Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Perlu pakai bahasa resmi negara nggak nih ? (bahasa Inggris, Itala, Jerman, Dll)

  • Ya ! (biar feel dramanya terasa) / dua-duanya nggak papa

    Votes: 38 17,8%
  • Nggak usah ! (Bahasa Indo aja, biar gampang)

    Votes: 176 82,2%

  • Total voters
    214
EPISODE 7 PART II : TRADISI ‘FURBIZIA’
1999's

- 6 April 1999
- Pavilion Romenza Roma, Italia.



(Kota Roma, Reg. Lazio, Italia)

Ini adalah kali pertama Q mengunjungi Italia. Khususnya di Roma. Kota yang menarik perhatian terutama bagi para politisi, sejarawan, seniman, musisi, dan pelancong.

Dengan caranya yang menawan, Roma menggabungkan keindahan artefak kuno dan bangunan modern. Orang-orang bisa menikmati kekayaan materi maupun nilai-nilai spiritual, tren baru dalam budaya sejajar dengan tradisi lama.

Banyak tempat menarik di ibukota Italia ini yang tentu sudah sangat familiar. Sebut saja Colosseum, Pantheon, ‘air mancur’ Trevi Fountain dan Roman forum salah satunya.

Sekedar informasi traveling, Roma sebagai ibukota dari Italia terletak di bagian selatan, salju sangat jarang terjadi di musim dingin walau cuaca di malam hari bisa mencapai 3°C dan 15°C di siang hari.

Dengan cuaca yang sejuk ini, tentu wisatawan masih merasa nyaman untuk berkeliling Kota Roma dengan perlengkapan musim dingin yang mereka bawa tanpa takut merasa kedinginan.

Tapi maaf saja, malam ini sepertinya Q belum dapat berkeliling kota Roma karena tugas mendadak yang diberikan Barry.

‘Grnggggg...
Tinn ! Tinn !’

(Mobil terjebak diantara kemacetan malam)

Mobil Alfa Romeo 156 warna merah sempat terlihat memutari kawasan kawasan Pantheon untuk menuju sisi barat Roma.

Qristal sudah terlanjur merajuk saat diminta mengemudikan, sementara Barry duduk di sebelahnya. Menelpon Angelo.

Keterangan alih bahasa :
🇮🇹 : Percakapan Native bahasa Italia
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris

(Percakapan telepon 🇬🇧)

“Apa? Seharusnya bisa lebih cepat,” Barry makin berisik saat Angelo melaporkan pekerjaannya di tempat lain.

“—Angelo, aku tidak peduli... bawa saja semua yang perlu untuk kebutuhan 4 hari.” tambah Barry.

Qristal hanya bisa mendesah kesal. Ribet sekali meladeni orang macam Barry ini.

Sesekali melirik kepada monumen yang tengah ramai dikunjungi ini. Ingin sekali Qristal mengajak Alina, Sweeney, atau Bibi Grena berlibur ke Italia.

Mungkin akhir tahun nanti adalah ide bagus, pikirnya.

***


(Paviliun Romenza, Roma)

Sebelumnya, pukul (UTC+1) 17.10 petang waktu setempat.

Bersamaan dengan pertemuan Barry dan Q perihal pekerjaan mereka malam ini.

Lucia memenuhi janji untuk menemui seseorang yang telah di sepakati pada pertemuan sebelumnya.

Lucy tidak datang bersama Pak Guitano kali ini. Lelaki itu memang tidak diundang khusus pertemuan ini. Juga, tidak sembarangan tamu tanpa undangan boleh menemui orang penting yang tinggal di paviliun mewah ini.

Paviliun Romenza, atau biasa disebut ‘istana barat’ adalah bangunan Hotel yang berawal dari situs * abad pertengahan Romawi seluas hampir se-hektar.

** Semacam bangunan keraton di Indonesia.

Ada 3 bangunan utama yang diikat sebuah taman outdoor dan Hall pesta di tengah.

Tempat yang tak asing bagi Lucia karena pernah tinggal hampir setahun lamanya saat sang ayah menjabat deputi kepengurusan Partai (1989-1994).

Ini adalah pertama kali semenjak 2 tahun silam Lucia balik ke kota kelahirannya, Roma.

Bukan fasilitas hotel umum saja yang ditonjolkan di sini. Bisa digaris-bawahi, mereka yang tinggal di sini adalah orang-orang ‘pilihan’ berasal dari kelas atas. Konglomerat, politisi pemerintah, golongan ningrat, bahkan selebritas yang hanya diperbolehkan menyewa juga menggelar pesta malam di paviliun Romenza oleh pemerintah kota untuk mendongkrak pajak daerah.

Kedatangan Lucia, untuk menemui dan berbicara empat-mata dengan seorang mantan petinggi Partai Sosialis Italia (Ketua DPW partai).

“Siapa orang ini ? Beliau mengenal dekat Ayahku. Juga orang partai terakhir yang bertemu Miguel sebelum berita penangkapan tersiar kepada keluarga kami.” - Lucia

***

‘Tkk... Tkk... Tkk...’
(Ketukan hak heels Lucia)

Lucia tampil cantik seperti biasanya. Pun riasan makeup yang sederhana, rambutnya di kucir rapi.

Mengenakan coat berbahan bulu tebal, juga heels hak tinggi. Semuanya serba hitam. Lucia beberapa kali menebar senyum palsu saat berpapasan dengan beberapa orang karena kerepotan saat menaiki anak tangga, terpaksa, karena lift disini sangat ‘reot’.


Begitu tiba di koridor lantai 3, Lucia mengamati lagi pesan SMS yang dia dapatkan sebelumnya.

‘304B’ teks pesan SMS itu mengarahkan. Tapi begitu menemukan, Lucia mendapati 2 lelaki dengan setelan jas hitam berdiri saling berhadapan.

Awalnya tak peduli, namun saat akan meraih handle pintu kamar 304B seorang dari mereka langsung mencegahnya dan maju untuk menanyai...

(🇮🇹)

“Scusa, Con chi c’era ? (Maaf, dengan siapa ?)” tanya seorang diantaranya, yang lebih pendek dari Lucia.

Ho il permesso dal Sig. Castana (Aku sudah mendapat ijin dari Tn. Castana), aku Claudia Cantone...”

Lucia memperkenalkan diri sesuai nama yang ia pakai kemarin.

“Potere (Bolehkah), kuperiksa isi tas mu?” Tanya orang itu cuek, tidak peduli siapa Lucia, dari mana asalnya, dan apa tujuannya...

“Certo (Tentu),” Lucia tak ragu menyerahkan tas tenteng miliknya.

Lelaki barusan langsung mengecek tas Lucia.

“Tidak biasanya Pak Filippo membayar ‘wanita’ (PSK) secantik dirimu. Maaf,” katanya kurang ajar. Entah sarkas atau sekedar menggoda, atau memang mengira kalau Lucia adalah ‘pesanan’ Pak Filippo kali ini.

Lucia cuek, tidak terprovokasi sedikitpun.

Juga tidak perlu risau karena memang tidak ada barang mencurigakan di dalam tas. Hanya alat makeup, baju ganti, dan dompet.

“Sì (Ya), terima kasih.” Lucia paham, tidak harus berbangga diri.

“Bisa longgarkan, un momento? (sebentar saja ?)” bisik lelaki satunya, yang lebih tinggi, meminta Lucia menyingkap coat miliknya.

Lucia sedikit mendengus. Entah memang protokol atau hanya ‘modus’, mereka berdua seperti menunggu Lucia melonggarkan coat. Tidak peduli...

‘Srrkkk... srkkkk...’

Satu persatu kancing coat di tanggalkan. Lucy membuka dari atas dan memperlihatkan gaun hitam seksi dengan model punggung terbuka ‘backless’ setinggi lutut.

“Hmm...” sedikit senyum sumringah yang Lucia tangkap dari pria yang mengecek tas. Pria kedua mengntip, mengecek detail badan Lucia.

‘Srkkk’, lelaki yang barusan langsung merabai, mengelus bagian punggung, pinggul, bokong, paha Lucia. Memastikan tidak ada benda yang diselundupkan.

Kosong...

Begitu lepas tangan, Lucia langsung menutup rapat dan menerima tas tenteng untuk masuk ke kamar 304B.

‘Ngikkk... Jglek’, Lucia masuk, menutup pintu dari dalam.
Kamar paviliun bagian ini memang tidak terlalu luas. Atau, sesuai minat penyewa sendiri.

Di dalam, Lucia sudah menemukannya duduk di tepi ranjang sembari menyimak warta berita TV dalam keadaan telanjang dada. Mengenakan *Korset pinggang.

** Penopang tulang supaya tidak nyeri punggung buat orang tua.​

“W-wow?!” lelaki tua itu ‘terlambat kaget’ dengan kehadiran atau mungkin nervous dengan penampilan Lucia.

Beliau inilah yang bernama Filippo Castana (72), sosok kakek tua yang berpesta bersama teman-temannya saat Lucia temui dengan Pak Guitano sehari sebelumnya.

Seolah terhipnotis, Pak Filippo mengamatinya dari ujung kepala-kaki.

Karena bermasalah pendengaran, Lucia jadi bingung harus mengucap salam seperti apa sesaat setelah berdiri di depannya.

‘Srkkkk...’

Walaupun gugup, Lucia mantap melucuti coat yang ia kenakan. Mungkin juga membuat Pak Filippo makin grogi.

MEHJYSA_t.gif

Lucia tahu, perempuan memiliki ‘senjata’ yang tak mungkin ditolak, para bujang lapuk bahkan kakek-kakek bau tanah sekalipun.

Raga anggun, mulus, lekukan sempurna tanpa sela. Juga, lirikan mata sendu Lucia. Punggung Lucia terekspos dengan gaun model ‘backless’ seperti ini.

Filippo mungkin belum pernah merasakan mitos, ‘cinta pada pandangan pertama’.

Pangling dengan penampilan Lucia ini. Kemarin tidak begitu memperhatikannya karena sibuk membahas bisnis ‘keluarga’.

‘Tkk.. Tkk... Tkkk...’
(Lucia menghampiri Filippo)

Lucia berpindah, seolah melenggang bak permaisuri. Langkahnya tegas, dan suci.

Kemudian berhenti tepat di depan Filippo. Sedikit membungkuk, berbisik ke telinga.

“Aku juga mau sedikit menanyakan pada anda. Tentu jika anda merasa nyaman,”

“Maaf, Bu Claudia... A-apa kita pernah bertemu beberapa tahun lalu?” tanya si Filippo.

“Aku rasa, ya. Menurutku, anda masih gagah dan belum pikun,” balas Lucia, memuji manja.

‘Degh’ Tangan Lucia mengusap pipi Pak Filippo. Seperti gesture anak perempuan yang merindukan ayahnya.

Tapi tidak. Bukan. Ini berbeda...

Usapan tangan Lucia bergerak turun, melingkar ke dagu diikuti wajah cantiknya yang bergerak mendekati bibir Filippo.

Dekat. Bersentuhan. Hingga keduanya sampai berciuman.

‘Cup. Cup...’

Satu - dua kecupan bibir dengan bibir...

Tangan Lucia berpindah ke bahu, hingga dada kerempeng Filippo. Mengelus lembut badan si kakek yang sudah tinggal tulang.

Geli dan mulai rapuh. Berlawanan, Filippo merasa tidak perlu ijin untuk merangkul Lucia yang ada di hadapan karena ciuman barusan.

Dan ternyata...

‘Grrkkkk!’
(Derit kursi saat digeret Lucia)

Sial, cuma halusinasi ternyata.

Lucia langsung membuyarkan semuanya, menyeret kursi untuk duduk berhadapan dengan Filippo.

“Masih ingat rekan seangkatanmu, sesama kader PSI dulu?” tanya Lucia yang memulai obrolan, berbisik pelan mendekati telinga Filippo.

“Terlalu banyak. Apa ada masalah?”

“Hmm... Ada. Dan aku perlu bantuanmu. Jika tidak keberatan, apa mau bercerita yang hanya kau ingat saja?” timpal Lucia.

“Cerita apa? Aku masih tidak mengerti maksudmu, Bu Claudia,” balasnya, seperti kurang nyaman. Ada yang coba disembunyikan.

“Mungkin ini terburu-buru, aku dengar anda punya agenda reuni malam ini. Bagaimana sempat?”

“Ya. Ada apa?”

“Semuanya akan datang ?” tanya Lucia.

“Lho, kupikir kau sudah tau detail acara?” tanya balik Filippo, mengira kalau Lucia ini bagian dari rombongan kemarin yang akan pergi ke pesta nanti.

“Tidak, aku tidak diberi tahukan apa saja. Bahkan untuk mendapat undangan. Apa diperbolehkan?”

“Silahkan datang. Atau mau berangkat sama-sama?”

Bingo !

Hahaha. Maaf, sebenarnya aku cuma mau menanyakan seputar orang-orang yang pernah bertugas bersama anda saat menjadi deputi keorganisasian Partai beberapa tahun silam,” jelas Lucia

“Deputi, oh itu sudah sangat lama. 5 tahun yang lalu, aku sudah pensiun. Memang apa masalahmu?”

“Hmm... aku baru saja bercerai dengan suamiku. Hubungan kami tidak berjalan baik beberapa tahun terakhir. Dan, aku merasa dia memiliki seorang simpanan saat bertugas di wilayah Roma.” Lucia berdalih demikian.

Melanjutkan. “—Jadi, apa anda pernah mengingat seorang perempuan yang bertugas di masa kepemimpinan mu sebagai deputi partai wilayah Roma ?”

“Tidak. Tidak ada satupun perempuan di jajaran kader organisasi saat itu. Semua rekan dan kader adalah laki-laki.” bantah Filippo berusaha mengingat masa-masa 5 tahun yang lalu.

“Oh ya ? Itu berarti anda hafal semua nama rekan?” tanya Lucia.

“Hanya beberapa, dan mungkin sebagian sekarang sudah berkeluarga, atau bahkan sudah pergi keluar negeri. Menghindari Politik kotor disini, maaf tapi ini memang nyata.”

“Menarik. Siapa saja mereka?”

“Yang ku ingat... aku biasa bertugas ditemani Valentin Guercio. Mattio Polari. Ada juga, si pendek Stefano Ricorda.” jawabnya menyebutkan beberapa nama.

“Bukan, bukan mereka yang aku maksudkan. Nama-nama barusan sudah muncul dalam daftar yang ku miliki. Ada satu nama yang belum beliau katakan, aku perlu validasi yang terpercaya. Termasuk mendatangi pak tua ini.” - Lucia

“—Oh ya ! kalau tidak salah seorang anak muda dari kota Bologna dengan ayahnya yang bernama Marco Viagnelli mengenalkan ku kepada Nicola Calipari.” tambah Pak Filippo, membuat Lucia penasaran.

“Nicola... Calipari?”

“Apa dia suamimu?” Pak Filippo coba menduga karena reaksi Lucia yang terkesan menunggu nama satu ini.

“Bukan... Hanya saja, sepertinya Nicola Calipari ini pernah duduk satu meja dengan kami saat makan malam bersama anggota dewan,” jelas Lucia.

.

..

...

Obrolan mereka terus mengalir. Pak Filippo sudah nyaman dengan Lucia. Mereka berbalas cerita. Sehingga pertanyaan apapun soal masa lalu bisa dijawab walau kadang ada hal sensitif yang beliau hindari.

Obrolan mereka terhenti setelah Lucia menanyakan peristiwa penangkapan dan masa gonjang-ganjing politik partai sosialis kala itu.

“Aku rasa kita sudah cukup lama berbincang. Terima kasih sudah mampir.” Filippo sebetulnya tidak bermaksud mengakhiri obrolan.

“Oh Maaf, aku bisa membuatkan mu kopi sebelum pergi,”

Lucia menawarkan, hendak beranjak menuju kitchen namun tangannya segera ditahan pak Filippo.

“Hai bisogno di più aiuto?
(Anda perlu bantuan lainnya?)”
jawab Lucia, walau lumayan terkejut.

Filippo yang masih duduk pada dipan tidak langsung melepas tangan Lucia.

“A-apa Bu Claudia terburu-buru?” tanya Filippo, merasa tdiak bermaksud mengusirnya.

“Tidak. Apa ada masalah?”

“B-bisa temani aku mengobrol... Jika tidak keberatan.” sahut Pak Filippo seperti coba menahannya.

Lucia mengedikkan bahu. ‘Tidak masalah’, artinya.

“Luar biasa hari ini. Cantik. Sejujurnya... A-aku menyukai tipe perempuan yang mau mendengarkan cerita orang lain, sepertimu Nn. Claudia,” kata Filippo tidak hujan, tidak ada petir.

“Hahaha. Terima kasih. Tapi, apa Istrimu tidak akan datang berkunjung?”

“Ah, istriku sedang bersama anak-anak di Milan.” dalihnya, entah kenyataan atau cuma dalih kebohongan. Dari sini saja Lucia sudah tau kemana arah maksud...

Sesekali genggamannya berganti elusan pada punggung telapak tangan Lucia.

“Ini terlalu sempurna, lihatlah~” pujian Filippo, flirting mulai mengarah pada rencana Lucia.

“Oh Pak Filippo, Wow..” Lucia masih bingung. “—Aku tidak merasa, seperti yang anda katakan. Maaf,”

“Apa semenjak bercerai dengan suamimu, pernah ada terpikir bahwa semua itu tidak adil? Aku kesepian. Maaf, karena istriku lebih senang bepergian ketimbang menghabiskan waktu bersamaku,” bisik Filippo.

Malu-malu kucing, curhat akan keluh kesah.

Bingo !

Mungkin sudah terlalu ‘pede’ dengan atau tanpa sempat menolak.

Perlahan, telapak tangan Lucia tadi diarahkan untuk mengelus selangkangan Filippo yang masih terbungkus celana kain.

‘Degh’

“Pak, Ini salah paham !”

“Ah ya, maaf. Kenapa ?”

“Tidak. Bukan seperti ini maksudku,” Lucia menyingkirkan tangan dari sana. “—tujuanku hanya menanyakan beberapa masalah tadi kepadamu. Ini semua aneh.”

Tangan Lucia langsung ditangkap lagi. Seraya mengiba padanya

“Tanyakan semua masalahmu, apapun yang kau mau...” kakek ini coba melunakkan Lucy, tapi dalam konteks melecehkan.

Keadaan jadi canggung. Lucia terlihat ragu dan takut. Sementara Filippo, dibalik maksud lain tentu sudah tidak tahan.



***

‘Ngggik... srrkk!’
(Derit kursi dan ranjang dipan)

Lucia berpindah duduk ke ranjang. Bersebelahan dengan Filippo.

(🇮🇹)

“Anda tidak suka pemaksaan? benarkah?”

‘Srrrk’ Lucia merangkul Filippo dari belakang, menyela lewat bahu. Tangan Lucia menikung, menempel ke dada kerempeng Filippo, bersilang, kepala Lucia di tidurkan di bahu-lelaki tua itu.

Ini lain. Pun masih canggung. Tapi perasaan Filippo berbeda saat bersama dengan istrinya.

Pak Filippo dapat merasakan hembusan nafas, mata sendu Lucia. Seolah menelanjangi tapi juga menyimpan rahasia. Mata Lucia menggelayut manja memandangi Filippo.

‘Cup... Mmmhh...’

Tiba-tiba, Lucia mencium pipi Filippo. Memeluk badan kerempengnya lebih erat, mencium pipi kiri Filippo yang makin mengkerut. Hangat.

Ada sentuhan lidah Lucia yang sesekali membasahi kulit pipi Filippo.

“Jadi, pengawalmu benar. Apa sudah biasa meniduri perempuan selain istrimu?” tanya Lucia, tersenyum sangat cantik.

Pak Filippo tak sempat menjawab saat Lucia melepas rangkulan.

Lucia berdiri. Menggeser kursi duduk menjauh dari ranjang pak Filippo.

Lucia beranjak, menantang orang tua ini. Seolah memekik pun tak sanggup. Mulut dan otak orang tua itu juga tak sanggup berkata apapun.

Di depan mata, Lucy menarik dress hitam model ‘backless’ untuk meloloskan terlebih dahulu satu persatu tali strap pengait yang setipis spaghetti itu.

Juga, menarik ikat rambutnya, rambut panjang yang indah itu pun terurai. Alamiah, kecantikan sensual perempuan itu sangat sederhana.

Tidak banyak riasan disana-sini. Bermodal dengan rambut panjang nya, semua orang akan setuju dengan kecantikan Lucia.

Badan yang putih indah itu, bagian puncaknya sudah lolos...

Bagian dada Lucia yang masih terlidung oleh Bra model yang cuma menutupi bagian areola saja.

Puting Lucia terlihat unik, tidak sepadan dengan dada miliknya yang padat berisi pun sedikit turun. Walaupun sudah beranak, itu tetap sempurna. Pak Filippo mengamati setiap detailnya.

Lucia merunduk pelan, itu membuat teteknya kian menantang bagi Filippo.

Melanjutkan, jemari lentiknya bergerak ke perut, seperti gesture penari erotis yang memamerkan perut. Mulus, harum, dan tidak ada guratan lemak sama sekali.

Rambutnya yang panjang terurai, harum semerbak bunga alami. Makin menggoda, menutup sebagian wajahnya. Menambah daya magis dan berkat mata sendu nan misterius itu makin kuat merangsang Filippo.

Jemari-jemari lentik itu menyeret keatas bawahan dress meraih dalaman yang terlihat keluar dari tempatnya.

Belum lagi Filippo menghela nafas, Lucia kembali membuatnya terpekik saat jemari lentik tanpa kutek itu

Sempat Lucia tersenyum kepada Filippo. Entah apa maknanya.

“Srettt… ” celana dalam itu ditarik, meluncur turun.

Pak Filippo tak lagi harus menerka, G-string Lucia, meluncur turun melewati bokongnya yang padat berisi itu, melewati paha yang begitu halus menggoda, lututnya yang indah, berikutnya turun lagi melewati betis...

Sekilas, gundukan bulu kemaluannya yang tak terlalu lebat namun tertata rapi itu menimbulkan sebuah aroma, aroma yang mematikan.

Tangan Lucia, berpindah ke belakang menarik lepas kait dress sebelum dia meloloskan lewat leher.

Dada juga bokong Lucy selalu menantang. Kencang dan... proposional. Itu masih jauh sempurna bila disandingkan dengan pelacur-pelacur yang pernah Filippo bayar.

Bagian itil yang tidak terlalu besar, berwarna merah kecoklatan. Tegak mengacung.

“Pak Filippo...” panggil Lucia.

“Enggh... Ya?” jawabnya agak nervous.

“Apa di masa lampau, banyak orang seperti anda mengabaikan semua cara. Demi perempuan sepertiku, atau demi tujuan politik?” Lucia menanyainya, mendekat ke telinga Filippo.

“A-aku tidak paham. Apa—”

“—Sssttt!” potong Lucia. “Reaksi anda sudah sangat menjelaskan. Politik dan Keadilan sama-sama tidak berpihak pada orang sepeti kami,” tambah Lucia.

Tidak peduli apa maksud omongan Lucia ini. Yang jelas, jantung tua Pak Filippo makin payah.

Saat Lucia tanpa tendeng-aling duduk di pangkuan Pak Filippo, bokongnya mendarat di paha kanan si tua renta.

‘Ngikkk...’
(Derit ranjang, saat Lucia beranjak, menduduki pak Filippo)

Tapi tak mengira. Si tua masih kuat saat menopang dan merasakan betapa padat dan berisi bokong Lucia ini.

Sesuai dengan yang terlihat.

Kedua tangan Lucia langsung memeluk Pak Filippo, melewati leher, bergelayut.

Tetek Lucia ikutan menempel. Saling menekan. Pak Filippo yakin, Lucy dapat merasakan degup jantungnya kuat berdebar.

Detak demi detakan makin menderu saat payudara itu bertempel di dada kerempeng pak Filippo.

Lucia tersenyum, mungkin benar, dapat merasakan jantung Filippo yang berdebar makin keras.

“Rileks aja dong~” komentarnya sambil tersenyum “—Bukan kah Pak Filippo, yang memintaku datang hari ini? Untuk apalagi?”

Tangan Lucia sesekali menempel kepada wajah Pak Filippo. Mengelus.

Halus.

Lembut.

“Hahaha. Bercanda kok,” kekeh Lucia tetap manja.

Kemudian bibir dengan lipstik merah gelap itu kembali menempel, bukan lagi di pipi Filippo yang berkerut, namun berpindah kepda di bibir tua mungkin sudah kadung berkarat.

Menyentuh hangat pak Filippo. Lidahh Lucia mulai menyelinap masuk dalam bibir pak Filippo...

Filippo tak lagi dapat menutup mulut rapat, membiarkan lidah Lucia berpagutan dengan lidah tua nya.

Seolah tak sedikitpun jijik pada orang tua sepertinya. Pak Filippo juga tidak lagi malu-malu nervous.

‘Mmmphh...
slrpppp.. Emmmh!’

Mereka berciuman mesra, hidung keduanya sempat beberapa terantuk. Bagi Filippo, sudah terlampau tua untuk membendung frenckiss seperti ini.

Sedotan dibalas sedotan, mereka berciuman dahsyat hingga menimbulkan bunyi ‘minuman yang disedot’.

Lidah dengan lidah bersilangan seraya berciuman itu, liur pak Filippo sudah meleleh kemana-mana.

‘Barang’ di bawah sudah makin keras saja.

Apalagi kala Lucia menarik tangan Pak Filippo guna menangkap tetek. Menginginkan lawan mainnya, meremas dibagian sana.

Jemari Pak Filippo menyisir Tetek kencang itu. Terasa bergetar saat menyentuh kulit halusnya.

Kadang, Pak Filippo mengganti jari-jari keriputnya dengan telapak tangan. Menyentuh, meratakan seluruh permukaan payudara Lucia.

Mulai nakal saat menggoyang dan meremasi Tetek Lucia. Si pemilik mulai sedikit mendesah diantara ciuman.

“Mmmhhh... A-arghhhh, A-aw! kyakh!”
Pak Filippo menerjang, gemas. Makin meremasnya dengan sisa tenaga tua yang ada.

Mengucal Tetek Lucy. Menekan, menarik-narik bagian itil juga, sesekali dia remas, pelintir bagian puncak gunung itu.

“Arghhh... O-oughhh~” Lucia mendesah nikmat.

‘Grrrrtkkk... Ngik! Ngik!’
(derit ranjang, mulai ada goncangan diatas)

Filippo peluk Lucia, ia lagi badan tua yang sudah kurus kering, kepada Lucia.

Semua berlalu begitu saja..

Tangan Pak Filippo merayap lebih dalam. Menyelinap sebelum meremas bokong Lucia dulu.

“Akh! Aw! Hahaha,” Lucia sempat menghentikan ciuman, tersenyum sedemikian rupa.

Tatapan sendu Lucia masih terlihat jelas.

“Sekilas menderita kegundahan dan rasa bersalah. Aku tiba-tiba mengingat Gio karena sering sepeti ini setiap kami bangun pagi. Yah, nurani ku tetap kuat sampai sekarang. Pun di hantam badai kemalangan selama bertahun-tahun.” - Lucia

“Boleh?” Lucia menghentikan sejenak, untuk membuat ini semua lebih cepat.

Filippo tersenyum menatap wajah cantik perempuan itu, ya dia tak lagi canggung.

“Yah~ Hahaha” Lucia menangkap kekecewaan Filippo karena tengah asyik memainkan bagian atasan. “Maaf~”

Maka Lucia kembali melompat dalam pelukan si tua. Seolah, mengangkang...

Filippo julurkan lagi bibir untuk menciumnya. Dari kening turun ke bawah.

Ia teringat titik sensitif sang istri dahulu. Ada tepat di balik telinga.

Filippo mencucup telinga Lucy, dia hisap sesekali. Ada saat momen dimana lidah pak Filippo disisipkan ke lubang telinga Lucy.

“A-akhhh! Emmphhfff... Ssshhh~”

Desahan Lucia manja, saat lidah pak Filippo mengobok daun telinga.

Lucia tak lagi diam, membuka pengait korset Pak Filippo. Untuk lebih leluasa ‘menguasai’.

Perlahan korsetnya terlepas, sementara pak Filippo masih sibuk merangsang daya dobrak Lucia yang mulai bergerak-gerak manja, sambil tangannya berpacu merajahi perut hingga dada kerempeng pak Filippo.

Jemari lentik Lucia bermain, berbalas menjelajahi Pak Filippo dengan tangannya yang halus itu menjepit, menikung Pak Filippo. Lumayan pegal, tapi ya nikmat sekali.

Kali ini Lucia turun untuk menyibak semua yang berantakan di ranjang.

‘Drrkkk... Ngikkk!’
(Lucia membuat Pak Filippo merebah tidur)

Lucia giliran merangsang puting tua Pak Filippo, dengan posisi menindihnya diatas. Menjilat sambil menyedotnya. Tentu, si tua ini mendesah kenikmatan.

“Arrghhh~ Huhhh...”

“Bagaimana?” tanya Lucia dengan tersenyum bersandar dagu.

Pak Filippo cuma membalas dengan kekehan.

Lucia juga menarik tangan Pak Filip untuk merangkul punggung Lucy. Mengelusi punggung hingga bagian bokong Lucia.

‘Degh’

Lucia harus bertindak, maka dia raih kancing celana kain Pak Filippo, ditarik lepas, sementara dengan jemari lentiknya mengeluarkan ‘benda lunak’ yang sudah menegang.

“Ini luar biasa!” pujian Lucia pada barang milik Pak Filippo.

Pak Filippo makin ‘baper’ mendengar pujian semacam ini. Sesuatu yang tak pernah ia dapat dari sang istri. Pujian dan apresiasi.

Lucy dengan sentuhan tangan yang awalnya cuma mengelus benda itu, mulai lebih agresif saat membelai dengan kocokan perlahan. Menyangga kedua bagian pelirnya. Jemari tangan yang halus, begitu luar biasa pikir Pak Filippo.

Clkk... Clkk.. Clkk... Clkkk

“Arghhhh! Arghhh! A-akhhOughh”

Kocok. Elus. Kocok. Elus.

Lucy memainkan ini semua dengan lihai. Seperti, sudah hafal mana yang harus dijangkau, dan mana yang harus ditepikan. Mengurut dari bagian tengah naik ke pangkal batang Pak Filippo.


Makin sangar, lebih mendekatinya, sembari menopang dagu saat menindih Pak Filippo dia meraih benda itu di tangan, meremas perlahan, dengan elusan naik-turun sampai pangkalnya.

Hingga, Lucy buka bibirnya...

Benda lunak itu dijilati pada mula, ‘srrrngg’ Pak Filippo langsung mendesir nikmat.

‘Mmphh... Slrppp...’

Ada sensasi basuhan hangat lidah ketika melumat benda lunak Pak Filippo.

“O-oouuh!” Sampai terpekik ngilu, sempat meringis.


Geli, nikmat, dahsyat. Berlanjut turun ke bagian pelir. Agak susah, Lucy harus melepas celana panjang kain Pak Filippo turun terlebih dahulu.

Clkk... Clkk.. Clkk... Clkkk

Kocok. Pijit. Kocok. Urut

Tak lagi sempat berfikir, kedua bagian pelir dilumat Lucy , menghisap dan menyedotnya dahsyat.

“Mmpphh...”

Menggelitik bagian pelir, hingga basah, bijinya terkadang ditarik-tarik. Ada kenikmatan, yang akhirnya kembali pada pak Filippo saat ini.

Clkk... Clkk.. Clkk... Clkkk

Tangannya yang satu lagi terus bergerak naik turun. Mengocok, ‘tuas’ Filippo. Belum lagi sedotan dahsyat pada bagian pelir, bulu kemaluan Pak Filippo yang beruban, sesekali rontok karena mengganggu handjob tangan Lucy.

“Mmpphh... Slrrppp.. Mmphh... Slrpp~

Tetap tak seberapa, dibanding rasanya...

“Akh! Akhhhh! Emhhh! Arghh!”

Pak Filippo kesetanan, makin keras mendesah begitu mulut Lucy ikut bermain, membalur penis tua itu dengan lidah.

“Mmpphh... Mmphh... Uhuk! Hoekh! Mmmphh

Kadang Lucy sampai terbatuk dan mual sendiri, saking kuat menyedot sampai semua terasa terhisap masuk...

“A-Agh! Ini luar biasa! Nn. Claudia... A-arghhh!” Pak Filippo kadang sampai mengelinjang kacau.

Clkk... Clkk.. Clkk... Clkkk

‘Bagian kepala’ Lucy sedot kadang disertai jilatan, sementara tangannya tak henti mengocok batang kemaluan Pak Filippo.

Tentu di usia yang sudah tidak lagi muda, Pak Filippo tidak akan tahan lebih lama lagi...

‘Slrppp… slppp… Emmhp ! slrppp…’

Ujung benda lunak pak Filippo, memanas. Seolah, meletup-letup saat di kemut-kemut. Hangat.

Setelah menyimpan sedikit tenaga, Pak Filippo coba menggoyangkan pinggulnya. Bergerak berlawanan hingga sodokan penis nya masuk dalam-dalam sampai membuat Lucia makin mual.

Kali ini dengan seluruh tenaga yang ada pada orang tua ini, juga di bawah sana yang semakin berdenyut-denyut...

Kelabakan, juga tidak siap tentu saja...

‘O-Oughhhh... Arghhhhh!’ Filippo terlalu berani agresif, sehingga gagal menahannya lebih lama.

Crttt... Crottt... Crottt... Crttt!

3-4 kali. Sialnya, itu meledak dan seluruh ‘isinya’ muncrat di dalam mulut Lucia.

“Ooghh!! Eghhh! Heeekh! Huekh!”

***

Setelah beberapa saat...

(🇮🇹)

“Nn. Claudia bisa berangkat bersama rombongan kami beberapa jam lagi. Juga jika tidak sibuk, setelah pesta kembali lah kesini,” kata Pak Filippo saat tengah membilas diri.

‘Grsshhhh...’
(Bunyi ledeng air wastafel mengalir)

Lucia sendiri masih sibuk di bak wastafel. Tenggorokannya makin kering saat coba mengeluarkan cairan menjijikan ini.

“Jika diperbolehkan, aku akan datang bersama Pak Guitano, tentu jika diizinkan ikut.” jawab Lucy masih berusaha meludah dengan benar.

“Cuih! Cuih! Uhuk!’

“Ya ajak saja dia.” jawab Pak Filippo. “—Oh ya, anting di meja kerja itu kuberikan untukmu. Aku harap kau sudi menggunakannya untuk pesta malam nanti.” tambahnya.

‘Uhuk! Cuih ! Hoekh!’

‘Grsshhhh... Ngikkk’
(Ledeng air wastafel dimatikan)

Belum sampai selesai. Pun masih merasa ada yang tertinggal dan membuat nyeri tenggorokan, Lucia beralih menuju benda yang dimaksud Pak Filippo. Wow ! Anting berlian mewah berkilauan entah dari mana dan berapa harganya.

“Luar biasa, ini benar-benar cantik... Terima kasih banyak, Pak.” Lucia memuji pemberian Pak Filippo.

Lucia coba mengenakan anting itu, sembari berkaca di depan cermin. Saat bersamaan, senyum Lucia mengembang.

Satu langkah rencana sudah berhasil hari ini. Dimana skenario utama, akan terjadi di pertemuan malam ini.

[ XLIII ]

- 31 Maret 1999 (flashback)
- Bandara Fiumicino Roma, Italia.



(Bandara Fiumicino Roma, Italia)

Tepat seminggu sebelumnya. Pukul (UTC+1) 21.00 malam waktu setempat.

Barry baru saja mendarat di Bandara Roma. Surat dari pengacara Luca Cordero yang ia terima di Frankfurt, membuatnya mau tak mau harus terbang ke Roma malam ini.

Diluar rencana dan tidak Barry perhitungkan sebelumnya.

Dia tengah terlibat debat argumen dengan seorang perempuan melalui panggilan telepon.

(Percakapan telepon 🇮🇹)

“Lucia kau sudah gila ?! Kau sudah terlalu jauh, ini berbahaya! Kau tidak tahu siapa yang akan kau hadapi ?!”

“Tn. Barry, maaf aku tidak peduli dengan hubungan, urusan, bahkan wasiat mu dengan saudaraku. Jika menelpon cuma untuk berkhotbah, aku tutup sekarang juga,” balas Lucia, ketus tapi nada bicara masih wajar.

Ternyata perempuan yang dimaksud adalah Lucia. Entah apa masalahnya, yang pasti kali ini Barry harus bergerak mendahului.

“Lucia ! Lucia, tunggu... Okay! Okay! Aku akan datang, tapi setidaknya kita bicarakan dulu rencananya.”

“Hanya karena membeli mahal hasil anggurku, bukan berarti kini kau bisa mengatur. Aku tidak butuh bantuanmu. Aku bisa bergerak lebih dahulu,”

“Lucia ! Ini bukan soal siapa yang bergerak lebih dulu, ini urusan nyawa! Kita tidak sedang menghadapi kelompok mafia sicilia yang beberapa orang bisa ku urus. Bukan, Orang-orang ini lebih mengerikan dan berbahaya dari mereka (mafia)” jelas Barry.

“Yah, aku tidak melarang mu pulang ke Tennessee ! Lindungi saja istri dan anakmu ! Biar aku yang bekerja. Mau kelompok keluarga, perompak, pencopet aku tidak peduli!” balas Lucia, habis kesabaran.

“Lucia ! Dengarkan aku, jangan gegabah. Baiklah, berikan saja lokasi dan tanggal pertemuan. Kita berjumpa di Roma,”

“Aku bilang, aku tidak butuh bantuanmu ! Oh iya, sekali lagi, terima kasih sudah membeli anggurku. Akan ku urus kembalian anda setelah pulang ke Salerno.” tutupnya.

Seraya mengucapkan terima kasih karena kemurahan hati Barry yang telah memborong semua hasil panen anggur milik Lucia.

“Lucia tunggu—”

‘Cklek! Tuttt... Tutttt...’

Percakapan telepon berakhir. Barry hanya bisa mengutuk dan ngamuk sejadi-jadinya.

“Keparat !”

[ XLIV ]

- 6 April 1999
- Pavilion Romenza Roma, Italia.



(Paviliun Romenza, Roma)
Mobil Alfa Romeo tadi berhenti di area parkir Paviliun Romenza pada pukul (UTC+1) 22.00 malam waktu setempat. Pesta sudah berlangsung.

‘Ngrrrrrnggg...
Tutt! Tutt!’

(Mesin mobil terparkir, dalam keadaan terkunci)

‘Jglek!’ pasangan itu keluar dari mobil. Mengenakan busana pesta yang tidak begitu formal seperti tamu kebanyakan.

(🇬🇧)

“Sudah kubilang, ide berpasangan seperti ini buruk. Look ! orang-orang akan mengira kau ini pak tua sok asyik yang coba mengawasi putrinya pergi ke pesta,” omel Qristal kepada Barry.

“Terima kasih. Itulah definisi penyamaran yang benar,” timpal Barry

Barry dan Q datang dengan pakaian selayaknya bapak dan putri perempuan. Untung belum melewatkan acara puncak.

“Oh ya? ngomong-ngomong... bisa kau jelaskan lebih detail sosok temanmu ini?” tanya Q.

“Bukankah sudah kuminta membaca detail berkas tadi. Bagaimana bisa seorang agen MI6, tidak cermat melihat detail?!” kesal Barry.

Keduanya berada di tengah taman, Barry sendiri sudah muak berbicara dengan Q. Lebih memilih mencari anggur dan membaur dengan orang di sekitar.

“Aku sedang tidak bertugas, so what ? Dan, apa kau ini waras, bagaimana bisa aku membaca seluruh detail sandi dengan tenggat kurang dari setengah jam?”

“Amatir tetep amatir,” ejek Barry sembari meneguk anggur. “—Sudahlah, kita bertemu lagi di belakang bangunan ini. Amati tiap pergerakan penjaga dan semua staf pelayan. Aku menjemputmu maksimal 30 menit dengan ‘kepakan sayap’ pertama. Mengerti?!”

“Yes sir!” seru Qristal.

‘Tutt...’ setelah mengaktifkan sinyal earphone untuk berkomunikasi, keduanya berpencar.

Sementara Barry masuk ke dalam Hall, Qristal naik ke sisi balkon untuk mencapai tempat tertinggi guna mengamati target.

***

Pesta di Paviliun Romenza ini ‘cuman’ acara tiap malam minggu. Tapi, entah kenapa malam ini banyak penjagaan di tiap sudut area.

Sepertinya, ada penampilan khusus atau tamu penting yang akan datang malam ini.

Keriuhan sudah terdengar semenjak penampilan musisi cantik Laura Pausini yang sekaligus membuka acara ini.

‘Jglek!’ dari parkiran mobil, Lucia turun bersama Pak Guitano. Mereka hadir bersama rombongan Filippo Castana.

(🇮🇹)

“Bu Lucia ini memang nggak ada yang ngalahin kalo soal urusan bersolek,” puji Guitano terhadap penampilan Lucia saat mereka turun dari mobil.

“Grazie (Terima kasih), tapi jangan merepotkan ku yah pak~” jawab Lucia sarkas atas pujian Pak Guitano.

Lucia mengenakan gaun hitam andalan, yang sengaja ia simpan khusus untuk acara malam ini. Juga, syal yang biasa dia kenakan ke acara formal.

Rambut panjang Lucia dibuat tergerai. Anting mahal pemberian Pak Filippo barusan juga ia kenakan.

‘Ctik... ctik...’

“Fyuhhh~”
Lucia santai menghisap cerutu, matanya mengamati satu-persatu orang yang hadir di pesta ini.


Ini adalah pesta reuni, sekaligus peringatan setahun berdirinya partai SDI (Demokratik Sosialis Italia).

Partai SDI (1998-2007) adalah suksesor sekaligus gabungan beberapa partai, termasuk partai Sosialis yang resmi ‘merger’ tahun lalu.

Beberapa pejabat, kader, dan anggota parlemen yang pernah masuk di kepengurusan partai-partai yang tergabung, turut hadir.

Tamu rombongan Filippo Castana langsung dipersilahkan masuk ke Hall utama. Sudah terdapat meja lengkap dengan makanan yang disajikan.

Lucia duduk bersama Guitano. Sementara Pak Filippo ada bersama 5 orang lelaki yang berseberangan meja.

(🇮🇹)

“Kenal lelaki yang bersama Pak Filippo disana?” tanya Lucia kepada Guitano.

Meja dengan tulisan reservasi pemesanan bernama ‘Nicola Calipari’. Sosok yang dimaksud Lucia terlihat berbicara dengan Filippo. Laki-laki, mungkin pertengahan 50 / 60 tahun. Sepantaran Ayah Lucia. Berperawakan gempal, mengenakan setelan jas hitam rapi.

“Yang disana itu? Entahlah, memang kenapa?” tanya Pak Guitano tapi dicuekin Lucia.


Ada sekitar 10 menitan hingga yang bersangkutan sadar tengah diamati seorang di seberang meja. Keduanya (Lucia & Nicola Calipari) bertemu pandang dalam sebuah momen.

‘Degh’ Ketemu juga.

Pak Filippo terlihat melambaikan tangan kepada Lucy. Memanggilnya, untuk diperkenalkan dengan Nicola Calipari yang ada di sebelahnya. Lucia segera menemuinya .

“Oh aku lupa, Nico... sepertinya kalian pernah bertemu sebelumnya. Kenalkan Nn. Claudia...” Pak Filippo juga ikut andil memperkenalkan Lucia kepada Nicola.


Gene Hackman from 'Under Suspicion' (2000)

“Nn. Claudia ? Oh benarkah? Aku sudah pangling.” jawab lelaki itu langsung menyalami Lucia dengan nama yang sudah dipalsukan.

“Maaf membuatmu terkejut Pak. Kalau kuingat, kita pernah duduk satu meja sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu di Milan.” jawab Lucia saat bersalaman.

“Benarkah? Acara apa itu?”

“Sepertinya... acara makan malam dengan para anggota dewan juga pengurus partai setempat.” kenang Lucia.

“Sampai saat ini, beliau masih belum mengingat siapa aku sebenarnya. Oh, pembohong sialan ini!” - Lucia.

“Lho, benarkah? Kalo boleh saya tahu, memang dari mana anda berasal ?” tanya Pak Nicola, antusias.

“Aku?”

“—Ya... juga mantan suami mu, tentu saja. Hehehe”

Ada semacam rasa ketertarikan. Mengingat, Pak Filippo yang memberitahukan kepadanya kalau Nn. Claudia (Lucia) ini barusan bercerai dengan sang suami.

“Keluargaku berasal dari Roma. Tapi saat itu, Ayah dan suamiku tengah bertugas di provinsi Emilia Romagna. Di parlemen kota Bologna.” jawab Lucia

‘Degh’

Mendadak ekspresi Nicola Calipari berubah. Ada hal yang mengganggunya saat mendengar ‘Bologna juga asal Ayah dan Suami, Roma’.

“Oh, asal Roma rupanya.” reaksinya jadi sedikit canggung. Beberapa kali terlihat gusar sampai membuang muka.

Dan tidak disangka-sangka, di belakang tempat mereka berdiri, Barry tiba-tiba muncul, menatap tajam Nicola, seolah paham dengan sosok pria yang bersama Lucia.

“Tak kuduga. Latino ini lebih nekat dari sebelumnya. Aku sendiri kaget saat tiba-tiba Barry muncul bak setan dihadapanku,” - Lucy


Lucia dan Barry bertemu mata. Memberi Barry semacam isyarat, melirik sekilas untuk berikutnya mengajak Nicola kembali duduk ke meja perjamuan.

15 menit kemudian...

Untuk menghindari kecurigaan, Lucia meminta Barry bertemu di koridor lain, disana Lucia menjelaskan secara rinci ‘rencana’ yang sudah diatur.

“Nicola Calipari (54). Dua bersaudara. Dia yang men-sabotase tiket penerbangan Miguel sebelum hari penangkapan. Juga mengatur keberangkatan Gio ke kongres,” ungkap Lucia, berdiri membelakangi Barry di tengah pesta.

“Siapa lagi?” Barry melirik kearah Nicola beberapa saat.

“Filippo Castana (72) ketua deputi partai periode saat ayahku menjabat. Dia meredam berita pers saat penangkapan Ayah, Miguel dan Gio. Juga menyembunyikan surat penangkapan dari keluarga kami,” ungkap Lucia, membuat lirikan Barry berpindah pada sosok kakek tua yang bersama Nicola.

“Mereka saja?” tanya Barry.

“—lelaki gemuk berambut seperti sikat gigi yang barusan duduk bersamaku, Pak Guitano. ‘Principale’ di sekolah Renato. Bukan ancaman serius, hanya bermitra dengan keluarga Camorra dan yang membawaku kesini. Tapi, juga perlu diberi ‘sedikit pelajaran’,” imbuh Lucia.

“Hmm... Baiklah.” Barry kemudian melaporkan 3 orang target kepada Q di lantai atas, mereka berkomunikasi via earphone.

“Zzztt... Lakukan dengan efektif. ‘Beruang besar dengan sarang yang besar. Zzzttt... Tidak ada madu yang tercecer’. 3.2.1... Terbang!” Barry memberikan ‘sandi tugas’ juga komando ‘bergerak’ kepada Q

“—Lucia, ada mobil Romeo merah yang akan menjemputmu di depan. 10 menit lagi, kuharap kau segera menemui rekanku disana. Kita bertemu 30 menit lagi, di tempat lain.” tambah Barry, menginstruksikan.

“Jadi ini pekerjaan sampingan mu itu, Barry?” Lucia ketus.


“Terkadang. Dan... jangan berburuk sangka dulu. Kau akan segera mengetahuinya.” jawaban menohok dari Barry, tanpa menoleh.

Meninggalkan Lucia dan beralih menuju toilet laki-laki, membuntuti Nicola bersama kedua rekan mereka.

Di dalam toilet.

‘Ngikk... Jgresshhh’
(Suara urinoir disiram)

Nicola Calipari masih berada di dalam bilik urinoir saat samar-samar terdengar suara gaduh diluar.

“Fyuhhh~ siapa cewek itu tadi. Roma, Bologna, juga pernah bertemu di Milan... rasa-rasanya ada kesamaan dengan orang yang waktu itu?” gerutu Nicola.

Aturan nomor 1 : Jangan meluapkan keluh kesah dengan lisan di toilet, atau...

‘Tok! Tok!’

Terdengar ketukan dari luar bilik urinoir. Nicola Calipari segera membuka...

‘Ngikkk...’
(Nicola membuka pintu bilik)

“Si ? (Ya ?)” tanya Nicola, mengira kalau lelaki ini sudah tidak tahan.

“Per tutto quello che è successo (atas semua yang terjadi), anda memang perlu diberi pelajaran.” Lelaki latino yang barusan, tiba-tiba berkata demikian.

“Mi Scusi (Maaf), apa aku mengenalmu?” tanya Nicola, bingung juga karena tiba-tiba ada orang asing berkata seperti itu.

Berpikir cuman orang mabuk, Nicola melengos untuk melewatinya namun, “Woy?!”

Kaget saat dua rekannya, sudah tergelatak kaku dengan wajah berantakan.

‘BUKH! BUKK! BRUK!’

3 hantaman berturut-turut mengenai tengkuk, rahang dan perut Nicola yang langsung membuatnya mual, ambruk tak sadarkan diri.

“Duh, sialan. Bagaimana aku akan membopong babi satu ini?” keluh Barry, tidak terpikirkan sebelumnya.

***

Berpindah ke lantai 2 Hall Paviliun Romenza...

Q lagi-lagi mengenakan dress yang membuatnya repot untuk berlarian turun tangga dari lantai 4 menuju ke lantai 2.

Setelah mendapat informasi target dari Barry, Q lantas turun untuk menguntit seorang lelaki tua renta yang dengan kursi roda yang hendak masuk ke dalam lift menuju lantai dasar.


‘Tingg!’ bunyi pintu lift terbuka.

“Hey Sir, wait !” Q berteriak sebelum pintu lift tertutup sepenuhnya. Si kakek dengan kursi roda memerintahkan seorang pengawal menahan lift untuk Q.

“Nama kakek ini kalau tidak salah, Filippo Castana. Masalahnya, ada dua pria, sepertinya pengawal pribadi yang menjaga. Pengawal pertama dengan postur tinggi, Pengawal yang kedua terlihat tidak begitu berbahaya,” - Qristal

“Thanks sir~” ucap Q kepada si kakek dalam bahasa Inggris.

“Sei la benvenuta, signorina...
(sebuah keharusan, Nona...)”
yang menjawab adalah Filippo sendiri.

“Oh well, I'm not fluent in Italian, but... (Aku belum fasih bahasa Italia, tapi...) grazie-grazie!” balas Q, hanya bisa membalasnya dengan gesture tangan.

Ala kadarnya. Hanya hafal beberapa kosa kata macam ‘Grazie’, juga hanya sekedar basa-basi.

“Hahaha. I know - I know. You’re welcome... miss.” balas Filippo dengan bahasa Inggris ala kadarnya.

“Hahaha... That’s Nice, sir.” puji Qristal, melirik kedua pengawal pak tua yang sama sekali tidak bereaksi, kelewat cuek.

Tidak peduli. Dasar sok asyik, pikir mereka berdua. Suasana jadi mulai canggung dan terkesan ‘kurang bersahabat’ bagi Q.

Hanya satu ide yang muncul saat itu. Q lantas berpikir keras untuk menarik perhatian keduanya.

...

..

.

“Aww !” Qristal tiba-tiba meringis sakit mengelus kakinya, ada ruam biru di areal tumit yang membuatnya tidak lagi kuat berjalan dengan heels.

Pak Filippo juga seorang pengawal langsung melinguk. Merasa Iba. Tapi tidak dengan salah satu rekannya ‘si pengawal pertama’ yang kemudian...

‘WUSSSH... PROK!’

Gerakan ayunan tangan Q yang lihai, melayangkan sepatu heels miliknya tepat ke muka si pengawal pertama.

“A-arghhhh!”

Berteriak kesakitan. Mata nya terkena bagian hak Heels milik Qristal. Diikuti suara teriakan histeris Pak Filippo.

“Sconfiggilo! ci ucciderà tutti! (Hajar dia! Dia akan membunuh kita semua !)” perintah si kakek Filippo kepada satu pengawal lain.

Dengan cekatan, Q lantas mengeluarkan pisau dari balik celah pinggang dress merah yang ia kenakan.

‘NGINGGGG!’

Bagai pedang yang di hunuskan. Mata pisau itu sudah tau mesti mendarat dimana.

‘JLEBBB!’

Pisau milik Qristal menancap, menembus telapak tangan si pengawal kedua saat coba merebutnya dari Q.

“Arghhhh! Hoakhhh” teriak histeris si pengawal kedua saat pisau tadi menusuk tembus telapak tangan kanan-kiri nya.

Ceceran darah menambah teriakan histeris pak Filippo.

“Cosa vuoi?! (Apa mau mu, hah?!)”

Pengawal pertama berhasil menjambak kepala Q. Posturnya yang jangkung, bikin Qristal kerepotan untuk mencapai kepalanya.

“A-arghhh!” Q sempat berteriak kesakitan. Tapi tidak lama, sebuah gerakan akrobatik dia peragakan.

“Arghhh! Hhh ! Hih!”

Badan Lucia lentur seperti karet membentuk huruf ‘Y’ dengan kedua kaki jenjangnya ‘memancal’ keatas, bertumpu pada kekuatan tangan dibawah.

Menimpuk muka si pengawal pertama yang jelas kaget mendapat serangan terlatih ini.

‘BUK! BRUKK!’

Pengawal pertama sampai terpental membentur pintu lift.

‘Tringg!’ pintu lift terbuka.

Qristal langsung meluncur, mendorong kursi roda pak Filippo yang masih syok dan bingung.

Bahkan mulutnya terasa kaku, tidak mampu berteriak meminta pertolongan, padahal ramai orang saat itu.

Gila ! Tidak sampai 5 menit, terhitung lift turun 1 lantai saja... Dua orang pengawalnya dilumpuhkan seorang perempuan. Siapa dia ini?

“Sorry sir, karena dua pengawalmu lalai dan malah ketiduran saat bertugas. Ada ada baiknya, aku saja yang memberimu tumpangan,” ucap Q sembari membetulkan dress miliknya yang berantakan.

Lelaki tua ini hanya bisa pasrah saat diangkut ke dalam mobil yang sudah menunggu mereka di entrance lobby tamu lantai dasar.

***
Di tempat lain, saat tengah berdansa bebek di tengah pesta. Pak Guitano tiba-tiba mendapat pesan SMS dari Lucia...

Bu Lucia : ‘Aku hanya sempat untuk malam ini. Secepatnya, temui aku di parkiran mobil bagian wing barat. Mobil Romeo merah. Aku sudah sangat mabuk, Ayo~’

Bunyi pesan teks SMS yang masuk ke nomor pak Guitano ini, membuat otak nya langsung dipenuhi pikiran-pikiran sesat.

Tanpa berpikir dua kali, Pak Guitano langsung meluncur ke parkiran. Dan mencari mobil Alfa Romeo. Deskripsi seperti pada pesan Lucia barusan.

Dari luar, Guitano sudah bisa melihat Lucia duduk di balik kemudi. Tanpa pikir panjang dia datang dan langsung mengetuk kaca pintu mobilnya...

‘Tok ! Tok !’

‘Srrrkk...’
Lucia menurunkan kaca. Mesin mobil sudah menyala. Siap berangkat.

“S-sei sicuro? (A-apa Bu Lucia yakin?)” tanya Pak Guitano dengan muka yang sudah merah padam.

“Beh questo è quello allora. veloce! (Ya sudah. Cepat, masuklah!)” balas Lucia

“Hehehe. Oke sayangkuhh~”jawabnya. Girang sekali saat berpindah untuk meraih handle pintu penumpang kursi di samping Lucia.

Hingga...

‘BUKK!’

Sekali pentungan satpam, memukul tepat pada bagian jidat dan kepala botak Guitano.

“Ouw !” Lucia sampai meringis saat menyaksikan langsung pukulan benda tumpul itu mengenainya.

‘Brukk!’ Guitano ambruk ke tanah, tak sadarkan diri. Kemudian, Angelo muncul dan tersenyum kepada Lucia.

“Thanks, Angelo!” ucap Lucia kepada Angelo.

“It’s Okay. You’re welcome Ma’am~”

Angelo, langsung mengikat dan membopong Pak Guitano untuk dimasukan ke dalam bagasi mobil. Beruntung penjagaan tidak terlalu ketat di bagian barat parkiran mobil.

‘Fyuhhh~’ Lucia menghisap dan mengepulkan asap cerutu.

Belum pernah dia merasa se-‘superior’ dan angkuh seperti ini. Lucia, benar-benar menikmatinya.

Sesekali tersenyum sinis. Karena karma, akan menghampiri para kafir malam ini juga !

“Memang benar, soal Furbizia. Apapun boleh kita lakukan demi membalikkan keadaan, dan meraih kemenangan. Lalu, inilah caraku membalikkan keadaan.” - Lucia

[ XLV ]
 
Terakhir diubah:
:baris:

Waaah, terima kasih sudah bersedia mampir buat para suhu dan semproters sekalian !!

Season 1 sudah berjalan lebih dari setengah bagian. Apakah ada yang perlu diperbaiki terkait: Jalan cerita, format penulisan, atau mungkin usul ide lainnya ?

Silahkan masukan, kritik dan saran. Terima kasih sudah berbelanja~

Wassalam,
Sanji_Blackeg



“Hey, Do you know about 'All Blue' ? I'll find the All Blue!” - Sanji
 
Pada dasarnya ceritanya bagus....cuma SSnya yg perlu dibuat lebih hot n vulgar...dgn bahasa yg luwes...bro @Sanji_blackleg ...
Yaps, benar sekali.

‘SS’ Kelemahan yang memang coba saya tutupi dengan jalan cerita seperti ini hu. Tapi nanti akan coba di eksplor terus. Thanks masukannya :ampun:
Makasih updatenya om
Ramaikan terus hu :Peace:
Agen rahasia wanita, ada berapa banyak rahasia yg dimiliki,
Rahasia... nambah tinggi 10 cm dalam seminggu hu :Peace:
 
Sebelumnya...


(Kanal sungai Tiber, kota Roma)
6 April 1999 | Pukul (UTC+1) 00.15 dini hari

Kawasan keramaian, jembatan Ponte Palatino, 3 km dari paviliun Romenza. Dua mobil sedan tampak meliuk-liuk di antara kemacetan malam lalu lintas jalan kota Roma.

Keduanya beriringan, mobil sedan Romeo mengawal. Diikuti sedan hitam lainnya.

‘Grrrnngggg !!’
(Iring-iringan 2 mobil melaju)
Kedua mobil tadi meluncur masuk, tepat di kolong jembatan. Hanya ada lampu remang yang mengawasi tempat itu.

‘Jglek !’, Barry dibantu Angelo dan Q menurunkan paksa Filippo dan Nicola. Keduanya masih dalam keadaan terikat dengan mulut dibungkam lakban.

(🇮🇹)

“Cos’è questo?! (Apa-apaa ini?!) Teroris ! Polisi akan menangkap kalian!” bentak Filippo, bersamaan dengan Nicola yang sudah babak belur begitu ditendang keluar dari mobil.

“Teroris?” Lucia muncul. Membawa beberapa dokumen di tangan yang siap diperlihatkan kepada Filippo maupun Nicola. “Anting ini pemberianmu. Itu artinya, polisi akan menyelidiki karena Pak Filippo berteman dengan teroris sepertiku,” tambah Lucia.

“Nn. Claudia?! Apa-apaan ini?!” pekik Filippo kaget.

“Andrà veloce (Ini akan berjalan cepat). Apa anda, mengenal pria bernama Marco juga Miguel Viagnelli di keperungusan?” tanya Lucy.

“Chi ?! (Marco siapa?!)”

Lucy melirik kepada Angelo. Dibalas anggukan.

‘Srrrkkkk!’, Angelo langsung menarik gulungan kabel untuk diikatkan ke bemper mobil.

“Rispondi e basta, lo sai o no ? (Jawab saja, kenal Marco Viagnelli, ya atau tidak?) atau mobil ini akan mengantar ke rumah dengan keadaan kepalamu yang hancur?” ancam Lucy.

“Non capisco (Aku tidak paham), Nn. Claudia, siapa kau ini?! T-tunggu... Hey! Hey! Argghhh!” teriak panik Filippo saat Angelo mengikat gulungan kabel tadi ke leher Pak Filippo.

“Kenal atau tidak ?!”

Grrrnngggg !!’
(Mesin mobil menyala, dengan posisi kepala Filippo diikat di bemper)

“Tidak! Tidak! Tunggu! Ough! Hey-Hey!”

“JAWAB !!”

‘Grrrnngggg !!’
“Ya-ya ! Aku ingat ! Rrargghhh! Marco temanku, dan Miguel putranya!!! Uhuk! Ohok!”

“Terima kasih,” balas Lucia. Segera memperlihatkan dokumen berisi foto dan nama-nama beberapa orang disana. “—mereka juga terlibat?”

‘Ctik! Ctik! Fyuhhh~’

Barry malah merokok santai. Tidak peduli dengan orang-orang dalam daftar yang Lucy perlihatkan ini.

Tangan kanannya sudah menggenggam pistol silencer. Siap menembak jika diperlukan.

“Tidak jelas, Hhh... Hhh... aku tidak bisa memastikannya. Siapa kau ini?!” tanya Filippo. Nafasnya makin berat. Tenggorokannya mulai nyeri karena ikatan kabel Angelo.

‘PSYU ! PSYU!’

“AARGHHHH !”

2 tembakan pistol silencer Barry, membuat Filippo berteriak kesakitan. Kedua paha Filippo berlubang ditembus peluru panas.

Barry tidak sedang bercanda.

“Heengghhh! Emmhphh!” Filippo meringis kesakitan. Wajahnya sudah merah, keringat berganti darah yang mengalir.

“Apa tugasmu? dan apa tugas ‘mereka bertiga’ ?” Lucia lanjut menanyai.

“Aku tidak tahu apapun tentang mereka bertiga! Hhh... Hhh... perintah kepadaku hanya untuk mencegahnya keluar negeri. Ohok! Ohok! Aku yang menyimpan surat penangkapan supaya Miguel dan Marco tidak kabur dari kasus.”

“Kasus? Kasus apa yang membuat mereka terlibat?” tanya Lucy, makin penasaran.

“Entahlah! Aku... Argh! Hhh... Hhh... hanya diperintah untuk membuatnya tetap di Italia.” jawab Filippo.

“Dan kau tidak memastikan apapun? termasuk tuduhan kasus yang belum terbukti mereka lakukan?” selidik Lucy.

Pernyataan Filippo memang tidak masuk akal.

“Aku tidak tahu! Hhh... Hhh... yang pasti... sejak bom Bologna meledak, mereka sudah diincar. Uhuk! Uhuk!” nafas pak Filippo mulai tersengal dan suaranya makin berat.

‘Degh!’ Barry langsung mengingat kejadian itu.

Saat tiba-tiba Miguel menelponnya untuk meminta ijin memusnahkan beberapa rekap surat dinas, berkas keanggotaan partai, visa dan pasport yang mereka simpan di rumah saat itu.

(🇮🇹)

“Chi li insegue? (Siapa yang mengincar mereka ?) Oposisi?” Barry kali ini ikut menanyai.

“Hhh... Ohok! Uhuk! Siapapun mereka yang memusuhi rezim!” jawab Filippo.

Barry langsung bangkit dan menuju ke mobil. Mengambil semacam lencana dari dashboard. Dan kembali, memperlihatkan kepada Filippo.

“Yang memberimu perintah, mereka mengenakan lencana seperti ini?” tanya Barry.

Sebuah kalung lencana dengan simbol CIA diperlihatkan kepada Filippo.

“Sei della CIA ?! (Kau seorang CIA?!)” Filippo bertanya, Lucia sendiri juga terkejut.

“Barry, apa maksudnya ini?!” tanya Lucy.

“Bukan itu poinnya,” balas Barry, memperjelas detail lencana tadi. “Simbol barcode merah, kau lihat mereka menggunakan simbol semacam ini?”

Ada simbol ‘barcode’ warna merah darah pada lencana CIA milik Barry.


Baru ‘ngeh’. Lucia dan Qristal langsung teringat dengan simbol serupa pada Centurion-card hitam yang Barry berikan kepada mereka berdua.

Filippo masih coba mengingat. Saat pertemuan khusus dengan beberapa petinggi partai, sehari pasca teror bom Bologna di tahun 1980.

“Hhhh... Hhh... Dua orang lelaki. Anggota CIA mendatangi * Tn. Bettino Craxi pada malam pasca teror bom meledak, pertemuan tertutup,” Filippo menjelaskan, mulai mengingat.

Bettino Craxi (65). Sekretaris Partai Sosialis Italia ‘PSI’ (1976-1993) juga menjadi PM Italia (1983-1987).​

Melanjutkan. “Ohok! Uhuk! ... Selanjutnya ada surat perintah penangkapan rahasia untuk... Hhh... Hhh... Marco Viagnelli dan putranya atas keterlibatan menyusun plot pengeboman.”

“Hhh... Hhh... semua petinggi di Roma mengetahuinya dan kompak untuk Hhh... Hhh... menutup rapat.” jelas Filippo coba menjelaskan yang diingatnya. “—juga belakangan, mereka memakai lencana barcode merah seperti itu bertuliskan ‘Ordinal’, dari Biro khusus...” tambah Filippo, namun belum selesai mengingatnya.

“Red Licence...” terang Barry.

Seperti sudah paham dan yakin dengan skenario yang dibuat khusus untuk menyingkirkan Miguel.

Lucy masih bingung. Coba mengaitkan dengan peristiwa bom Bologna - CIA - ‘Ordinal’, juga Biro yang Barry sebutkan bernama ‘Red Licence’ dengan simbol barcode merah ini.

Mereka semua tidak paham apapun, selain Barry.

“Barry apa-apaan ini?!” Lucia memicing kepada Barry.

Jika Lucy benar, bisa dipastikan bahwa Barry memiliki hubungan atau ‘pernah’ menjadi bagian dari sebuah plot ‘rencana’ khusus untuk menghabisi ayah dan saudaranya.

(🇬🇧)

Qristal langsung menginterupsi...

“M-Maaf, aku tidak lancar bahasa Italia. Seseorang mau jelasin, bapak ini ngomong apa?” tanya Q konyol, memecah ketegangan.




(Apartemen Daphine, kota Frankfurt)
2 April 1999 | Pukul (UTC+1) 00.15 dini hari

Flashback, kembali lagi kepada Daphine. Dia kadang mendengar kasak-kusuk seorang berbicara dengan bahasa Russky. Seperti halusinasi saja, nyata dan tidak nyata. Padahal juga tidak terlalu banyak minum hari ini.

‘Trkkk!’

Kali ini jelas, ada benda yang seperti sengaja dilemparkan ke pintu kamar Daph.

“Sejak kecil... aku dan kakakku, Antoine, sudah memutuskan untuk tidak akan pernah takut pada jenis hantu apapun!” - Daphine

(🇩🇪)

“Ya tunggu, Ich öffne dir die Tür ! (Kubuka pintu untukmu!)”

Daph kadung jengah juga heran. Kali ini mantap untuk melangkah keluar.

Kalaupun iseng, kenapa tidak ada keamanan di luar yang bersikeras menegur. Kenyamanan dan keamanan, ini sudah masuk kewenangan pengurus apartemen.

‘Klk! Ckrak!’, Daphine berjaga, mengokang senjata, menodong ke depan dengan posisi kuda-kuda.

‘Ngikkk—’, pintu dibuka perlahan.

Satu langkah. Dua langkah. Langkah ketiga. Daph langsung menerjang dengan bidikan pistol.

“Huh?!”

‘Klk! Crak!’, Daphine sembunyikan senjatanya lagi karena tidak ada siapapun di luar.

“Huffft~” Daphine beberapa kali menarik nafas panjang.

Hanya seorang janitor yang terlihat tengah bekerja di ujung koridor 15 meter dari tempat Daph berdiri.

Dari kamarnya, Daphine celingukan. Melongo. Tidak ada siapapun kok, kecuali si janitor yang masih bekerja dengan sapu dan ceruknya. Aneh...

Tapi, benar saja. Benda yang ternyata sebuah pena tergeletak di depan pintunya.

Pun jika penganggu iseng tadi masih berkeliaran, setidaknya ketahuan oleh jangkauan mata si janitor. Tapi dilihat dari situasi, petugas kebersihan tadi seperti biasa saja. Tidak memberitahu atau setidaknya ke-‘distract’ dengan kehadiran orang iseng ini.

Aneh...

Atau memang dia pelakunya?

“Ayolah Daph~ mungkin yang barusan cuma sebatas trauma ‘paranoid’ yang biasa muncul? Tapi ya, entahlah...” - Daphine

Daph memungut pena tadi. Pena berwarna chrome-gold dengan detail ukiran bunga semacamnya.

Mungkin milik si Janitor, Daphine bermaksud menemui untuk mengembalikannya, juga mau menanyakan jadwal petugas keamanan.

Tiba-tiba...

‘BRKKK!’

“Ugh—Empphh!”, lengah, saat tiba-tiba tenaga manusia menerjangnya. Wajah Daph sampai terantuk tembok.

Mengunci dan memiting keras mulai bagian lengan hingga pundak Daph. Mulut Daph juga dibekap sehingga tak mampu bersuara, apalagi berteriak minta tolong.

“EMMMPH! EMPHHH! EMMPPHH!”

Daph berusaha meronta dan berteriak meminta tolong kepada petugas Janitor di ujung koridor.

Tapi si petugas sepertinya tidak menyadarinya karena suara Daph tertahan...

Kemudian orang ini menyeret masuk Daph kembali ke dalam kamar. Tenaga piting orang ini tidak sembarangan. Ada teknik atau keahlian semacamnya...

‘Cklek !’, pintu langsung dikunci dari dalam, sementara Daphine diseret kasar sampai ke tepian ranjang.

“Emmph! Emmph! Emgfffh!”

Kalah tenaga, tapi Daphine masih coba melawan balik dengan rontaan atau tendangan kaki saat terlibat pergolakan. Daph terus berontak, namun tenaga orang ini masih lebih kuat.

“Emmph! Eemfghh! Hihhh!”

Ada kesempatan, Daphine langsung menggigit keras pergelangan tangan orang ini yang kebetulan sempat kendur akibat rontaan darinya.

“AAGHH!” teriak sosok itu, suara laki-laki. Daph sudah kepayahan, langsung dihempaskan. Dibanting kasar ke ranjang.

‘GBRK !’

‘Ngik ! Ngik !
Ngikkk ! Ngikkk !’
(Derit ranjang saat Daphine dihempaskan)

‘Klk! Ckrak !’

“Hau Ab !
(Enyah sana !)”, pekik Daphine. Ada kesempatan. Daph yang dihempaskan ke ranjang berbalik membidik moncong pistol ke arah sosok tadi.

‘Klik!’, belum sempat menghempaskan tembakan, saklar kamar tiba-tiba dinyalakan.

Daph akhirnya bertemu mata dengan mata. Profil orang ini seperti tidak asing. Huh, untung belum sempat menarik pelatuk.

(🇷🇺)

“Huft... tai bikin kaget aja kamu!” ketus Daphine, dengan bahasa Russky lancar.

“Wow-wow, HAHAHAHA,”

Mereka rupanya saling mengenal. Bahkan orang itu tertawa terbahak-bahak, puas mengerjai Daphine.

“Paд снова тебя видеть, дорогая~”

“Dalam bahasa Russky, yang artinya: Senang bisa berjumpa lagi denganmu, sayang~” - Daphine
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd