Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Perlu pakai bahasa resmi negara nggak nih ? (bahasa Inggris, Itala, Jerman, Dll)

  • Ya ! (biar feel dramanya terasa) / dua-duanya nggak papa

    Votes: 38 17,8%
  • Nggak usah ! (Bahasa Indo aja, biar gampang)

    Votes: 176 82,2%

  • Total voters
    214
Sebelumnya...


(Rumah Clemenza Bertini, kota Roma)
7 April 1999 | Pukul (UTC+1) 00.30 dini hari

Setelah kejadian menegangkan di Roma. Satu jam setelah plot penyergapan terhadap Nicola dan Filippo yang akhirnya tewas di tangan Lucia.

Barry membawa Lucia dan Qristal berpindah ke tempat yang aman, rumah Clemenza di komplek perumahan D’Lorrenza, juga memperkenalkan Q kepada Clemenza dan Lucy sembari mencocokkan satu-persatu daftar nama yang masing-masing mereka miliki.

Sebelum ini mereka sempat berdebat panas, soal posisi Barry dan keterlibatannya dalam kelompok ‘Red Licence’ yang turut menyeret Miguel, Gio, dan Amelie Barnett sebelumnya.

Barry berkelakar, hanya akan membuka secara detail jika Daphine datang atau mereka semua bertemu dalam satu meja.

‘Srrkk ! Srrkk !’, Barry menggeledah isi tas Nicola, juga mencorat-coret salah satu berkas yang Qristal bawa untuk diserahkan kepadanya.

Keterangan alih bahasa :
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇮🇹: Percakapan Native bahasa Italy

(🇬🇧)

“Jadi Daphine memberikanmu daftar ini, saat kalian makan malam di Frankfurt?” tanya Barry.

“Daphine yang sukarela memberikannya padaku. Dan aku juga menemui salah satu diantaranya. Joan Andress Miro, laki-laki yang mendapat perlindugan ekstradisi di London.” jawab Q.

(🇮🇹)

“Lucy, Clemenza... Ne hai incontrato qualcuno? (Apa kalian pernah bertemu salah satu dari mereka?)” tanya Barry kepada Lucia dan Clemenza.

Daphine memberikan berkas penting yang salah satunya adalah daftar orang-orang yang dicurigai Daphine berafiliasi dengan kelompok Red Licence.

4 orang bertugas di biro BND (CIA-nya Jerman). 3 orang adalah wartawan, pengusaha, dan intelijen asal Perancis. Sementara 3 orang merupakan warga negara Rusia.

“Non sembra (Sepertinya tidak).” jawab Clemenza.

Berbeda dengan kakak iparnya, Lucia masih cermat membaca satu-persatu detail profil dari sepuluh daftar nama itu.

‘Degh !’

Matanya tertuju pada 1 nama yang berada di urutan terakhir, setelah Joan Andress Miro.

(🇮🇹)

“Laki-laki ini, dia datang ke pesta pernikahanku. Ha detto che erano parenti (Katanya mereka kerabat).” ungkap Lucia, tangannya sedikit gemetaran.

‘Srrkk!’, Barry langsung merebut berkasnya dari Lucia, begitu mendapat pengakuan seperti ini.

“Preghiera russa (Dia orang Rusia), maksudku, suamimu berkawan dengan orang Rusia?” tanya Barry, seperti tidak percaya saja. “Coba ingat betul-betul. Mungkin kau salah orang.” imbuh Barry.

“Dia... laki-laki ini yang pernah memberikan tumpangan pesawat gratis kepada kami ketika aku menemani Gio berdinas ke Polandia.” ungkap Lucia, mengingat betul rupa orang ini.

(🇬🇧)

“It means (Itu artinya), suamimu berteman dengan musuh saudaramu?” tanya Q serampangan.

“Hey !” protes Barry, memang ‘ngawur’ mulut anak ini.

Meski bicara dengan bahasa Inggris, agaknya Clemenza dan Lucia paham dengan kata-kata Q barusan.

“Jalang! jaga bicaramu!” umpat Clemenza kepada Qristal.

“Yes Ma’am? Aku hanya berspekulasi dan Lucia tidak menampik itu.”

(🇮🇹)

“Hey, perek... punya bukti yang menguatkan kalau orang itu terlibat dengan jaringan ini?! Bisa-bisanya menuduh suami adikku... Barry, orang-orangmu ini memang tidak punya empati!” tambah Clemenza, jengah dengan tuduhan tak berbukti yang dikatakan Q.

Qristal sendiri tidak begitu peduli dengan omelan bahasa italia mereka. Mana mau juga Barry mengartikannya...

‘Ngikkk!’, Barry langsung bangkit dan menyeret tangan Q.

Karena keadaan dan situasi yang sudah tidak memungkinkan, Barry akhirnya pamit untuk membawa Qristal pergi dari sini.

Perdonalo (maafkan dia) Clemenza, tolong bawa Lucy istirahat. Kita semua sudah terlalu lelah malam ini.” katanya.“Juga ini sudah terlalu pagi, kami akan pergi sekarang. Aku menginap tidak jauh dari sini. Angelo yang memimpin tim, sudah kuperintahkan berjaga di sekitar komplek. Kita akan sama-sama mendengar warta berita dan koran pagi ini.”

“Langsung telpon aku jika polisi atau orang-orang aneh mendatangi halamanmu, Clemenza.” imbau Barry sebelum mereka pamit.

‘Ngikkk... Jglek!’

(🇬🇧)

“Hey, bisakah kau bicara lebih sopan? itu menyakiti mereka,” omel Barry kepada Q.

“Okay ! Okay ! Mau aku balik masuk untuk minta maaf?” tanya Q.

“Tssah, Nggak perlu ! Besok pagi, kau langsung terbang saja ke London. Cari informasi dari pria bernama Miro itu. Aku pikir Miro dan si laki-laki yang Lucy sebutkan tadi, sosok kunci yang kita miliki saat ini.” timpal Barry, memberikan Q perintah.

“Itu saja? Apa lagi? jangan coba-coba ganggu waktu ku lagi nantinya.” jawab Q.

“Kerjakan saja dulu yang kuminta! Yasudah, ayo ! aku belum puas minum-minum malam ini.” tutup Barry mengajak Qristal masuk ke mobil.

“Bagaimana dengan Angelo, tidakkah dia perlu libur?”

“Angelo itu profesional. Tidak pemalas sepertimu!” balas Barry.

‘Jglek!’, Barry dan Qristal masuk, menutup pintu mobil.

‘Grngggggg !’
(Mobil Alfa Romeo mereka meninggalkan kediaman Clemenza)

Sementara itu, di dalam...

(🇮🇹)

“Preparo l'acqua calda per il bagno, Lucy... (Aku persiapkan air hangat untukmu)” panggil Clemenza dari kamarnya.

“Ya! Terima kasih Clemenza. Maaf merepotkanmu hari ini.” jawab Lucia, masih belum beranjak dari meja tempat mereka berkumpul barusan.

Lucia masih sibuk dengan berkas-berkas yang mereka bertiga kumpulkan malam ini. Dia yakin, lelaki itu pernah mereka temui di Warsawa beberapa tahun lalu.

Tidak ada dugaan yang menguatkan kalau suaminya ikut terlibat apalagi hanya sebatas kerabat jauh.

Lucia juga beberapa kali mengecek album foto milik Miguel dan Clemenza, mencari wajah-wajah lain yang ada di daftar, mungkin saja sama.

Berusaha menyambungkan semua teka-teki kusut di dalam kepalanya. Benang merah tak kasat mata ini, perlahan mulai diurai...

“Aku belum sepenuhnya percaya itu benar-benar dia. Mungkin, aku harus mulai mencari bukti-bukti lain setelah ini. Orang itu bernama Yoryd Alexei B. Tapi saat kami menemuinya waktu itu, panggilannya adalah ‘Baier’...” - Lucia.




(Cafe Tachelesz, kota Frankfurt)
4 April 1999 | Pukul (UTC+1) 6.30 petang

Flashback, Frankfurt, 3 hari sebelumnya.

Daphine baru saja menyelesaikan rutinitas pada hari pertamanya bertugas di kantor konsulat AS Frankfurt.

Begitu tiba jam pulang, Daphine langsung memesan tiket kereta untuk kembali ke Dresden.

Lebih cepat dari rencana awal yang dia katakan kepada Max. Daph belum sempat memberi kabar anak itu. Sejatinya Max punya rencana menghabiskan sisa jeda semester ke Frankfurt.

Pihak konsulat sendiri memberikan kelonggaran Daphine untuk mengurus surat pindah dari kantor lama.

Daphine kini berada di cafe kawasan kuliner Am main, tidak jauh dari lokasi tempat pertemuan dengan Q sebelumnya. Sekedar berbelanja roti, sekalian makan malam.

“Jika tidak ada Max yang biasa memuji atau mencela masakanku... entah, seperti tidak ada semangat sama sekali untuk sekedar masak.” - Daphine

Barusan Daphine menelpon sebuah nomor tanpa nama kontak. Bahaya jika menelpon orang ini di area komplek gedung konsulat. Alat sadap komunikasi mereka terpancar di mana-mana.

Daphine dan orang itu berbicara panjang lebar. Perdebatan mulai panas.

(Percakapan telepon 🇬🇧)

“Apa maksud pesan, ‘It wasn’t him’, darimu?” tanya Daphine melalui panggilan telepon kepada Barry.

“Heh, sudah kuduga, Zzzzttt... kau ini terlalu gegabah Daph. Bagaimana bisa Zzzttt... merencanakan sesuatu jika mudah tertipu target ?!” umpat Barry.

‘Zzzttt... Zzzttt...’
(Suara bising sinyal telepon)

Rupanya, coretan debu sandi ‘itu bukanlah dia’ adalah rencana Barry. Dia tahu, maksud Daphine ‘ngebet’ pindah bertugas di kantor konsulat.

Pasca pertemuan ketiganya bersama Q, Barry lantas menyusun rencana sedemikian detail, memberikan semacam kode sandi di gedung konsulat tadi, jauh-jauh hari sebelum Daphine tiba.

“Kalau orang itu bukan Petr Clauss, lalu ada berapa Petr Clauss di dunia?! kau bercanda?” tanya Daphine.

“Zzzzttt... kau ini selain angkuh, terlalu berani, juga terlalu bodoh!” balas Barry. “Laki-laki berkaca mata dengan kumis tebal itu, aku sudah pastikan sendiri, Zzzzttt... bukanlah Petr Clauss yang kau cari ! Aku sudah melacaknya semenjak 1994 lalu. Jauh, sebelum kau Zzzzttt... memberiku daftar nama kemarin,”

“Petr Clauss, mungkin juga semacam ‘identitas kode’ yang Zzzzttt... bisa dipakai siapapun. Ini memang berguna untuk mengaburkan Zzzttt... sosok aslinya.” tambah Barry.

“Jadi maksudmu, lelaki tadi hanya umpan, duplikat Petr Clauss?”

“Tidak juga, untuk apa memakai umpan kalau mereka bisa segera Zzztttt... menemukanmu sekarang juga?” jelas Barry.“Daph, listen to me ! Ini terdengar konyol, tapi percayalah Zzzzttt... kau tidak sepenuhnya bersalah atas yang terjadi dengan Antoine. Dia yang merencanakan plot seperti ini, Zzzttt... supaya Max aman bersama mu,” ungkap Barry.

Lanjutnya. “Saat ini aku berada di Roma. Q sudah kuminta untuk mengajakmu. Zzzttt... kita akan menemui adik perempuan Miguel. Kita susun rencana ini bersama-sama. Zzzttt... tidak perlu ada yang bergerak sendiri-sendiri. Antoine memintaku untuk melindungimu bersama Max. Berada dalam aliansi ini, sama artinya bagiku lebih mudah untuk menjangkau mu,”

“Kau pikir aku mau mempercayai mu lagi? Heh, kau saja gagal menyelamatkan sahabatmu.”

“Daphine, ini bukan saat yang tepat untuk saling menyalahkan. Zzzttt... mereka tidak mati sia-sia. Dan aku tidak mau mengulanginya sekali lagi. Zzzttt... kumohon, terbanglah ke Roma besok pagi. Akan ku pesankan pesawat.” pinta Barry.

“Maaf, ada yang lebih mendesak ketimbang aliansi bodoh ini. Terima kasih. Akan kuselesaikan sendiri bagianku,”

“Okay-Okay! Hey Daph, tunggu dulu, dengarkan aku! Aku kenal satu orang lain yang mungkin bisa kau dekati untuk mengungkap Petr Clauss yang asli!” jawab Barry berusaha menahan agar Daph tetap mendengarkannya.

“Terima kasih. Tapi maaf, aku sedang tidak tertarik bertukar informasi apalagi bernegosiasi denganmu.” jawab Daphine.

“Keitel, nama orang itu! Tentu Mr. Roger juga mengenalnya. Mereka adalah mitra bisnis setahun belakangan ini. Daph menurutku—” ungkap Barry, sebelum sempat menyelesaikannya, langsung dipotong Daphine.

“Okey baiklah. Sampai jumpa Barry!” Daphine langsung menutup pembicaraan sebelum Barry selesai mengatakan yang lain.

‘Cklek ! Tutt.. Tutt... Tuttt’
 
Terakhir diubah:
EPISODE 9 PART I :
KORAN PAGI

1999's


(Apartemen Clapham, London)
10 April 1999 | Pukul (GMT) 10.15 pagi

‘Grrngggggg...
Tinn ! Tinn !’

(Mobil taksi mengklakson, berhenti di depan apartemen)

Keterangan alih bahasa :
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇩🇪 : Percakapan Native bahasa Jerman
🇷🇺 : Percakapan Native bahasa Russky
🇮🇳 : Percakapan Native bahasa Hindi

(🇬🇧)

“I’m home, Bibi Grena !” panggil Qristal begitu turun dari taxi bandara. Seraya memeluk Bibi Grena yang sudah gundah gulana menunggu kedatangan Qristal. Semua diluar kebiasaan selama ini, yang biasa tiba ke apartemen ketika dini hari, bukan pagi menjelang siang seperti ini.
‘Jglek !’

Bibi Greeney O’brien (45), sudah menunggunya semenjak 30 menitan di depan pintu apartemen. Begitu taxi berhenti, Bibi Grena— panggilan akrabnya, membantu Q mengeluarkan oleh-olehnya sepulang dari Roma.

“Lho, sejak kapan kau memikirkannya ?” tanya Bibi Grena, pangling begitu mengamati penampilan baru Qristal.

“Hahaha. Kapan lagi coba penampilan baru seperti ini ?” balas Q.​

Kulit dan rambut Q berubah jadi lebih eksotik. 2 hari yang lalu dia menyempatkan berlibur ke Verona. Bertemu kawan lamanya juga mengunjungi danau-danau cantik.

Ini yang juga membuat Barry sempat uring-uringan karena Q malah mengabaikan perintahnya untuk segera pulang ke London setelah pertemuan mereka malam itu di rumah Clemenza Bertini.

“Bibi Grena, apa Alina rewel selama ku tinggal ?” tanya Q. Seraya menurunkan koper-koper belanjaan dari bagasi.

“Tidak sama sekali. Ada Ben juga yang menemaninya.” jawab bibi Grena.

“Ada telepon atau berita dari orang-orangku? soal kabar ayah-ibu Alina ?” tanya Q, lagi.

“Belum ada. Hanya beberapa panggilan dari pria bernama Andress. Kau kenal ?” tanya Bibi.

Who ?” tanya Qristal, belum jelas dengan sosoknya.

Mungkin maksudnya adalah Joan Andress Mirone. Lelaki yang Qristal selamatkan dari upaya penculikan di underground picadily circus, 2 minggu yang lalu.

“Ehem ! Dia minta bertemu di bar ayahmu, dan Sweeney bilang sudah mengurusnya juga menitipkan pesan Tn. Andress... dia bilang untuk pertemuan selanjutnya setelah kau selesai istirahat saja.” terang bibi.

“Okay. Mungkin malam ini atau besok sore aku akan menemuinya. Thanks Bibi !” kata Q.

‘Drkkkk !’

Dibantu Bibi Grena, Qristal menyeret koper dan beberapa barang oleh-oleh dari Roma.

Excuse me, Miss Q !” panggil seseorang pria, muncul tiba-tiba dari parkiran mobil jalanan. Tergopoh-gopoh dengan tumpukan berkas dalam map yang dia peluk.

Sosok lelaki yang pernah Q berkenalan sebelumnya. Rambut klimis, baju polo casual, celana jeans, tapi diakhiri dengan sepatu pantofel yang dia kenakan hari ini. Penampilannya beneran mirip petugas antar pos. Thomas Calford (35), yang akan menggantikan posisi Michael Edward sebagai asisten Qristal selama bertugas di direktorat MI6.


Qristal sampai saat ini belum bersedia menandatangani apapun yang berkaitan dengan surat penggantian tugas ini.

“Oh, Thomas... sorry about it, apa kau sudah mengirim pesan untuk bertemu denganku ke rumah sebelumnya ?” jawab Qristal, terkesan ‘sensi’ dengan kehadiran lelaki ini.

“Maaf Q, aku cuma mau mengantar surat rekomendasiku.” jawab Thomas.

“Kau tidak sedang terburu-buru? I mean, maaf harus berterus terang. Aku bahkan belum sempat menandatangani surat kuasa perihal dana santunan keluarga mendiang Michael.” jawab Q.

“Tidak. Bukan maksud memaksamu. Ini lebih kepada permintaan Tuan Allen langsung.”

Wait, ini bagian dari otoritas yang bersangkutan ?” tanya Qristal.

“Sir Lander jadi makin sibuk akhir-akhir ini. Beberapa tugas termasuk pekerjaan soal surat rekomendasi ini diserahkan kepada Tuan Allen.” jawab Thomas.

‘Srkk.. Srkk..’

Qristal menerima beberapa berkas itu. Sempat mengeceknya sebagian.

“Alright, Thomas. Jika sempat, akan kukerjakan malam nanti. Dan, maaf aku tidak bisa menjamu kali ini. Aku barusan tiba setelah penerbangan dari Roma.” jelas Q, malas berbasa-basi.

“Oh, tentu. Tidak perlu buru-buru. Selamat beristirahat Q.” jawab Thomas, pengertian juga.

Qristal masih terlihat lelah karena penerbangannya dari Roma barusan.

“Ehm... aku juga mau mengundangmu, tentu jika tidak keberatan—”

‘Ngikkk... Jglek !’

Pintu langsung ditutup Qristal. Sementara Thomas masih berdiri di ambang pintu, bahkan belum sempat menyelesaikan maksudnya...

“—ke pesta. Ehm, maaf. Ku tinggalkan saja disini~” imbuh Thomas, kadang melas juga seperti tidak diharapkan oleh Q.

Tapi tidak masalah. Sikap menyebalkan Q yang barusan, tidak pernah diambil hati. Dia paham, Qristal masih dalam keadaan berduka, belum siap menerima orang lain untuk menggantikan sahabat sekaligus sang partner tugas, mendiang Michael Edward.

Tentu bagi Thomas, dia akan berusaha keras memperjuangkan profesionalisme pekerjaan. Tidak akan menyerah untuk terus meyakinkan Q agar mau menerimanya sebagai partner baru. Juga tidak terburu-buru tentu saja.

Thomas meninggalkan undangan pesta di depan pintu apartemen Q. Perihal pesta ulang tahun putrinya besok malam.

‘Jglek !’

Thomas langsung masuk ke mobil, dia lantas menelpon seseorang melalui ponselnya.

( Panggilan telepon 🇬🇧 )

‘Tuutttt... Tutttt...’

“Yes ?”


Suara laki-laki terdengar menjawab diujung panggilan.

“Aku sudah mengantarnya. Jangan khawatir, pengawasannya kini ada di tanganku.” ucap Thomas, seolah mengabarkan pada seseorang.

“Baiklah. Terima kasih sudah meringankan tugasku.” balas si pria diujung panggilan.

“Alright. See you !” tutup Thomas.

‘Grngggggg!’
(Mobil Thomas meninggalkan parkiran apartemen)


Di dalam apartemen...

“Siapa orang itu ?” tanya Bibi Grena. Menangkap ketidaknyamanan Qristal barusan.

“Pengganti Michael~”

‘Drkkkk... Ngik!’


Qristal langsung merebahkan diri di sofa. Huh, nyaman sekali hari ini. Hari liburnya masih berlaku setidaknya sampai 2 minggu lagi. Jadwal pemotretan studio juga tidak begitu mendesak.

“Tuan Michael, yang sudah bersamamu semenjak 3 tahun lalu... dan mereka langsung menunjuk pengganti ?” tanya Bibi Grena sekali lagi.

“Yap ! Bahkan aku belum sempat menghadiri pemakamannya. Juga, aku tidak begitu nyaman dengan penugasan Thomas ini.” balas Qristal.

“Ada banyak hal yang membuat hubungan pekerjaan kami begitu berkesan. Selain sebagai mentor, sahabat, juga ibarat Michael ini satu-satunya teman curhat yang paling kupercayai. Terkadang Michael jugalah yang punya inisiatif membackup, mengerjakan tanggung jawab pekerjaanku di MI6. Dia tidak mau urusan profesi lamaku (model) bersinggungan dengan agenda birokrat yang cukup merepotkan.” - Qristal

“Siapa namanya ?”

“Thomas Calford. Berjanjilah denganku, jika dia menemuiku seperti ini... bibi harus mengusir atau menjauhkan pekerjaan-pekerjaannya dariku !” pinta Q.

“Sure~ sudah kusiapkan teh hangat dan beberapa kue untukmu bersantai. Jangan lupa mandi dulu Q !” imbau Bibi Grena, sebelum berlalu.

“Thanks Bibi !” jawab Q. “Ada oleh-oleh untuk suami dan keponakanmu. Pilih sesukamu~” Imbuhnya.

Qristal beranjak. Menengok Alina dan juga Ben yang masih terlelap tidur di kamar setelah semalaman menonton acara show anak-anak, Sesame street.

[ LIII ]



(Rumah Daphine, kota Dresden)

7 April 1999 | Pukul (UTC+1) 20.30 malam

Flashback, 3 hari sebelumnya, ketika Barsi tiba-tiba datang berkunjung ke rumah.

‘Trkk ! Trngg! Trkk’
(Daphine menarik peralatan makan dari meja)

Dibantu Hanna, Daphine langsung sibuk mengemasi piring-gelas, untuk di cuci bersih karena akan digunakan lagi untuk pesta besok malam.

Sementara ketiga sahabat Max yang barusaja menyelesaikan makan malam, kini berlanjut ke sesi mendengarkan cerita seru Max dan Barsi ‘Baier’ saat membeberkan pengalaman mereka liburan mereka.

Daphine lebih banyak diam dan melakukan pekerjaan dapur lainnya ketimbang ikut nimbrung. Ada yang lebih membuatnya was-was dan khawatir ketimbang kehadiran Barsi. Yakni, dua orang sosok dalam mobil tadi.

‘Srttttt—’

Daph menengok sesekali dari balik tirai gulung jendela, dua orang asing tadi sepertinya sudah pergi meninggalkan lokasi.

Daph langsung mengurungkan panggilan darurat kepolisian. Lumayan lega, pun insting pengintai-nya mengatakan bahwa bahaya akan selalu mengincar.

Kini Daphine mulai berpikir bagaimana cara menendang Barsi keluar secepatnya dari rumah.

(🇩🇪)

“Paman Baier, ingat waktu kita pergi ke pantai Dubrovnik beberapa tahun lalu ?” tanya Max, mengingat betapa seru pengalaman mereka berlibur ke Kroasia beberapa tahun lalu.

“Ya. Kau panik begitu keluar dari air tanpa celana dalammu ?” kenang Baier.

“Ha? Hahahaha,” kekeh ketiga teman Max lainnya.

“Hey, das ist nicht das, was ich meinte ! (bukan itu poin dariku !) Saat kita menyelam bersama mantan pacarmu, siapa namanya ?” tanya Max, coba mengingat.

“Vica ?”

“Ja, so ist es ! (Ya itu dia !) Vica, astaga... sejak bokongku dan wajah Vica hampir di serang ikan pari, aku jadi trauma dengan makanan laut atau sejenis lainnya.” kenang Max.

“Oh ya ? Hahahaha.” mereka terlihat menikmati suasana. Tapi tidak dengan Daphine yang ada di dapur.

“Perempuan bernama Vica yang diceritakan Max barusan, bukanlah mantan pacar Barsi, atau apapun status mereka saat itu. Semuanya cuma kedok Barsi dihadapan Max dan keluargaku. Karena sejatinya, Vica adalah salah satu rekan kami di ‘Camp Romeo’ milik KGB (sebelum bubar). Sejak dua tahun lalu, perempuan itu tidak kudengar lagi kabarnya. Ada desas-desus Vica sudah dieksekusi mati karena membelot, saat menolak ditiduri seorang pejabat NATO yang tengah diintai oleh intelijen Rusia yang baru terbentuk.” - Daphine

Obrolan itu terus berlanjut sampai setidaknya pukul 10 malam. Hanna sudah masuk kamar Daphine karena besok harus berangkat lebih awal.

Perbincangan mereka harus ditutup dengan bunyi dering telepon dari kepala keamanan komplek.

‘Krinnggg !
Kringgg !’

(Bunyi dering telepon rumah)


‘Cklek!’

Daphine langsung cekatan mengangkatnya.

“Hello... Guten Abend (Selamat malam), Ya Pak? Oh maaf, tamuku akan segera pulang. Maaf membuat kalian jadi tidak nyaman.” jawabnya, tidak lama kemudian telepon langsung ditutup.

‘Nggkk !’

Barsi bangkit berdiri untuk segera pamit.

“Oh maaf Max, aku lupa. Aku mesti naik taxi malam ini. Terima kasih sudah meluangkan waktumu.” pamit si ‘Baier’.

Begitu mendengar jawaban Daph dari telepon yang sepertinya memang semacam kode bagi Barsi untuk segera pergi.

“Paman tidak sedang dalam urusan pekerjaan disini? bagaimana dengan pesta besok ?” tanya Max.

“Soal itu, kurasa tidak sempat. Aku ada acara dengan kolega di tempat lain. Karena itulah kubawakan kado hari ini untukmu.” balasnya.


“Kita bisa liburan lagi jika liburan semestermu tiba. Ajak mereka bertiga juga.” imbuh Barsi seraya memeluk mereka satu persatu dan pergi keluar.“Semoga harimu menyenangkan, sampai jumpa lagi paman Baier~” tutup Max sebelum naik ke lantai atas, meninggalkannya bersama Daph di teras.

‘Ngikkk... Jglek!’

Daphine sudah menunggunya di teras sejak menutup telepon tadi.

( 🇷🇺 )

“Huh ! Тем не менее (padahal lagi asyik-asyiknya), dasar bibi menyebalkan !” gerutu Barsi.

Berdiri tepat di samping Daphine. Memandang ke arah jalanan. Mereka langsung berbicara menggunakan bahasa lain. Ini untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang rumah.

“Ne boltay slishkom !
(Jangan banyak bicara !)”


Jawaban Daphine kepada Barsi selalu ketus malam ini. “Ada perlu apa kau datang ke sini ?” imbuh Daphine, bertanya demikian.

Barsi mengeluarkan rokok dari sakunya. Mengambil 1 batang dari sana, lalu menawarkan pada Daph di sebelahnya.

“Nggak perlu, obrolan kita tidak lama. Atau polisi akan ku panggil ke sini.” ancam Daph.

“Hehehe,” kekeh Barsi.

‘Ctik. Ctik. Fyuhhh~’

“Beberapa hari yang lalu, aku mengirim orang-orang untuk mengambil Miro, mengambilnya paksa dari perlindungan ekstradisi di London. Hanya sekumpulan kroco yang terbang ke sana,” kata Barsi mengawali keterangan. “Tidak lama, aku dengar kabar kalau ada pihak yang berhasil membawa kabur Miro dari terowongan kereta London Piccadily. Menurut orang-orangku, dia bukan perempuan sembarangan. Apa kau tahu soal kabar ini ?” tanya Barsi.

Ty imeyeshv vidu ? (Apa maksudmu ?)”

Daphine merespon demikian, bingung juga tiba-tiba diganjar pertanyaan seperti ini.

“Sudah kubilang, aku bukan tipikal orang yang senang menanyakan langsung.” balas Barsi.

“Jadi, tujuanmu datang ke sini hanya untuk menuduhku menghalang-halangi operasi intelijen kalian ?” tanya Daphine.

“Tidak. Aku cuma bertanya sekaligus memperingatkan... jika kau sampai terlibat dalam plot menggagalkan rencana kami untuk membawa Miro hidup-hidup ke Moskow. Jangan bicarakan lagi pesta bersama Max selanjutnya !” ancam Barsi.

“Ouw, Really ? aku sendiri yang memberitahukan kepada kalian keberadaan Miro di London, lalu kau malah menuduhku seolah menghalangi penangkapannya ?” balas Daphine, tidak gentar sedikitpun.

“Do vas (Terserah)” balas Barsi, ‘Fyuhhh~’ kembali mengepulkan asap rokok sebelum pandangannya dialihkan. “Oh ya, dua temanku di sana, barusan minta aku mengantar salam untukmu. Atau mungkin juga salam untuk Max. Kau ingat mereka ?”

Tinn ! Tinn !’
(Bunyi klakson mobil mercy dari seberang rumah Daphine)

Mobil sedan mercy warna hitam yang dikemudikan dua orang misterius tadi kembali muncul, terparkir di seberang rumah Daphine. Menjemput Barsi yang sudah melangkah meninggalkan teras.

Kali ini justru titik baliknya. Merasa diancam, Daphine lantas balik menggertak. Kali ini menolak tunduk dengan ancaman orang-orang seperti mereka ini.

“Eto zabavno ! (Ini lucu !) Kau tidak lebih memalukan dari seorang copet amatir! Untuk menutupi kegagalan, kau malah menuduhku. Menyalahkan orang lain seperti ini ?” ledek Daphine.“Hahaha. Kalau aku mau, bisa saja besok pagi kuseret sendiri Miro ke ‘Kremlin’. Bersamaan dengan sekarung semen, berisi kepalamu !”

‘Degh !’

Barsi sempat menghentikan langkahnya mendengar provokasi dari Daphine tadi, pun cuma menyengir tanpa menoleh.

“Oh ya ? Bagaimana jika kita adakan lagi pesta sama orang-orang India itu ? Max harus tau jika ‘Camp Romeo’ memang cocok jadi rumahmu, jalang !” balas Barsi.

Barsi balik memprovokasi Daphine, melecehkannya dengan membawa embel-embel nama ‘Camp Romeo’ (lagi).

“Nu i Chto ?! (Lalu apa ?!) lihat saja, sampai mana rencanamu berjalan tanpa bantuan dariku !” bentak Daphine, kesal.

Memakinya dengan bahasa Rusia yang tentu saja terdengar oleh tetangga-tetangga sebelah.

Tak berapa lama, Barsi masuk ke dalam mobil sedan dengan dua orang sosok misterius tadi terlihat melambaikan tangan.

‘Tin ! Tin !
Grnggggg...’

(Mobil yang menjemput Barsi melaju meninggalkan tempat)


‘Ngikkk... Jglek !’

Daphine masuk ke dalam. Menutup pintu lumayan keras. Emosinya selalu memuncak jika sudah berurusan dengan lelaki itu.

Ibarat, ada pahit dan manis selama berurusan dengan Barsi itu. Di belakang semuanya juga ada rasa takut, ngeri, dan trauma yang begitu membekas dalam benak Daph.

“Ada yang lebih mengerikan dari malam 13 Maret 1998 itu. Yakni pengalaman pahitnya di tempat bernama ‘Camp Romeo’. Neraka dunia perempuan-perempuan terpilih seperti kami.” - Daphine
‘Camp Romeo’ juga dua orang pendamping Barsi tadi, membuat rasa takut Daph kembali diingatkan, seolah ditarik ke malam 13 Maret 1998 waktu itu (lagi)...

[ LIV ]



(Hotel ‘Savoy’, kota Berlin)
13 Maret 1998 | Pukul (UTC+1) 00.15 dini hari

Flashback, kamar nomor 32.

‘Ngikk ! Ngikk !
Ngikk ! Ngikkk !’
(Derit guncangan diatas ranjang)

“Ough ! Ough ! Ough !”

Penetrasi tusukan Jagam sudah mulai melemah seiring nafasnya yang juga sudah mulai menipis.

“A-argh !” pekiknya lumayan keras, langsung mencabut benda itu...

‘Clk.. Clk... Clk... Clk!’,

Jagam menyelesaikan itu dengan kocokan
diatas punggung Daphine.

“A—ARGHH!”

‘Crttt... Crtt... Crttt’
“2-3 tetesan kental panas meleleh diantara pinggul dan sekujur punggungku. Sepertinya mereka sudah mendiskusikan ini sebelumnya. Tidak boleh ada yang mengeluarkannya di dalam sebelum semua orang kebagian giliran, pikirku saat itu.” - Daphine
Daphine belum bisa mengamatinya dengan jelas. Pun sempat menoleh, dua orang lainnya terlihat nyengir sambil berpandangan. Dua orang yang seingat Daphine bernama Khadib (35) dan satunya adalah Angkush (32), sudah merangkak mendekatinya.


“Belum juga kebagian ‘enaknya’ dua orang langsung merangkak mendekatiku. Gila, kali ini musti main bertiga. Jagam sudah ambruk tengkurap di sofa sementara dua orang yang bernama Ankush dan Khadib mulai mengelusi pipiku. Seperti sebuah pesan: ‘Jangan sampai nangis. Harus kuat, karena kali ini akan lebih nikmat !” - Daphine

‘Degh !’

Tidak perlu basa-basi. Orang yang bernama Khadib barusan, mulai membelai lengan Daphine.

Makin merinding ketika bersamaan si lelaki bernama Ankush juga ikut-ikutan merangkul dari sebelah kanan. Lengannya yang lumayan berotot masuk lewat ketiak dan mencaplok tetek.

‘Nyut !’

“Hemmph !”

Daphine menggeleng jengkel, bersamaan dengan remasan tetek barusan.

Sementara Khasib makin serampangan mengerjainya. Saat beralih ke bagian itil areola Daph, dengan dua jari kemudian bagian paling sensitif di ujung itu dia cubit, sampai meninggalkan bekas ruam kemerahan.

Khadib mungkin gemas juga penasaran, begitu melihat ekspresi dan pekikan pemiliknya.

“Emmmhh !” Daphine kembali menggeleng.

Pun dipaksa merenggangkan paha ketika tangan si Khadib mulai masuk menjalari ke sana.

“Nghh! Mmhh !”

Makin terdengar nafas Daph di sela-sela aksi paksaan si dua India.

Khadib mulai lebih berani, menyentuh bagian bawah Daph yang masih nyut-nyutan karena ulah Jagam sebelumnya.

Pertama-tama, Khadib geser kaki kiri Daph lebih melebar, hingga celah pahanya terbuka dan menampakkan kemaluannya yang berbulu jarang.

“Damn you, Fffuck-off !” bentak Daphine jengkel dengan pekikan kaget semulanya. Karena Khadib makin berani mengerjainya.

Sebuah colekan jemarinya kepada sepangkangan Daph, sukses menggetarkan pemiliknya. Sementara satu tangan Khadib mulai meraba naik keatas dada Daphine lagi.

Direpotkan dengan Khadib, Daph malah menangkap ekspresi kesal si Ankush disampingnya. Khadib yang sudah kebagian mengerjai bawahan Daph, malah ikut-ikutan merebut kesenangannya, menggosok-gosok dan memainkan areola Daph yang lain.

“Di serang bertubi-tubi melawan 2 kubu, dengan tangan Daph masih terikat, kalian mengharap apa lagi dariku?” - Daphine

(🇮🇳)

“Mainne chudaee karane ke lie kaha hai !
(Sudah siap di fuck nih cewek !)”

Celoteh Khadib kepada Ankush dengan bahasa yang Daph tidak mengerti. Tapi Daph tahu, raut wajah dua India itu menunjukkan bahwasanya mereka siap memberinya pengalaman yang lebih ganas.

“A-akh ? Hey ?!”

Daph meronta ketika salah satu dari mereka kerepotan memaksa Daphine bangkit, sedikit menungging dengan kedua tangannya sebagai tumpuan ke headboard ranjang.

Angkush yang selalu masam akhirnya juga ikut beranjak bangkit, berdiri gagah dengan posisi selangkangannya tepat di wajah Daphine yang dibuat sedikit merunduk.

“Emphh—”

Daphine langsung mati kutu begitu mengendus bau aneh (lagi) dari kelamin Angkush.

“Suck it honey... Lick it first, please~” kata Angkush, pede sekali mengatakannya dengan bahasa inggris ala Hindi.

“Emmghh !”

Daphine jelas ogah. Menggeleng. Memalingkan wajahnya. Berontak.

"Aku menggeleng. Perhatianku beralih sejenak dari kelamin ini kepada orang India yang bernama Khadib Sharma (35) di belakang. Perawakannya gempal, 170cm saja. Kumis lebat berbanding terbalik dengan bulu dadanya diatas perut buncit yang begitu mencolok untuk dipamerkan. Soal kelaminnya tak beda jauh dari sosok yang ada di hadapanku. Tapi milik Khadib ini terlihat lebih panjang dan guratannya nyata.” - Daphine

Di depan muka Daph, ada yang lebih membuatnya tidak tahan dengan aroma juga bentukannya ini. Belum juga merasakannya. Hih, jijik!

Masalahnya, Ankush bukankah Jagam yang jika ditolak malah memberikan nikmat.

“He—emphh !” pekik Daphine.

Dengan kedua tangannya yang masih terikat bertopang pada headboard, itu membuat Ankush yang kalap langsung menusukan kontolnya yang lumayan panjang.

“Emph ! Emph !”

Daph benar-benar jijik dan menutup rapat mulutnya saat kelamin itu beberapa kali menempel dan menamparnya pelan.

Awalnya Daph, beneran ogah bahkan cuman untuk bernafas karena baunya yang benar-benar bacin, lalu dari arah belakang...

Fffuck-off !”

Daph terjingkat begitu sadar. Terasa geli di bawah sana, ternyata si Khadib makin ngelunjak, menjilat bokong Daph.

Slrpp... Mmmh ! Mmmh !’

“Gila! Itu bener-bener menjijikan bagiku. Freak! Ini model aliran foreplay yang mereka bawa?! Apa budaya orang timur memang melakukan ini (jilat bokong-memek) setiap berhubungan?” - Daphine

Ini pengalaman baru bagi Daph yang mulanya kaget sempat menggelinjang, apalagi waktu si Khadib monyong mencicip celah selangkangan Daph, lidah dan kumis lebat India sialan itu makin beraksi, menggelitik ganas di bawah sana.

Sementara...

“Suck it, Babe~” pinta Ankush juga mendesaknya dari depan, begitu melihat celah pada Daphine dan langsung ‘bless !’ mendorong pinggulnya, kontol India itu sempat menyentuh ujung lidah Daph yang masih heboh dengan aksi Khadib di belakang.

Ankush melenguh nikmat begitu ujung miliknya sempat mengenai lidah Daph. Tidak puas, tangan Ankush segera menjulur ke bawah meraih Tetek Daphine yang menggantung.

“E—eghh !” Daph meringis ngilu.

Titik-titik sensitif Daph diserang mereka habis-habisan. Khadib menyedot celah kangkang si redhead terlalu bersemangat, sampai mengeluarkan suara-suara ciuman. Sementara Ankush mengerjai itil tetek Daphine.

“E—emph !” desahan halus Daph mulai terdengar.

Khadib makin terbenam dibawah sana, jarinya makin cabul mencolek bibir labia Daphine, memperlihatkan bagian dalamnya yang merah basah. Inikah daya tarik eropa itu?

“E—engkh !”

Daphine dibuat makin kepayahan, menggoyangkan pantatnya untuk meronta, coba mengeyahkan permainan konyol india itu.

“Mmmh! Yes… Your smells so good, Honey~” puji Khadib pun tidak peduli, makin kelewatan menyogok satu ruas jarinya.

“Ouhhh... Mmphh, N-No ! Arghh~” desah nikmat Daphine justru menjadi titik mula semuanya.

Khadib yang tidak sabaran, seolah langsung merebut momen dengan 1-2 coblosan gesek pertama ke memek Daph yang merekah agak menungging.

“H-hegh ! What ?!” Daph memekik.

Wajahnya meringis karena di belakang sana Khadib mendorong kontolnya ke celah kangkang Daphine.

“A—Akhh… Ssshh… Slowly, Ouw !” rintih Daph ketika menengok ke belakang melihat kelamin india itu pelan-pelan memasuki dalamannya.

Daphine merasakan dalamannya belum sepenuhnya dimasuki seluruh inchi kelamin india itu.

Dikerjai orang seusia Khadib memang bukan yang pertama kali ini bagi Daph, pun untuk kasus ‘dikerjai ramai-ramai’ dengan orang asing seperti ini baru pertama kali Daphine rasakan.

Mengerikan tapi juga seru.

Khadib mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, gesekan-gesekan nikmat langsung terasa bagi Daphine yang langsung meringik nikmat. Daphine condong melengkung ke belakang, mulutnya mengeluarkan erangan.

“A—arghh !”

Khadib juga sama-sama terpekik, matanya terpejam dengan mulut komat-kamit ketika perlahan memasukkan tiap inchi kontolnya menembus memek Daph.

Lengan Khadib melingkar berpegangan pada pinggul Daphine. Membelitnya erat. Posisinya tidak begitu luwes karena agak menekuk lutut, berpegangan memeluk pinggang Daph. Mulai dengan perlahan, saat ujung kepala Khadib mulai masuk menggesek pangkal paha Daphine.

Perlahan, gesek-gesek maju mundur, melumasi dari kepala sampai pangkalnya. Ini membuat Daph melenguh dari karna pemanasan si Khadib.

“E—ekh !”

“Ouffffhh~”

Di sini sebelumnya Daph sempat coba menolak untuk bermain threesome karena sudah pasti merepotkan, tapi apa daya tenaga mereka berdua sudah bukan tandingan seimbang bagi Daph.

Dengan gerakan perlahan Khadib mulai menggerakkan keluar masuk kontolnya di lubang memek Daphine.

“Aku cuma memejamkan mata dalam posisi setengah menungging. Di depan, sudah berdiri satu orang lagi yang mengatur tanganku supaya tetap bertopang ke headboard.” - Daphine

Daphine hanya mengeluarkan desahan dan rintihan saat Khadib menikmati setiap inci lubang memek Daph, meremas miliknya begitu menembus dalaman Daph.

Di bawah sana, sudah terasa makin dijojoh perlahan dengan milik Khadib, sedangkan bagian tetek Daph yang menggantung gemas langsung diremas oleh Angkush.

“Oufff… It’s too much! Slowly ! A—arghh !” iba Daphine, tapi tak di gubris Khadib yang cuma merem meresapi nikmat tiap sentakan pinggul dan tusukan penetrasi kontolnya yang mulai nyata.

“Ssshhhh...” desah Khadib, meresapi tiap bagian kelaminnya mulai dibasahi precum Daph yang belum tuntas karena permainan ‘gilir’ Jagam tadi.

“Aarrngghjhhh...”

Daphine juga sama. Menggigit bibirnya, merasakan benda kedua kembali mengiris pangkal pahanya malam ini.

“Aku tidak tahu, obat atau ramuan voodoo macam apa yang mereka konsumsi. Bagiku, kelamin-kelamin mereka ini berukuran tidak lazim. Milik Khadib saking ‘mancung’nya, sempat bengkok di beberapa penetrasi sentakan.” - Daphine

Perlahan masuk-keluar, didorong lagi masuk-keluar perlahan, hingga sentakan ketiga diikuti dengan penetrasi tusukan mantap kontol Khadib.

‘Plok... Pok... Pok... Pok! Pok!’


“Oufffhh... Aakh!”

Daphine melenguh kadang mendesah panjang.

Wajahnya tak terbayang saat itu diantara pilu, nikmat, sedih, atau bahagia setengah hidup merasakan sekali lagi benda keras menyogok dalamannya.

Di saat seperti ini Angkush yang cuma kebagian tetek langsung membekap dagu Daphine dengan sedikit cengkraman, lalu...

“H—emph ! No !” Daphine menggeleng, meneriakinya.

Hilang sudah moodnya yang awalnya coba dibangkitan karena dipaksa nge-blowjob Angkush yang ada di depan.

Gila !

Angkush sudah begitu kesetanan, rambut Daph agak kasar ketika dia jambak dan memaksanya melumat benda itu.

“Emphh! Hmjjgghhhh—”
Prosesi awalan ketika kelamin Angkush akhirnya sempat menempel ke bibir Daph membuat si India itu berdesir keenakan.

Beberapa kali dia paksa Daphine membuka mulut, namun tetap saja dimentahkan.

Melihat rekannya sudah enjoy di belakang, mungkin itu yang membuat Angkush tidak sabaran, pun sempat beberapa kali mengelus rambut Daphine yang harum itu.

“Please suck It, I beg you~”, ucap Angkush tidak sadar karena sudah kadung tergila-gila.

‘Degh !’

Daphine terasa aneh tapi juga heran dengan sikap lawan mainnya barusan.

Ada semacam kebanggaan dominan mendengar ‘permohonan’ seperti itu. Tapi disisi lain, juga tidak suka dipaksa main 2 arah seperti ini.

“Please !” rengek Angkush.

“Well, alasanku akhirnya mau meladeni si India satu ini ya hanya karena postur dan perawakan pria yang bernama Angkush Bajwa (32) ini terlihat lebih segar atletis. Tingginya sekitar 178cm, masih sebanding denganku. Otot dan dada bidangnya yang lebih membuatku berselera. Berbeda dengan Khadib yang perutnya buncit, gerakannya juga monoton di belakang sana. Meskipun ‘pembawaan’ Ankush yang kadang juga bikin ilfil sih~” - Daphine

‘Alpha Female’, Daphine seolah langsung tersugesti. Ketidakberdayaan dan permohonan dari lawan mainnya. Ini yang membuat Daph akhirnya luluh, menuruti apa yang dipaksakan kepadanya oleh Ankush.

Perlahan Daph membuka mulut, menjilatnya setitik dan mulai mengulum bawahan pelir India satu ini.

Ini adalah kali pertama Daphine terang-terangan meladeni si lawan main. Sontak, itu membuat Ammar, Jagam dan Khadib heran tidak menyangka.

Sebelumnya mereka berpikir akan ada sedikit paksaan dan kekerasan untuk menaklukan Daphine malam ini, kenyataannya malah ‘kejutan-mengerikan’ begitu melihat respon Daph seperti ini.

Antara ngeri tapi juga bersorak. Daphine melakukannya seolah memang dia yang terbaik dalam hal ini.

Kepala Daphine seolah menari dihadapan Angkush untuk menggoyang kelaminnya sampai bagian pelir.

‘Slrppp… slppp… Mmmh ! slrppp…’

Ujung lidah Daph mulai beraksi, menggelitik barang Angkush diantara selingan teknik sepongan.

Daphine benar-benar tidak memberinya ampun. Kuluman disertai sedotan kuat pada biji tadi dipadu jilatan-jilatan sesekali mengerjai Angkush.

‘Slrppp... Emhhh ! slppp… Hssspp! slrppp…’

Jilat atas ke bawah, melumat ke bawah.

Mulut Daphine begitu lincah menyepong tiap inchi bagian milik Angkush, si India malah balik kelimpungan menerima sepongan dahsyat Daph.

“Emmpph—”

Sambil merem-melek menikmati yang dilakukan Daphine di bawah sana, Angkush sesekali mendongak. Menggoyang sedikit saja pinggulnya.


‘Slrppp... Emhhh ! slppp… Hssspp! slrppp…’

Kepala Daphine bahkan tidak membutuhkan paksaan tangan Angkush seperti sebelumnya. Pipinya kadang mengempot, kala-kala juga mengembung karena dijojoh kontol si India.

“Mmmh… Oh Yes Babe, feels good right ? Keep Suck it, honey !”

Ankush langsung blingsatan karena sepongan Daphine ini, dia refleks meremasi rambut merah sesekali mengucal tetek Daph di bawah.

Kedua tangan Angkush menyusul bergantian meremas kedua tetek Daphine yang terlempar ke sana-sini karena sodokan Khadib si belakang.

‘Plok... Pok... Pok... Pok ! Pok !’

Terasa betul bagi Angkush, kulit halus membungkus gundukan daging empuk dengan isian susu melimpah disana.

Di sela sepongan Daphine, si Redhead juga mendesah tak karuan. Permainan tangan Angkush ke tetek dan penetrasi mantap oleh Khadib di belakang yang makin bersemangat turut menjadi katalis bagi Daph yang secara tidak sadar ikutan ‘panas’ menggerakkan kepalanya maju-mundur, melumat habis batang tersebut keluar masuk.

“Puah! Oufffh—”

Daphine menghentikan blowjob dengan erangan tertahan, dia lepaskan sejenak kontol Ankush dari sana.

Pun teredam Ankush yang kemudian menekan kepalanya dan menyuruhnya nge-blowjob lagi. Daphine menghela nafas, tentu kepayahan dengan Ankush di tengah sodokan-sodokan Khadib yang makin kencang.

‘Plok... Pok... Pok... Pok ! Pok !’

‘Ngikk ! Ngikk !’
(Derit guncangan diatas ranjang)

Ankush sadar, kelihatan tambah jengah kepada temannya itu, tapi tidak lama...

Saat Daphine malah makin mengerikan, mengkombinasikan hisapan dengan belaian lidah pada batang sampai bagian pelir Ankush.

“Aaarggh... Yess baby ! Yes ! Nice… Oughh~” erang Ankush.

‘Clkkk… Clkk… Clk…. Clk…’

“4 ruas jari, 5 ruas jari, 6 ruas jari... pikirku sambil menerka ukuran pasti miliknya, ketika coba melumat kontol India ini.” - Daphine

Si india sampai kelimpungan. Merem-melek akibat ulah Daphine barusan, seolah kontolnya berdenyut-denyut semakin cepat seperti detak jantungnya, diantara suara menggeram.

Ankush sampai harus bersandar punggung pada dinding di tepi ranjang.

‘Pok... Pok ! Pok !’

‘Ngikk ! Ngikk !
Ngikk ! Ngikk !’
(Derit guncangan diatas ranjang)

Di belakang sana, Khadib kembali menaikkan tempo genjotannya, tangannya yang tadi cuma berpegangan pada pinggangnya menjalar ke depan meremasi kedua tetek Daph.

“Emh ! Enghh ! Argh ! Yeppp…. eehhmm... A-akh !”

Daphine mengerang lirih itu setiap kali Khadib mendorong pinggulnya.

Perasaan antara hina, nikmat, dan benci lumayan membobolkan pertahanannya. Daph mulai mengejang seiring nafasnya yang makin memburu. Serangan Khadib semakin ganas dan dia menyusul ke puncak beberapa menit kemudian.

‘Hemph ! Hemph ! Uhuk ! Slrppp… slppp… Hssspp ! slrppp… Emmph~’

Pun kadang sampai terbatuk juga mual, tidak tahan dengan aromanya.

Angkush kadang juga membantu mengatur goyangan kepala Daphine.

“Emph! Ssshhh...”

Angkush malah makin mendongak, nikmat tapi juga nyeri.

Di pegangnya kepala Daphine dengan kedua tangannya, pun Ankush tidak perlu menggerakkannya dengan cepat dan kuat untuk Daphine sendiri yang nge-blowjob naik turun di selangkangannya.

Ankush dibuat merem-melek akibat ulah Daphine yang ‘balik’ mengerjainya di bawah sana, Angkush kadang-kala sampai mendongak ke atas.

“Oowwsshhhh… This is crazy ! Ssshhh~” racau Angkush. “Honey, you suck It like a whore! Ohh !” imbuh Angkush sambil memegang kontolnya sendiri dan mengusapkannya di bibir Daphine.

Angkush sempat mengusap wajahnya sendiri, keringatnya bercucuran deras. Kelimpungan begitu dikerjai Daphine seperti ini.

Sambil melihat menikmati gerakan kepala Daph yang tengah naik turun di selangkangannya, Ankush terus mengeluarkan desahan kecilnya.

Kaget sekaligus penasaran dengan lihainya Daphine ini. siapa dia sebenarnya ? pikir Ankush juga kedua rekannya, Jagam dan Ammar yang cuma melongok menyaksikan Daph dalam mode seperti ini.

“Ugh ! Ugh ! Ugh !”

Daphine sempat dibuat gelagapan oleh tindakan India satu yang menjojoh memek di belakang.

‘Plok... Pok... Pok... Pok! Pok!’

‘Ngikk ! Ngikk !’
(Derit guncangan diatas ranjang)

Tangan Daph memukul-mukul paha Ankush karna dirinya tidak diberi nafas oleh keduanya.

‘Uhuk ! Uhuk ! Slrppp… slppp… Hssspp ! slrppp… Emmph~’

Hal tersebut tak dihiraukan oleh dua India sialan ini, sementara si Angkush sepertinya sudah ingin akan mencapai klimaksnya.

“I’m coming ! AARGGHHH !” racau Angkush.

Memejamkan mata menikmati deepthroat pertama kalinya kepada seorang wanita Eropa secantik Daph ini.

Benar-benar khayalan surga sehari pikirnya.

Emhhh ! slppp… Enghhh ! slrppp…’ erangan Daphine, juga menggeleng.

Tidak menduga soal yang satu ini ketika bertumpu pada paha Angkush, sementara kepalanya digoyang keras, rambutnya dijambak kasar.

“I’m comin babe~”

“A—ARGHHHHH !”

“Guncangan ranjang. Nafas dan desah kami bertiga. Gerakan duo India ini yang kasar makin membabi buta. Serangan mereka dari dua arah. Malam itu masih belum tuntas. Pun mereka berdua coba mengacaukanku. Well, sampai pada akhirnya itu terjadi...” - Daphine

‘Crtttt... Crtttt... Crtttt...’

[ LII ]



(Pasar Camden, kota London)
11 April 1999 | Pukul (GMT) 19.00 malam

‘Jreeng... Jreeng... Jreeeng~’
‘Trkk ! Trngg ! Trkk !’

(Bunyi pertunjukan live musik & riuh keramaian pasar)

Karena urung menemui Miro di bar milik Nick, Q mengundangnya untuk bertemu di kawasan Camden Town market.

Salah satu pasar legendaris di kota London. Beroperasi sejak tahun 1974, dulunya cuma terdiri atas beberapa stall atau toko-toko kecil yang menjual souvenir.

Kini Camden selain terkenal akan pasarnya, tempat ini juga memiliki popularitas lain. Ikatan sejarah dengan para legenda pesohor musik seperti Amy Winehouse, Blur, dan Oasis mampu menjadikan Camden rumah bagi industri musik Inggris.

Tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi para musisi dahulu hingga sekarang, panggung musik Roundhouse juga telah mendatangkan beberapa band dan artis ternama dunia.


Miro awalnya menolak untuk bertemu di kawasan publik seperti ini. Ini soal perjanjiannya sebagai ‘orang ekstradisi’, yakni orang dalam perlindungan khusus oleh pemerintah Inggris. Membuatnya jadi bak tahanan rumah, pun tidak diperbolehkan berbicara dengan sembarang orang.

Q adalah pengecualian baginya. Selain berteman dengan Barry, perempuan ini juga garansi keselamatannya, memiliki otoritas sebagai bagian dari biro MI6. Ini yang akhirnya membuat Miro berubah pikiran.

Mereka kini sudah bertemu di salah satu kedai. Melanjutkan pembicaraan setelah drama upaya penculikan Miro di stasiun bawah tanah beberapa hari yang lalu.

‘Trkk! Trngg!’
(Pelayan mengantar minuman ke meja kedai)


( 🇬🇧 )

“Sudah baca koran pagi ini ?” tanya Miro, membuka pembicaraan malam ini.

“Aku tidak sedang dalam mood yang baik untuk mendengar tajuk berita seperti itu.” jawab Q, seraya menuang sisa Beer ke dalam gelas.

“Itu ulah kalian ?”

“Mungkin iya, mungkin juga bukan. Hanya peringatan. Untuk orang-orang sepertimu juga,” jawab Qristal. “And Anyway, soal posisimu sebagai rekan tugas Antoine, bisa kau jelaskan kenapa Daphine sampai memasukanmu ke daftar ini ?” tanya Qristal.

“Mungkin, karena aku orang terakhir yang bersama Antoine saat itu ?” terang lelaki ini.

“Joan Andress Mirone (40), pria asal Berlin. Sosok lelaki yang sama saat kutemui di stasiun underground beberapa hari yang lalu. Beliau adalah rekan kerja sekaligus orang ke-9 pada daftar yang Daphine berikan kepadaku sebelumnya. Sangat sulit mendengar suaranya yang terlalu lirih saat berbicara. Entah apa maksud perempuan itu memintaku menemui Miro ini,” - Qristal

“Saat ?”

‘Huft~’

Miro menarik nafas perlahan. Sebelum melanjutkan jawaban.

“Antoine adalah rekanku ketika berdinas di biro HVA Stasi Jerman Timur. Dalam bertugas ada banyak pihak yang coba mengintervensi keberpihakan kami. Para intel CIA, BND Jerman barat, Mi6 melawan blok timur yang dikomandoi KGB, bersedia membayar mahal tiap informasi yang kami keluarkan,” terang Miro. “Aku tidak pernah menduga, sadar pun tidak. Antoine ini sosok yang pendiam, justru punya banyak jaringan informan yang meluas ke timur (intel Soviet)”

“Apa maksudmu ?” tanya Q.

“Antoine Leonides, bergabung secara sukarela ke dalam organisasi ‘Red Licence’, tepat ketika berhenti memberikan ‘bank-informasi’ kepada para intel KGB sebelum reformasi reunifikasi (penyatuan) Jerman saat itu.” imbuh Miro.

“Wait, biarkan aku mengurainya dulu— menurut Daphine, bukankah dalangnya (pembunuh) juga orang dari dalam Red Licence sendiri ?” tanya Qristal.

“Red Licence, awalnya memang terbentuk dengan fungsi mengontrol arus pertukaran informasi dari negara barat dan soviet pasca perang dunia II. Peran mereka mirip ‘Robin hood’ atau ‘Messiah’ si pengantar kebenaran tuhan, awalnya. Istilahnya, penengah para intelijen yang bertarung di masa perang dingin supaya tidak meluas menjadi perang sungguhan,” jelas Miro. “Tapi seiring perkembangan politik dan perpindahan kutub kekuasaan. Organisasi ini terpecah menjadi 2 kubu. Pertama. Para agen intelijen yang patuh, bertugas hanya berdasarkan ‘izin’. Sementara yang kedua adalah mereka yang membelot, yang malah menjadikan organisasi ini sebagai sarang ‘dunia bawah’.” Imbuh Miro.

“Sarang dunia bawah, maksudnya ?” tanya Qristal.

“Para penggerak dan penyokong agenda politik kotor. Jaringan peredaran senjata ilegal. Para Broker penjual senjata kimia sampai teknologi nuklir sekalipun. Bahkan turut mengedarkan daftar nama para diplomat ‘agen bebas’. Apapun itu mereka bisa jual secara bebas kepada siapapun, tidak peduli hubungan panas dengan negara musuh. Ilegal, tentu tanpa persetujuan negara,” jawab Miro. “Mereka yang jadi pihak pertama mau tak mau dipaksa berkomplot menjalankan pekerjaan berbahaya ini. Menjadi agen ganda, jelas sebuah pelanggaran berat. Jika terbukti, hukumannya setara dengan narapidana teroris.”

Lanjutnya. “Lalu simbol barcode merah, artinya adalah ‘lisensi khusus’ bagi mereka untuk bebas menjual atau mencuri apapun yang organisasi ini perlukan. Tidak peduli anggota mereka bertugas di CIA, MI6, BND, KGB, dari manapun. Mereka yang menolak, akan disingkirkan. Temanmu Barry seorang CIA, dan Antoine dari Stasi kompak menolak sistem kotor ini,” imbuhnya. “Dan apapun alasannya, menjual informasi bahkan mengedarkan aset rahasia negara dengan dalih keamanan global, tetaplah kejahatan kelas tinggi.” tutup Miro.


“Itu artinya, organisasi ini memiliki jaringan dari dalam tiap biro intelijen tadi ?” tanya Qristal, mulai memiliki sedikit gambaran.

“Tepat ! Sama seperti ‘cancer’ yang menggerogoti kita dari dalam. Mereka menyusupkan orang-orang, maaf— aku yakin salah satu dari mereka juga mengintai pergerakan kalian dari dalam MI6,” terang Miro. “Atau mungkin dalam serial Marvel, mereka ini ibarat ‘Hydra’ yang sesungguhnya.”

“Apa tujuan mereka ?” tanya Q.

“Soal itu aku masih belum bisa menyimpulkan apa-apa. Mungkin temanmu, Barry, bisa menjawabnya dengan benar.” balas Miro.

‘Glek. Glek. Glek.’

Miro meneguk beer yang barusan belum sempat dia rasakan.

“Lalu orang-orang berbahasa Rusia yang bersamamu sebelum naik ke gerbong, siapa mereka ?” tanya Qristal.

“Aku tidak tahu pasti. Kemungkinan, mereka cuma orang suruhan dari ‘Kremlin’ yang diberikan tugas untuk membawaku pergi dari Inggris.” jawab Miro.

“Terus, kenapa kau begitu diinginkan ?” tanya Qristal.

“Sama seperti Antoine. Aku pernah menjual beberapa ‘bank-informasi’ kepada intelijen KGB Rusia. Mereka ini tipikal suka cara-cara lama. Aku dan Antoine selalu mengerjakannya dalam waktu singkat. Semenjak Antoine dibunuh, aku mulai beralih pihak. Jelas mereka tidak akan suka. Mungkin itu alasan mereka coba mengambilku.” terang Miro.

“Hmmm...”

Qristal mengangguk paham. Mulai ada sedikit pencerahan tentang siapa dan apa yang tengah Barry hadapi saat ini.

“Lalu, apa hubungan antara kau dengan Daphine dalam tragedi yang menimpa Antoine ini ?” tanya Qristal.

‘Degh !’

Miro langsung berubah ekspresi begitu Qristal menanyakan soal ini.

“Daphine memintamu bertemu denganku, hanya untuk menanyakan itu ?” tanya Miro.

“Ya. Dia juga mengatakan itu !”

“Aku tidak yakin—” bantah Miro, langsung dipotong Q.


“Karena aku juga tidak yakin ! Aku perlu mengetahui ini semua,” bentak Q, pun tidak meneruskan katanya. “Aku sendiri juga tidak tahu, belum sepenuhnya percaya. Ada di pihak mana aku ini ? Barry atau perempuan berambut merah itu ?” Imbuh Qristal.

Sekedar mengutarakan keresahannya, di tengah kebimbangan.

[ LV ]
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd