeaakhh ! Wohooo !’

‘JEB ! JEB ! DUB ! DUB !’
(Suara beat musik DJ)


‘Ckrek ! Ckrek !’

Kilatan blitz kamera beberapa kali mengenai Daphine dan Hanna di tengah kerumunan masa yang asyik berjoget dan berlonjak-lonjak.

Ada diantara kerumunan saat itu, 5 turis asal India-Bangladesh. Beberapa kali, lensa kamera milik mereka seperti sengaja menyorot dan memotret Daphine. 5 pria itu juga terlihat begitu akrab seraya bergantian berfoto dengan pengantin pria.

Well, sepertinya mereka bukan cuma turis melainkan juga kerabat atau kolega dari sang mempelai pria.

“Hanna memaksaku masuk ke kerumunan. Seru juga, tema perayaan Holi seperti ini. Kami menari, berdansa dan bernyanyi ‘sing-along’ mengikuti musik ‘electro-dance’. Semua riuh, pecah ruah menjadi satu. Tapi aku menjamin selalu ada saja orang-orang yang berusaha cari kesempatan dalam kesempitan, mengincar kami dari belakang.” - Daphine

“Guys-guys !” kasak-kusuk bisik seseorang kepada rekannya, terdengar oleh Daphine.

“Look at front and rear bumper. And that girl, so cute right ?~ (Lihat tuh bemper depan belakang. Cakep juga ya tuh cewek~)” bisik mereka cabul.

Jelas ditujukan kepada Daph atau Hanna yang tidak jauh dari jangkauan mata mereka, di tengah kerumunan.

‘JEB ! JEB ! DUB ! DUB !’
(Suara beat musik DJ)

“Hsssttt !” imbau temannya.

Seketika, mereka ganti mengobrol dengan dialek native India, yang tidak dipahami Daphine tentu saja.

Dilihat dari perawakan, wajah, bahasa, dan pakaian mereka saat itu, memang asli dari India.

Ketika keseruan berlanjut, saling melempar bubuk serbuk warna dan balon air yang membuat tamu-tamu berhimpit, melonjak, saling berdesakan.

Lima pria India barusan, seperti sengaja memposisikan Daphine dan Hanna ada di tengah-tengah kepungan mereka.

‘JEB ! JEB ! JEB !’
(Suara beat musik DJ)

Gnyut... sentuhan tangan mengenai tetek Daphine dari depan. ‘Plak !’ juga tepukan pelan ke pantat Daphine bersamaan, Hanna juga merasa seseorang sempat mencolek pinggulnya.

( 🇬🇧 )

“Hey ?!”

“Oh, y’ll sneaky bastard !” bentak Hanna. Tak perlu basa-basi untuk memberi mereka pelajaran.

“What’s going on, baby ? (Ada apa ?)” tanya satu diantaranya, berdalih, seolah tidak tahu apa-apa. Bicara bahasa Inggris native India.

Sosok lelaki berkaca-mata, dengan dandanan perlente, kemeja pantai motif floral, berkulit hitam dengan kumis ‘aladin’ lebat. Dia yang tepat berada di belakang Daph. Jelas dia pelakunya.
“Sorry sir (Maaf pak), bisakah anda tidak membuat masalah di sini ? Tidak perlu dorong mendorong, apalagi coba-coba menyentuh kami !” serang Hanna, lumayan mabuk malam itu.

“Yes, of course ! jangan lupa kalau kalian juga menyenggol kami sebelumnya,” jawab lelaki ini. Sialan, tak sedikitpun menurunkan kaca-matanya.

“Hey ! Hey !” lerai seorang security yang bertugas.

Percekcokan singkat mereka, bisa diredakan oleh pihak keamanan. Memahami resiko, panitia langsung memisahkan tamu perempuan di sisi yang berbeda.

Daph yang memang sudah tidak mood dengan pesta malam ini, memilih menepi ke bar. Pikirannya tak karuan, mengambang, mengamati sekeliling seperti mencari-cari sesuatu.

Diantara keramaian, Daphine terlihat mulai tidak bergairah ketika diajak teman-temannya berdansa lagi. Matanya sibuk, mengamati sosok lain yang juga jauh dari kumpulan masa.

‘Degh !’

Ketemu !

Bagi seorang mantan informan lapangan seperti Daphine, tidak sulit menemukan targetnya. Apalagi mereka yang menyendiri. Memisahkan diri dari keramaian massa. Seperti sosok yang berdasar informasi Barsi sebelumnya.

“Laki-laki. 31 tahun. Seorang Staf di kedutaan besar India, Berlin. Perawakan kurus, tinggi sebanding denganku, model rambut belah tengah, dan mengenakan kaca mata tebal. ‘Target’ sepertinya tidak begitu membahayakan karena hanya duduk sendirian, tanpa penjagaan khusus seperti tamu-tamu kehormatan lain yang saat ini ada di ruangan VIP.” - Daphine

Daphine menghampiri langsung ‘target’. Bahkan belum juga sampai ke meja minuman, lelaki tadi langsung melirik ke arah Daphine.

( 🇩🇪 )
“Entschuldigen Sie, Fräulein (Permisi Nona), apa anda juga tamu si mempelai wanita ?” tanya lelaki itu.

Truly gentle, belum apa-apa sudah main ‘modus’, pun ternyata dia juga fasih berbahasa Jerman.

“Nicht wirklich warum ? (Tidak juga, ada apa ?)” tanya Daph cuek, meminum jus apel.

“Mmmh...” lelaki ini seperti berat mengatakan. “A-aku barusan mengajak teman perempuan untuk bertemu dalam sebuah acara bersama pak Dubes. Tapi, sampai saat ini dia belum juga tiba,”

“So ? (Lalu ?)”

“Jika berkenan... setidaknya sampai pukul 23.30 ini, aku mengajakmu menghadiri pertemuan ‘keakraban’ bersama Pak Dubes,” pinta lelaki itu,

“Hmm ? Tunggu-tunggu—” Daphine agak bingung. “Anda mengajak orang asing yang bahkan kita belum saling mengenal nama, sementara temanmu itu bisa saja sedang bersusah untuk segera tiba.”

“Hahaha... maaf soal itu, namaku Garagh Mokhanna (31), staf ahli kedutaan India. Maaf jika kurang berkenan, tak apa...” katanya, baru memperkenalkan diri, menjulurkan tangan kepada Daph terlebih dulu.


“Aku, Leonie~” balas juluran tangan Daphine, memperkenalkan diri dengan nama lain.

Mereka bersalaman, saling mengenal.

Setelah melakoni serangkaian obrolan panjang, negosiasi ‘alot’ juga karena pembawaan Khan yang lumayan seru, Daphine akhirnya menyetujui ajakan makan malamnya.

Tapi di sisi lain juga merasa campur aduk, iba, takut, tidak karuan karena lelaki sepolos ini bakal jadi target Barsi.

Tak berselang lama, Khan langsung menggandeng Daphine ke selasar Hotel, menuju ruang VIP.

“Berapa lama tinggal di jerman ?”

Daphine bertanya saat mereka berjalan beriringan. Menyusuri selasar, sebelum akhirnya mesti naik menggunakan tangga ke lantai 2.

“Hampir tiga tahun. Oder es dauert länger. (Atau, bakal lebih lama), Kau ?” tanya Khan. Masih ada sedikit rasa canggung diantara keduanya.

“Jauh semenjak tuhan menjatuhkanku ke Berlin.” jawab Daph, membuat obrolan lebih luwes.

“Wah, benar juga. Hahaha,” kekehnya. “Ngomong-ngomong, gimana pestanya? pernah ikut festival holi sebelum ini ?” tanya Khan.

“Aku bahkan baru tau sekarang. Tradisi dan budaya kalian beneran keren !” puji Daphine.
Daph dan Khan menaiki tangga menuju lantai 2...
Saat menapak naik, Daph sempat melirik ke lantai atas. Diantara celah dinding hotel, seseorang sempat mengintip mereka sekilas, kemudian menghilang.

“Mmm... Leonie, apa kau datang kesini sendirian ?” tanya Khan.

“Menemani seorang kolega.”

“Dein Freund ? (Pacarmu ?)”

“Bukan, maksudku— namanya Hanna, dia sahabatku.”

“Oh. Hahaha.” kekehnya, juga ada rasa penuh harap di wajah Khan. “Kau sendiri, sudah punya pacar ?”

‘Degh !’

Pertanyaan terakhir yang diajukan kepada Daph, belum sempat dijawab karena dari arah ujung koridor, muncul dua orang pria. Satu pria setinggi 2 meteran, sementara satunya berpostur standar.

“Anyway, kau kenal mereka ?” tanya Daphine.

“Tidak juga.” jawab Khan. Merasa ada yang aneh juga dengan gerak-gerik kedua orang yang sedang menuju kepada mereka.

“Karena temanku, Hanna, sempat bermasalah dengan orang India seperti kalian di bawah.” jelas Daphine.

“Oh ya ?” tanya Khan kembali melirik kepada dua orang di depan mereka.

Salah satu pria bahkan hampir setinggi pintu hotel.

‘Ckrak !’

Rekan si raksasa tiba-tiba menarik pistol dari saku setela jas tuxedo.

‘PSYUU !!
PSYUU!’
(Tembakan pistol redam suara)

2 tembakan peluru pistol redam dari rekan si pria raksasa hampir saja membunuh Khan, jika lehernya tak sempat diseret Daphine. Merebah, mereka berlindung diantara tembok.

‘WUSHH ! WUSSHH !’

‘Ckrak !’

Daph juga langsung mengokang pistol, Khan di sebelah tentu ketakutan.

“K—kau membawa senjata api, pekerjaanmu polisi ?” tanya Khan.

“Schnell Rennen ! (Cepat lari !)” bentak Daphine. “Maaf, aku tidak benar-benar berniat pergi ke perjamuan kalian.” Imbuhnya.

‘PSYUU !
PSYUU !’
(Tembakan pistol redam suara)

Peluru musuh mulai merembet, menembus tak kurang jarak 10 inchi ke posisi Daph dan Khan, yang bersembunyi di balik cekungan tembok koridor hotel. Mereka semakin terdesak.

“Hah ?!” Khan bingung dengan maksud Daphine barusan.

‘WUSHH ! WUSSHH !’

“CEPAT LARI !” bentak Daphine. “Sesuai aba-aba dariku !” tambah Daphine, bersiap membidik musuh.

“Ada keamanan di sekitar sini, aku akan cari bantuan di bawah !” seru Khan.

‘PSYUU !!
PSYUU!’
(Tembakan pistol redam suara)

Satu... Dua... Tiga !

‘Ckrak ! Ckrak ! Ckrak !’

Daphine tiga kali menekan pelatuk. Menembak ke arah dua penyerang mereka. Sialan, dia sudah ditipu !

“Was ?! (Apa ?!) Bajingan itu!” umpat Daphine.

Begitu menyadari sudah ditipu Barsi yang cuma memberinya bedil kosong tanpa amunisi.

“Ada apa ?!” Khan sudah kadung berlari 5-7 langkah, berbelok turun tangga.

Tapi...

‘PSYUU !!
PSYUU!’
(Tembakan pistol redam suara)

‘GBRKK !

“A—akh!”

Kaki Khan terkena salah satu tembakan dari pistol silencer musuh. Membuatnya jatuh tersungkur di tangga.

“Apa mau mu, bangsat?!” Daphine sempat berniat menolong Khan, namun...

‘Bugh !’

.
.
.
.

‘Plak !’

Belum juga melangkah, namun sempat meraih pulpen kejut, pria raksasa tadi langsung menimpuk keras wajah Daphine sampai jatuh tersungkur.

“A—AARGHH!”

Daph sempat menyerangnya, pulpen kejut tadi sudah di tusukan.

“Dua orang lelaki, yang aku tebak dari biro GU yang sama dengan Barsi. Seorang perawakan tinggi menjulang hingga 2 meter. Kita sebut saja mereka ‘si raksasa’ dan ‘si kecil’. Kepala mereka sama-sama plontos. Khusus si pria raksasa, wajahnya begitu mengerikan, apalagi dengan jangkauan telapak tangannya, mampu menggenggam dua kepala manusia sekaligus. Si raksasa lah yang pertama menerjangku.” - Daphine
‘Zzzzrrrrrttt !!’

Sengatan listrik sempat mengenai pria raksasa.

Tapi tidak lama, tenaganya yang bukan seperti manusia pada umumnya, si pria raksasa setinggi kusen pintu itu mencekik leher Daphine dengan satu tangan dan mengangkatnya 20 cm di atas tanah!

“Argh ! Lepasin dasar babi !

Tangan Daph coba mencongkel matanya, mencakar, menampar wajah lelaki ini. Gila. Kepalanya keras bagai batu solid.

Brkk ! Bugh !’

Kaki Daphine masih sempat menendang keras perut si raksasa. Coba memberontak, juga coba menyepak titik pinggang lelaki raksasa ini. Sempat melawan, coba melepaskan diri, tapi sia-sia.

“Hoakh! E-ekhhhh!”

Suara Daphine jadi termengah-mengah, seperti orang asma. Mulai kehabisan nafas mendapat cekikan seperti itu.

Leher Daph terasa bagai ditusuk besi tajam yang bahkan bisa saja ini membunuhnya dalam sekejap.

“Hemmphhh— Eekh!”

“Mataku terasa panas, warnanya berubah jadi merah darah. Perih. Seperti bakal copot keluar, bersamaan dengan remuknya tenggorokan. Pendengaranku perlahan menghilang. Tidak sampai 5 detik. Semuanya menjadi gelap. Hilang. Mengambang.” - Daphine




(Kamar No 32, Hotel Savoy Berlin)
Pukul (UTC+1) 00.15 dini hari

Kamar Nomor 32. Lumayan cantik interiornya, gaya Eropa vintage dengan perpaduan furniture kayu tua.

‘Srrrkkk... Srrrkkk...’

Daphine merasa seperti tengah diseret. Dia mengerjap sesekali, punggung dan lehernya mulai terasa nyeri, seperti sedang digotong dua orang layaknya seekor babi buruan. Tangan-kakinya menjuntai seperti huruf ‘X’. Seorang menggotong kedua tangannya dan satu orang lainnya menggotong bagian kaki.

Kepalanya menukik ke bawah. Daphine bisa membuka sebagian mata, perlahan, tapi masih terlihat buram dan silau dengan cahaya lampu plafond hotel.

“Engghh—”

Matanya menyilau perlahan. Dia cuma bisa mengamati lewat celah langkah demi langkah kaki orang yang sedang menggotongnya.

Kedua orang penggotong ini seperti mengikuti langkah kaki si pria raksasa yang barusan mencekiknya sampai pingsan.

“Emmh—”

Si pria raksasa memanggul kantung trashbag, yang dugaannya adalah jasad si Khan.

‘Ngikkk—

Si pria raksasa membukakan pintu untuk Daphine juga kedua orang yang menggotongnya.

Mereka masuk ke salah satu kamar hotel di lantai 3. Disana sudah di tunggu Barsi, teman si raksasa, juga tiga laki-laki India lainnya, entah siapa mereka ini.

Paling mengerikan, saat Daphine mendapati 2 bungkus trashbag lain tergeletak di kolong ranjang, juga sosok laki-laki yang posisinya tengah diikat, digantung ke atas langit-langit plafond.

Sepertinya isi trashbag tadi, termasuk orang ini adalah target Barsi, selain Khan.

Barsi sendiri hanya duduk di kursi, mencorat-coret beberapa berkas, sembari berbicara via telpon dengan siapapun itu, menggunakan bahasa russky.

Sementara si pria raksasa dibantu temannya, membuka jasad dalam bungkusan trashbag tadi.

‘Degh !’

Ternyata jasad itu bukan Khan. Lalu dimana si Khan tadi ?

Hanya dua kemungkinan. Dia selamat, walaupun kecil kesempatannya, atau sudah masuk diantara dua trashbag lainnya.

Tak berselang lama, Barsi mulai mengemasi berkas-berkas tadi ke dalam koper. Sementara si raksasa, mulai mengerjai laki-laki yang tergantung sekarat.

Laki-laki malang itu digantungkan ke langit-langit, diikat selendang Dupatta sedemikian rupa.

( 🇷🇺 )

“Daphine, Znayesh’ chto ? (kau tahu ?) orang-orang ini berusaha menghalangi pertemuanku sebelumnya.” kata Barsi, dalam bahasa Rusia begitu kesadaran Daphine mulai pulih. “Juga dengan turunnya perintah untuk menyabotase perjanjian ekonomi energi atom, itu alasanku untuk menarget mereka. Oh ya, bravo juga untuk bantuanmu hari ini, Daph !”

“Hemph !”

Daphine merintih dengan kondisi tenggorokan yang sepertinya mengalami cedera dalam.

“O vashem oruzhii ? (Soal senjatamu ?)” imbuhnya. “Kau gila? mantan agen KGB cantik sepertimu, bisa-bisanya ceroboh tidak mengecek senjata dulu ?” tambah Barsi.

Barsi lanjut mengemasi berkas ke koper. Tidak lama berselang, gesture darinya, seperti mengangguk kepada si pria raksasa.

“Eemhhhhh !!”

Sementara isak tangis disertai teriakan histeris tertahan lelaki yang tengah digantung, saat si raksasa menurunkannya dari atas, begitu juga jerat selendang yang dilepaskan.

Pria yang merupakan seorang staf kedutaan US itu mulai menangis, seperti meminta tolong kepada Daphine yang juga tidak berkutik, dalam sekapan lima orang India tak dikenal.

Si pria raksasa mengelus pipinya perlahan, mengelap air matanya. Tersenyum, seolah mengatakan, ‘tidak akan terjadi apa-apa...’

‘Klek ! Krek !’

Bunyi tengkorak ataupun tulang leher yang koyak dipelintir keras, dua kali ke arah yang berlawanan.

“EMMGHHH ! teriak Daphine, menangis histeris.

“HAAAAKH !”

Teriakan penuh lara juga kelima orang India. Mereka jelas shock. Tidak mengira bakal jadi saksi proses eksekusi.

Melihat kepala korbannya sudah terpuntir ke belakang. Si raksasa segera melepasnya, ambruk kaku di bawah.

Teman si raksasa kemudian datang, mengira akan membungkusnya ke dalam trashbag, malah...

‘DORR ! DORR !
DORR ! DORR !’
(Tembakan pistol tanpa peredam suara)

“Hahahaha...” kekeh mereka berdua.

Seolah, memamerkan proses p2ertunjukan sirkus kepada Daphine dan lima orang India. Gila. Ini sudah lebih dari batasan kejiwaan manusia.

Sebelumnya Daph mengira mereka akan membuat skenario seolah-olah pria ini ditemukan mati dalam keadaan gantung diri. Ternyata tidak demikian.

( 🇷🇺 )

“Moya rabota segodnya vecherom sdelana (tugasku malam ini sudah beres), jika sempat, aku akan mentraktirmu besok pagi,” kata Barsi. “Aku suka dengan gagasan ‘Pedang’, dibanding Barry yang kau analogikan sebagai ‘Busur’. Berbeda dengan pedang yang mudah untuk membunuh, busur hanya akan mematikan jika ditembakkan. Itu pun masih harus membidik targetmu dari jauh. Untuk semua yang kau katakan soal kebaikan ‘Barry’-mu itu. Huft, padahal aku ini tipikal setia lho. Yasudah, selamat berpesta~” imbuhnya.

‘Drrkkk !’

Barsi bangkit dari kursi, setelah membungkus berkas-berkas tadi ke dalam koper.

Sementara dua eksekutor sadis tadi, sudah keluar kamar lebih dulu, menyeret 3 bungkusan jasad dalam trashbag, untuk dibuang ke pipa saluran shaft sampah.

Barsi langsung beralih, menyalami lima pria India yang jujur masih shock dan ketakutan karena kejadian barusan.

( 🇬🇧 )

“My brother, maaf siapa nama kalian sebelumnya?” tanya Barsi dalam bahasa Inggris kepada semua India itu. Tak lupa berjabat tangan dengan masing-masing.

Lima India tadi langsung menjabat tangan Barsi seraya merangkulnya, sok akrab. Mungkin, kadung ngeri dengan sosok Barsi dan dua temannya.

“Namaku Ammar Karnad (35)”

“A-aku Deeven Kashr (31)”

“—Ankush Bajwa (32)”

I’m Jagam Mishra (34), Sir !”

“namaku Khadib Sharma (35), brother~”

Jawab mereka satu persatu, dengan suara bergetar. Menggunakan bahasa Inggris, aksen native India.

“My brother, if you want to fuck her, this is our time ! Now or never. Kapan lagi, bisa ngewe sama cewek Jerman, ya kan ?” kata Barsi kepada kelima orang India ini. “—oh iya, awas, jangan sampai lecet apalagi sampai rusak parah,” imbuhnya.

‘Jglek !’

Tertutupnya pintu oleh Barsi, itu artinya Daphine akan mengalami malam yang panjang.

Ada sekitar empat orang laki-laki menyeramkan yang berdiri mengerubungi Daphine. Melotot kepada Daphine. Mengamati ketidakberdayaan perempuan yang tengah terbujur lemah di ranjang.


“Sekilas aku seperti tidak asing dengan wajah mereka, satu-persatu. Dan ternyata benar. Mereka adalah keempat laki-laki India yang sempat cekcok dengan Hanna di lantai pesta tadi. Entah bagaimana ceritanya, mereka bisa bersekongkol dengan Barsi malam itu.” - Daphine

Sepeninggal Barsi, kelima orang India itu sempat beradu mulut. Salah seorang yang paling muda, namanya kalau tidak salah adalah Deeven Kashr (29), tidak setuju dan menolak terlibat atas apa yang akan teman-temannya lakukan malam ini.

( 🇮🇳 )

“Tidak mau terlibat, yasudah. Pergi saja sana! Orang itu (Barsi), menjamin kalo kita bakal aman.” kata lelaki bernama Ammar.

“Bodoh, dia jelas berbohong. Ini jebakan! Kalaupun benar aman, apa yang bisa kita harapkan dari kata-kata seorang pembunuh seperti mereka ?” balas Deeven.

Tapi tetap tidak digubris keempat temannya yang sudah mabuk dan dibutakan nafsu semenjak bertemu Daphine di lantai pesta.

“Pergilah ! memang tidak cocok mengajakmu masuk ke kelompok !” bentak Jagam, pria berjambang lebat, badannya terlihat paling proporsi diantara mereka.

“Dasar pengecut! Kapan lagi bisa ngewe sama cewek Jerman !” umpat Ankush (32), sepertinya usianya dengan Deeven tidak begitu jauh.

“AARGHHH!” teriak Deeven, frustasi. “Sampai kalian bisa tiba dengan selamat ke sini, aku rela membayar ongkos mahal penyelundup, untuk mencarikan kalian pekerjaan yang layak! Bukan malah jadi kriminal pemerkosa !” imbuh Deeven, yang emosi lantas membanting pintu keras dari luar.

‘Cklek !’

Pintu langsung dikunci dari dalam oleh lelaki yang terakhir memperkenalkan diri sebagai Khadib.

....

‘Klik !’

Sakelar lampu sengaja di matikan, penerangan hanya berasal dari lampu tidur di atas meja buffet.

Di atas ranjang, Daphine masih tak berdaya dengan posisi tertelungkup bersamaan kedua tangan yang diikat ke depan.

Sudah 5 menitan. Diam-diam Daph coba melepas ikatan yang memborgol kedua tangan dengan cara mengigitnya. Ini adalah usaha terakhir untuk keluar dari sini hidup-hidup.

Kakinya juga diikat demikian, tapi lumayan renggang, tidak begitu merepotkan. Masih sanggup dia ayunkan tendangan kalau-kalau mereka berempat makin beringas.

Sementara si keempat pria tadi, seperti sedang beradu argumen menggunakan bahasa aneh yang tidak Daphine pahami.

“Ini adalah salah satu malam panjang yang mengerikan. Saat aku berada diantara hidup dan mati. Pun tidak semengerikan pengalaman di ‘Camp-Romeo’ beberapa tahun lalu.” - Daphine

Efek dari pukulan keras si pria raksasa tadi sampai membuat wajah Daphine seperti mengalami lumpuh sebagian. Rahang bawahnya terlalu lemah saat coba menggigit lepas jeratan selendang dupatta yang melilit kedua pergelangan tangan.

Ini bisa diakibatkan karena cedera saraf yang membuat otot wajah tidak bekerja normal saat membuka mulut.

“Oh hey babe~” senyum mengerikan salah satu dari mereka, Khadib (35), tiba-tiba muncul di depan muka Daphine yang coba melepas ikatan tangannya.

Dia adalah sosok yang berkaca mata saat di lantai pesta tadi.

“Emmghh !”

Daphine menggeleng saat tiba-tiba ditarik bergeser ke tengah ranjang.

Dia coba mengiba dengan suaranya yang masih bisu, saat bagian paha sampai bokongnya dari balik jumpusit mulai diraba-raba oleh salah satu dari mereka.

Nyekk, Nyek, Nyek

Tangan-tangan lain mulai menyingkap bagian belahan dada jumpsuit, menelusupkan tangan dari manapun.

Tetek Daphine sampai membekas lecet, ruam merah. Tergores cincin ali-ali yang masih mereka kenakan ketika kalap berebut meremas ke dua bagian paling menggemaskan itu. Resiko yang akhirnya Daphine terima karena terlalu berani memamerkannya.

“Woah, you're so beautiful~” pujian keempat orang itu semakin gemas, beramai-ramai menelusupkan tangan mereka, meremasi tetek Daphine.

‘Brett !’

Salah satu dari mereka sampai berani membredel sobek belahan jumpsuit Daphine.

“EMMPHH !”

“Hehehe, I like It~” kata seorang begitu tangan-tangan mereka bergantian mengucal, meremas, menggelitik puting areola Daphine.

“Emmph !”

Daphine memberontak, mengguling-gulingkan badan ke samping kanan-kiri.

Keempat India itu heboh berebut merogoh dada Daphine, meremas-remas setiap jengkal yang bisa mereka jangkau dari balik jumpsuit Daphine.

Tidak mau kalah. Ammar (35), yang berambut gondrong, menyisihkan paksa tangan-tangan ketiga konconya dengan membuka lebar masing-masing kedua telapak tangannya untuk mencengkram kasar seluruh daging mengkal Daphine.

“HNNGHHHH !”

Daphine langsung mengamuk, meronta, coba menimpuk dengan kedua tangannya yang masih terikat sesekali menggulingkan diri begitu bagian atasnya mulai dilecehkan beramai-ramai seperti ini.

Tidak hanya bagian Tetek Daphine yang dipermainkan ramai-ramai, digrepe-grepe.

Dari balik jumpsuit Daphine yang sudah koyak dan berantakan, nampak gumpalan tangan mereka semua yang bergerak menelusup dari bagian dada, kemudian turun, sampai berusaha merogoh celana dalam Daphine.

“Idiot ! Bar-bar sekali mereka ini. Semuanya berebut justru yang ada malah menyakitiku. Entah muat sampai berapa tangan yang memaksa menelusup masuk ke jumpsuit yang ku kenakan ini. Mereka ini gila dan beringas ! Meremasi tetek cuma untuk melihatku ketakutan, mencubit kasar puting areola hanya ingin mendengar teriakanku. Dasar orang rendahan! Bagaimana bisa ‘percobaan-pembunuhan’ seperti ini mereka sebut pesta malam ?” - Daphine

“Mmmph ! Muach !”

‘Degh !’

Ketika bagian tengkuk hingga leher diciumi, bokong Daphine juga bersamaan diremas dan dielus pelan.

“Hmph ! Slrrpp...”

‘Srrrng !’


Ada gigitan dan jilatan kecil yang membuat Daphine gemetar sesaat ketika bagian sensitif telinga, tengkuk, ‘klik’ kuncir rambut ginger panjangnya dibuka, sengaja digerai oleh satu dari mereka.

“Mmppffh…”

Daphine menahan nafasnya saat mulai bagian bawahannya sampai atasan jumpsuit mulai dilucuti satu persatu.

Daphine memberontak, menepis usaha orang itu dengan tangannya yang masih terikat. Tapi, segera ditangkis oleh salah satu pria yang entah siapa itu.

Keadaan kamar saat itu sudah sangat gelap.

Sejatinya Daphine berteriak dalam senyap saat dilecehkan sedemikian rupa oleh empat pria asing sekaligus. Ada semacam trauma pada kejadian seperti ini yang bahkan lebih parah di masa lalu.

“ENNGHH !” Daphine menggeleng.

‘Krekk ! Brettt!’

Seorang dari mereka langsung membetot sobek bagian bawahan jumpsuit Daph. Lumayan kasar.

Daphine coba mengayunkan tendangan, tapi itu malah memudahkan mereka melolosi bawahan jumpsuit lewat pinggul, lutut, dan berakhir di kaki.

Hawa dingin AC langsung bisa Daphine rasakan karena bagian bawahnya sudah polos tanpa dalaman.

“E—engghh !”

Daphine bergulingan, coba menutupi itu dengan kedua tangannya yang masih terikat.

Tidak hanya Daphine yang dipaksa bugil, masing-masing baju yang sebelumnya keempat India pakai juga sudah ditanggalkan. Berikut celana dan dalaman masing-masing.

Bau keringat dari badan mereka langsung ketahuan Daphine.

Dari balik remang cahaya, Daphine sempat melirik bagian bawahan mereka satu-persatu.

Antara ngeri juga surprise dengan perwujudan mereka. Sepintas, ada kemiripan dengan Pak Radhaj juga Rakash. Tapi yang kali kini badannya lebih bau, dekil, dan serampangan.

Pun tidak begitu jelas, tapi keseluruhan bulu kemaluan mereka dicukur bersih. Kontras dengan Radhaj ataupun Rakash yang penampilan area selangkangan mereka yang awut-awutan.

Daph pikir mereka memang sengaja mencukur habis itu untuk mencari pekerjaan sebagai aktor film porno, semacamnya.

( 🇮🇳 )

“Nggak ! Nggak seru kalau langsung keroyokan. Aku tidak setuju. Memang apa enaknya ?” tanya Ammar kepada rekannya.

“Kalau kita bergiliran, siapa yang pertama ?” tanya Ankush.

“Tidak. Menurutku tidak adil menggunakan urutan. Bagaimana kalo berpasangan.” usul Khadib.

“Sudah kubilang ! Aku ogah main barengan !” tolak Ammar.

Sepertinya Ammar ini tipikal cowok straight, ‘konvensional’, tidak senang dengan ide gangbang atau threesome semacamnya.

“Ya ya okey. Kita ambil jalan tengah. Kita adu suit, yang pertama-kedua boleh memilih main berpasangan atau single.” usul si Khadib.

“Bukan ‘gangbang’ atau pesta keroyokan sebagaimana mestinya, mereka malah sibuk mengambil peluang bergiliran,” - Daphine

“Hey, babe~” datanglah satu orang ini.

Ada yang langsung tertawa puas, ada juga wajah yang dongkol dalam adu-peluang barusan.

“Sosok pria berjambang lebat, badannya lumayan ‘kencang atletis’ dengan beberapa tato menghias lengan. Kalau tidak salah bernama Jagam (34), langsung melompat ke ranjang. Menakutiku yang tidak paham harus mulai dari mana.” - Daphine

‘Nggik ! Ngikkk !
Ngikk ! Ngikkk !’
(Derit guncangan ranjang begitu Jagam melompat)

“AAARGHH !”

Daphine berontak meskipun belum berhasil lepas dari jeratan di pergelangan tangannya.

‘Brkk !’

Daph masih sempat bergulingan, menghindari sosok menakutkan ini. Hampir saja kena tubrukan Jagam.

“Bau Keringat dan nafas Jagam masuk ke kategori ‘buruk’. Aku bisa merasakannya saat dia mulai merangkulku di ranjang. Nafasnya memburu, pelukannya lengket karena keringat.” - Daphine

“Mmmphh !”

Daphine menggeleng. Hanya sanggup mengiba pada keempat laki-laki India itu.

Apa itu berguna? jelas tidak.

Jagam awalnya hanya bergelayut sebelum mulai menindih Daphine yang dalam posisi telungkup, Daphine menggeleng saat dipaksa berciuman, dia langsung menolak dan memalingkan wajah.

“Mmmh! Muach! Hehehe...” kekeh Jagam, sesekali memaksa mencium, lalu mengendus turun ke pundak Daphine.

Jagam tidak peduli dengan segala penolakan Daphine barusan. Nafas buasnya beralih mengendus, menciumi gemas tengkuk dan leher Daphine.

Bau keringat Jagam, juga sensasi geli brewok lebatnya saat menggesek tengkuk Daphine.

Daphine pasrah saja ketika Jagam sedikit menggeser posisinya, serong ke samping dengan kedua kaki juga membentang silang menyamping, seraya membuka lebar lubang paha Daphine.

Yah, dengan tangan yang diikat apa yang bisa Daphine perbuat ?

“Juih !”

Jagam sempat membasahi liur, mulai menekan masuk benda itu ke lubang Daphine yang tentu saja tidak mengira bakal langsung mendapat penetrasi.

“Oughhh...” gerakan yang sedikit memaksa, ujung kepala lunak Jagam masih terasa kesat, menjebol celah paha dalam Daphine.

“H—AARGHH!” pekikan Daphine. Terkejut, mulutnya sampai menganga sesekali melirik di belakang sana.

“Hsssshhh~” desah Jagam, sampai terpejam.

Ini pengalaman pertamanya bersetubuh dengan perempuan Eropa. Karena terlalu agresif tanpa melanjutkan foreplay, itu terasa panas saat bagian kepalanya menyeruak masuk. Selanjutnya hanya ada sensasi ‘geli’, seolah dalaman Daphine mencengkram dan memijit tiap titik-titik saraf penis Jagam.

“Eemnghhhh... A-aarghh~” pekik Daphine, mengira Jagam bakal melanjutkan ‘foreplay’ sebelumnya.

Jagam saat mencengkeram pinggang Daphine sebagai pegangan. Daphine diposisikan berbaring miring, dengan perlahan ujung kepala kontol si Jagam mulai masuk menembus celah pangkal paha Daphine.

Ouw! Ouuffff~” lenguh Daphine.

Masih terasa ngilu, karena keadaan paha dalam Daph yang masih kesat tanpa pelumasan terlebih dulu, malah langsung di genjot dengan kasar.

“Hegh! Hekh! Hegh! Emphhhh...”

Perlahan dan perlahan, sebagian dan disentakkan mentok kemudian. Tiap inchi bagian Jagam masuk, menjojoh memek Daph.

‘Plok… Plok… Cpok ! Cpok !’


‘Plok… Plok… Cpok ! Cpok !’

“Emmghh... A—akh! Akhh~”
Tetek Daphine diremas kasar dari samping, bokongnya makin tandas ditumbuk, tusukan penetrasi yang makin mantap nan liar.

‘Cplk.. Plok.. Plok!’
“Emmh! Emmh! Emmh!”

Daphine melingukan wajah kepada Jagam, menggigit bibir, tapi juga meringis ngilu. Ini semacam ‘penghargaan’ kepada lawan main, yang ‘sukses’ membuat Daph penasaran.

Mendapati respon Daphine, Jagam makin bernafsu. Menusuk kasar dengan tempo cepat sampai Daphine terpekik kadang mendongak, menganga nikmat.

‘Pok.. Pok.. Cpok ! Cpok !’


Kepalanya terguncang kesana-kemari, mengikut tumbukan dan sentakan pinggul Jagam.

Rambut ginger Daph yang mulanya berangkat dalam keadaan lembut, rapi dan wangi semerbak sudah berantakan. Lepek, basah oleh keringat, pun kusut karena terpental kesana-sini.

“Ouw, Yeah... Yeah... Arghhhh~” suara Daphine perlahan pulih. Yang pertama keluar dari mulutnya hanya erangan nikmat, bukan rintihan atau penolakan sebagai korban.

“Ini gila ! Yang pertama saja sudah bikin kelimpungan. Ketiga yang lain sabar mengantri, menunggu giliran. Sementara bagian bawahanku seolah menyedot, memijit nikmat benda keras yang belum sempat kuamati lebih detail ukurannya...” - Daphine
‘Plok… Plok… Pok.. Pok.. Plok!’

( 🇬🇧 )
“Do you like It, honey ?” bisik Jagam menggunakan bahasa Inggris ‘gado-gado’ India.

“Mmmphh, Ouw Yeah~”

Liur Daphine sampai merembes melalui celah bibir, juga sebagian membekas di sprei.

Tangan Daphine yang terikat sesekali mengerjap, meremasi bantal ketika tusukan demi tusukan kian mentok sampai dalamannya.

‘Plok ! Plok ! Pok... Pok...’

Suara becek tepukan pinggul dan bokong, ‘Plak ! Plak !’ diselingi sabetan tangan Jagam jadi pemicu ketiga rekannya mulai mengelus kontol mereka sendiri di sofa.

“So, you ever played a party ?
(Pernah berpesta sebelumnya?)”

Jagam sempat bertanya demikian, sementara sentakan pinggul dan nafasnya yang kian melemah.

“Y-yeah~ Sshhhhh !”

Daphine malah menangguk manja, di antara tumbukan dan remasan ke tetek jumbonya.

Mendengar itu, Jagam sempat terperangah, diikuti ketiga orang lainnya kompak berdiri mendekati ranjang.

“Akhhh~Mmpfff... Huh ?”

‘Degh !’

Daphine baru tersadar, merasa sudah kelewatan mengartikan jawaban tadi.

“Bulu kudukku merinding, begitu ketiga orang lainnya sudah duduk di tepi ranjang, mengelilingiku bersama Jagam. Seperti pegulat Smackdown yang bersiap digantikan rekannya untuk bertarung ke dalam ring. Malam 13 Maret itu masih berlanjut, entah bagaimana akhirnya...” - Daphine.

[ LI ]
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd