Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Perlu pakai bahasa resmi negara nggak nih ? (bahasa Inggris, Itala, Jerman, Dll)

  • Ya ! (biar feel dramanya terasa) / dua-duanya nggak papa

    Votes: 38 17,8%
  • Nggak usah ! (Bahasa Indo aja, biar gampang)

    Votes: 176 82,2%

  • Total voters
    214
EPISODE 9 PART II :
KORAN PAGI

1999's



(Thames House, kota London)
12 April 1999 | Pukul (GMT) 07.15 pagi

Hanya ada petugas kebersihan dan beberapa personel security yang sudah melakukan apel pergantian jam kerja pagi hari itu. Tidak berselang lama, sebuah mobil taksi berhenti di seberang jalan.

Keterangan alih bahasa :
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris

(🇬🇧)

“Apa biasanya berangkat sepagi ini?” tanya si sopir taksi. Seperti sudah akrab dengan Qristal.

Yap. Kau sempat baca koran pagi ini?”, Qristal balik bertanya demikian.

“Not yet. Ada apa?”

“Hmm. Mereka berpikir kalau dunia akan kiamat. Perang dimana-mana. Wabah bermunculan. Kelaparan. Apapun itu, mereka pikir aku bisa menghentikannya. Bukankah itu aneh?” jawab Qristal, selalu saja menceritakan hal-hal random ini.

“Hahaha. Come on, aku cuma lulusan sekolah menengah, tidak akan paham masalah-masalah level pemangku kepentingan sepertimu. Cepat, atau mereka akan memotong upahmu lagi,” ujar si sopir taksi.

Qristal menyodorkan 2 lembar uang pecahan besar. Si sopir taksi malah mendelik, bukan karena kurang nominal ongkosnya, melainkan karena tidak ada kembalian.

“Sudah mulai pikun soal duit, Crystal?” tanya si sopir heran.

“Hahaha sudahlah, ambil saja. Michael yang memberimu bonus, Andyjawab Qristal.

“Andy Pilkington (50), supir taksi tercepat seantero Inggris. Langgananku sekaligus sahabat Michael jika kami mesti melewati jam-jam kemacetan. Sampai saat ini Andy masih belum mendengar kabar kematian Michael ketika bertugas bersamaku di kosovo,” - Qristal

Sepengetahuan Andy, jabatan Q dan Michael hanyalah staf rumah tangga biasa dinas SIS (The Secret Intelligence Service).

Pagi ini Q datang lebih awal dari schedule. Pertemuan biasa tapi penting, memang sering Sir Lander agendakan.



‘Tk.. Tkk.. Tkk... Tkk...’
(Suara ketukan heels Qristal)

Qristal belum lama tiba di depan ruangan Sir Lander. Sayup-sayup terdengar suara panggilan seseorang dari ujung koridor lain.

(🇬🇧)

“Nona Q ?!” panggil seorang lelaki dari kejauhan. Seperti biasa, lengkap dengan setelan ala petugas antar pos.

“Nona Q, maaf Sir Lander sedang tidak ada di kantor,” terang Thomas Calford, lelaki yang kemarin juga sempat mengirim surat rekomendasi pengangkatannya.

Dia yang akan di-plot bertugas menggantikan Michael.

“I know,” jawab Qristal, sempat menilik jam tangan miliknya. Heran juga aneh dengan kedatangan Thomas Calford pagi ini.


“Terlalu pagi untuk datang ke kantor. Tapi Yah, mungkin ini caranya beradaptasi di lingkungan lain. Maklum, namanya juga karyawan baru. Perlu membangun citra positif diawal karir.” - Qristal

Terkadang ada saja rasa benci yang tidak jelas, tanpa alasan, dari kita kepada orang baru, karena sok asyik di dalam circle. Nah, itulah yang Qristal rasakan.

“Seriously? kau tiba disini bahkan sebelum diangkat jadi pegawai?” tanya Qristal, agak kasihan juga. Atau juga miris?

Mengira kalau orang ini pasti hidupnya lurus-lurus saja. Antusias dan terlihat sangat ulet.

Bahkan belum bekerja saja Thomas sudah datang lebih awal dibanding para karyawan dan staf disini.

“Hahaha. Mau bagaimana lagi, aku perlu waktu adaptasi juga.” jawab Tom pede.

“Memang semangat Thomas ini patut diacungi jempol. Kadang orang suka bersikap remeh dan kejam. Tapi dari dalam, aku yakin, orang-orang seperti inilah yang nantinya akan membuat lingkungan kerja tambah kompetitif.” - Qristal

“Oh wow. That’s great!” puji Qristal, kemudian mengetuk pintu.

‘Tok! Tok! Tok !’
(Qristal mengetuk pintu)

Sebelum masuk, Qristal terpikir untuk mengerjai Thomas. Yah, itung-itung juga ‘pendadaran’ langsung dari Q kepada Tom yang kelak akan jadi partnernya.

“—umm, anyway Thomas!” imbuh Qristal, sebelum masuk ke ruangan.

“Yes, Nona Q?” tanya Tom.

“Karena aku sudah menandatangani surat rekomendasi pengangkatanmu, sebagai gantinya, boleh kupinjam jaket tukang pos itu?” pinta Q.

“Emm... jaket?” tanya Thomas, menunjuk jaket yang masih dia kenakan, agak bingung.

Apa tidak salah dengar?

“Yes! jaket tukang pos itu. Boleh ku pinjam untuk setelah ini. Aku lupa bawa mantel, lagipula setelah ini aku punya perlu lain,” jawab Q, berdalih demikian.

‘Srkk—Srkkk...’, Thomas Calford langsung menanggalkan jaket gombrong miliknya.

“Oh, Ya, tentu. Silahkan,” kata Thomas, menyerahkan jaketnya pada Q.

Lanjutnya. “—sebuah kehormatan bagiku, meminjamkan jaket penuh perjuangan untuk anda, Nona Q,”

“Wow. Freak banget~” - Qristal

“Wow, sebuah kehormatan juga Tn. Thomas, kukembalikan besok, tentu jika aku sempat. See you~” jawab Qristal, berjanji demikian.

‘Tettttt—’, bunyi bel dari ruang kerja Sir Lander, yang berarti ‘silahkan masuk’.

Tapi bukan Sir Lander yang akan berbicara dengan Qristal pagi hari ini, melainkan si sekretaris, Allen Lawrence.

“Ah, Nona Q! Wow... cantik sekali penampilanmu, bagaimana Italia?”, sambut Allen yang sudah menunggu di dalam. Pangling juga dengan penampilan baru Qristal seperti ini.

“Great~ bagaimana pekerjaanmu?” tanya Qristal, juga menyerahkan bingkisan oleh-oleh untuk Allen dan Sir Lander.

“Hahaha. Banyak hal merepotkan, tapi mau bagaimana lagi? Sir Lander sebentar lagi purna tugas. Setidaknya, aku bisa membantunya sebelum acara perpisahan. Anyway, terima kasih oleh-olehnya~” jawab Allen.

“—silahkan duduk,” imbuhnya.

Kini mereka sedang mendiskusikan terkait keputusan surat tugas yang baru diterbitkan detasemen SIS.

(🇬🇧)

“Really? bagaimana bisa para petugas perempuan tidak ikut diterjunkan. Apa kalian mulai menganut pandangan anti-feminisme itu?” tanya Qristal.

“Hahaha, tidak... bukan itu maksud kami. Kupikir kau sudah paham semenjak hari pertama bergabung bersama kami. Dalam aturan yang berlaku memang sudah disebutkan, tugas penyelidikan dalam negeri hanya dilakukan oleh detasemen MI5. Juga karena saat ini kami belum mendapatkan partner untukmu—pengganti Michael,” jawab Allen.

“Huh, sudah pasti! Aku memang dipaksa harus menyetujui pengangkatan tugas Thomas Calford tadi?”, tanya Qristal.


Allen cuma mengedikkan bahu. Antara tidak tahu, atau malah setuju.

“Aku meminta diskusi pertemuan dengan Sir Lander. Tolong agendakan secepat—” pinta Qristal.

Dipotong Allen. “—Sir Lander disibukkan dengan agenda diplomatik bersama menteri luar negeri akhir-akhir ini. Maaf jika kurang berkenan, tapi kecil kemungkinan dia akan sempat,”

“Menjengkelkan memang si sekretaris satu ini (Yah, kadang-kadang sih). Kebiasaannya sering menelpon para staf tengah malam. Sering minta titip dibawakan kopi dari kedai. Apalagi, kebiasaan Allen ‘mengharap’ oleh-oleh dari para rekan kantor jika balik dari masa liburan. Sangat tidak ‘berintegritas’ bukan?” - Qristal
Lagi-lagi Qristal harus menurunkan ego, sama yang halnya yang seperti Barry tekankan. Hanya Sir Lander, orang yang bisa Qristal percayai di tempat penuh kebohongan ini.

Qristal menghela nafas, sebal. “Hffftt... baiklah. Soal tugas yang barusan anda katakan?”

“Ah ya! soal itu...” jawab Allen, langsung mencari berkas dari laci meja kerja Sir Lander.

“Mungkin ini terdengar seperti ancaman. Tapi percayalah, sumbernya kudapatkan langsung dari informan lapangan,” imbuh Allen mengawali penjelasan.

Juga menunjukkan berkas laporan dinas mata-mata yang mengabarkan langsung dari Moskow.

‘Srrrkk! Srrkkk!’

Lanjut Allen. “Mereka punya informasi valid. 10 hari dari sekarang. Biro pertahanan strategis Rusia akan melancarkan operasi intelijen senyap, menarget para tokoh partai oposisi disini. Secara ‘pers’ akan kami beritakan dengan tajuk serangan *IRA,”

* IRA (Tentara Republik Irlandia) adalah gerakan separatis, pemberontak yang dicap ‘organisasi teroris’ oleh pemerintah Inggris karena menginginkan pengaruh Inggris mengakhiri kekuasaan di Irlandia Utara dan penyatuan Irlandia. IRA secara formal berdiri pada 1917, berisikan para relawan Irlandia yang menolak masuk ketentaraan Inggris pada Perang Dunia I. Seiring berjalannya waktu, kelompok ini menghalalkan kekerasan untuk mengintimidasi Inggris agar melepas Irlandia Utara. Mereka bertanggung jawab dalam aksi teror disejumlah kota seperti London, Manchester, Belfast, Omagh sejak 1980an. Kelompok ini memiliki hubungan aliansi dengan organisasi PLO (front pembebasan Palestina) juga KGB Soviet di masa perang dingin. - (Wikipedia)

“Secara pers? tunggu, kalian membuat berita bohong (hoax) lagi?” potong Q.

“Ini perintah mutlak. Supaya para investor penanam modal tidak terpengaruh. Sampai saat ini, kita belum diperintah untuk menyelidiki pergerakan musuh secara terang-terangan. Kenapa? pemerintah Inggris mau lebih berhati-hati dan tidak menginginkan masalah ini berakhir semata-mata sebagai tuduhan tanpa bukti,”

“Jika sampai di-blowup media, itu bisa menganggu hubungan diplomatik Rusia & Inggris yang makin mesra menjelang perjanjian dengan *Semibankirschina beberapa bulan mendatang. Itulah kenapa sebelum kita berhasil menangkap tangan, siaran pers akan tetap mengabarkan kalau ini aksi teror IRA biasa.” jelas Allen Lawrence.

*Semibankirschina, (perkumpulan tujuh bankir). Adalah konsorsium oligarki gabungan dari tujuh orang konglomerat kaya asal Rusia. Mereka diperkirakan muncul di era kepemimpinan rezim presiden Boris Yeltsin antara tahun 1996-2000. Konon, kelompok ini adalah pihak utama yang bisa memainkan peran pada bidang politik san ekonomi di Rusia. Juga menurut wawancara majalah Time (1996), berkat perjanjian antara pemerintah Inggris dengan para oligarki ini, yang pada akhirnya ‘merestui’ berdirinya rezim baru pemerintahan presiden Vladimir Putin, yang datang dengan dukungan (geng) taipan-taipan kaya seperti Alexander Abramov, Oleg Deripaska, Mikahil Prokhorov, Alisher Usmanov, Nikolai Tokarev. Paling terkenal tentu saja Roman Abramovich, yang pada medio 2003 sukses mengakuisisi pembelian klub sepakbola asal London, Chelsea F.C - (wiki.hmn)

“Itu terdengar sedikit licik, juga arogan. Maksudku, bagaimana jika IRA yang merasa tertuduh dan kalian pojokkan malah mengamuk dan membatalkan perjanjian damai?” tanya Qristal.

“Aku juga sudah mengatakan itu saat sarasehan. Tapi jawaban mereka yang ada di parlemen cuma, ‘ini bukan urusan kalian!’. Menurut pendapat para pimpinan, kita disuruh fokus saja menjaga suasana untuk selalu kondusif, mengingat urusan ekonomi dengan Rusia jauh lebih menguntungkan, setidaknya untuk saat ini,” tutur Allen.

“Itu saja?”, tanya Qristal.

Merasa belum mendapat ‘poin penting’ dari pertemuan yang diadakan secara tertutup antara anggota parlemen Inggris dengan para petinggi SIS soal UU baru untuk membatasi pengawasan terhadap para investor Rusia.

“Jadi intinya adalah kau bisa saja mendapat tugas, hanya jika diizinkan MI6. Selama surat izin belum terbit, kuharap kau tetap mau membantu kami disini.”

Dipotong Qristal.Thanks, tapi maaf Tn. Allen, aku tidak mau menjadi bagian dari rencana penuh kebohongan ini. Sampai jumpa!”, jawab Qristal, menolak.

Pekerjaannya saja sudah melelahkan, masih ditambahi masalah yang seharusnya adalah wewenang para pimpinan.

Sebelum pergi, Q sempat menyerahkan berkas ahli waris keluarga mendiang Michael dan persetujuan pengangkatan Thomas Calford.

“Huh, dasar para perempuan ini~”, keluh Allen.

‘Tutt.. Tutt.. Tuttt...’, Allen langsung menghubungi sebuah nomor telpon seseorang.

Bagi Allen dan Sir Lander, Qristal adalah salah satu agen intelijen wanita terbaik yang dimiliki MI6 sampai saat ini.

Kekurangannya adalah terlalu polos, atau karena terbebani nurani?

Qristal hanya perlu waktu untuk melihat kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada yang terlalu ‘hitam’ dan ‘putih’. Ada masanya sesuatu harus ‘melunak’ karena menguntungkan bagi politik dan bisnis.

Q menolak semua jenis praktik deal kotor dan politik dua kaki yang mulai dimainkan biro keamanan Inggris saat itu.

Pada periode ini, hubungan antara negara-negara Uni Eropa dan Rusia memang lebih mesra dari yang sudah-sudah. Faktor pasokan gas dan investasi minyak yang merupakan buah dari perjanjian PCA ketika dimulai tahun 1997, agaknya sukses dijadikan Rusia sebagai senjata politik untuk ‘mendekati’ Jerman, Inggris dan sekutu-sekutu lainnya.

(Percakapan Telepon 🇬🇧)

“Ya Allen? Bagaimana?”, telepon diangkat langsung oleh seseorang lelaki. Sir Lander yang ada diujung panggilan itu.

“Sir Lander, aku hanya mengabarkan jika semua sudah laporan yang masuk sudah ku verifikasi.”, kata Allen.

“Itu saja? Lalu apa nona Q bersedia membantumu?”, tanya Sir Lander.

“Soal itu aku belum bisa meyakinkannya.”

“Dia menolak? Apa aku perlu menghubungi Mr. Barry agar mau membujuknya ikut bertugas?”, jawab Sir Lander, menawarkannya bantuan relasi.

“Mr. Barry? Bukankah di pertemuan terakhir beliau sempat berdebat denganmu, eh, maksudku... ya tentu! jika anda sedang tidak sibuk, silahkan tuan~”

Don’t worry. Akan kutelpon setelah ini. Terima kasih bantuannya, sampai jumpa lagi,” tutup Sir Lander.

“Yes sir!”, jawab Allen.

‘Cklek ! Tuttt... Tuttt...’, sambungan telepon berakhir.

Demikian juga dengan seluruh pekerjaan Sir Lander hari ini, yang diambil alih Allen sementara waktu.

“Alejandro Gaspore? Ini menarik. Jika berhasil, maka tugasku dikemudian hari tidak akan berat. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.” gumam Allen, tersenyum simpul.

Apapun yang terjadi, kita semua tidak akan pernah menyangka...




(Apartemen Qristal, kota London)
Pukul (GMT) 18.30 petang

Q sibuk merias diri untuk menghadiri undangan event fashion show yang akan berlangsung satu jam lagi.

Juga menunggu kedatangan Sweeney, karena punya 2 tiket undangan.

Terus terang, seharian ini Qristal begitu lelah. Pagi hari menemui Allen di Thames House, kemudian lanjut menemani Alina jalan-jalan ke museum, belanja beberapa keperluan anak-anak, belanja banyak buku, malam harinya dia harus datang ke acara ini karena kontrak antara sponsor dengan rumah mode tempatnya bekerja.

“Lelah tapi juga menyenangkan. Apalagi beberapa hari ini ada Alina yang jadi teman kecilku di rumah. Senyum vibes bahagia si bocah cilik, entah bagai mantra sulap yang sanggup mengembalikan mood-ku di setiap penat karena rutinitas pekerjaan,” - Qristal
Malam ini Alina sengaja dititipkan ke rumah Bibi Grena karena Q tidak tega meninggalkannya sendirian.

Sembari mencatok rambut yang sebelumnya Q ubah jadi agak curly, tangannya meraih ponsel Nokia seri 8850 miliknya.

Menekan satu persatu nomor telepon seseorang.



(Percakapan telepon 🇬🇧)

“Ya. Ada apa?”, telepon dijawab suara lelaki diujung panggilan.

“Jangan lupa dengan agenda besok. Kami jemput pukul 19.30 malam,” kata Qristal, menahan telepon di pundaknya.

“Mau kemana kita?” tanya Miro, si lelaki yang ternyata ada diujung panggilan. Sekedar memastikan jika kali ini mereka tidak akan melakukan tindakan kriminal.

“Barry, ingin berbicara denganmu. Apa ada masalah?”, balas Q.

“Tidak.” jawabnya. “—lalu, kenapa aku harus mengenakan jaket petugas pos ini?” tanya Miro sekali lagi.

Mengomentari jaket warna khaki dengan id-card ‘Thomas Calford’ yang sempat Q tinggal di teras rumah Miro siang tadi.

“Kamuflase. Kami tidak mau kau terlibat masalah,”

“Kamuflase? Apa kalian melibatkanku di dalam tugas mata-mata?” tuduh Miro duluan.

“No, listen! Ini juga terkait keselamatanmu. 10 hari lagi, para diplomat dan beberapa pejabat keamanan Rusia akan tiba di London. Agenda soal politik dengan bumbu perjanjian bisnis. Menurutmu, mereka cuma ‘plesiran’ singkat disini?” Jelas Qristal.

“Aku tahu. Tapi apa rencana kalian?” tanya Miro.

“Entahlah. Aku hanya diperintah Barry dan memangnya untuk apa harus kuberitahukan kepada seorang pencari suaka sepertimu?” jawab Q.

“10 hari lagi, dari mana kau tahu itu?” tanya Miro.

“Menurutmu?”

“Kau yakin? aku saja belum mendapat informasi apapun dari lembaga amnesty. Kau tidak salah informasi?” tanya Miro, memastikan kebenaran kabar itu.

‘Tingtong!
Tingtong!’

(Bel tamu terdengar)
Bel tamu ditekan beberapa kali. Itu artinya Sweeney sudah tiba.

Sialnya, Qristal harus buru-buru karena belum sempat mandi setelah seharian jalan-jalan bersama Alina.

“Alright, inilah yang harus kau lakukan... sampai kutelpon, jangan lakukan kontak dengan siapapun. Kau paham?” tanya Q, untuk kemudian segera menutup panggilan mereka.

‘Ting ! Tuttt... Tuttt...’, panggilan telepon ponsel ditutup.

‘Tingtong!
Tingtong!
Tingtong!’
(Bel tamu kembali terdengar)
“Gosh, Alright Sweeney... Hold on! Masuk dulu aja, aku belum sempat mandi. Tunggu sebentar!” kata Qristal melalui sebuah microphone yang tersambung dengan speaker di bel pintu masuk apartemen.

‘klik!’, juga memencet tombol remot kunci pengaman apartemen otomatis. Sehingga Qristal tidak perlu repot-repot membuka pintu ke depan.

‘Drkkkk... Jglek!’, sementara Qristal lansung menarik handuk kimono dan beralih ke bathroom di kamarnya.

‘Ngikkk !
Srrrsshhhhhhh...’

(Kran shower diputar, air mengalir)

Qristal memejamkan mata saat tengah membasuh pundak dan tangannya, merasakan guyuran air dan wangi sabun beraroma lavender.

‘Tok ! Tok !’
(suara ketukan pintu di kamar)

“Hold on ! Bersantailah sebentar Sweeney, 15 menit lagi kita berangkat,” teriak Qristal dari dalam bathroom.

‘Ngikkk...’, suara pintu yang dibuka perlahan. Langkah Sweeney juga terdengar memasuki kamar Qristal.

‘Srrrsshhhhhhh...’
(Air shower mengalir)

“Eh?”, Q lupa mengenakan masker rambut. Baru sadar kalau rambutnya selesai dicatok. Untung belum basah.

“Swey, bisa tolong ambilkan shower-cap!” pintanya pada Sweeney diluar.

.

.

.

.

Sweeney tidak menjawab. Aneh.

“Sweeney!!!” panggil Qristal sekali lagi, setengah berteriak.

Tetap saja, tidak kunjung ada jawaban. Ah, pikirnya anak itu pasti keluar membuka kulkas untuk cari cemilan atau minuman ringan.

‘Drkkkk !’, Qristal yang tidak sabaran langsung nyelonong keluar dari kamar mandi.

Dan betapa kagetnya Qristal begitu memergoki seseorang yang ternyata bukan Sweeney ada di dalam kamarnya.

“Jerry ?! What are you doing here?! Dasar kurang ajar!”, bentaknya.

Buru-buru Qristal lilitkan handuk begitu memergoki sosok laki-laki yang sebetulnya dia kenal. Sementara laki-laki yang disebut, sontak terjingkat kaget begitu diteriaki Qristal.

“Woah! M—maaf Crystal. Bukan maksudku...”, sangkal laki-laki itu sampai terbata-bata.

“Mana Sweeney?! Dasar gila! Get Out!”, bentak Qristal lagi.

“No-No, wait... Crystal, aku tidak bermaksud—” lelaki itu coba menenangkannya, pun tidak bersikeras langsung keluar, yang ada malah semakin membuat Qristal tidak aman.

“Akan kupanggil polisi!”, ancam Qristal, menyambar ponsel yang ada diujung rak ranjang

‘Brakk !!’, namun segera di mentahkan lelaki ini. Ponsel Qristal jatuh tercecer masuk ke kolong ranjang.

“No please, aku mohon,” katanya seraya menggeleng, mengangkat kedua tangannya, seolah mengatakan semua baik-baik saja.

“So?! Get out, dasar tai!” bentak Qristal.

Perlahan mulai melangkah mundur kembali ke kamar mandi, menjauhi pria ini.

Jericho Castellana (33). Jerry, panggilan bekennya. Pria pendek setinggi 161cm, bermata biru dengan kulit sawo-hitam. Model rambutnya tidak pernah berubah, kriting mengembang.” - Qristal


Rob Schneider from ‘Deuce Bigalow’ (2005)

“Cabul licik! Apa urusannya main masuk ke rumahku? serampangan sekali!”

“Woah? Ehm— maaf aku diminta Sweeney menjemputmu karena mengira kau ketiduran,” jawab Jerry, masih berusaha mengintip Q dari balik sliding-door kamar mandi.

Imbuh Jerry. “Barusan aku dengar kau meminta masuk lewat speaker. Yasudah aku tunggu saja di dalam.” jelasnya, masuk akal juga.

“Banyak cerita dan pengalamanku yang kurang menyenangkan dengan sosok laki-laki— yang tidak lain juga pacar si Sweeney,” - Qristal

“Taik! Aku mengatakan itu untuk Sweeney, bukan tikus got sepertimu! Jangan kurang ajar, atau kupanggil polisi!” ancam Qristal.

Qristal yang merasa terancam berusaha sekuat tenaga menutup rapat sliding-door kamar mandi, namun entah apa maksudnya, Jerry malah menahan pintu kamar mandi.

‘Drkkkk—’,

“Hemph—”, dorong-mendorong pintu tidak terhindarkan.

Q hafal betul dengan perangai jelek Jerry. Apalagi ditambah riwayat kejiwaannya.

Tidak! Qristal tidak akan mudah tertipu hanya dengan alasan tak masuk akal tadi.

“Sure ! Come on Crystal, jangan bercanda. Sweeney bisa memarahiku jika kita telat,” jawabnya.

“Lho-lho?! tolol, kenapa seolah aku yang jadi masalah? Apa sebelumnya aku pernah mengajakmu?!” bentak Q.

Lanjut Qristal. “Hey! Apa urusanmu masuk kesini tanpa permisi? Get out mate!bentak Qristal.

“Bacot ! Sudah kubilang, aku kesini karena Sweeney. Cepat buka pintunya! Kita harus segera berangkat ! Apa mau kudobrak?!” ancam lelaki ini, mulai nampak belangnya.

“Kalau cuma disuruh Sweeney, kenapa sampai ngotot?! Bajingan! Apa kau mabuk?!”bentak Qristal.

‘Klik... Cklek!’, Jerry yang lengah membuat pegangannya terlepas, sehingga pintu berhasil dikunci rapat oleh Qristal.

Q kemudian menggeledah deretan rak di dalam kamar mandi. Merogoh benda apapun itu yang bisa dia gunakan untuk melindungi diri.

“Bollock !, kutuknya. Tidak menemukan apapun yang dapat dia gunakan untuk berjaga-jaga.

Bodoh dan kurang perhitungan! Tidak sempat atau malah tidak terpikir untuk mengambil Pistol dan peralatan ‘tugas’ lainnya yang ada di kotak makeup, meja rias, beberapa lainnya ada di tempat lain. Sial!

“Jika kalian bertanya, kenapa sebegitu kerasnya sikapku kepada Jerry? itu bukan tanpa sebab,” - Qristal

‘Dokk ! Dokk ! Dokk !’
(Jerry menggedor pintu kamar mandi Q)

“Crystal ! Ini Sweeney sudah menelponku terus-terusan!” panggil Jerry dari luar.

“Pembohong ! Keluar sekarang juga dari rumahku!” bentak Qristal meneriakinya, pun berpikir benda apa yang bisa digunakan untuk menyerang Jerry.

Jerry sempat memungut ponsel Qristal yang tercecer barusan. Entah apa niatnya, ponsel itu malah langsung di-nonaktifkan begitu saja.

‘Klik!’, kunci alarm otomatis pintu masuk juga dinyalakan Jerry via remote yang ada di meja rias Q.

‘Drkkkk !’, suara laci dibuka. Begitu kagetnya Jerry mendapati sesuatu ada di dalam sana.

“Crystal... aku sedang tidak mau berurusan dengan hukum. Ini semua salah paham. Bagaimana jika aku keluar dari sini dan kau berjanji untuk tidak melaporkanku?” kata Jerry.

‘Degh !’

“Enyahlah! Untuk apa kita berunding?! Untuk apa juga buat kesepakatan?! Kau cuma kuminta pergi dari sini!” bentak Qristal.

“Okay-okay! Aku pergi keluar sekarang juga!” jawab Jerry, menyerah dan setuju untuk angkat kaki.

‘Nggik... Jglek!’, pintu kamar ditutup perlahan dari luar.

Tak berselang lama, ‘Drrrkkk—’, pintu kamar mandi digeser, Q keluar dari dalam. Badannya masih basah dengan lilitan handuk.

Instingnya mengatakan kalau ancaman bahaya itu tetap ada meskipun Jerry sudah pergi.

“Eh?!”, Qristal heran, mendapati ponsel miliknya tadi tergeletak dibawah kolong ranjang tidur.

Qristal yang panik langsung melangkah keluar, untuk memungut ponselnya dan menghubungi Sweeney, namun...

‘Ckrak!’, telapak kaki Qristal yang masih basah, menipak duluan ke keset dan sempat terasa menginjak benda seperti remot TV, warnanya pun samar dengan kain keset. Benar saja...

“Oh, shit!”
‘Degh !’
Zzzttttt ! Zzzrrrttt !’, sengatan alat kejut listrik.

“Emgghhhh !”, pekik Qristal seketika jatuh tersungkur terkena sengatan listrik berdaya voltase tinggi.

Kakinya tidak sengaja menginjak—menekan aktif.

Aliran listrik yang dikeluarkan benda itu, langsung menyetrum Q yang badannya masih basah kuyup.

“Ceroboh. Bodoh. Konyol. Memalukan, itulah aku. Sialnya, baru kusadari kalau ‘trik rendahan’ ini sengaja dibuat oleh Jerry barusan. Menggunakan Taser (alat kejut listrik) milikku yang sempat dia temukan di laci. Entah, bagaimana dia bisa berpikir demikian. Dasar keparat beruntung!” - Qristal

“Emgghhhh !”

Sekujur tubuh Qristal terkejang-kejang, diikuti nyeri persendian hingga akhirnya lumpuh beberapa saat akibat jebakan Taser kejut listrik tadi.

Beruntung tidak sampai pingsan atau yang lebih parah, henti jantung.

“Ohok ! Uhuk ! Hhh... Hhh... Hhh...”, nafasnya sampai tersengal dan mual.

Jantungnya berdetak kencang, tapi nafasnya malah makin berat. Lumayan terasa juga efek sengatan listriknya.

‘Tkk. Tkk.. Tkk...’, beberapa saat kemudian, muncullah Jerry mendekat kepadanya.

Sambil meringis, Jerry berbisik kepada Qristal. Aroma alkohol tercium jelas dari mulut Jerry. Benar dugaan Qristal...

“Why? kenapa kau seperti begitu jijik denganku? apa aku punya masalah denganmu sebelumnya? Atau Sweeney cerita hal buruk tentang aku?”, bisik Jerry.

“Emmghh! Just... piss off, you knobhead! (Pergi sana, kon***!)” umpat Qristal.

Zzzrrrrttt !’, sengatan alat kejut listrik.
Badan Qristal kembali dibuat kejang-kejang setelah disetrum lagi menggunakan Taser tadi.

Suaranya langsung hilang, air liur mengalir deras dari sela mulutnya yang kaku menganga. Bagian lidah Qristal rasanya seperti berat hanya untuk digerakkan.

“A—anghhhj...”, pekiknya tertahan dengan mulut menganga.
“Jika kalian bertanya bagaimana bisa dia berpacaran dengan Sweeney, itu juga berawal dari aku yang mengenalkan mereka berdua. Sampai saat itu, belum ada masalah antara kami,” - Qristal

“Well... awalnya aku kesini karena mau ngobrol soal Ayahmu. Tapi itu nanti saja,” kata Jerry, seraya meringis ngeri.

Lanjutnya. “I need your pussy, right now. (Aku pengen ngewe dulu, sekarang),” bisik Jerry.

Kurang ajar. Ternyata ini semua memang sudah dia rencanakan sebelumnya.

Jerry ini memang licik, tipikal orang-orang manipulatif. Itu juga awal masalah yang pernah terjadi antara Q dengan si cabul mengerikan ini.

“Masalah bermula ketika kami terlibat ke dalam salah satu project ‘campaign’ sebuah iklan TV. Jerry, adalah partner pertamaku saat debut casting iklan kampanye ‘Got Milk?’ tahun lalu. Bisa dibilang, pekerjaannya selain ‘komedian’ cafe (standup comedian) adalah aktor amatir,” - Qristal
Tak tega, Jerry langsung menurunkan volume tegangan alat Taser tadi. Berjaga-jaga, siapa tahu Q akan melawan. Dia memang berniat memerkosa Qristal sejak awal!

‘Ngkkk ! Ngikkk !’
(Derit ranjang saat Jerry melempar Qristal yang masih lemas)

“Yess~ kita bakal ngewe sampai pagi,” racau Jerry, yang langsung melucuti pakaian berserta jas yang dikenakan sebelumnya. Mulai dari celana formalnya sampai isi dalaman.

‘Glek...’, Q yang masih nyeri pada bagian punggung, lengan dan kakinya, sempat meneguk ludah. Melirik ngeri badan Jerry, ternyata jauh lebih atletis yang sekarang ini dibanding dulu.

Yah, masih ‘tipe’ kesukaan Qristal. Tapi, tidak. Tidak boleh. Tidak boleh ada rasa takjub seperti apapun karena lelaki ini memang tidak waras sebetulnya.

“Nah, jika kalian bertanya apa masalah kami? coba lihatlah cuplikan iklan campaign ‘Got Milk?’ ini:
Pada naskah skenario, seharusnya adegan kami saat itu sebatas ‘berpelukan mesra’. Namun, saat proses Take, si tikus got ini malah kelewat beringas, sialan! Aku benar-benar malu dan tidak paham dengan situasi dimana para crew seolah menikmati hal menjijikan itu terjadi!” - Qristal

‘Ngikk! Ngkkk!
Nggkkk! Ngikk!’

(derit ranjang akibat pergulatan Jerry dan Qristal)

Sayup-sayup suara derit dan kekacauan terdengar dari dalam kamar Qristal.

(🇬🇧)

“Huh! Ayo cium aku! Emhhhh!”,

Jerry langsung menubruk, lebih kepada menindih kasar Qristal. Memaksanya berciuman. Walau tidak berdaya, Q masih coba meronta untuk menghindari Jerry.

‘Mmmh! Muach... Mmphh!’

2-3 kali ciuman bibir Jerry mampu menjejali mulut Qristal yang basah oleh liur yang terus melumer.


“Emmghhh !!” Qristal hanya sanggup menggeleng untuk mengelak dari cumbuan paksa Jerry.

“Hhhh !”, lenguhan Jerry yang terlihat lebih buas dan bertenaga. Bisa membolak-balik Q sekenanya.

Pertahanan Qristal hampir jebol. Sesekali coba mencakar wajah Jerry. Tapi tenaga Jerry memang salah satu faktor yang membuatnya kalah.

“Jika dia benar-benar mabuk. Ini gila! Aku lebih mengkhawatirkan Sweeney yang saat itu tak kunjung tiba,” - Qristal

Tangan Jerry begitu ampuh untuk membuat Q mati kutu. Gemetaran saat sensasi elusan hinggap di pangkal pahanya.

Jerry usap-usap memek Q, sebelum menjojoh sampai dalamannya. 2 jemari Jerry langsung lengket. Basah oleh saripati precum milik Qristal.

“Wow... udah pengen juga? kenapa mesti menolakku?” kekeh Jerry.

“N—nggak! Emmh... N—no! Arghhh~” Qristal sangat keras kepala, walau racauannya sudah tidak karuan.

Mata Qristal sesekali terpejam coba menahan diri. Dia mungkin sudah lupa kalau terakhir kali melakukannya dengan ‘senang hati’ adalah ketika bertugas di Pristina, Kosovo.

“Dengan si tentara perjaka kurus itu kalau tidak salah. Entahlah, aku juga sudah lupa namanya...” - Qristal

Jerry sesekali cupangi pundak dan lehernya dari belakang sambil tersenyum penuh rasa puas bisa menunjukkan dominasinya kepada sahabat Sweeney.

“Please, Let me go... I beg you~” kata Qristal mengiba, memohon untuk Jerry agar mengakhiri ini semua. Tapi di telinga Jerry itu adalah ajakan mesra.

Jerry bersusah payah saat coba menempelkan ujung kontolnya ke celah memek Qristal. Ini karena Q mereka masih coba melawan dan meronta terus-terusan.

Ada momen kecil saat tiba-tiba bawahan Qristal tergesek bagian ujung benda lunak Jerry.

“O—oh! Oh! My…”, pekik Q diiringi erang nikmat pun sempat menjerit tertahan.

“Hmmph... Ya.. Ya.. Yeah! Ssshh~” erang Jerry sambil merem melek merasakan sensasi penetrasi gesek pertamanya.

Walau bisa dikatakan kurang ‘Smooth’ tapi untuk awalan, boleh juga.

“Sshhhh... O—ouw Yessss baby~” Lenguh Jerry kembali mengaturnya, mendorong perlahan, biarkan saja dulu.

Sesak di awal, belum tentu lara di akhir. Jerry dorong pelan lagi. Woah, ini luar biasa!

“Eemghh!” Qristal meronta, seperti biasa. Memalingkan wajah saat dijojoh penetrasi seperti ini.

‘Srttt...’

Bles!

“O—oufffh!”, pekik Qristal.

Sekali tusukan, Q rasakan kontol Jerry yang masih terasa kesat, perih, panas... saat menjojoh masuk.

Sekali-dua kali tusukan, keduanya sama-sama melenguh. Dan kali ketiga tubrukan pinggul Jerry kini mulai menemukan ritme yang pas.

Sesekali ujung kepala kontol Jerry menggesek pertengahan celah paha Q.

Qristal memang terlihat jijik dan angkuh dihadapan Jerry. Tapi nyatanya, malah takluk dan tak mampu berbuat banyak karena begitu ‘monoton’ pengalaman seksnya selama ini, tidak sanggup meladeni permainan ganas Jerry.

Qristal cuma mendesah, blingsatan, dan meronta tidak jelas. Aneh. Antara menolak atau meminta. Kini, refleks mulai meremas-remas teteknya sendiri.

Hal berbeda justru dirasakan Jerry yang kali ini begitu percaya diri.

“Aku tidak melihatmu beberapa bulan belakangan. Aku dengar dari Sweeney, diam-diam kau bekerja untuk SIS, apa mau jadi James Bond? Hmmm?” bisik Jerry, meledeknya.

Jerry lirik alat setrum tadi. beralih kepada ikat pinggang miliknya. Ah, teringat juga sempat menemukan gulungan tali goni tidak terpakai dibawah kolong ranjang Qristal.

Hmm, sebuah ide gila muncul bersamaan dengan muka Qristal yang mulai memerah. Jerry menyukai hal satu ini.

Variasi seks yang sudah dipopulerkan sejak zaman Yunani Kuno. Ini melibatkan laki-laki dan perempuan Sparta di sebuah ruangan bernama Tomb of Whipping, tempat mereka merasakan cambuk siksaan berbuah kenikmatan seksual.

Tapi sayang, Jerry belum pernah ada kesempatan untuk mencobanya bersama Sweeney.

“Malam ini, Crystal sendiri yang akan melebarkan pahanya untukku! Atau jika tidak, kita akan coba variasi lain yang pantas untuk membuatnya jera, BDSM!” - Jerry


[ LVI ]



(Stadion Stamford Bridge, kota London)
13 April 1999 | Pukul (GMT) 16.00 sore

Sehari kemudian, benar-benar random. Ketika 30 menit yang lalu, Barry tiba-tiba menghubunginya untuk bertemu sekalian makan siang.

Bayangan Qristal adalah makan siang dengan roti isi, panekuk, mencicipi oyster mahal khas timur tengah yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Atau setidaknya bertemu di restoran dan cafe yang lebih cozy, estetik, dengan suasana baru.

‘COME ON LADS !’

‘Prok ! Prok ! Prok ! Prok !
Suittt ! Suittt !’

Aplause dan siulan dari penonton yang mulai memadati lapangan Stadion.

Alih-alih menyantap makanan lezat yang dia idam-idamkan tadi, kenyataannya, Q malah diajak Barry berpanas-panasan diantara keriuhan penonton tribun stadion Stamford Bridge, homebase klub Chelsea FC.

“Siapa lagi kalau bukan karena orang tua satu ini, Barry!” - Qristal

Ya, benar. Barry malah mengajak Q menyaksikan pertandingan sepak bola liga Inggris antara West Ham United melawan tim tuan rumah, Chelsea.

Awalnya Barry sempat kebingungan mencari nomor kursi yang tertera pada tiket, beruntung seorang petugas steward segera sigap membantunya menemukan kursi.

Sementara Qristal membuntuti mereka dari belakang, kedua tangannya kerepotan saat disuruh membawa 2 gelas berisi penuh bir.

‘Priittttt !’
(Wasit meniup peluit, memulai pertandingan)

Bersamaan dengan mulai menggemanya chants pendukung tim tuan rumah dari tribun Shed End.

(🇬🇧)

“Kau baik-baik saja? Ada apa dengan tanganmu?”, tanya Barry, mengamati sekilas pergelangan tangan Qristal seperti lecet bekas jerat tali.

“Nothing, (Bukan apa-apa)”, jawab Qristal, cuek, menyembunyikan bekas lecet karena ulah Jerry semalam.

Lanjut Qristal menambahkan. “—Did you know, Barry? Aku selalu benci pertandingan sepak bola,”

Baru saja mereka duduk, tapi menurut Q, selalu membosankan baginya hanya untuk duduk diam melihat pertandingan bola seperti ini.

“What? Kau membenci hiburan orang banyak seperti kami disini?”, jawab Barry, heran, pun tidak peduli karena lebih penasaran dengan duel keras antara kedua kubu pemain diatas lapangan.

“Aku benci orang yang memainkan sepak bola. Aku benci orang yang gemar menonton sepak bola. Dan aku juga membenci orang yang tidak sependapat denganku soal menonton atau memainkan sepak bola!”, Qristal menggerutu seperti ini kepada Barry.

“Sepak bola adalah salah satu olahraga fisik. Dan olahraga itu baik untuk metabolisme. Juga menjaga pikiran kita tetap waras, karena aliran darah ke otak akan dipompa lebih segar. Kurasa, itu masalah yang membuatmu jadi mudah ngantuk, tidak mampu berpikir pintar, dan larimu sangat lambat selama ini,” ejek Barry, berbisik ke telinga Qristal, sambil tersenyum kecut.

“Yah terserah~” balas Q.

Barry yang memaksanya untuk ikut menonton pertandingan, juga tidak menyangsikan kok pendapat Qristal barusan.

Pikirnya, matchday kali ini bakal seru dan menegangkan. Eh, ternyata tidak juga...

Pertandingan bertajuk ‘Derby’ kali ini terasa membosankan, bagi kedua tim. Chelsea maupun West Ham seperti mau bermain aman-aman saja. Tidak banyak peluang dan jual-beli serangan. Pantas saja ayah Q, Nick, sering marah-marah sepulang nonton bola, memang dasar ‘medioker’ tim satu ini.

Padahal, kedua tim sedang dalam tren positif jika menurut pada bagan klasemen. Chelsea di posisi 3, sementara West Ham menjadi tim kejutan di musim 1998/99 itu menempati posisi 5. Jika konsisten sampai akhir musim, West Ham bisa saja memastikan diri lolos kualifikasi Piala Intertoto (sekarang Europa League).

Tapi bodo amat. Bukan soal sejarah, prestasi, atau performa tim yang jadi alasannya untuk mendukung West Ham ke stadion.

Barry menyempatkan nonton pertandingan ini untuk sekedar bernostalgia dengan kenangan lama. Ini merupakan pengalaman keduanya menonton pertandingan sepak bola, setelah terakhir kali sekitar 10 tahun yang lalu.

‘BOOOOO !’, fans tuan rumah terdengar beberapa kali menyoraki pemain West Ham di tiap kesempatan.

Tapi dibalas dengan sayup-sayup nyanyian chant lagu khas suporter West Ham yang mulai terdengar. Kalau tidak salah, judulnya adalah, I’m Forever Blowing Bubbles.

‘I'm forever blowing bubbles,
Pretty bubbles in the air,
They fly so high,
nearly reach the sky,
Then like my dreams,
they fade and die.
Fortune's always hiding,
I've looked everywhere,
I'm forever blowing bubbles,

Pretty bubbles in the air~’

“Apa kau tahu makna dari nyanyian chants mereka yang membuat kagum ibumu dan merasa terwakilkan?” tanya Barry kepada Qristal yang sedari tadi tidak berhenti mengomel.

“Good Question (Pertanyaan bagus), tapi aku tidak peduli!” jawab Qristal, ngedumel.

Barry hanya tersenyum, mengangguk, terasa dongkol juga. “Yeah well, akan kujelaskan singkat saja untukmu,”

Lanjut Barry. “—aku mengetahuinya dari ibumu, Amy. Menurut lirik chants yang mereka nyanyikan tadi, ‘gelembung-gelembung’ yang mereka maksud adalah yang biasa berterbangan setiap West Ham bertanding,”

“—‘gelembung’ itu adalah manifestasi tentang impian dari orang-orang biasa (kelas pekerja) seperti mereka, yang datang mendukung West Ham. Gelembung-gelembung itu bersifat fana, samar, terbang tanpa arah, juga rapuh,”

“—‘gelembung’ itu akan melambung tinggi ke langit terang, hanya untuk kemudian meletup begitu saja. Hilang tanpa bekas,” Imbuh Barry.

Qristal yang tadinya cuek, mau tak mau akhirnya menyimak juga. Karena terdengar emosional bagi Barry.

Pun juga merasa ada kaitannya dengan kehidupan keluarga Qristal selama ini.

Jika diingat-ingat, ketika Nick dan ibunya dulu terlibat pertengkaran, cara mereka meredakan masalah hanyalah sama-sama diam, dan pergi berdua menonton pertandingan West Ham di akhir pekan. Ketika pulang, semua seolah kembali seperti semula. Ayah-ibunya berceria seperti biasa.

Barry kembali menambahkan. “Amy juga mengatakan padaku. Mungkin, chant itu adalah pengejawantahan kehidupan para pendukung West Ham dan segenap penduduk di London Timur seperti ayahmu, Nick Waller,”

“—mereka cuma orang-orang biasa yang hanya modal semangat dan kerja keras. Bukan orang-orang kaya yang seenaknya bisa memilih hunian mewah di daerah Fulham, Greater London atau sekitarnya. Tidak. Mereka cuma penjaga toko kelontong, buruh kasar, penjaja jasa cukur rambut, dan para pekerja biasa yang saban hari mesti bergelut hanya untuk kehidupan keluarga selama sehari. Jadi mana sempat mereka bermimpi?” jelasnya lagi.

Tambah Barry. “Ini bukan melulu soal kisah percintaan kedua orang tua mu, bukan hanya manifesto kehidupan si miskin (Nick) dan si kaya (Amelie). Hal lain yang Amelie suka dari mereka adalah... merayakan hidup ‘medioker’, biasa-biasa saja, dan penuh kesialan juga tidak apa-apa. Itu semua soal rasa syukur,”

“—toh, akan ada masanya di setengah jalan kehidupan manusia, saat mesti menerima kenyataan pahit bahwa demi hidup di masa depan, seseorang harus mengorbankan impiannya untuk dibuang jauh-jauh, ke dasar tong sampah sekalipun,” tutup Barry, terasa begitu dalam dan emosional saat itu.

Emosional, apalagi saat mengenang kekompakan bersama Amelie, Antoine, dan Miguel dulu. Mereka akan beramai-ramai menonton pertandingan West Ham seperti ini sebagai perayaan untuk sekedar keberhasilan pulang dengan selamat dari sebuah misi berbahaya.

Walaupun mesti berjalan pincang, cedera tangan, menderita memar, luka jahit disekujur tubuh, sampai bekas luka lubang tembakan musuh yang mereka derita... saat bersulang bir, tentu saja— entah kenapa rasa sakit, kepenatan, dan trauma mereka berempat seketika sembuh begitu saja.

“Bagaimana kau bisa menyimpulkan ada plot dari orang dalam SIS terhadap pembunuhan ibu?” tanya Qristal.

Qristal tiba-tiba bertanya demikian, di sela pertandingan. Matanya seperti sengaja disembunyikan, agak berkaca-kaca.

Kata seorang dewa mabuk, orang-orang hanya akan berkata tulus jika tengah dalam kondisi tidak sadar atau bersedih saat mengingat orang terkasih.

“Kau pernah bertemu dengan keluarga besar Amy selama ini?” tanya Barry, balik bertanya demikian.

“Aku lupa. Sepertinya sudah sangat lama,”

Langsung dipotong Barry. “—ya jelas saja!”

“Excuse me?” tanya Q

“Tentu saja Amy akan malu jika mesti mengajak bocah dengan IQ rendah, pemalas, mata duitan apalagi keturunan pemabuk sepertimu dihadapan keluarga besarnya.” ejek Barry.

Seraya membetulkan letak kaca mata hitamnya untuk menutupi silau cahaya matahari sore.

“Hahaha. Kalo soal Itu, ada benarnya sedikit!” kekeh Qristal, mengucak mata dan meneguk gelas isi bir terakhir.

“Kau juga tidak tahu, siapa ibumu sebenarnya?” tanya Barry.

“Uhum. Tahu kok, ibu itu anak orang kaya yang kebetulan menikah dengan si miskin pemabuk, Nick Waller.” kenang Qristal, terdengar salty, masih menaruh dendam dengan sosok ayahnya.
“Kau juga pemabuk, bodoh, dan kadang pemalas seperti ayahmu. Sama saja!”

“Huh! Setidaknya aku masih bekerja banting tulang. Lah, kalo dia? Pasti malam ini sibuk kesana-sini mengemis uang untuk memasang taruhan,” timpal Qristal.

“Hahaha. Kau cuma belum tau saja, alasan Amy begitu mencintai Nick... bahkan diantara puluhan laki-laki tampan, kaya raya, putra bangsawan sekalipun yang secara tradisi memang dijodohkan dengannya. Kenapa Amelie memilih menikah dengan Nick di usia 23 tahun waktu itu?” tanya Barry.

“God, aku pernah dengar dongeng. Jika rumor itu benar, apa ibu memang punya darah kerajaan?”

Uhuk! Uhuk! Hoekh!”, Barry sampai tersedak ketika meneguk bir begitu mendengar pertanyaan Qristal.

“Demi tuhan?! Kau tidak pernah sekalipun bertemu dengan keluarga besar Amy selama ini?” tanya Barry sekali lagi.

“Kan aku sudah bilang, pernah! Kalau tidak salah ketika umur 5 tahun. Memangnya kenapa?”

“Nah kalau begitu ? apa kau tahu jika ibumu ini dipaksa minggat oleh keluarga nenek peyot yang saat ini memakai mahkota ratu berkilauan dan duduk di singgasana Istana Buckingham?” tanya Barry.

“Huh, What?”, jawab Qristal. Mengernyitkan dahi, mengira kalau Barry cuma mengada-ada.

“HAHAHAHA... Uhuk! Uhuk! Huh!”, Q terbahak-bahak mendengar pengakuan Barry yang bak cerita dongeng tentang status mendiang ibunya.

Tiap berbicara serius dengan perempuan ini, selalu saja membuatnya dongkol. Tapi tak apa, Barry beberkan saja fakta terakhir yang kelak akan membuat Q menanggung bahaya.

“Alasannya adalah karena Amelie diam-diam bekerja untuk MI6,” bisik Barry mengawalinya.

Lanjut Barry. “Kerabat kerajaan yang terkenal kolot dan konservatif, terutama kakekmu, sepupu dari putri Anne Louise tidak akan pernah merestui rencana Amelie yang memiliki garis bangsawan, untuk keluar dari kehidupan royal family apalagi menikah dengan Nick, ayahmu yang melarat itu. Adalah fakta hina yang harus mereka sembunyikan dari publik,”

“—itu cuma akal-akalan keluarga besar Amy. Intinya, mereka (royal family) tidak mau menerima tuduhan ‘keterlibatan kerajaan’ dengan pekerjaan kotor Amelie sebagai seorang agen mata-mata wanita. Ini berbahaya untuk reputasi kerajaan jika sewaktu-waktu hal buruk menimpa Amelie. Tidak. Mereka benar-benar tidak menginginkan hal itu terjadi,” tambah Barry.

Qristal mulai mengingat sebelumnya. Semenjak masuk sekolah menengah, profesi baru ibunya memang sangat dirahasiakan. Ketika pamit bekerja, Amelie akan pulang 2-3 hari kemudian. Seolah tersambung melengkapi puzzle, dengan pengakuan-pengakuan Barry selama ini.

Imbuh Barry. “Opsi pertama, mereka bisa membujuk Amelie keluar dari MI6. Tapi itu jelas sulit. Karena Amelie adalah perempuan gila yang begitu mencintai pekerjaannya. Atau dengan opsi kedua, menyingkirkannya dengan plot seolah-olah Amelie ‘gugur’ dalam tugas negara. Tapi aku percaya, kerajaan juga punya andil dalam plot 9 tahun lalu. Bekerja sama dengan seorang agen Red Licence, entah dia ada di MI6 atau MI5.” tutur Barry.

“—jadi, mumpung kita belum memulai di garis ‘Start’. Boleh aku bertanya? apa kau siap, dengan segala jenis kemungkinan bahaya yang akan menimpamu, tentu saja pergerakan kita akan membuat orang-orang itu bangun dari tidur panjangnya?” tanya Barry sekali lagi.

“Nope. Kau sendiri yang bilang, aku cuma pemalas, bukan berarti gampang begitu saja mundur,”

“Really? lalu, bagaimana jika aku memintamu mencari satu nama. Dan mungkin ini akan bersinggungan dengan lembaga (MI6) tempatmu bekerja?” tanya Barry, masih sedikit ragu dengan tekadnya.

“Katakan saja padaku. Siapa orang ini?” tanya Qristal.

Dr. Alan Farthing (36), dokter spesialis kandungan yang kini bertugas untuk Kerajaan Inggris. Berdasarkan penyelidikanku, dia adalah orang yang memiliki tiket dan jadwal penerbangan yang sama dengan Amy saat itu.” ungkap Barry.

“Alan Farthing. Seperti apa dugaan keterlibatannya?”, tanya Qristal.

“Dr. Alan Farthing adalah satu-satunya penumpang penting di American Airlines, penerbangan 10 Juni 1990. Tujuan Amerika Serikat. Namun, berdasarkan penyelidikan yang polisi dan intelijen dalami, beliau sama sekali tidak diperiksa dan diwawancarai. Mencurigakan?” Jelas Barry.

“Itu artinya, Dr. Farthing masih bermukim di Inggris?”

“Ya, pacarnya juga seorang jurnalis BBC. Jill Dando (38) kalau tidak salah.” ungkap Barry.


“Jill Dando?”, Qristal seperti pernah mendengar nama ini. Dia coba mengingat lagi profil orang itu.

“Kau mengenalinya?” tanya Barry.

“Tidak juga, tapi kurasa kami pernah bertemu ketika berangkat untuk meliput situasi di Kosovo,” jawab Qristal.

“Well. Itu artinya akan sedikit mudah bukan? Kabari saja, jika kau butuh bantuan.” tutup Barry.

Nantinya, misi ini akan berbuntut panjang dengan kejadian heboh yang akan mengguncang surat kabar seantero Britania Raya beberapa hari yang akan datang.

Sementara itu diatas lapangan, pertandingan yang sudah berlangsung selama 70’ menit berjalan dengan kedudukan masih imbang 0-0.

Menit 74’, saat salah satu pemain Chelsea terpaksa melanggar pemain lawan di sudut kanan lapangan, sehingga membuahkan tendangan bebas untuk tim tamu.

‘COME ON, YOUR TURN !’, teriak pendukung West Ham.

Bola segera dialirkan melambung menuju kotak pertahanan tim Chelsea. Duel udara terjadi, berbuah kemelut di depan gawang Chelsea, bola yang tidak berhasil di clearance para pemain Chelsea akhirnya malah jatuh tepat di kaki penyerang West Ham, Paul Kitson (29), dan...

‘GOL !’

‘YEAAKHHHHHHH !’

Bola yang ditendang Paul Kitson sebetulnya tidak begitu keras. Pun lihai dalam mencari celah, membuat kiper Chelsea terlambat menangkap bola yang kadung melewati garis gawang.

‘Prok ! Prok ! Prok ! Prok !
Suittt ! Suittt !’

(Aplause dan riuh pendukung West Ham merayakan gol)

‘WOHOOOOOO !!’

Pendukung West Ham bersuka cita dengan saling melemparkan gelas isi bir mereka. Chants dan teriakan provokasi kepada fans tuan rumah oleh pendukung West Ham yang akrab disebut ‘ICF’ (Inter City Firm), mulai menggema bersamaan dengan para pemain ‘The Hammer’ yang berlari ke arah mereka untuk merayakan gol.

‘YES ! YEAKHHHH !’

Barry bersorak dan berpelukan dengan beberapa pendukung West Ham yang ada di sekitar tempat duduknya.

‘YEAHHHH!’

‘WOHOOOOO !’

‘Prok ! Prok ! Prok ! Prok !
Suittt ! Suittt !’

(Aplause dan riuh pendukung West Ham merayakan gol)

Selebrasi para pemain West Ham dihadapan pendukungnya, harus secepatnya diakhiri wasit karena banyak pemain dan official tim tuan rumah melakukan protes.

‘Prittttt !’
(Wasit kembali meniup peluit)

Tendangan kick-off bagi Chelsea yang tertinggal lewat gol barusan.

Setelahnya, pertandingan seperti menjadi milik West Ham dengan kemenangan mereka sudah didepan mata.

“Barry, satu hal lagi—”, Q langsung menginterupsi ketika teriakan sukacita dan keriuhan chants pendukung sudah mulai reda.

“Yes?”, jawab Barry remeh, sembari meneguk habis gelas isi bir yang masih tersisa.

“Tolong ceritakan secara detail, dan jujur tentu saja... hari terakhir dimana kau bertemu dengan ibuku sebelum dia tewas,” pinta Qristal.

‘Degh !’ Barry mendadak jadi terdiam begitu mendengar pertanyaan itu.

“Seriously? Sekarang ini juga—”

Langsung di potong Qristal. “—jika kau tidak sudi menceritakannya, tidak masalah. Tentu aku juga punya alasan untuk menolak mencari Dr. Farthing,” ancam Qristal.

Lanjut Qristal. “—seperti kata Daph. Kau satu-satunya orang yang pantas dicurigai karena menghilang saat satu-persatu dari rekanmu mendapat teror... bahkan, kau tidak mengangkat telepon mereka saat meminta bantuan.”

“Tsk! Daph yang membuatmu bertanya demikian?” timpal Barry, sedikit kesal.

“Jangan mengelak. Aku hanya mendengar pengakuan Daphine. Kau adalah orang yang terakhir bertemu dengan Antoine Leonides sebelum dia menghilang bukan?”

“Lupakan saja. Dia tidak paham situasinya. Akan kuceritakan hanya jika Daph dan Lucia juga hadir!” kata Barry, sekali lagi.

“Dan yah, maka aku juga akan bergerak jika mereka mengatakan ‘ya’!” sahut Qristal.

“Hey. Jangan main-main! Kau pikir ini permainan beregu?!”

“Apa aku berhak mencurigai mu Tn. Pendongeng Profesional?”
ledek Qristal.

Karena terus didesak , pada akhirnya terpaksa Barry membuka cerita kelam masa lalunya. Tidak masalah juga, toh dibanding Daph dan Lucia, cuma Qristal saja selama ini mau mempercayai Barry.

Hari-hari dimana semua terjadi begitu cepat. Dimulai dari Antoine, Amelie dan yang terakhir adalah Miguel...

“Akan kuceritakan, hanya apa yang sedikit kuingat...” - Barry

[ LVII ]



(Kandang & Pacuan Kuda Castlemain, Kota Edinburgh)
6 Januari 1990 | Pukul (GMT) 10.00 pagi

Flashback, kita kembali dibawa mundur menuju awal tahun 1990an. Atau sekitar 10 bulan setelah Antoine hilang kontak pasca pertemuannya dengan Barry di halaman rumah, setiba pulang dari kantor HVA Stasi siang hari itu.

‘Grrrngggg !!
Drrrrkk... Grrrnggg !!’

(Mobil Range Rover menerjang jalanan berlumpur pedesaan)

Mobil Range Rover Classic tahun 80’an yang barusan Barry pinjam dari seorang kolektor, nyatanya masih tangguh untuk menerabas jalanan setapak distrik yang bergeronjal dan penuh lumpur.

(🇬🇧)

“Angelo, kau memang luar biasa!”, puji Barry kepada anak magang kuliahan yang baru seminggu dia tunjuk untuk menjadi pendamping tugas.

Angelo begitu lihai dan menikmati perjalanan keluar negeri pertamanya ke salah satu wilayah di Britania Raya.

Terlebih ketika mendapat kesempatan menunggangi mobil 4x4 pabrikan Inggris di medan yang cukup menantang adrenalin seperti ini. Jiwa muda Angelo takkan bisa dibendung.

“Passion anak ini adalah menyetir dan kebut-kebutan. Dia tidak ragu melawan terjangan badai sekalipun yang menghalangi jalan kami. Itu faktor yang membuatku pada akhirnya memilih Angelo untuk menjadi ajudanku. Bahkan sampai 10 tahun lamanya.” - Barry

“Hahaha. Ini luar bisa, Mr. Barry! seperti kompetisi offroad sungguhan!”, teriak Angelo, begitu antusias.

Tidak berselang lama, mereka tiba di sebuah Distrik desa wisata Longyester, Skotlandia. Perjalanan barusan menempuh waktu sekitar 50 menit dari pusat kota Edinburgh.


Barry duduk di pelataran tamu villa. Sampai rela membuka sunglasses karena takjub dengan pemandangan perbukitan hijau yang terhampar di pedesaan sisi timur wilayah Edinburgh ini.

Barry senang sekali menghirup udara segar pedesaan seperti ini, bahkan rela menahan kecanduan rokoknya, demi menikmati tiap hawa sejuk yang jarang-jarang bisa dia serap.

Ada deretan villa, resort, peternakan sapi dan beberapa pusat pacuan kuda. Masih asri. Bersih. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Mungkin karena hal ini yang membuat kuda-kuda disini bertubuh gagah. Sehat dan bersih. Perawatan dan nutrisi setiap kuda begitu diperhatikan para peternak yang memiliki kerja sama dengan mahasiswa dokter hewan setempat.

Kualitas kuda balap disini mendapat sertifikat A+ BHS (British Horse Society), banyak diminati oleh kolektor dan pengusaha kaya. Membuat harga jual seekor kuda saat itu setara mahar sebuah unit mobil Ferrari di masa kini.

Jika bukan karena kondisi akses jalanan distrik menuju lokasi yang sulit dilalui, nan sempat membuat Barry jengkel, bisa saja tempat ini akan jadi pusat bagi para wisatawan dan penggemar olahraga equestrian di seluruh penjuru Eropa.

Tidak jauh dari tempatnya duduk. Ada lintasan pacuan kuda terbentang. Sekitar 4-5 joki balap tengah berlatih. Salah satunya adalah seorang perempuan berambut brunette.

Diantara para joki laki-laki, perempuan itu tak kalah tangguh dan begitu lincah menunggangi kuda kesayangan. Tinggi kudanya saja hampir sebanding dengan bus kota. Gila !

Kuda jantan jenis Thoroughbred yang entah apa alasannya diberi nama, ‘Sky’. Sama seperti nama keluarga bangsawan yang perempuan tadi sandang.

Begitu kelima joki masuk ke covered area untuk beristirahat, Barry berinisiatif melambaikan tangan kepada perempuan itu, kemudian dibalas balik lambaian tangan darinya.

Mereka berdua terlihat sangat akrab. Dan karena ini juga, Barry mau bersusah payah, jauh-jauh dari Tennessee untuk datang menemuinya ke tempat ini.


30 menit kemudian, Barry sudah duduk menunggu pesanan menu makanan. Latino ini memiliki janji pertemuan untuk sarapan sambil bernostalgia pengalaman masa lalu bersama seorang rekan dekat.

Rekan dekat yang dimaksud, adalah si perempuan tadi yang menunggangi kuda di lintasan pacu. Sekaligus, pemilik salah satu peternakan kuda balap terbaik seantero Britania Raya. Barusan, perempuan itu meminta waktu sebentar untuk membilas dan berganti pakaian setelah menyelesaikan menu latihan penuh equestrian.​

‘Drkkkk !’
(Derit kursi seberang di meja Barry, digeser seseorang)

Selang beberapa saat, dewekan dekat yang dimaksud Barry itu muncul. Barry takjub juga melihat riasannya yang rapi, kurang dari 30 menit menyempatkan bersolek diri.

Posturnya tinggi sekitar 170cm, rambut bergelombang seleher. Badannya masih saja padat proporsional seperti dulu, terlihat seksi pun cuma mengenakan kemeja putih lengan panjang sederhana.

“Yang paling kuingat, tentu saja lesung pipi saat senyumannya merekah sempurna. Kami bersahabat sudah sejak lama. Karena usia kami memang sepantaran. Dia adalah wanita satu-satunya di liga persahabatan kami,” - Barry

Penampilan fisiknya juga masih anggun bahkan di usia yang hampir menginjak kepala empat, kontras sekali dengan profilnya yang ‘garang’ sebagai joki balap kuda.

(🇬🇧)

“Sepertinya aku menganggu waktu luang anda, Nona Sky?” tanya Barry, sembari bangkit bersalaman, dan berpelukan dengan perempuan ini.

“Tsk! Justru aku yang mesti bertanya duluan. Kau datang jauh-jauh, hanya untuk mengejek jalanan lumpur disini? Dan lihatlah tas itu, kenapa kau se-formal ini sih?!” tanya si perempuan tadi, mengomentari tas selempang kerja milik Barry yang berbahan kulit.

Begitu mencolok memang penampilan Barry dengan rambutnya yang masih awut-awutan pun juga masih menenteng tas.

Mirip sekali seorang petugas karcis lotere, pikir semua pengunjung restoran.

“Heh. Aneh saja, dengan megahnya properti warisan milik keluargamu, bahkan memperbaiki jalan saja tidak mampu!” ejek Barry.

“Mau bagaimana lagi. Tidak mungkin aku kerjakan semuanya. Kau sendiri, mau bantu aku mengurus bisnis ini?” balasnya.

Barry dengan gentle tetap menyambut tangannya dengan membukakan kursi seraya mempersilahkan perempuan itu duduk.

“Kau tidak pergi dengan Nick menonton pertandingan West Ham? Malah asyik balapan kuda disini. Apa dia tidak marah?” tanya Barry gantian.

“Barry, pertanyaanmu adalah jawaban. Ya benar, dia tentu akan marah. Jika memang itu terjadi,” balasnya. “—dan lebih baik, kau sering-sering saja mengikuti kabar olahraga ‘football’ ketimbang ‘soccer’,” imbuh perempuan itu, terdengar sarkas.

Lanjutnya. “—ini bulan Januari, itu artinya ada jeda paruh musim untuk kompetisi sepak bola Eropa. Mana ada pertandingan?” jelas si perempuan.

“Well, so sorry about that... kenapa kau datang sendirian kesini adalah fakta bahwa kalian ribut lagi, Amy?” tanya Barry.

“Huh! sudah kuduga. Kau pasti menanyakan masalah rumah tangga orang lain,” jawab Amelie Barnett Sky (39), nama perempuan itu.


Hayley Atwell from ‘Agent Carter’ (2013)

“Hahaha. You know me so well~” kekeh Barry. Sesekali mengiris potongan daging diatas piring. “—anyway, dimana Crystal? Kau seriusan tidak mau memperkenalkan kami?” tanya Barry.

“Hahaha. Dia sibuk belajar modeling akhir-akhir ini. Jawabannya adalah, dia yang tidak mau ikut denganku kesini.” balas Amelie.

“Awalnya, kami masih sempat tertawa menceritakan kebodohan masing-masing di masa lalu. Menyenangkan sekali akhirnya bisa bertemu teman lama seperti ini,” - Barry

“Ada masalah? kenapa tiba-tiba datang kesini, itu membuatku ketakutan lho,” tanya Amelie begitu mereka selesai makan.

“Soal Antoine, dia hilang kontak denganku,” kata Barry.

“Barry, kita bertiga paham betul kebiasaan ‘Pico’ ini. Dia akan kembali seperti biasanya, membawakan berita penting. Dan berlagak seperti Rambo,” jawab Amelie.

Lanjut Amelie. “—percayalah, tidak perlu risau. Itu memang khasnya Antoine. Hilang misterius. Tiba-tiba muncul dengan kabar gila, bukan begitu?” jawab Amelie, berusaha menghilangkan kecemasan pada Barry.

“Amy ! Pico menghilang semenjak April tahun lalu, kau masih bisa bercanda?” tanya Barry, lumayan sengal kali ini.

* ‘Pico’ panggilan akrab Antoine Leonides.

‘Krieettttt—’, Barry membuka resleting postman bag yang sedari tadi ogah dia tanggalkan. Dari dalam, Barry mengeluarkan 2 edisi terbitan koran The Washington Post. Tajuk utama pemberitaan sampai awal tahun itu adalah peristiwa runtuhnya tembok Berlin.

‘Srrrk ! Srrkkk !’, menunjukkan temuan judul koran tadi pada Amelie.


“Jangan bilang kau sendiri yang memintanya pergi, tanpa sepengetahuan dariku?” tanya Barry, lirikan tajamnya langsung menyorot kepada Amelie.

Amelie masih sibuk mencerna isi judul headline itu. Matanya tertuju pada satu topik pembahasan...

‘April, 1989. Seorang petugas kepolisian HVA, dengan identitas Antoine Leonides (29) dilaporkan hilang setelah lepas landas dari bandara Berlin Tegel!’


‘November, 1989. Telah ditemukan, beberapa dokumen identitas beserta koper yang hangus, sengaja dimusnahkan, teridentifikasi milik petugas biro keamanan HVA, Antoine Leonides yang hilang saat hendak terbang menuju AS dengan pesawat American Airlines,’

‘Degh !’

Amelie masih menatap nanar tulisan tadi. Membacanya sekali lagi untuk lebih meyakinkan kalau Barry memang sedang tidak ingin diajak bercanda.

“N-Nggak mungkin?”, bantah Amelie. Menggeleng, seolah tidak percaya dengan isi berita koran ini.

“—no way ! Ini semua salah paham. Pasti ada alasan kenapa dia nekat pergi—” bantah Amelie sekali lagi, masih denial dengan kabar yang dibawa Barry hari ini.

Barry lebih banyak diam. Sesekali membuang muka, geram, merasa sudah dikhianati.

“Kenapa mesti kaget? Kutebak, ini semua memang rencanamu. Membujuk Pico untuk pergi. Sialan! Kau seharusnya bisa kuandalkan, tapi yang terjadi malah mengacaukan rencana kita selama ini!” ucap Barry, kadung geregetan.

Imbuh Barry. “Aku sudah menghubungi Miguel terkait kabar ini. Dia juga sudah bergerak mencari informasi. Aku tidak habis pikir, bisa-bisanya kalian berdua membentuk ‘kelompok’ dalam ‘kelompokku’. Bukankah sudah kuperingatkan kepadamu, semenjak bom Bologna waktu itu?”

Tangan Barry mengepal dibawah meja. Kalau bukan karena persahabatan, sudah dia tampar wajah perempuan ini.

Walau menahan amarah, suara gertakan gigi Barry masih bisa terdengar.

“No-No! No way, maafkan aku! A-aku benar-benar tidak menduga dia akan melakukannya sendirian,” ucap Amelie.

Kini Amelie hanya tertunduk. Seperti menyesal, sembari mengusap pipinya yang mulai berlinang air mata.

“Kau tahu? hanya karena dia pernah memiliki perasaan kepadamu, bukan berarti kau bisa memperalat Antoine!” serang Barry sekali lagi.


“No! I’m Sorry... Aku yakin dia masih hidup—”, gumam Amelie hanya menggeleng dengan mata berkaca-kaca.

‘Drkkk !’
(Bunyi derit kursi, Barry bangkit berdiri)

“Tai! percuma, tangisan yang sia-sia. Inikah air mata si Cinderella itu? Jika kita tidak bertemu, kau sama sekali tidak akan memperdulikannya, benar begitu?!” tuduh Barry, begitu murka dengan Amelie.

Entah apa yang sudah Amelie katakan kepada Antoine, sehingga lelaki itu rela mengambil keputusan sepihak yang membuat rencana mereka gagal total.

“Yang menculik Antoine itu adalah seorang agen Red Licence. Jadi mulai hari ini kita harus bergerak masing-masing! Tugasku adalah mencari Antoine, itupun jika tuhan masih memberiku harapan,” ungkap Barry, beranjak bangkit setelah mengelap tangan dengan serbet.

Lanjut Barry. “Sampai pesan surel belum terkirim padamu, kuminta kau untuk tetap tenang disini sambil mengabarkan situasi. Jaga dirimu, juga putrimu, Crystal (16), dan semua orang di rumah,”

“Badai besar akan menerjang. Kita cuma sekumpulan semut yang tengah kebingungan di tengah ombak.”, tutup Barry sempat mengelus pundak Amelie sebelum akhirnya berpamitan pergi.

Perasaan bersalah mulai menghantui pikiran Amelie semenjak saat itu.

“Hal yang paling kusesalkan saat itu, seolah melimpahkan semua kesalahan kepada Amelie. Dan kenyataan pahit lainnya adalah, itu pertemuan terakhir kami berdua. Karena sekitar 5 bulan kemudian, dia yang pergi ke bandara menggunakan paspor palsu dengan tujuan penerbangan kota-ku, Tennessee... nyatanya tidak pernah kembali kepada kami sampai saat ini,” - Barry

[ LVIII ]
 
Terakhir diubah:
Sebelumnya...


(Gowan Avenue, kota London)
13 April 1999 | Pukul (GMT) 19.30 petang

Beberapa jam setelah Barry & Q menyaksikan pertandingan sepak bola. Di sebuah kawasan apartemen elit Gowan Avenue daerah Fulham.

Keterangan alih bahasa :
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇩🇪 : Percakapan Native bahasa Jerman

(🇬🇧)

“Apa kau yakin ini rumahnya?” tanya Qristal menurunkan kaca penumpang belakang.

“Tidak akan ketemu kalau cuma kau tanyakan disini.” jawab Barry yang duduk di balik kemudi.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti di seberang sebuah apartemen milik seorang jurnalis BBC. Salah satu jurnalis terbaik yang pernah dimiliki perusahaan koran asal Inggris saat itu.

“Kalian berencana membawanya malam ini?” tanya Miro, duduk disamping Barry di bangku depan.

“Tidak.” jawab Barry

“What?!” Qristal bertanya demikian. Baru saja akan keluar untuk mengetuk pintu rumah itu.

Tambah Qristal. “—aku sudah repot-repot membawa lencana ini, dan kita hanya duduk disini mengintip rumahnya seperti perampok Home Alone?”

“Hey! Hey! Tujuan kita datang kesini adalah baik-baik. Sopan santun. Mengetuk pintu. Mengucap salam. Dan jamuan teh mereka yang kita harapkan,” jawab Barry.

“Huh?! kau mau berbincang sore dengan mereka? Menurutmu mereka bersedia membuka mulut terhadap kejahatan yang mereka sembunyikan? Terlebih... hey! Memangnya siapa kita ini, orang asing tiba-tiba menanyakan hal semacam ini?” gerutu Q, kesal juga karena perubahan mendadak Barry seperti ini.

Qristal lebih suka cara lama. Intai. Tangkap. Interogasi. Eksekusi. Berbeda dengan metode yang selama ini Barry mainkan...

Tidak berselang lama, pada pintu rumah yang sedang mereka intai, terbuka dan dari dalam muncullah 2 orang. Sepasang kekasih yang sepertinya akan bepergian malam ini.

‘Grnggggg...
Tin ! Tin !’

(mobil taksi tiba untuk menjemput)

Kedua pasangan itu dijemput mobil taksi yang entah kemana akan membawa mereka malam ini.

“Itukah Jill Dando dan Dr. Farthing?” tanya Q.

“Ya”, jawab Barry. Langsung menyalakan mesin mobil.

“Apa rencanamu?” tanya Miro kemudian, kepada Barry maupun Qristal.

“Umpan,” jawab Barry.

‘Grrrrnggggg...’

Mobil yang mereka kendarai ikut melaju untuk membuntuti taksi yang ditumpangi Jill Dando dan Dr. Alan Farthing.

“Mudah sekali meremehkan!”, jawab Q.

Langsung dipotong Barry. “—Jika informasi operasi senyap intelijen Rusia itu benar. Kita tidak perlu repot-repot membakar api untuk membuat seisi sarang tikus kacau karena asap,” jelas Barry.




(Kantor Asuransi AOK, kota Dresden)
8 April 1999 | Pukul (UTC+1) 09.00 pagi

Flashback, 5 hari sebelumnya. Kita kembali menuju Dresden, Jerman. Kantor asuransi John Hancock & AOK.

Lift yang barusaja terisi tidak sampai setengah kapasitas, turun dari lantai 3 menuju lantai 2...

‘Tingg!’, bel pintu Lift terbuka, tak lama Daphine keluar dari sana bersamaan 2-3 staf lain.

Pagi ini Daph mengenakan blazer hitam dengan setelan dalam putih, menenteng tas berisi banyak map berkas dari meja Hanna, entah apa isinya.

Daph berjalan menyusuri koridor lantai 2. Terburu-buru, sesekali mengawasi. Dia punya banyak kenalan disini, bakal repot jika mesti basa-basi saat berpapasan.

Terlebih ada urusan apa dia repot-repot kesini?

Menuju ke sudut koridor. Ruang diantara sekat tangga darurat dan gudang.

Begitu sepi, Daph mengetuk pintu pelan langsung meraih handle, masuk ke ruangan teknisi server IT dan ME.

Barang dan peralatan kantor yang sudah tidak terpakai biasa diperiksa kesini sebelum masuk gudang.

‘Ngikkk...’, Daph masuk, langsung menutup rapat pintu.

“Ough !! Eghh... Shhh Yess!”

Samar-samar suara erangan wanita terdengar, tidak secara nyata, sepertinya CD film porno sedang diputar.

Daphine berdiri berkacak pinggang kepada seorang lelaki yang tengah duduk memunggungi Daph. Menerawang 30 cm dari layar monitor komputer.

Dari seragamnya, bisa dipastikan adalah staf disini. Saking serunya mengkhayal, orang ini sampai tidak menyadari kehadiran Daph.

Masih dalam posisi menghadap layar monitor PC, sementara 2 keping vcd film porno tergeletak diatas meja desk, terlihat dari cover

“Ehem!” Daphine berdehem, itu membuat si teknisi terjingkat kaget.

(🇩🇪)

“Huh?! Miss Daphine... Astaga, Wie lang ist es her? (Apa sudah lama?)” langsung bertanya dengan logat khas India.

Lumayan kaget karena tiba-tiba menemukan Daphine sudah ada tepat di belakangnya.

“Benar dugaanku. Rakash Srepal (22), yang langsung terbirit-birit masuk pantry dengan kondisi celana sudah melorot ke dengkul. Hahaha, sepertinya belum tuntas yang barusan. Pertanyaan terbesarku. Apa memang seperti ini kebiasaannya menonton film porno tanpa mengunci pintu? Ceroboh sekali!” - Daphine

“Hey, maaf mengagetkan. Bist du beschäftigt? (Apa lagi sibuk?)” tanya Daphine, dengan semburat senyum geli.

“Iya—ehh, tidak... maksudku tidak sibuk. Silahkan duduk, Nona Daphine mau kopi? A-aku baru saja menyeduh kopi pertama. Hehehe,” tanya Rakash, nadanya masih canggung, malu.

Atau mungkin panik, belum juga sempat reda konaknya (mungkin).

‘Drkkkk—’, Daphine mengambil kursi lainnya.

“Tidak perlu repot, air putih aja,” jawab Daphine. “—terima kasih~,”

‘Ngkkk!’, Daphine menghempaskan pantat, duduk.

“Wie geht es euch zweien (Bagaimana kabar kalian berdua?)”, tanya Daphine. Ketika menilik keadaan ruangan kerja Rakash.

Disinilah jiwa ‘SJW’ Daphine kadang terketuk. Saat merasa iba, marah, dan jengkel. Dia merasa tak pernah sejalan dengan kebijakan kantor yang tidak berpihak kepada nasib para pekerja imigran asing seperti Rakash ini.

Biasa. Ini ‘hanya’ masalah klasik para pekerja imigran di Eropa saat itu. Upah, bonus, jaminan kesehatan, hak cuti, pesangon ataupun bisa dilihat dari bagaimana keadaan ruang kerja mereka disini.

Ruangan seluas 6x5 meter ini masih terasa gerah-panas. Hanya ada sepoi angin dari pancaran baling-baling kipas. Gelap, padahal ini masih pagi. Pencahayaan lampu saja terlihat remang-remang di malam hari. Berantakan juga berdebu.

Letaknya pun terisolasi, berada di ujung koridor. Ini lebih mirip gudang rongsokan ketimbang ruang kerja.
“Baik tentu saja. Terima kasih sudah mau mampir, Nona Daph~”, jawab Rakash di pantry.

Tak sampai semenit, Rakash muncul dari pantry dengan sebotol air mineral kemasan dan secangkir kopi.

“Ough !! Eghh... Shhh Ya ya ya fuck me like that Daddy~”

Bodohnya, film porno tadi masih dalam keadaan mode play. Daphine yang terlihat canggung dan keki membuat Rakash langsung memencet power untuk mematikannya.


‘Klik!’

“Dich um Entschuldigung
(Maaf) Nona Daph, kukira anda sudah ‘resign’ belum lama ini?” tanya Rakash, sekembalinya menemui Daph.

“Aku cuma ada perlu sebentar kesini,” jawab Daph, langsung meneguk air. “Ini mendadak. Aku butuh bantuanmu secepatnya!”

“Apa yang anda butuhkan?” tanya Rakash, melihat keseriusan disini.

“Ini khusus dan rahasia. Kau bilang bisa meretas CCTV ruangan Pak Roger?” tanya Daphine.

“Akan lebih mudah jika dengan data tertulis buku tamu—”penjelasan Rakash belum sempat selesai...

‘Srkk! Srrkk!’, Daphine menyerahkan sampai 4 map berkas buku berita acara tamu yang dia curi dari meja Hanna sebelum kesini.

“Ada lagi yang kau butuhkan?” seraya menyodorkan satu-persatu berkas barusan kepada Rakash.

“Gila, gimana bisa anda mendapatkan berkas se-penting ini? Dan, soal database yang kukirim waktu itu?” tambah Rakash.

“Vergiss es (lupakan saja), aku sudah tidak membutuhkannya. Ini lebih spesifik. Hanya pada tamu yang sering keluar-masuk ruangan Pak Roger saja.” jelas Daphine.

“Oh ya?” Rakash langsung memutar kursinya, beralih ke komputer desk. “—dalam rentan waktu?” lanjutnya.

“3-4 bulan ke belakang. Emmh... setahun lebih tepatnya. Maaf merepotkanmu,” jawab Daph.

‘tktk... tktk...
Klik ! Klik !’

(Suara ketikan keyboard, mouse PC)

Walaupun perlakuan ‘rasis’ perusahaan yang seolah menyisihkan para pekerja imigran ini, Rakash adalah satu-satunya staf server IT dan CCTV yang dimiliki kantor saat ini, itu membuat komputer Rakash jadi terhubung dan punya akses untuk mencuri bahkan merekam database CCTV di seluruh ruangan.

“Ketemu. Total perekaman 181 hari. Jika dilihat dari absensi kehadiran Pak Roger, kurang lebih ada 56 tamu berbeda dalam 6 bulan terakhir.” jelas Rakash, mencocokkan data tamu dengan kehadiran Pak Roger.

“Das Gut! (Kerja bagus!) bisa urutkan, siapa saja nama tamu yang paling sering datang?”

‘tktk... tktk...
Klik ! Klik !’

(Suara ketikan keyboard, mouse PC)

“Disini ada 3 nama yang setidaknya lebih dari 5x mengunjungi Tn. Roger. Mereka adalah, Lucien Arnold, Yacob Stein, juga Helmund Keitel,” jawab Rakash, membaca satu-persatu nama dari database tamu.

“Bisa kau perlihatkan kualitas gambar terbaik. Aku tidak begitu jelas dengan wajah mereka?” tanya Daphine.

“Maaf Nona Daph. Sebetulnya cuma kualitas tampilan seperti ini yang bisa kudapatkan,” jelas Rakash.

“Yasudah, tidak apa-apa. Tolong unduh juga untukku, Please~”

‘tktk... tktktk... klik ! klik!’
(Suara ketikan keyboard, mouse PC)

“Ada sekitar 32 scene yang bisa ditampilkan dari CCTV ruang lantai 3,”

“Ya. Berikan semua,”

‘tktk... tktktk...
klik ! klik !’

(Suara ketikan keyboard, mouse PC)

“Here we go, and... finish!”

Rekaman CCTV langsung di Copy dan diputar satu persatu oleh Rakash. Rekaman pertemuan Pak Roger bersama ketiga tamu itu umumnya tidak sampai lebih dari satu jam.

Lanjut kepada nama kedua dan ketiga. Dan disini ada keanehan bagi Daphine.

Aneh juga saat menemukan wajah Petr Clauss, si kepala staf administrasi CLO gedung konsulat AS, mengantarkan 2 orang nama terakhir di dalam salah satu data rekaman CCTV itu.

Seperti yang dikatakan Barry sebelumnya, Roger memang mengakui hubungan pertemanan mereka, karena sempat berkuliah di kampus yang sama. Terutama dengan si Petr Clauss (palsu).

Petr Clauss sempat hadir bersama ketiga nama itu.

Entah mana dari mereka bertiga yang bernama Lucien, Yacob ataupun Keitel. Daph masih belum bisa menebaknya, yang pasti seorang lelaki gempal dengan rambut yang sudah beruban, menurutnya terlihat memiliki gesture paling bersahabat kepada Roger.

“Apa pria gempal itu yang namanya si Helmund Keitel?” tanya Daphine.

“I haven’t a clue. Di buku tamu Nona Hanna Dallman, hari dan tanggal saat itu cuma tertulis 1 nama tamu dalam rombongan, yang melakukan kontak. Helmund Keitel, aku tidak tahu yang mana orangnya,” jawab Rakash.

“Oh, Okay! Bisa kau cari Scene tiap orang ini datang. Aku begitu memerlukannya,” ungkap Daphine.

“Tentu. Itupun jika anda mau bersabar, perlu kubuka satu-persatu dari tiap 30-50 scene dalam 1 hari rekaman CCTV.”

Daph sibuk mengamati detail sosok lelaki gempal pada scene CCTV itu. Tak lama, Daph langsung mengeluarkan bingkisan amplop berisi uang.

Tambah Daphine.“Gut (Baiklah) kerjakan saja. Jika berkenan, tolong ajak Deeven juga membantumu pergi ke kantor pos setelah ini. Aku perlu informasi mengenai alamat rumah dan kode pos si pria bernama Helmund Keitel dari ketiga wajah orang itu tadi. Tolong kau koordinasikan ini semua,” perintah Daphine, tidak lupa meneguk habis air mineralnya.

‘Glek. Glek. Glek.’

Rakash mengangguk paham, sesekali remeh mengamati Daphine.

“Jadi apa benar, Nona Daphine berencana pindah pekerjaan?” tanya Rakash, di sela urusan mereka ini.

“Well, sejujurnya ini tak semudah biasanya. Tapi yah, itu benar. Tinggal menunggu surat persetujuan, mesti diulur-ulur Roger. And, you know... se-‘sayang’ apa Roger padaku? hahaha,” ungkap Daph.

Tambah Daphine. But anyway, kemana Deeven? Aku cuma berpapasan dengan Radhaj hari ini,” tanya Daph.

“Deeven izin cuti, setidaknya sampai setengah hari ini saja. Mengurus perpanjangan visa kerja,” jelas Rakash langsung beralih untuk memastikan pintu sudah terkunci aman.

Imbuh Rakash. “Juga berkat Miss Daphine, Deeven bisa memperoleh pekerjaan ini. Adik Deeven setahun lalu juga mendapat beasiswa kesini. Saya mewakili Deeven, mengucap banyak terima kasih kepada anda,”

“Ehem, sama-sama. Senang bisa membantu kalian juga~” jawab Daph mengangguk, dan menyelipkan rokok.

‘Ctik... Ctik...’

‘Fyuuuh~’
sembari mengebulkan asap rokok.

“Apa se-menyebalkan itu lingkungan kerja disini, Nona Daph?” tanya Rakash, seperti tidak terlalu rela dengan keputusan Daphine pindah kerja.

Ada banyak ‘jasa’ dan pertolongan yang Daphine berikan kepada Rakash selama bekerja di perusahaan ini. Mulai dari kenaikan pangkat, upah, dan banyak hal lain tentang hak imigran yang selama ini diperjuangkan oleh Daphine kepada para karyawan-karyawan kantor.

“Sometimes (Terkadang). Tapi ada juga alasan yang lebih mendesak.” jelas Daphine.

“Apa itu?”

“Hahaha, dasar kepo!” jawab Daphine. Mematikan rokoknya.

Tambahnya. “Terpenting, lakukan saja pekerjaan kalian dengan baik. Besok aku akan meminta Roger memindah ruangan kalian dari kandang nyamuk ini,” imbuh Daphine, berganti duduk dengan posisi menyilang kaki.

Saking pendeknya, bawahan Dress ketat Daph tidak mempan sepenuhnya menutup bagian pinggul, paha, dan betis.

Belum dengan aroma parfume juga shampo Daph yang begitu menusuk Rakash.

‘Glek!’, Rakash berulang kali meneguk lidah, salah fokus, coba untuk tidak mengintip terang-terangan.

“Berapa lama kontrak anda di tempat baru?” tanya Rakash, terlihat murung, terlihat sekali kurang berkenan dengan keputusan Daphine ini.

“Selama mereka tidak membutuhkanku lagi,” jelas Daphine.

“—Anyway, kita sudah selesai?” tanya Daph, hendak beranjak, tidak mau basa-basi.

‘Ngkkk !’, Daphine beranjak, seraya berpamitan.

“Miss Daph?”, panggil Rakash.

“Ya ?” Daphine menoleh. Mata Daphine kebetulan juga melirik ke arah desk meja. Pada 2 cover vcd film dewasa milik Rakash.

“Kalau nggak sibuk, apa nona Daph mau—”, Rakash belum sempat berkata rampung, Daph langsung menyangkakan demikian...

“Kamu ngajak nonton film porno? Machst du Witze?! (Kau bercanda?!)”, Daphine menggeleng setelah meliriknya.

“Huh? E-enggak! Bukan itu maksudku...”, Rakash yang terkejut, panik, malu, tentu juga bingung. Jelas itu salah kaprah.

“Hahaha. Bercanda kok!”, kekeh Daph. “—apa ada masalah?”

“Aku berpikir, seharusnya kita berdua (Rakash & Deeven) memberimu jatah traktiran makan malam sebagai ucapan terima kasih sekaligus perpisahan untukmu. Apapun menu yang Nona Daph minta, mesti kita pesan!” jawab Rakash, begitu tulus.

“Kalian mau mentraktir? Boleh juga. Tentu! tapi, sepertinya tidak akan sempat. Ehm... begini saja. Sebagai gantinya, aku lebih senang jika kalian berdua (Deeven & Rakash) hadir untuk pesta liburan Max dan teman-temannya, jam 8 malam ini di rumah kami,” jawab Daph, malah balik menawarinya hadir ke pesta malam ini.

“Pesta malam ini, kami diundang?”, tanya Rakash.

“Ya. Tapi ingat, hanya kau dan Deeven. Tidak ada yang lain. Jangan ajak supervisor-mu, karena ada pacarnya, Hanna, yang juga hadir malam nanti. Aku tidak mau mereka berdua membuat keributan di rumah,”

“Okay. Terima kasih atas undangannya. Akan kusampaikan juga ke Deeven soal itu...”

“Alright. Aku menunggu kabar selanjutnya, Tschüss (sampai jumpa~)”, kata Daph sebelum pamit dan menutup pintu perlahan.


 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd