EPISODE 8 PART II :
BUSUR & PEDANG
1999's
(Rumah Daphine, kota Dresden)
6 April 1999 | Pukul (UTC+1) 09.30 malam
‘Tingg... Tingg... Tinggg’
‘Tingg... Tingg... Tinggg’
(Bunyi mesin oven)
Daphine dan Hanna baru saja beres urusan masak-memasak di dapur. Kali ini lebih seru, karena menyiapkan lebih banyak porsi makanan untuk teman-teman Max.
Malam ini, mungkin sampai 2 hari ke depan, teman-teman Max akan menginap di rumah.
‘Trkk ! Trngg ! Trkk !’
(Hanna meletakkan piring ke meja)
Mereka bertiga begitu antusias. Selain karena perantau, ada alasan lain yang membuat Max akhirnya menyerah dan mau mengajak mereka ke rumah kali ini.
Alasan pertama. Perkuliahan semester baru dimulai 2 hari lagi, itu pun hanya sebatas pendaftaran dan submit matkul. Tidak ada kewajiban berangkat, bukan?
Alasan kedua. Ide Max untuk mengadakan
‘thanksgiving’ yang sering ditagih karena sebatas wacana semenjak tahun lalu.
Alasan ketiga. Mereka jelas bosan hanya jadi penunggu asrama dorm. Sudah sering mati listrik, makanan cuma kentang, minuman juga cuma soda.
Walau bisa dibilang Max sendiri awalnya keberatan karena tingkah dan akhlak mereka yang kadang menjengkelkan, tapi tak apalah sekali-sekali.
Siapa lagi teman seru-seruan Max kalau bukan mereka ini ?
Keterangan alih bahasa :
: Percakapan Native bahasa Jerman
: Percakapan Native bahasa Inggris
: Percakapan Native bahasa Russky
: Percakapan Native bahasa Hindi
( )
“Dann ist es soweit. Max, ihr drei auch ! (Sudah saatnya makan. Max, kalian bertiga juga !) kita makan sama-sama di bawah !” panggil Daphine setelah semua beres.
‘Ngingggggg!
Trtttttt ! Trtttttt!’
(Bunyi mesin bor)
Sementara di lantai atas, Max bersama Phill dan Dominik terlibat pekerjaan memasang rak dan sepasang lampu hias yang barusan Daphine beli.
Sesekali melempar gurauan ke Daph dan Hanna di
kitchen bawah.
“Nun, meine schönen Köche~
(Siap, chef-chef cantikku~)”
Terdengar seorang menjawab demikian, diikuti suara cekikikan. Tidak lama berselang, suara gaduh langkah kaki terdengar menuruni tangga.
“Apa menu masakan kita malam ini ?” tanya Max, diikuti Phill juga Dom yang membantu Demon turun pelan-pelan.
“Kalkun...” jawab Hanna.
“Wow, jarang sekali kita makan Kalkun ramai-ramai seperti ini.” celoteh Phill.
“Cuci tangan kalian, lalu duduklah di kursi. Max yang akan memimpin doa kali ini~” kata Daphine, meletakkan satu persatu piring beserta sendok di atas meja makan.
“Siap~”
Setelah makan malam, mereka lanjut ke sesi mengobrol di meja makan. Dari cerita mereka, Daphine bisa mengenal satu-persatu latar belakang geng ‘76ROOM’ ini.
( )
“Sag es mir jetzt (sekarang ceritakan padaku), versi masing-masing, bagaimana first impression awal kalian berkenalan sampai kumpul jadi seruangan asrama ?” tanya Daphine, setelah meneguk minuman di gelas.
Selingan anggur
wine di meja, jadi pelengkap cerita pertemuan awal mereka. Untung mereka semua sudah cukup umur untuk mengkonsumsinya.
“Yang pertama adalah Phillip Greiml (19). Kalau dilihat-lihat penampilannya seperti seorang ‘junkies’. Ternyata benar, remaja ini memang datang jauh-jauh dari Marxloh—kota di ujung barat perbatasan Jerman (terkenal dengan kasus kriminal karena sudah jadi kawasan ‘slumdog’). Alasannya berkuliah ke Dresden adalah paksaan orang tua. Mereka harus melarikan Phill ke tempat lain karena terlibat kasus narkotika. Mendengar pengalaman dan ceritanya, aku harus lebih memperhatikan pergaulan Max mulai saat ini. Tapi Max meyakinkanku, kalau Phillip ini sudah benar-benar berubah dan meninggalkan dunia hitam itu.” - Daphine
Di antara mereka berempat, Phillip yang paling menonjol soal komedi. Senang melontarkan lelucon yang lumayan ‘gerr’. Yap, dia adalah badut dalam kelompok ini.
Phillip ini tingginya 170 cm, tapi posturnya agak bungkuk. Daphine amati pada beberapa kali, Phill ini sering menjilat bibir kadang mengelusi bagian resleting celana dari bawah meja makan.
Daphine malam ini mengenakan piyama dengan motif floral. Kadang posisi duduknya menyender rebah. Cuek saja pada bagian dada yang sengaja tidak dikancingkan malah melonggar, menampakkan belahan dadanya.
“Ouh, wow~”
Daph kemudian membenarkan posisi duduknya.
“Yang kedua adalah Dominik Janczke (19). Remaja kulit hitam, paling ‘irit bicara’ di antara mereka bertiga. Posturnya besar dan tinggi mencapai 183cm. Sebagian wajah Dom rusak pasca operasi karena mengalami kecelakaan saat masih kanak-kanak. Perawakan juga sifat pemurung inilah yang membuatnya sering mendapat perlakuan rasis dan bullying bahkan dijauhi anak-anak lain di kampung halaman. Dari Max juga, aku tahu cerita memilukan darinya. Ayah Dom yang seorang keturunan Jamaica. Pekerjaan ayahnya pun bisa dikatakan serabutan, mulai dari supir taksi, penjaga toko, atau menjadi satpam di rumah bordil. Selain pemabuk, keluar-masuk penjara, ayahnya juga sering memukuli Dom. Pernah juga 2x minggat dari rumah, bahkan sempat menelantarkan Dom bersama ibunya di usia 5 tahun. Mungkin, ini yang membuat Dom tumbuh jadi pribadi yang tertutup. Beruntung Max dan teman-teman hadir untuknya.” - Daphine
Dominik ini jago dalam berkelahi. Dia tergabung dalam klub tinju regional kampus. Tapi, menurut Max jika tidak terdesak, Dom lebih suka menghindari pertarungan karena takut terlibat masalah.
Alasannya ? mungkin ini terdengar klise dan terkesan melebar...
Jerman adalah salah satu negara dengan tingkat rasisme tertinggi di Eropa pada saat itu (atau mungkin sampai saat ini?). Tidak akan ada hukum ataupun otoritas yang benar-benar melindungi masyarakat kulit hitam seperti mereka.
Selama pembicaraan, Dom ini begitu tertarik dengan topik seputar dunia perfilman. Yap, cita-citanya adalah menjadi seorang aktor film action.
Spesifik sekali bukan ?
Aktor favoritnya adalah
Silverstone Stallon sang lakon dalam film Rambo, sementara aktris pujaannya adalah
Drew Barrymore. Tahun depan salah satu film ikonik Drew, ‘Charlie Angels’ akan di rilis. Dan Dominik tentu tidak sabar untuk menyaksikan sang idola berakting sebagai salah satu dari tiga karakter utama.
( )
“Daph, ketahuilah ini bukan soal akting Drew Barrymore saja. Dom ini memang punya
fetish ke cewek
redhead yang suka genit nan
bitchy,” ledek Max.
“Hahahaha...”
Kekeh mereka bersamaan. Sementara Dom langsung mati kutu, malu.
“Ehm !
Sorry ?” Hanna berdehem. Seketika membuat suasana jadi canggung.
Sempat hening ketika Hanna melirik Daphine yang kebetulan secara spesifik punya model rambut ginger
redhead, sesuai yang Max sebutkan barusan.
‘Degh !’
Kebetulan yang sangat
mind blowing bukan ?
“Well, apapun itu... kita semua tetap sepakat kalau Dom ini adalah kolektor poster majalah dan fans Drew Barrymore nomor 1 di dunia.” tambah Max, si penyebab
awkward moment.
“Yang ketiga dan yang paling tua, tentu saja Jaulil Desmukh (20). Remaja berambut afro-Indian. Diaspora (imigran) asal Bangladesh yang beruntung mendapat beasiswa di kampus TU Dresden. Karena penampilan dan muka dekilnya, juga kebiasaan jarang mandi, yang membuat Max cs suka memanggilnya ‘Demon’. Menurut Max, Demon ini adalah anak ke-3 dari 6 bersaudara. Kakak pertama Demon adalah ‘kloter pertama’ arus migrasi dari India-Bangla-Pakistan yang tiba dengan selamat ketika marak demo - sweeping menentang UU imigran oleh kelompok ekstrimis sayap kanan Jerman. Menariknya, musim depan Demon akan menyusul Max promosi ke skuad senior Tim SG Dynamo Dresden. Membuatnya jadi pemain dari Asia pertama yang bisa menembus kompetisi regional Jerman.” - Daphine
“Weißt du ! Viel Glück ! (Selamat yah ! Semoga sukses !)” puji Daphine.
Dibanding Phill atau Dom, Daphine justru lebih tidak nyaman dengan gerak-gerik Demon, semenjak mereka ada di mobil.
Bukan penampilan atau kebiasaan dekilnya. Yang bikin
ilfeel adalah sorot mata anak ini selalu mengekor jelalatan, seolah mengintai Daph dari lantai atas ketika dia dan Hanna memasak di dapur.
Tapi selama tidak tengil, Daph tidak akan sampai hati. Karakter, budaya, juga kebiasaan orang berbeda-beda dan unik.
Ada yang gemar menebar gombalan-rayuan memabukkan. Ada yang senang lewat cara
physical touch. Ada yang terlihat cuek tapi perhatian. Mungkin ini cara Demon untuk mengagumi Daphine dan para kaum wanita pada umumnya.
Jika dilihat sepintas. Perawakan, rupa, fisik, dan penampilan Demon ini mirip sekali dengan si
Rakash Srepal, petugas teknisi kontrak di kantor Daphine.
“Mengenal karakter orang seperti mereka ini kadang bikin penasaran tapi juga merinding.Tau sendiri kan maksudku ?” - Daphine
Mereka berbincang lumayan lama malam itu. Tak terasa sampai sekitar pukul 11.15 malam, baru mereka pamit untuk beristirahat.
Max kebagian beres-beres meja.
“Daph, lusa aku berencana mengajak Alicia pesta BBQ di kebun belakang.
Was denkst du ? (Bagaimana menurutmu ?)” Max bertanya demikian.
“Er kam allein ? (Dia datang sendirian ?)” tanya Daph.
“Aku ajak dua sahabatnya juga. Kau tidak ada acara keluar ?” tanya Max.
Menggeleng.
“Wer weiß (Entahlah), mungkin cuma mengurus kontrak kerja. Paling lambat pulang sore hari,” jawab Daph.
“Itu artinya kalian harus menyelesaikan pekerjaan ini sebelum berbelanja. Jangan sampai lupa !” tambah Daphine, mengingatkannya.
“Oh God ! yang ada di sebelah sini juga ?” tanya Max.
Mereka barusan juga selesai menandai titik posisi pemasangan rak dinding untuk mengganti kerusakan beberapa barang di ruang keluarga. Tebak apa penyebabnya ? hehehe.
“Widersprochen ? (Keberatan ?)”
“Okay-Okay ! kita kerjakan pagi ini. Selamat malam Daph !” pamit Max, sebal, menyusul 3 temannya naik ke atas.
[ XLIX ]
(Rumah Daphine, kota Dresden)
7 April 1999 | Pukul (UTC+1) 06.15 pagi
Keesokan paginya, saat bunyi bising mesin bor dan pukulan paku lumayan mengganggu tidur Hanna di dalam kamar Daphine.
‘Ngingggggg !
Trtttttt ! Trtttttt !’
(Bunyi mesin bor)
( )
“Ini terlalu pagi, Max !” protes Hanna, langsung mendekap erat bantal.
“
Du Faulpelz ! (Dasar pemalas !)” gurau Max, lumayan bikin Hanna sebal.
Sementara Daph sudah bersiap menghidangkan sarapan roti daging cincang untuk mereka bertiga.
Dibantu Dominik dan Phillip, Max sibuk memasang rak beserta lampu yang akan memberi nuansa ‘vibes’ baru di ruang tengah.
‘Dok! Dok!
Dok! ! Dok!’
(Bunyi pukulan palu ke tembok)
Sementara Demon yang mengalami cedera, masih terlelap di kamar Max.
“Nimmst du den Demon nicht heraus ?
(Demon tidak kalian ajak ?)” tanya Daph.
“Nein (nggak), mana mau repot-repot anak itu ?” jawab Max.
Sudah 80% pemasangan bagian yang dikerjakan, tinggal
finishing (menempel wallpaper) dan lampu pita saja. Selesai sarapan, mereka langsung bersiap pergi keluar.
Max, Phill, dan Dominik akan pergi keluar, berbelanja keperluan bahan dan pernak-pernik untuk memeriahkan pesta BBQ besok malam. Sebelumnya, Max sudah minta izin meminjam mobil Daphine.
“Pukul berapa kalian pulang ?” tanya Daphine, mengantar mereka bertiga sampai masuk ke mobil.
“Entahlah. Aku harus mengantar mereka juga mengambil baju ganti.” jawab Max.
‘Jglek !’
Max mengangguk untuk kemudian naik ke dalam, disini hanya dia yang paling berpengalaman menyetir mobil.
Sementara Phill ada di bangku samping, Dom duduk di bagian penumpang tengah.
Badan Daphine agak membungkuk bertopang lutut saat berbicara kepada Max. Belahan dada Daph langsung terjangkau mata cabul Phill dari tempatnya duduk.
Glek...
Phill meneguk ludah, pagi-pagi langsung disuguhi pemandangan seperti ini.
“Oh iya, aku mungkin tiba sore atau menjelang malam. Sampai itu tiba, pastikan kalian sudah kenyang di luar.”
“Beres~ kalau bibi Daph sendiri perlu kami jemput
?” tanya Phill dari samping.
“Nein (Nggak perlu). Aku bersama Hanna kali ini. Jangan khawatirkan aku,” jawab Daph.
“Jangan lupa, sudah kalian ingatkan Demon soal obat resepnya ?”
“Schon~ (Sudah~) jawab mereka serempak.
“Baiklah. Hati-hati di jalan~”
“Tschüss (Sampai jumpa), Daph~” jawab mereka bertiga begitu Daphine masuk kembali ke rumah.
“Max,
weißt du was ? wir waren letzte Nacht wirklich neidisch (Kau tahu ? kami benar-benar iri semalaman)”
“Hah ?” tanya Max heran, segera menarik handrem dan menyalakan mobil.
“Jika memang bibi mu belum menikah, itu artinya... ketika bayi kau punya kemungkinan mendapat asupan susu berlimpah dari Daphine.” celoteh Phill.
“Bufffkhhhh...”
Dom sampai tertawa meringkik mendengar lelucon ngawur temannya ini.
“Yah,
well. Aku kadang juga iri... kau punya banyak ‘asupan’ lelucon hasil dari sepongan ke kontol ayahmu.” balas Max, tidak kalah sarkas.
“Bufffkhhhh—”
‘Grrnggggg...’
(Mobil melaju, meninggalkan halaman rumah)
20 menit kemudian...
‘Krukkkkklkk~’
Demon terbangun dalam keadaan perut keroncongan. Suaranya bersaing dengan alarm jam weker di kamar Max.
“Hoakh !”
Demon menguap, meregangkan tangannya. Mengucak mata.
Tidak ada suara mesin bor dan pukulan palu. Apa itu artinya pekerjaan sudah selesai di bawah ? Sialan, kemana setan-setan ini meninggalkannya sendiri ? pikirnya.
“Max, Dom, Phill ?” panggil Demon.
Tidak ada jawaban, dengan sedikit usaha dan susah payah, Demon merambat dinding, keluar kamar.
Mengintip ke lantai bawah, sepi. Pun ada sepiring makanan yang sudah dipersiapkan untuk Demon.
Masalahnya adalah, apa baik (sopan) makan tanpa ijin penghuni rumah ?
Demon bergegas menuruni tangga, perlahan, hati-hati dengan langkah kecilnya. Menuruni tangga walau terpincang, berpegangan pada
railing dan tembok, itu bukan masalah untuknya. Perutnya makin keras bersuara, itu yang jadi masalah.
“Huhh~” saat berhasil sampai dengan selamat di bawah.
Demon mengamati pekerjaan Max cs, sepertinya sudah hampir selesai. Tapi, bor, palu, perekat, juga perkakas lainnya masih berserakan di lantai.
‘Brkk ! Brkk !’
Demon berinisiatif mengemasi alat-alat perkakas. Memasukkan kembali ke dalam box. Memang minus mereka ini, kalo soal kedisiplinan.
‘Ngikkk !’
‘Srrrrrrrsshhhhh...’
(Kran shoower diputar, air mengalir)
Samar-samar Demon mendengar suara air shower mengalir. Sepertinya ada kamar mandi pada sisi lain dinding tempat Max melubangi dengan bor.
( )
“Beeilen Sie sich, kommen Sie nicht zu spät ! (Cepetan, biar nggak telat !)”
“Yah, baru juga jam 07.30~”
“Oh, jadi seperti ini kebiasaanmu ? pantas sering telat, Daph! ”
Demon spontan menguping, menjelajahi permukaan dinding karena ada kasak-kusuk pembicaraan dua orang di dalam. Sepertinya Hanna dan Daphine yang ada di sana.
Itu memang Daphine dan Hanna, alamak !
Tangan Demon langsung meraba sekeliling dinding yang sudah terpasang rak dan lampu. Tapi masih bisa dibongkar.
Senyum Demon merekah. Bunga-bunga erotisisme bermekaran dalam benak Demon. Bakal seru, pikirnya.
Pekerjaan Max dan teman-teman tidak bisa dikatakan rapi. Lubang-lubang bekas bor yang lumayan menganga di sana-sini.
Setelah memastikan tidak ada orang, Demon segera beraksi...
Lampu dinding yang belum sepenuhnya dikaitkan, langsung Demon copot lagi. Ada lubang seukuran jari telunjuk yang masih plong belum dimasuki sekrup
fischer.
Huh, kesempatan pikirnya. Tapi ketinggian celah lubang itu lumayan sulit, sehingga Demon harus pakai pijakan.
‘Drrttkkk—’
Saking semangatnya, Demon menarik kursi sampai berderit keras. Hampir saja buyar. Bisa saja Daph atau Hanna curiga kalau mendengar derit kursi tadi. Tapi sepertinya tidak berpengaruh.
“Ough— Upsss...
”
Maka dengan langkah pincang, Demon bopong kursi tadi sebagai pijakannya untuk mengintip melalui celah lubang dinding tadi. Demon menaikinya, bertapak 1 kaki. Menyusuri pandangan dan...
‘Degh !’
Demon bisa mengintip jelas, Daphine dan Hanna sedang membilas di bawah pancuran shower.
Demon mengintai cabul ke arah Daphine yang bugil, polos, basah oleh derasnya air shower.
Bibi Max ini sangat menghayatinya, mengilustrasikan sempurna langsung kepada Demon tentang apa yang seharusnya wanita lakukan saat mandi. (Tsaah!)
Memulai dengan menengadahkan kepalanya ke atas shower. Membilas lembut rambut, turun membilas ke pundak, menggosok, memutari punggung dan berakhir membasuh tetek.
Perut, pinggul, juga bokongnya yang menantang semalaman, dibilas belakangan.
Kemudian kembali membentangkan tangan ke atas, membilas rambut
ginger panjangnya.
Tetek Daphine yang mengkal, mengembung mirip seperti bola disco, dengan puting
areola warna kecoklatan sebagai puncak menara, bentuknya bulat sempurna walau sedikit turun.
Semalaman, itu jadi bahan gunjingan Demon bersama Phillip, pagi ini langsung bisa dia saksikan dengan mata kepala sendiri.
Bulir tetesan air jatuh merembes, membasahi kulit Daph. Mengalir mulus melewati celah pangkal pahanya yang dicukur bersih.
Semua detail itu Demon saksikan jelas.
Demon... sampai meneguk ludah.
Ada momen paling seksi, saat Daphine berurutan membilas rambutnya dengan kedua tangan terangkat. Ketiak, leher, juga dada Daphine begitu mulus pada momen gerakan remeh ini.
‘Srrrrrrsshhhhh...’
(Air shower mengalir makin deras)
Wangi sabun dan shampo, bercampur uap air hangat, seketika membius dan mengambil alih kesadaran Demon.
“Hmphh~”
Demon menghirup aromanya kuat-kuat. Mata Demon sampai terpejam, meresapi kesempatan langka ini.
‘Degh !’
Turun perlahan, Demon memasangkan lagi lampu dinding tadi, namun berbeda titik pada lubang lainnya.
Demon juga menutup lagi celah lubang intip tadi dengan paku tusuk juga secarik gulungan lakban perekat untuk menyumbat, diatur sedemikian rupa sehingga bisa dibuka kembali tanpa meninggalkan bekas cabutan.
Dengan langkah pincang, Demon bopong kursi tadi ke tempat semula. Perkakas dan alat pertukangan kembali Demon bongkar. Membuat seolah tidak ada siapapun disana.
Selanjutnya, entah, bisikan setan atau apalah itu, yang mulai merasuki kepala dan mengontrol niat.
Pintu terdorong perlahan dari luar. Demon nekat menyelinap masuk kamar Daph yang tidak terkunci. Di sini dia merasa sadar - tidak sadar. Dengan kaki pincangnya perlahan mengendap-ngendap, menapak masuk.
Ranjang, lemari baju, juga meja buffet Daph masih berantakan. Ada banyak merk brand parfume dan kosmetik mahal tertata di meja rias.
Sebuah cermin model vintage, turut menyatukan gaya 80s interior ruang yang berwarna
blue-royal. Memang elegan selera Daphine ini.
Demon masih ragu sampai sini. Tapi mendengar derasnya air shower yang mengalir, sepertinya hanya itu yang bisa dia jadikan patokan hidup atau mati.
‘Srrrrrsssshh...’
(Air shower masih mengalir)
Mati, jika tiba-tiba Daph atau Hanna keluar. Memergokinya bagai maling cabul. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Matilah sudah.
‘Ngikkk...’
Bunyi derit ranjang, empuk saat di duduki. Pun sampai Demon serampangan ada di ranjang Daph seperti ini, dua orang tadi masih belum juga menyelesaikan mandi.
“Hmmph~ Hmph~”
Demon hirup aroma dan wangi kamar Daphine. Sejuk sekali kamar disini.
Demon jadi teringat sosok ibunya. 2,5 tahun sudah berlalu. Demon tidak punya pilihan selain berpisah dengan keluarganya, ribuan mil merantau ke Jerman, menjemput abangnya.
Demon akan melangkah keluar. Rasa penasaran dan fantasi sedikit tersalurkan. Sempat memperhatikan sekeliling. Di samping meja rias Daphine, ada keranjang rotan seukuran koper orang dewasa berisi tumpukan pakaian kotor yang sudah menggunung.
“Hanya beberapa dalaman BH ukuran Big size, juga g-string yang belum sempat masuk mesin cuci. ‘Hmmph~’, kuendus, rupanya masih wangi. Ada beberapa pasang disana, mungkin ini yang semalam Daphine gunakan.” - Jaulil Desmukh.
‘Srrrkk... Srrkkk !’
Lumayan
absurd saat Demon mengendus bau set dalaman Daph satu persatu. Seolah, memilih yang paling wangi dan langsung mengutilnya masuk ke kantung celana Demon.
Terpilih satu set dalaman, BH dan
g-string warna hitam berenda.
“Ekh ?”
Ada hal lain, yang membuatnya lebih tertarik. Saat menilik lebih dekat. Itu semacam kain mirip selendang pria yang menjuntai dari dalam keranjang. Warna
magenta. Cuma selendang usang, seperti sudah lama ditinggalkan atau mungkin tidak terpakai lagi.
“Hmph~”
Sekali lagi, Demon mengendus baunya.
Saat dipegang seperti ada tekstur bubuk warna dengan aroma yang juga khas di permukaan kain. Yah benar, tidak salah lagi, ini bau bubuk
powder pewarna.
“Terlihat familiar, aku pungut sebentar juntaian kain tadi. Memastikan itu sama seperti yang biasa kami gunakan pada acara-acara tertentu. Dan yah, itu memang selendang *Dupatta.” - Jaulil Desmukh
Selendang Dupatta bekas festival Holi. Tapi memang apa yang salah? pikir Demon saat itu.
Sibuk dengan aktivitas anehnya ini, tiba-tiba matanya menemui semacam detail di ujung selendang Dupatta.
“Lho ?”
Demon mengerjap mata, mungkin salah lihat.
“Bukan tag. Bukan juga coretan yang tidak disengaja. Itu membuatku lumayan berpikir keras dan coba menerka. Bagaimana bisa, ada coretan nama abangku?!” - Jaulil Desmukh
Heran, kepikiran, juga penasaran. Kenapa tertulis nama abangnya di selendang itu ? Apa mereka saling kenal ?
‘Ngikkk !’
(Kran shower diputar, air berhenti mengalir)
Tiba-tiba pancuran air shower berhenti, bersamaan dengan diputarnya gagang pintu kamar mandi.
“Huh ?”
Panik. Melinguk sana-sini. Tidak ada tempat, bahkan sempat untuk bergerak. Sekujur tubuh Demon terasa kaku, membeku. Kakinya tidak sanggup diangkat, apalagi melangkah.
Tidak akan sempat, tidak akan selamat !
‘Ngikkk—’
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, Hanna yang keluar lebih dulu.
( )
“Du bist schön, musst sicher sein (Kamu sih cantik, aman-aman aja), tinggal jilat lidah sana-sini. Nah kalo aku ?” kata Hanna, melangkah keluar kamar mandi.
Diikuti Daphine di belakang. Masih basah, pun terlilit handuk di atas lutut, buliran air masih menetes ke lantai kamar.
“Nggak ada hubungan antara cantik sama datang telat, Erstaunt ! (heran deh !)” gerutu Daphine.
“Ja da ist ! (Ya ada dong !) Mereka yang cantik, mereka juga yang bakal selamat !” jelas Hanna.
Hanna dan Daphine berkaca di cermin meja rias. Membuka lilitan kimono dan handuk masing-masing.
‘Wushhh !’
Melempar dalaman masing-masing ke keranjang di samping meja rias.
Mereka berdebat soal penilaian Pak Roger kepada staf-staf cantik yang tidak pernah kena semprot jika terlambat mengikuti rapat.
“So dumm~ (Terserah~)”
(Kantor asuransi AOK, kota Dresden)
Pukul (UTC+1) 08.15 pagi
Beberapa menit kemudian, setelah perdebatan Daph dan Hanna semenjak di kamar mandi hingga perjalanan menuju ke kantor. Terlambat 15 menit.
Bukan masalah bagi Daphine, tapi masalah bagi Hanna. Status Daphine hanya tinggal menunggu surat kesepakatan kontrak kerja.
Pun datang kesini hanya untuk menemui Roger dan mengemasi beberapa barang yang masih tertinggal di meja.
( )
“Hast du dich mit Radhaj versöhnt ?
(Kamu udah baikan sama Radhaj ?)”
Sindir Daphine saat melirik kepada Hanna yang terlihat senyum-senyum sendiri begitu masuk ke lift.
Barusan mereka berdua berpapasan dengan
Radhaj Shrav, si supervisor bagian IT asal India di lantai dasar.
“Baikan banget sih belum~” jawab Hanna, pun tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang merona merah.
“Baikan banget ? Hey, setidaknya perlihatkan nilai jualmu. Jangan mudah percaya apa yang laki-laki katakan,” balas Daphine.
"Memang apa yang tidak bisa kupercaya dari radhaj ?"
“Bukan cuma Radhaj, aku bilang semua laki-laki. Dan jika 'kuda pony' kecil di depanku ini bingung, mungkin sekali-sekali kau boleh iseng menanyakan pada pacarmu... seperti apa kriteria cewek idealnya ? Contoh, seksi ganas sepertiku atau lugu lemot sepertimu ? Lalu jika maun lebih seru telusuri tiap kontak di ponselnya, jika pengakuannya benar, Radhaj tidak akan terganggu...” jelas Daphine kepada Hanna yang cuma melongo.
"Hmmm ?"
“Dummes Gör ! (Dasar labil !)”
‘Tingg !’
Pintu lift terbuka, mereka tiba di lantai 3.
‘Duo kate & kuda poni’ ini keluar dari lift dengan penampilan busana kerja
style ala 80an.
Daphine mengenakan
dress kerja warna hijau tosca ketat, dengan model berenda bagian dada. Sementara Hanna mengenakan blouse yang lebih casual warna
navy.
Ketukan
heels Daphine dan Hanna, kompak membuat semua mata langsung tertuju pada mereka berdua. Ada wajah-wajah karyawan anyar yang baru mulai bekerja disini, seolah dibuat kagum dan terpukau dengan inspirasi
style kantor klasik ala Daphine dan Hanna
.
Beberapa staf cowok kasak-kusuk juga membicarakan mereka berdua, sesekali mereka mengintip dari
smooking-room. Seperti biasa, bergosip disini sudah bukan kebutuhan perempuan saja.
( )
“Yang melirik itu orang-orang baru.
Sie haben vor einer woche mit der arbeit angefangen (Mereka mulai bekerja seminggu yang lalu)” jelas Hanna.
“Ahaa...”
“Aku ke meja dulu. Kalau Pak Roger sampai, kuberi kabar secepatnya.” pamit Hanna, beralih ke meja kerja.
“Oke !”
Daphine dan Hanna beralih ke meja kerja mereka masing-masing.
Sesekali mengemasi berkas, memasukkanya ke dalam dus, Daphine kaget juga terharu begitu menemukan banyak
stick-notes yang tertempel pada bilik meja kerja.
Ada beberapa coretan kertas
notes berisi ucapan perpisahan tertempel di bilik, sepertinya dari rekan-rekan kerjanya.
Pesan-pesan mengharukan, ada yang lucu, sedih, bahagia, apapun kesan mereka kepada Daphine selama ini.
Well, walau ada satu - dua orang yang biasanya menyebalkan bagi Daph, tapi setidaknya ‘ucapan sayang’ mereka ini bisa bikin Daph tersenyum-senyum, terharu. Hal langka yang Daph rasakan selama bekerja disini.
Suasana kantor dan keriweuhan pagi hari seperti ini yang akan Daphine rindukan nantinya.
Saat membuka laci, mengeluarkan barang-barang dari sana, sekilas Daph tertuju pada secarik kertas yang tertempel diantara ada coretan bergambar sketsa yang sepertinya memang ditujukan kepada Daphine.
‘Degh !’
“Daph ! Pak Roger—” panggil Hanna.
Tiba-tiba muncul, niatnya sekedar memberitahukan kalau Pak Roger sudah tiba ke ruangan.
“Hssssstt ! Berisik, setidaknya biarkan dia menghisap rokoknya dulu !” sahut Daphine, ketus.
"Kau tidak bawa makanan atau cemilan kesukaan roger sepeeri biasanya ?" tanya Hanna.
Kebiasaan Daph ketika meeting dengan Roger atau direksi perusahaan lainnya adalah membawakan makanan yang Daph buat secara
homemade.
“Aneh, baru saja pulang dari Frankfurt, dan kau telat menjemputku... pikirmu aku sempat ?”
Saat remeh mengecek satu persatu berkas tidak sengaja Daphine melirik ke arah gambar kertas yang tertempel di cermin kaca. Hanna juga langsung menyadarinya...
Oh tidak...
‘Drrrkk !’
Daphine langsung bangkit dan keluar ruangan. Mukanya kesal dan marah. Hanna ikutan mengekor. Lumayan, ada tontonan asyik nih pagi-pagi.
Ketukan
heels Daph, langsung terdengar keluar dari ruangan. Dia akan sedikit beramah-tamah kepada tiga orang staf yang sedang duduk santai, merokok di
smooking room.
“Apa itu tadi ?” tanya Daphine dingin. Menunjuk ke arah meja kerjanya.
“Hey, selamat pagi Daphine, sudah lama jarang kelihatan ?” jawab seorang.
“Apa salah satu kalian yang menggambar ?”
Mengulangi pertanyaannya. Mode paling kalem. Daphine mencoba tidak terpancing lebih dulu.
“Mereka pikir aku cuma main-main ? No ! Aku siap kalau musti bertarung lawan 3 banci ini. Itung-itung, pemanasan sebelum meminta pak Roger men-skorsing mereka. Masing-masing bernama Mike (28), Ludwig (30), dan Rudy (27). Ketiga orang ini kerap berulah di kantor. Melempar gurauan mesum, menggoda para SPG perusahaan, juga jenis pelecehan verbal lainnya. Jadi kenapa perusahaan masih menampung orang-orang toxic seperti mereka ini?” - Daphine
“Welches Bild ? (Gambar apa sih ?)” jawab Rudy. Berpura-pura, padahal ‘cengengesan’ di belakang.
“Sketsa Pornografi,” jawabnya.
“Kalian yang membuatnya ?”
“Oh, Hahaha...” tawa bodoh mereka bertiga, benar-benar bikin naik darah.
“Jadi begini, ada anak baru di lantai 2 yang ternyata jago lukis sketsa cepat. Kita minta dia, ngelukis sketsa gambar buat kenang - kenangan untukmu. Berhubung kita belum sempat cari kado, jadi kita kasih aja surprise tadi itu,” jelas si Ludwig, bajingan memang.
“Ouw, really ?”
“Cuma momen pas kamu ketahuan lagi
fellatio itu yang paling membekas bagi kami, hehehe.” imbuh Mike.
Daphine sempat terdiam mendengar ejekan trio toxic ini. Hanna yang merasa kasihan sebenarnya bisa saja langsung menampar mereka, namun Daph sudah memintanya untuk tidak ikut campur karena tak ingin ada kegaduhan sebelum menemui Roger.
“Baik, terima kasih. Anyway, itu surprise yang ‘unik’ menurutku, juga gambar yang keren, tolong sampaikan pada temanmu tadi,” celoteh Daphine.
“Lalu yang jadi masalah, moral atau keharmonisan kalian ya? Kutebak, istri kalian masing-masing terlalu peyot, menyedihkan atau memang kalian sendiri yang terlalu ringkih sehingga tidak mampu menuntaskan fantasi sendiri. Jadi, kalian membuat ide berdasarkan ‘fantasi tak tersalurkan’ itu kepadaku dalam bentuk gambar. Terima kasih, aku sangat tersanjung.” imbuh Daphine.
Sindiran '
savage' si
redhead kesayangan kita semua ini cukup untuk menampar telak ketiga staf kurang ajar itu. Mereka semua langsung terdiam.
Daphine tersenyum puas, melengos, meninggalkan mereka...
“Bahkan Hanna lebih dilirik si tua Thomas ketimbang istri kalian bertiga ketika di pesta !” ledek Daphine sebelum meninggalkan mereka semua.
“Schlampe ! (Dasar perek !)” balas Ludwig, yang malah berbalik emosi mendengarnya.
(Ruang kerja Roger Kartheiser)
Roger sebetulnya punya urusan bisnis bersama kolega asal
Berlin. Berhubung mampir ke kantor, Daphine meminta Hanna untuk menyempatkan waktu pertemuan mereka.
( )
“Untuk merayakan pengangkatanmu sebagai staf kedutaan, kali ini kita bicara bahasa Inggris saja.” canda Pak Roger mengawali.
Sekali lagi mengisi penuh gelas Daph dengan whisky.
‘Trngg !’
Roger menuang
whisky ke gelas, mengajak Daph bersulang.
‘Glk. Glek.. Glek...’
Daphine meneguknya nikmat. Whisky milik Roger selalu jadi yang terbaik. Sudah menjadi semacam tradisi di setiap pertemuan mereka.
“Jadi kapan mulai bekerja di sana ?” tanya Roger di sela obrolan dengan Daphine.
“I don’t know, yang penting urusan kontrak disini selesai. Setelah itu, terserah~”
‘Fyuuhhh~’
Daphine kemudian mengepulkan asap rokok.
“Kenapa sampai sejauh ini ? maksudku, bukan cuma kau... bagaimana soal keselamatan Max ?” jawab Roger.
“Ouw, kenapa seolah anda jadi mengkhawatirkan keluargaku ? aneh.”
“Daph, ini bukan soal khawatir atau tidak. Mungkin, ini soal menyangkut keselamatanku juga...” balasnya.
“Lalu, kenapa masih berdiam di sini ? kenapa menyetujui surat pindah ku sampai masuk kedutaan, kau melihat peluang dariku ?”
“Sudah kubilang, jangan libatkan aku lagi pada urusan ini. Kau hanya belum paham, sekumpulan orang-orang menakutkan, akan terbangun begitu tau rencana pergerakanmu,” jelas Roger. “Itu sama saja mengusik mereka.”
“Hahahaha. Benar kata Big. Herb pak, anda ini memang terlalu naif~” jawab Daphine.
Sepertinya selain Barry, Herber dan Barsi, Pak Roger ini juga salah satu orang yang mengetahui rahasia dan latar belakang Daphine.
“Aku tidak sudi berurusan dengan mereka. Jadi apapun yang terjadi, jangan sangkut-pautkan aku !” tambah Roger.
‘Fyuuuhh~’
Daphine sempat mematikan puntung rokok ke asbak.
“Aku punya dua kolega yang bisa memberi pilihan. Satu tangan kiri adalah busur, dan satu tangan kanan adalah pedang. Itu tergantung dimana posisiku yang akan datang.”
“Oh ya, siapa mereka ?”
“Hahaha, mau tau aja !” sahut Daphine.
“Jadi apa anda benar-benar akrab sama si Petr Clauss itu ?” tanya Daphine melanjutkan.
“Hubungan kami cuma sebatas teman kampus di
New York. Memang kenapa ?” jawab Roger.
“Sekedar menvalidasinya,” dalihnya.
“Bagaimana hubungan kekerabatan mereka ? adik, ayah, ibunya ?” tanya Daphine.
“Kalau soal itu, aku tidak tahu.”
“Ehmm, yasudah~” jawab Daphine.
“Setelah ‘cuti’ ini, atau jika hal yang paling parah, terjadi... aku tidak akan sudi menandatangani perpanjangan kontrak ! Kau boleh cari orang baru. Tapi, aku tidak menanggung atas apa yang akan terjadi dengan bisnis juga keluargamu di Los Angeles.” ancam Daphine.
Sama. Daphine punya kartu ‘As’ untuk memaksa Pak Roger ikut terlibat.
“Sudah pasti kau akan mengancamku. Tapi maaf, aku tidak akan menarik kata-kataku. Aku tidak tertarik untuk ikut terlibat—” jawab Roger.
‘Brak !’
Daphine langsung menggebrak meja. Gelas di tangannya sudah siap menimpuk kepala Roger.
Pak Roger hanya melongo, lumayan ngeri saat tiba-tiba tangan Daphine cekat meraih gelas dan sedetik kemudian sudah berjarak 2 inchi dari matanya.
“You okay ?” tanya Roger.
Daphine yang merasa sudah kelepasan, perlahan merebah ke kursi. Menyeka air mata yang sudah berlinang.
Pak Roger paham dengan perasaan Daph, menyodorkan tissue untuknya.
“Bukan maksudku menghalang-halangi. Kau hanya perlu menunggu di waktu yang tepat. Rencanamu belum matang, Daph.” ungkap Pak Roger.
Daphine menangis, tidak begitu deras. Tapi ada seperti rasa penyesalan.
“Setiap malam, aku selalu bermimpi buruk. Antoine, datang memintaku berhenti berbuat, padahal akulah yang paling berdosa besar !” kata Daphine, sembari menangis sesenggukan.
“Aku paham...” jawab Roger. “Justru aku lebih mengkhawatirkan Max. Kau mudah merencanakan, lalu jika saja berakhir nahas seperti abangmu. Siapa lagi yang Max miliki ?” imbuh Roger. “Saranku. Pikirkan saja dulu. Jangan gegabah. Tunggu waktu yang tepat.” tutup Roger.
‘Ngikkk...’
( )
“Pak Roger, Ehm ?” panggil Hanna, tapi saat melihat Daphine menangis mengelap tisu.
“Mein Gäste sind angekommen ? (Tamu ku sudah datang ?)” tanya Pak Roger. “Oh ya, Nona Hanna, tolong bawa rekanmu pergi makan. Dia begitu terharu dengan perpisahan ini.” imbuh Pak Roger, berdalih demikian.
Hanna mengangguk lalu pamit, merangkul dan membawa Daphine keluar.
“
Danke für ihre zeit herr~ (Terima kasih atas waktunya, pak~)”
(Rumah Daphine, kota Dresden)
Pukul (UTC+1) 07.15 malam
Menjelang makan malam, juga saat semua orang sibuk mempersiapkan acara pesta besok.
Daphine dan Hanna kebagian memasak kue dan mencoba resep masakan ala
Mexico, Burrito.
‘Dok ! Dok !
Dok! ! Dok !’
(Bunyi pukulan palu ke tembok)
Dominik kebagian menyelesaikan sisa pekerjaan di ruang tengah. Max bersama Phill kebagian pekerjaan lain yang ada di halaman belakang, menata pernak-pernik.
( )
“Apa ada yang ngeliat si Demon ?” tanya Max kepada semua orang di dalam rumah.
“Dia bilang ada sedikit masalah pencernaan.” jawab Dom, masih fokus menancapkan paku untuk lampu pita.
“Memang makanan apa yang dia makan hari ini ?” tanya Hanna.
“Apa dia bermasalah dengan
junkfood sebelumnya ?” tanya Phillip.
“Sepertinya tidak.
Was hat aunt Daphine zum Frühstück gekocht ? (Apa yang bibi Daphine masak saat sarapan ?)” tanya Max bergantian.
“Roti daging cincang, bukannya kalian juga makan ?” jawab Daphine, sembari melumer adonan kue.
“Max, apa kita menggeser posisi lampu sebelumnya ? lihatlah.” tanya Dominik, merasa ada hal ganjil dengan peletakan lampu, seperti bergeser dari titik sebelumnya.
Ini karena ada banyak lubang bor yang berantakan.
“Das glaube ich nicht (Aku rasa tidak menggeser lampu). Ya sudahlah, selesaikan saja dan cepat bantu aku di halaman.” pinta Max.
‘Ngingggggg!
Trtttttt ! Trtttttt!’
(Bunyi mesin bor)
Sementara itu...
Keributan dan keriweuhan di bawah nyatanya tidak menganggu kesenangan Demon yang sejak sejam yang lalu berdiam di
bathub kamar mandi Max.
Demon merebah di
bathub kamar mandi Max, celananya sudah menggantung di telapak kaki yang menjuntai keluar dari bathub.
‘Srrrrrrrshhhh...’
(Pancuran deras air bathub)
Sesekali merasakan gemericik pancuran air, menyembunyikan erangan cabulnya.
( )
“Ouffhh... ssshhh... Akh! Akh!”
Tak ada yang menyangka. Di dalam kamar mandi, Demon asyik beronani. Berfantasi kepada sosok wanita.
“Ough... ough... ough! Bibi Daph! Akhhh~”
Sesekali mengerang menyebut nama Daphine. Tangannya terus mencekik, tidak berhenti bergerak, mengocok selangkangan yang dibungkus dengan set dalaman
g-string milik Daph yang dia curi pagi ini.
‘Clk. Clk. Clk. Clk.’
Pikirannya yang sudah tak kuasa membendung imajinasi ketika merasakan sensasi
g-string bekas pakai Daph, membungkus selangkangan, menggosokkan beberapa saat sebelum memulai ritual utama.
‘Clk.. Clk.. Clk.. Clk..’
“Hehehe...”
Wajahnya menengadah, matanya terpejam, ada seringai mesum. Seolah membayangkan Daphine memainkan ini kepada Demon.
Apalagi membayangkan badan Daph yang begitu mengkilap di bawah guyuran shower, saat dia intip pagi ini.
Gerakan dan cekikan tangan ke selangkangannya makin keras dengan tempo gesekan cepat.
‘Clk... Clk... Clk... Clk...’
“Ough... Ough... Oohh! Bibi Daph... Yah terus Bibi, Yah Argh! Argh! Arg! Akhhh~”
Demon mulai terobsesi kepada Daphine semenjak kejadian pagi tadi. Disisi lain juga masih penasaran dengan selendang Dupatta bertuliskan nama abangnya, yang dia temukan di kamar Daph. Belum mempan, Demon berganti meranggih BH hitam Daphine. Satu set dengan
g-string barusan.
‘Clk... Clk... Clk... Clk...’
Benda miliknya dalam genggaman, langsung mengacung tegak begitu di kocok dalam bungkusan BH Daphine.
“Hh... Hh... Ough !
”
Nafasnya menderu menikmati kocokan tangan sendiri sambil membayangkan Daphine melakukan
blowjob.
“Empppffffkkk... Sshhhhh!!”
Kocokan itu makin cepat ketika dia merasa penghujung kepala mulai ‘nyut-nyut’an. Fantasi gila sosok Daphine semakin mempercepat kedutan di bawah sana.
“Empppffffkkk... Eghh! Egh! Ukhh~”
Demon menumpahkan 1-3 cipratan segar, diakhiri tetesan demi tetesan ke cup BH Daphine.
Kaki Demon yang diperban, terjuntai, melemas ketika menumpahkan ‘tabungan’ yang dia tahan-tahan sejak tadi malam.
‘Tok ! Tok ! Tok!’
(Suara ketukan pintu dari luar)
( )
“
Warten~ (Tunggu~)” jawab Hanna yang pertama mendengar, akan meraih handle pintu untuk membukakan.
“Lass mich (biar aku saja), Dia... dia rekanku. Emph, kita sebetulnya punya janji sebelum ini...” jawab Daphine, terkesan tidak biasa bagi Hanna.
“Okay~”
Hanna kembali ke dapur. Tetapi, aneh juga melihat gerak-gerik Daphine ini. Daph beralih untuk membukakan sendiri pintunya.
‘Ngikkk—’
Edan ! bukan main pikir Daph, berani-beraninya orang ini datang kesini. Daph terlihat marah dan langsung menarik lengan lelaki itu keluar teras.
“Kau sudah berjanji sebelumnya tidak muncul ke sini !” bentak Daphine.
“
Ich will nur Max
sehen. Habe ihn lange nicht gesehen (Aku cuma mau menemui Max. Kita lama tidak bertemu)”
“Hey Bangsat, aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Max !” balas Daphine.
Mereka terlibat cekcok di halaman Daphine. Si pengetuk itu tidak lain,
Yoryd Barsinov (48). Lelaki berbahasa
russky, yang sama di apartemen Daph sebelumnya.
“Fängst du an zu schnappen ?
(Kau mulai berani membentak ?)”
Barsi rupanya juga fasih berbahasa Jerman.
“No ! No ! Please, ayo kita pergi dari sini. Kita bicara di tempat biasa, aku akan bersiap—”
“Paman
Baier, kau kah itu ?” panggil Max, tiba-tiba muncul dari pekarangan.
“Wohooo ! jagoanku sudah punya pacar sekarang rupanya ?” sambut Barsi.
Max dan Barsi sudah lama saling mengenal. Mereka begitu akrab, layaknya keluarga sendiri. Keduanya saling berpelukan, Barsi juga memberinya hadiah kado.
Max memanggil Barsi dengan nama ‘Baier’. Dia tidak pernah mengerti sisi lain Baier dalam sosok Barsi.
“Du siehst chaotisch aus ? (Kalian terlihat berantakan ?)” tanya Barsi.
“Es ist so ein Zufall ! (Kebetulan banget !) Paman sejak kapan datang ? kami akan menggelar pesta besok malam. Ada cewekku juga, kau mau bergabung ?
Oh God, aku sudah lama merindukanmu. Bagaimana kabar keluargamu, paman ?” kata Max, sembari menuntunnya masuk ke dalam.
Tak lupa memperkenalkan kepada Hanna, juga ketiga sahabatnya.
Daphine masih berdiri di teras. Wajahnya tiba-tiba pucat. Gemetaran, pikirannya jadi tidak nyaman. Barsi benar-benar menampakkan diri di rumah.
“Itu artinya, sesuatu yang mengerikan akan terjadi.” - Daphine
Daphine melirik ke halaman. Sebuah mobil sedan
Mercy S-class hitam keluaran terbaru berhenti di seberang jalan. Samar-samar terlihat dua orang asing duduk dibalik kemudi. Seolah mengawasi, mengintai Daphine dari kejauhan.
Daphine menyusul masuk, segera menutup pintu rapat,
‘klik !’ menyalakan alarm keamanan rumah. Berjaga-jaga dengan panggilan darurat kepolisian. Bersembunyi dari jangkauan mata mereka.
“Apa itu mereka, si orang-orang mengerikan? Yang tidak akan pernah mau kutemui lagi seumur hidupku. Perlahan, ingatan itu kembali diputar. Malam ke 13, bulan Maret 1998...” - Daphine
[ L ]
(Apartemen Altbau, Kota Berlin)
13 Maret 1998 | Pukul (UTC+1) 10.00 malam [Flashback]
Max kedengaran tengah menelpon seseorang perempuan dari dalam kamar mandi, sembunyi-sembunyi. Sementara Daphine sibuk merias diri di dalam kamar.
( )
“Aku pergi dulu~” pamit Daphine malam itu, tidak berselang lama.
“Kau jadi pergi malam ini ?” tanya Max menyusul Daph keluar dari kamar mandi apartment. “Bibi Daph, apa kita akan menjemput kakek-nenek lusa ?”
Mereka sementara tinggal di apartemen lama warisan kakek-neneknya. Ini adalah libur panjang sebelum trip ke kota selanjutnya.
“Tentu. Jam 8 pagi, jangan sampai telat bangun mulai besok.” imbau Daph.
‘Tingg !’
Daphine masuk ke dalam lift menuju parkiran basement.
“Tidak apa-apa pergi sendirian ? Daph, setidaknya kenakan coat atau mantel.” pinta Max, sempat menasihatinya sebelum pintu lift tertutup.
“Ayolah Max, kita tidak sedang di Dresden malam ini. This is Berlin, baby~”
Daphine tampil cantik malam ini. Riasan pesta, dengan rambut ginger panjangnya diikat
Ponytail.
Daphine keluar malam mengenakan setelan jenis
jumpsuit casual hitam tanpa lengan. Ada beberapa lekukan menonjol karena detail busana ini cenderung mengekspos badan.
“Bagian dadanya itu yang kelihatan mengkal, malah sengaja dilonggarkan. Setiap kali perdebatan kami, alasan yang kutanyakan adalah kenapa dia suka sekali berpakaian sexy seperti ini? Daphine bilang, ini semua soal selera fashion~” - Max
Setiap Daphine keluar malam, Max selalu mendampinginya. Tentu jika sedang tidak sibuk.
“Hanna sudah menunggu di basement, bakal repot kalau mesti naik kesini dulu. Tchuss~ (sampai jumpa~)” jelas Daph.
‘Tingg !’
Pintu lift tertutup.
Max merenungi kepergian Daph. Sejatinya, dia bersedia menemani Daph ke pesta malam ini. Tapi apa boleh buat, Max juga terlibat kencan online dengan Alicia, pacar barunya, yang rewel karena sakit demam, minta ditemani via panggilan telpon.
Masa muda baru bercinta~
(Kota Berlin, Jerman)
Daphine kembali ke kota kelahiran ayahnya untuk kesekian kali. Sudah sekitar 4 tahunan semenjak pindah ke
Dresden.
Bulan lalu, Daphine dan Hanna mendapat undangan pernikahan teman kuliah mereka. Sebuah pesta resepsi yang juga bertajuk ‘Reuni di malam Holi’.
‘Grrnggggggg...
Tinn ! Tinn !’
(Mobil Daphine menerobos lampu merah di sekitar kawasan sungai Elbe)
“Willkommen in Berlin !” teriak Daphine kepada beberapa mobil yang dia salip barusan.
“Selamat datang di Berlin !” artinya. Kota terbesar ke-2 Eropa, seluas 892 km persegi. Kota yang juga menyimpan beragam pesona sejarah.
Daphine sampai menghafal betul kata sambutan ini. Tertera pada baliho ukuran 8x8 meter yang terpampang di pelataran parkir
Berlin Tegel Airport.
Banyak spot ramai terlebih di malam minggu seperti ini. Mencoba beer Jerman sambil menikmati lampu di taman, hal yang paling diminati para turis jika berkunjung ke jantung Berlin.
Berlin memang selalu identik dengan pesta dan kehidupan malamnya yang semarak. Semua jenis hiburan dan pesta berbau kesenangan tersaji di ibu kota Republik Federal Jerman ini.
Di Berlin ada banyak destinasi unggulan.
Brandenburg Gate, gerbang berdesain neo-klasik.
Alexanderplatz, alun-alun paling romantis dan ikonik di beberapa scene film. Monumen
‘Checkpoint Charlie’, lokasi batas penanda antara Berlin Timur - Barat di era perang dingin. Juga
Berlin Zoo, kebun binatang yang sudah dibuka sejak 1844 (tertua di Jerman).
(Hotel Berlin ‘Savoy’, Kota Berlin)
Pukul (UTC+1) 10.30 malam
Telat 1 jam dari agenda. Lokasi undangan menunjuk ke arah
Hotel Berlin ‘Savoy’.
Begitu masuk, Daphine dan Hanna langsung disambut oleh bebunyian suling dan tabuhan gendang, musik folk tradisional India, hingga taburan kembang dan wewangian khas Hindi. Ini benar-benar mirip dalam
scene film Bollywood, pikir Daph.
‘Sapne hai jhalke kalke,
sab ishk ke hai ye nishan
Ho tum ab ye mano,
ya na mano meri jaan
La lai lai lai lalai
La lai lai lai lalai~’
Juga diputar, lagu hits 90an berjudul
‘Ek Shararat Hone Ko Hai’ karya musisi
Kumar Sanu.
Pesta resepsi ini menyuguhkan banyak kebudayaan India mulai dari ‘Baarat’ (arak-arakan pengantin pria), dilanjutkan prosesi ‘Jai-Mala’ untuk mempelai perempuan, juga upacara ‘Saptapadi’ semacam tarian langkah mengitari api unggun.
Ada banyak tamu yang yang datang, sebagian bahkan terbang langsung dari India. Maklum, calon mempelai pria dari teman kuliah Daph ini memiliki status sebagai putra dubes India untuk Jerman.
Acara ini juga dihadiri beberapa pejabat negara lain sekaligus calon dubes India untuk Jerman periode selanjutnya,
Ronen Sen (54).
Daphine dan Hanna yang baru saja menyalami kedua mempelai, segera bergabung dengan kelompok reuni kampus mereka dahulu.
Daphine begitu populer dan terlihat sangat akrab dengan semua orang, memeluk satu-persatu rekan seangkatan, bahkan tidak ada lupa satupun nama mereka.
Mereka adalah alumni fakultas Matematika,
Universitas Humboldt Berlin. Daphine, termasuk dalam 10 lulusan terbaik sepanjang berdirinya jurusan ilmu penghitungan ini.
‘Tingtung... Tingtung... Tingtung...’
Di tengah momen senda gurau kegembiraan reuni, ponsel Daphine sempat-sempatnya berdering, ada panggilan tanpa nama kontak dari sana.
‘Degh !’
Subjek dan nomor ini, membuat Daphine langsung gemetaran, sempat ragu menekan ‘terima panggilan’.
( Percakapan telepon )
“Da, chto so zvonkom v eto vremya nochi ? (Ya, ada apa malam-malam begini nelpon ?)”
“Memang apa salahnya ?
Zzzttt... dimana kau sekarang ?”
“Pesta keluarga, bukan urusanmu juga.”
“Ya sudah. Hey Daphine, aku dengar
Zzzttt... ada surat kaleng kemarin.
Zzzttt... ada misi khusus untukmu.”
“Aku tidak sempat membacanya. Lagipula, tidak mungkin bertemu target malam ini !”
‘Zzzttt... Zzzttt...’
(Suara bising sinyal panggilan)
“Oh ya ? bagaimana jika kuberitahu,
Zzzttt... kalau ternyata target kita malam ini ada diantara pesta
Zzzttt... india ini...” jawab orang itu.
“What ? Hey Barsi, jangan bilang kau sengaja melacak dan membuntuti kami dari apartemen ?!” tanya Daphine.
“Itu mudah.
Zzzttt... Aku bisa saja menyuruh orang-orangku mengambil Max malam ini jika mau—”
“сволочь ! (Keparat !) lupakan saja keinginanmu, aku tidak membawa senjata malam ini !” umpat Daphine, menggunakan bahasa russky.
Hingga beberapa tamu meliriknya heran, langsung Daphine pergi dari tengah Hall.
“Huh, alasan.
Zzzttt... pergilah ke toilet, sudah kusediakan khusus untukmu. Ambil dan akan kujelaskan detail target kita malam ini.” kata orang itu.
Daphine langsung melipir dan berlarian menuju toilet wanita. Benar saja, begitu menggeledah salah satu tangki kloset, Daph mendapati bungkusan handbag wanita. Di dalamnya berisi pistol jenis
Walther dan alat kejut berbentuk pulpen.
“Surprise ! Aku pilihkan sesuai favoritmu. Sekarang, mari beralih ke 2 target ini.
Zzzttt... Seorang staf di kedutaan US dan India. Mereka yang memiliki detail laporan perjanjian ekonomi energi atom yang akan berlangsung beberapa bulan lagi,
Zzzttt...”
“Apa ?! Hey, Barsi aku sudah mengatakan sebelumnya. Aku tidak pernah terlibat pekerjaan koto’, Tugas lapangan tidak pernah dikeluarkan biro untukku ! Apa kau coba menyeretku lagi ?!” jawab Daphine.
Orang ini ternyata adalah
Yoryd Alexei Barsinov (48), mengawasinya dari seberang Hotel Berlin saat ini.
“Barsinov bekerja untuk detasemen GU Moskow, tanpa perlindungan diplomatik (Agen lapangan lepas). Dalam bertugas, hanya diawasi oleh 2 polisi intel dari sub divisi militer GRU Rusia,” - Daphine
Hubungannya dengan Daph ?
“Aku pernah bertugas sebagai informan dari divisi kontra-spionase SVR (setelah KGB bubar) di Abkhazia & Ossetia Selatan (Georgia), Tajikistan, hingga yang terakhir di wilayah Jerman Timur. Namun aku kini berada dalam pengawasan khusus pemerintah Moskow lantaran beberapa bulan terakhir— menurut mereka, aku mulai ‘tidak kooperatif’ dalam menjalankan tugas.” - Daphine
Disinilah Barsi memainkan trik liciknya. Menjadikan Daph tameng hidup dengan dalih menakut-nakuti. Jika tidak membantu misi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Barsi sendiri, maka Max dan keluarganya bakal terancam teror.
“Ini pelanggaran etik ! Aku tidak pernah diberikan perintah bertugas malam ini !” bentak Daphine.
“Kau pikir, mereka peduli dengan protokol semacam ini.
Zzzttt... Kau saja masuk daftar merah.” balas Barsi.
“AAAARGHHHH !!” teriak Daphine, kesal.
“Jika sampai kau menyentuh Max, kau adalah orang pertama yang kutemui bersama Barry ! jangan lupa, bahkan di dalam kubur aku masih bisa mencekikmu !” balas Daphine, balik mengancam.
“Huh ! sudah kubilang, aku benci perempuan yang suka berselingkuh. Beruntung kita dalam misi. Jika tidak pasti kuberi kecupan manis di keningmu.” ancam Barsi sebelum menutup telepon. “Aku mau kau membidik si India. Aku akan mencari si Amerika. Kita bertemu di lantai 3 setelah kuberi kode ‘
Mein-Kampf’, kau paham ?” Imbuh Barsi.
‘Cklek! Tutt.. Tutt... Tuttt’
....
Bebunyian musik tradisional India berganti menjadi musik
electronic-dance.
Acara berikutnya, pesta Holi. Holi adalah salah satu tradisi yang diadakan di India, merayakan kebaikan dalam melawan roh jahat.
‘Wohooo ! Hahahaha !’
‘Suittt ! Suittt !
Prok ! Prok !’
(Tepukan dan teriakan tamu)
Para tamu berpindah dari Hall, berkumpul di tengah bar hotel untuk berjoget, berdansa, bernyanyi, dan saling melempar serbuk pewarna kering, senjata air, dan balon air.
Sebelumnya, mereka juga diberi souvenir berupa kain selendang dupatta khusus untuk puncak pesta Holi ini.
‘Let’s go ! Wohoooo!’
Diiringi dengan beat musik DJ sebagai pengatur irama tempo musik. Kilatan lampu disco turut memeriahkan pesta malam ini.
‘Yeaakhh ! Wohooo !’
‘JEB ! JEB ! DUB ! DUB !’
(Suara beat musik DJ)
‘Ckrek ! Ckrek !’
Kilatan blitz kamera beberapa kali mengenai Daphine dan Hanna di tengah kerumunan masa yang asyik berjoget dan berlonjak-lonjak.
Ada diantara kerumunan saat itu, 5 turis asal India-Bangladesh. Beberapa kali, lensa kamera milik mereka seperti sengaja menyorot dan memotret Daphine. 5 pria itu juga terlihat begitu akrab seraya bergantian berfoto dengan pengantin pria.
Well, sepertinya mereka bukan cuma turis melainkan juga kerabat atau kolega dari sang mempelai pria.
“Hanna memaksaku masuk ke kerumunan. Seru juga, tema perayaan Holi seperti ini. Kami menari, berdansa dan bernyanyi ‘sing-along’ mengikuti musik ‘electro-dance’. Semua riuh, pecah ruah menjadi satu. Tapi aku menjamin selalu ada saja orang-orang yang berusaha cari kesempatan dalam kesempitan, mengincar kami dari belakang.” - Daphine
“Guys-guys !” kasak-kusuk bisik seseorang kepada rekannya, terdengar oleh Daphine.
“Look at front and rear bumper. And that girl, so cute right ?~ (Lihat tuh bemper depan belakang. Cakep juga ya tuh cewek~)” bisik mereka cabul.
Jelas ditujukan kepada Daph atau Hanna yang tidak jauh dari jangkauan mata mereka, di tengah kerumunan.
‘JEB ! JEB ! DUB ! DUB !’
(Suara beat musik DJ)
“Hsssttt !” imbau temannya.
Seketika, mereka ganti mengobrol dengan dialek
native India, yang tidak dipahami Daphine tentu saja.
Dilihat dari perawakan, wajah, bahasa, dan pakaian mereka saat itu, memang asli dari India.
Ketika keseruan berlanjut, saling melempar bubuk serbuk warna dan balon air yang membuat tamu-tamu berhimpit, melonjak, saling berdesakan.
Lima pria India barusan, seperti sengaja memposisikan Daphine dan Hanna ada di tengah-tengah kepungan mereka.
‘JEB ! JEB ! JEB !’
(Suara beat musik DJ)
Gnyut... sentuhan tangan mengenai tetek Daphine dari depan.
‘Plak !’ juga tepukan pelan ke pantat Daphine bersamaan, Hanna juga merasa seseorang sempat mencolek pinggulnya.
( )
“Hey ?!”
“Oh, y’ll sneaky bastard !” bentak Hanna. Tak perlu basa-basi untuk memberi mereka pelajaran.
“What’s going on, baby ? (Ada apa ?)” tanya satu diantaranya, berdalih, seolah tidak tahu apa-apa. Bicara bahasa Inggris
native India.
Sosok lelaki berkaca-mata, dengan dandanan perlente, kemeja pantai motif floral, berkulit hitam dengan kumis ‘aladin’ lebat. Dia yang tepat berada di belakang Daph. Jelas dia pelakunya.
“Sorry sir (Maaf pak), bisakah anda tidak membuat masalah di sini ? Tidak perlu dorong mendorong, apalagi coba-coba menyentuh kami !” serang Hanna, lumayan mabuk malam itu.
“Yes, of course ! jangan lupa kalau kalian juga menyenggol kami sebelumnya,” jawab lelaki ini. Sialan, tak sedikitpun menurunkan kaca-matanya.
“Hey ! Hey !” lerai seorang security yang bertugas.
Percekcokan singkat mereka, bisa diredakan oleh pihak keamanan. Memahami resiko, panitia langsung memisahkan tamu perempuan di sisi yang berbeda.
Daph yang memang sudah tidak mood dengan pesta malam ini, memilih menepi ke bar. Pikirannya tak karuan, mengambang, mengamati sekeliling seperti mencari-cari sesuatu.
Diantara keramaian, Daphine terlihat mulai tidak bergairah ketika diajak teman-temannya berdansa lagi. Matanya sibuk, mengamati sosok lain yang juga jauh dari kumpulan masa.
‘Degh !’
Ketemu !
Bagi seorang mantan informan lapangan seperti Daphine, tidak sulit menemukan targetnya. Apalagi mereka yang menyendiri. Memisahkan diri dari keramaian massa. Seperti sosok yang berdasar informasi Barsi sebelumnya.
“Laki-laki. 31 tahun. Seorang Staf di kedutaan besar India, Berlin. Perawakan kurus, tinggi sebanding denganku, model rambut belah tengah, dan mengenakan kaca mata tebal. ‘Target’ sepertinya tidak begitu membahayakan karena hanya duduk sendirian, tanpa penjagaan khusus seperti tamu-tamu kehormatan lain yang saat ini ada di ruangan VIP.” - Daphine
Daphine menghampiri langsung ‘target’. Bahkan belum juga sampai ke meja minuman, lelaki tadi langsung melirik ke arah Daphine.
( )
“Entschuldigen Sie, Fräulein (Permisi Nona), apa anda juga tamu si mempelai wanita ?” tanya lelaki itu.
Truly gentle, belum apa-apa sudah main ‘modus’, pun ternyata dia juga fasih berbahasa Jerman.
“Nicht wirklich warum ? (Tidak juga, ada apa ?)” tanya Daph cuek, meminum jus apel.
“Mmmh...” lelaki ini seperti berat mengatakan. “A-aku barusan mengajak teman perempuan untuk bertemu dalam sebuah acara bersama pak Dubes. Tapi, sampai saat ini dia belum juga tiba,”
“So ? (Lalu ?)”
“Jika berkenan... setidaknya sampai pukul 23.30 ini, aku mengajakmu menghadiri pertemuan ‘keakraban’ bersama Pak Dubes,” pinta lelaki itu,
“Hmm ? Tunggu-tunggu—” Daphine agak bingung.
“Anda mengajak orang asing yang bahkan kita belum saling mengenal nama, sementara temanmu itu bisa saja sedang bersusah untuk segera tiba.”
“Hahaha... maaf soal itu, namaku
Garagh Mokhanna (31), staf ahli kedutaan India. Maaf jika kurang berkenan, tak apa...” katanya, baru memperkenalkan diri, menjulurkan tangan kepada Daph terlebih dulu.
“Aku, Leonie~” balas juluran tangan Daphine, memperkenalkan diri dengan nama lain.
Mereka bersalaman, saling mengenal.
Setelah melakoni serangkaian obrolan panjang, negosiasi ‘alot’ juga karena pembawaan Khan yang lumayan seru, Daphine akhirnya menyetujui ajakan makan malamnya.
Tapi di sisi lain juga merasa campur aduk, iba, takut, tidak karuan karena lelaki sepolos ini bakal jadi target Barsi.
Tak berselang lama, Khan langsung menggandeng Daphine ke selasar Hotel, menuju ruang VIP.
“Berapa lama tinggal di jerman ?”
Daphine bertanya saat mereka berjalan beriringan. Menyusuri selasar, sebelum akhirnya mesti naik menggunakan tangga ke lantai 2.
“Hampir tiga tahun.
Oder es dauert länger. (Atau, bakal lebih lama), Kau ?” tanya Khan. Masih ada sedikit rasa canggung diantara keduanya.
“Jauh semenjak tuhan menjatuhkanku ke Berlin.” jawab Daph, membuat obrolan lebih luwes.
“Wah, benar juga. Hahaha,” kekehnya. “Ngomong-ngomong, gimana pestanya? pernah ikut festival holi sebelum ini ?” tanya Khan.
“Aku bahkan baru tau sekarang. Tradisi dan budaya kalian beneran keren !” puji Daphine.
Daph dan Khan menaiki tangga menuju lantai 2...
Saat menapak naik, Daph sempat melirik ke lantai atas. Diantara celah dinding hotel, seseorang sempat mengintip mereka sekilas, kemudian menghilang.
“Mmm... Leonie, apa kau datang kesini sendirian ?” tanya Khan.
“Menemani seorang kolega.”
“Dein Freund ? (Pacarmu ?)”
“Bukan, maksudku— namanya Hanna, dia sahabatku.”
“Oh. Hahaha.” kekehnya, juga ada rasa penuh harap di wajah Khan. “Kau sendiri, sudah punya pacar ?”
‘Degh !’
Pertanyaan terakhir yang diajukan kepada Daph, belum sempat dijawab karena dari arah ujung koridor, muncul dua orang pria. Satu pria setinggi 2 meteran, sementara satunya berpostur standar.
“Anyway, kau kenal mereka ?” tanya Daphine.
“Tidak juga.” jawab Khan. Merasa ada yang aneh juga dengan gerak-gerik kedua orang yang sedang menuju kepada mereka.
“Karena temanku, Hanna, sempat bermasalah dengan orang India seperti kalian di bawah.” jelas Daphine.
“Oh ya ?” tanya Khan kembali melirik kepada dua orang di depan mereka.
Salah satu pria bahkan hampir setinggi pintu hotel.
‘Ckrak !’
Rekan si raksasa tiba-tiba menarik pistol dari saku setela jas
tuxedo.
‘PSYUU !!
PSYUU!’
(Tembakan pistol redam suara)
2 tembakan peluru pistol redam dari rekan si pria raksasa hampir saja membunuh Khan, jika lehernya tak sempat diseret Daphine. Merebah, mereka berlindung diantara tembok.
‘WUSHH ! WUSSHH !’
‘Ckrak !’
Daph juga langsung mengokang pistol, Khan di sebelah tentu ketakutan.
“K—kau membawa senjata api, pekerjaanmu polisi ?” tanya Khan.
“Schnell Rennen ! (Cepat lari !)” bentak Daphine.
“Maaf, aku tidak benar-benar berniat pergi ke perjamuan kalian.” Imbuhnya.
‘PSYUU !
PSYUU !’
(Tembakan pistol redam suara)
Peluru musuh mulai merembet, menembus tak kurang jarak 10 inchi ke posisi Daph dan Khan, yang bersembunyi di balik cekungan tembok koridor hotel. Mereka semakin terdesak.
“Hah ?!” Khan bingung dengan maksud Daphine barusan.
‘WUSHH ! WUSSHH !’
“CEPAT LARI !” bentak Daphine.
“Sesuai aba-aba dariku !” tambah Daphine, bersiap membidik musuh.
“Ada keamanan di sekitar sini, aku akan cari bantuan di bawah !” seru Khan.
‘PSYUU !!
PSYUU!’
(Tembakan pistol redam suara)
Satu... Dua... Tiga !
‘Ckrak ! Ckrak ! Ckrak !’
Daphine tiga kali menekan pelatuk. Menembak ke arah dua penyerang mereka. Sialan, dia sudah ditipu !
“Was ?! (Apa ?!) Bajingan itu!” umpat Daphine.
Begitu menyadari sudah ditipu Barsi yang cuma memberinya bedil kosong tanpa amunisi.
“Ada apa ?!” Khan sudah kadung berlari 5-7 langkah, berbelok turun tangga.
Tapi...
‘PSYUU !!
PSYUU!’
(Tembakan pistol redam suara)
‘GBRKK !’
“A—akh!”
Kaki Khan terkena salah satu tembakan dari pistol silencer musuh. Membuatnya jatuh tersungkur di tangga.
“Apa mau mu, bangsat?!” Daphine sempat berniat menolong Khan, namun...
‘Bugh !’
.
.
.
.
‘Plak !’
Belum juga melangkah, namun sempat meraih pulpen kejut, pria raksasa tadi langsung menimpuk keras wajah Daphine sampai jatuh tersungkur.
“A—AARGHH!”
Daph sempat menyerangnya, pulpen kejut tadi sudah di tusukan.
“Dua orang lelaki, yang aku tebak dari biro GU yang sama dengan Barsi. Seorang perawakan tinggi menjulang hingga 2 meter. Kita sebut saja mereka ‘si raksasa’ dan ‘si kecil’. Kepala mereka sama-sama plontos. Khusus si pria raksasa, wajahnya begitu mengerikan, apalagi dengan jangkauan telapak tangannya, mampu menggenggam dua kepala manusia sekaligus. Si raksasa lah yang pertama menerjangku.” - Daphine
‘Zzzzrrrrrttt !!’
Sengatan listrik sempat mengenai pria raksasa.
Tapi tidak lama, tenaganya yang bukan seperti manusia pada umumnya, si pria raksasa setinggi kusen pintu itu mencekik leher Daphine dengan satu tangan dan mengangkatnya 20 cm di atas tanah!
“Argh ! Lepasin dasar babi !”
Tangan Daph coba mencongkel matanya, mencakar, menampar wajah lelaki ini. Gila. Kepalanya keras bagai batu solid.
‘Brkk ! Bugh !’
Kaki Daphine masih sempat menendang keras perut si raksasa. Coba memberontak, juga coba menyepak titik pinggang lelaki raksasa ini. Sempat melawan, coba melepaskan diri, tapi sia-sia.
“Hoakh! E-ekhhhh!”
Suara Daphine jadi termengah-mengah, seperti orang asma. Mulai kehabisan nafas mendapat cekikan seperti itu.
Leher Daph terasa bagai ditusuk besi tajam yang bahkan bisa saja ini membunuhnya dalam sekejap.
“Hemmphhh— Eekh!”
“Mataku terasa panas, warnanya berubah jadi merah darah. Perih. Seperti bakal copot keluar, bersamaan dengan remuknya tenggorokan. Pendengaranku perlahan menghilang. Tidak sampai 5 detik. Semuanya menjadi gelap. Hilang. Mengambang.” - Daphine
(Kamar No 32, Hotel Savoy Berlin)
Pukul (UTC+1) 00.15 dini hari
Kamar Nomor 32. Lumayan cantik interiornya, gaya Eropa vintage dengan perpaduan furniture kayu tua.
‘Srrrkkk... Srrrkkk...’
Daphine merasa seperti tengah diseret. Dia mengerjap sesekali, punggung dan lehernya mulai terasa nyeri, seperti sedang digotong dua orang layaknya seekor babi buruan. Tangan-kakinya menjuntai seperti huruf ‘X’. Seorang menggotong kedua tangannya dan satu orang lainnya menggotong bagian kaki.
Kepalanya menukik ke bawah. Daphine bisa membuka sebagian mata, perlahan, tapi masih terlihat buram dan silau dengan cahaya lampu plafond hotel.
“Engghh—”
Matanya menyilau perlahan. Dia cuma bisa mengamati lewat celah langkah demi langkah kaki orang yang sedang menggotongnya.
Kedua orang penggotong ini seperti mengikuti langkah kaki si pria raksasa yang barusan mencekiknya sampai pingsan.
“Emmh—”
Si pria raksasa memanggul kantung
trashbag, yang dugaannya adalah jasad si Khan.
‘Ngikkk—’
Si pria raksasa membukakan pintu untuk Daphine juga kedua orang yang menggotongnya.
Mereka masuk ke salah satu kamar hotel di lantai 3. Disana sudah di tunggu Barsi, teman si raksasa, juga tiga laki-laki India lainnya, entah siapa mereka ini.
Paling mengerikan, saat Daphine mendapati 2 bungkus
trashbag lain tergeletak di kolong ranjang, juga sosok laki-laki yang posisinya tengah diikat, digantung ke atas langit-langit plafond.
Sepertinya isi
trashbag tadi, termasuk orang ini adalah target Barsi, selain Khan.
Barsi sendiri hanya duduk di kursi, mencorat-coret beberapa berkas, sembari berbicara via telpon dengan siapapun itu, menggunakan bahasa russky.
Sementara si pria raksasa dibantu temannya, membuka jasad dalam bungkusan
trashbag tadi.
‘Degh !’
Ternyata jasad itu bukan Khan. Lalu dimana si Khan tadi ?
Hanya dua kemungkinan. Dia selamat, walaupun kecil kesempatannya, atau sudah masuk diantara dua
trashbag lainnya.
Tak berselang lama, Barsi mulai mengemasi berkas-berkas tadi ke dalam koper. Sementara si raksasa, mulai mengerjai laki-laki yang tergantung sekarat.
Laki-laki malang itu digantungkan ke langit-langit, diikat selendang Dupatta sedemikian rupa.
( )
“Daphine,
Znayesh’ chto ? (kau tahu ?) orang-orang ini berusaha menghalangi pertemuanku sebelumnya.” kata Barsi, dalam bahasa Rusia begitu kesadaran Daphine mulai pulih. “Juga dengan turunnya perintah untuk menyabotase perjanjian ekonomi energi atom, itu alasanku untuk menarget mereka. Oh ya,
bravo juga untuk bantuanmu hari ini, Daph !”
“Hemph !”
Daphine merintih dengan kondisi tenggorokan yang sepertinya mengalami cedera dalam.
“O vashem oruzhii ? (Soal senjatamu ?)” imbuhnya. “Kau gila? mantan agen KGB cantik sepertimu, bisa-bisanya ceroboh tidak mengecek senjata dulu ?” tambah Barsi.
Barsi lanjut mengemasi berkas ke koper. Tidak lama berselang, gesture darinya, seperti mengangguk kepada si pria raksasa.
“Eemhhhhh !!”
Sementara isak tangis disertai teriakan histeris tertahan lelaki yang tengah digantung, saat si raksasa menurunkannya dari atas, begitu juga jerat selendang yang dilepaskan.
Pria yang merupakan seorang staf kedutaan US itu mulai menangis, seperti meminta tolong kepada Daphine yang juga tidak berkutik, dalam sekapan lima orang India tak dikenal.
Si pria raksasa mengelus pipinya perlahan, mengelap air matanya. Tersenyum, seolah mengatakan, ‘tidak akan terjadi apa-apa...’
‘Klek ! Krek !’
Bunyi tengkorak ataupun tulang leher yang koyak dipelintir keras, dua kali ke arah yang berlawanan.
“EMMGHHH !” teriak Daphine, menangis histeris.
“HAAAAKH !”
Teriakan penuh lara juga kelima orang India. Mereka jelas shock. Tidak mengira bakal jadi saksi proses eksekusi.
Melihat kepala korbannya sudah terpuntir ke belakang. Si raksasa segera melepasnya, ambruk kaku di bawah.
Teman si raksasa kemudian datang, mengira akan membungkusnya ke dalam
trashbag, malah...
‘DORR ! DORR !
DORR ! DORR !’
(Tembakan pistol tanpa peredam suara)
“Hahahaha...” kekeh mereka berdua.
Seolah, memamerkan proses p2ertunjukan sirkus kepada Daphine dan lima orang India. Gila. Ini sudah lebih dari batasan kejiwaan manusia.
Sebelumnya Daph mengira mereka akan membuat skenario seolah-olah pria ini ditemukan mati dalam keadaan gantung diri. Ternyata tidak demikian.
( )
“Moya rabota segodnya vecherom sdelana (tugasku malam ini sudah beres), jika sempat, aku akan mentraktirmu besok pagi,” kata Barsi. “Aku suka dengan gagasan ‘Pedang’, dibanding Barry yang kau analogikan sebagai ‘Busur’. Berbeda dengan pedang yang mudah untuk membunuh, busur hanya akan mematikan jika ditembakkan. Itu pun masih harus membidik targetmu dari jauh. Untuk semua yang kau katakan soal kebaikan ‘Barry’-mu itu.
Huft, padahal aku ini tipikal setia lho. Yasudah, selamat berpesta~” imbuhnya.
‘Drrkkk !’
Barsi bangkit dari kursi, setelah membungkus berkas-berkas tadi ke dalam koper.
Sementara dua eksekutor sadis tadi, sudah keluar kamar lebih dulu, menyeret 3 bungkusan jasad dalam
trashbag, untuk dibuang ke pipa saluran shaft sampah.
Barsi langsung beralih, menyalami lima pria India yang jujur masih shock dan ketakutan karena kejadian barusan.
( )
“My brother, maaf siapa nama kalian sebelumnya?” tanya Barsi dalam bahasa Inggris kepada semua India itu. Tak lupa berjabat tangan dengan masing-masing.
Lima India tadi langsung menjabat tangan Barsi seraya merangkulnya, sok akrab. Mungkin, kadung ngeri dengan sosok Barsi dan dua temannya.
“Namaku
Ammar Karnad (35)”
“A-aku
Deeven Kashr (31)”
“—
Ankush Bajwa (32)”
“
I’m Jagam Mishra (34),
Sir !”
“namaku
Khadib Sharma (35),
brother~”
Jawab mereka satu persatu, dengan suara bergetar. Menggunakan bahasa Inggris, aksen
native India.
“My brother, if you want to fuck her, this is our time ! Now or never. Kapan lagi, bisa ngewe sama cewek Jerman, ya kan ?” kata Barsi kepada kelima orang India ini. “—oh iya, awas, jangan sampai lecet apalagi sampai rusak parah,” imbuhnya.
‘Jglek !’
Tertutupnya pintu oleh Barsi, itu artinya Daphine akan mengalami malam yang panjang.
Ada sekitar empat orang laki-laki menyeramkan yang berdiri mengerubungi Daphine. Melotot kepada Daphine. Mengamati ketidakberdayaan perempuan yang tengah terbujur lemah di ranjang.
“Sekilas aku seperti tidak asing dengan wajah mereka, satu-persatu. Dan ternyata benar. Mereka adalah keempat laki-laki India yang sempat cekcok dengan Hanna di lantai pesta tadi. Entah bagaimana ceritanya, mereka bisa bersekongkol dengan Barsi malam itu.” - Daphine
Sepeninggal Barsi, kelima orang India itu sempat beradu mulut. Salah seorang yang paling muda, namanya kalau tidak salah adalah
Deeven Kashr (29), tidak setuju dan menolak terlibat atas apa yang akan teman-temannya lakukan malam ini.
( )
“Tidak mau terlibat, yasudah. Pergi saja sana! Orang itu (Barsi), menjamin kalo kita bakal aman.” kata lelaki bernama Ammar.
“Bodoh, dia jelas berbohong. Ini jebakan! Kalaupun benar aman, apa yang bisa kita harapkan dari kata-kata seorang pembunuh seperti mereka ?” balas Deeven.
Tapi tetap tidak digubris keempat temannya yang sudah mabuk dan dibutakan nafsu semenjak bertemu Daphine di lantai pesta.
“Pergilah ! memang tidak cocok mengajakmu masuk ke kelompok !” bentak Jagam, pria berjambang lebat, badannya terlihat paling proporsi diantara mereka.
“Dasar pengecut! Kapan lagi bisa ngewe sama cewek Jerman !” umpat
Ankush (32), sepertinya usianya dengan Deeven tidak begitu jauh.
“AARGHHH!” teriak Deeven, frustasi. “Sampai kalian bisa tiba dengan selamat ke sini, aku rela membayar ongkos mahal penyelundup, untuk mencarikan kalian pekerjaan yang layak! Bukan malah jadi kriminal pemerkosa !” imbuh Deeven, yang emosi lantas membanting pintu keras dari luar.
‘Cklek !’
Pintu langsung dikunci dari dalam oleh lelaki yang terakhir memperkenalkan diri sebagai Khadib.
....
‘Klik !’
Sakelar lampu sengaja di matikan, penerangan hanya berasal dari lampu tidur di atas meja
buffet.
Di atas ranjang, Daphine masih tak berdaya dengan posisi tertelungkup bersamaan kedua tangan yang diikat ke depan.
Sudah 5 menitan. Diam-diam Daph coba melepas ikatan yang memborgol kedua tangan dengan cara mengigitnya. Ini adalah usaha terakhir untuk keluar dari sini hidup-hidup.
Kakinya juga diikat demikian, tapi lumayan renggang, tidak begitu merepotkan. Masih sanggup dia ayunkan tendangan kalau-kalau mereka berempat makin beringas.
Sementara si keempat pria tadi, seperti sedang beradu argumen menggunakan bahasa aneh yang tidak Daphine pahami.
“Ini adalah salah satu malam panjang yang mengerikan. Saat aku berada diantara hidup dan mati. Pun tidak semengerikan pengalaman di ‘Camp-Romeo’ beberapa tahun lalu.” - Daphine
Efek dari pukulan keras si pria raksasa tadi sampai membuat wajah Daphine seperti mengalami lumpuh sebagian. Rahang bawahnya terlalu lemah saat coba menggigit lepas jeratan selendang dupatta yang melilit kedua pergelangan tangan.
Ini bisa diakibatkan karena cedera saraf yang membuat otot wajah tidak bekerja normal saat membuka mulut.
“Oh
hey babe~” senyum mengerikan salah satu dari mereka,
Khadib (35), tiba-tiba muncul di depan muka Daphine yang coba melepas ikatan tangannya.
Dia adalah sosok yang berkaca mata saat di lantai pesta tadi.
“Emmghh !”
Daphine menggeleng saat tiba-tiba ditarik bergeser ke tengah ranjang.
Dia coba mengiba dengan suaranya yang masih bisu, saat bagian paha sampai bokongnya dari balik jumpusit mulai diraba-raba oleh salah satu dari mereka.
Nyekk, Nyek, Nyek
Tangan-tangan lain mulai menyingkap bagian belahan dada jumpsuit, menelusupkan tangan dari manapun.
Tetek Daphine sampai membekas lecet, ruam merah. Tergores cincin ali-ali yang masih mereka kenakan ketika kalap berebut meremas ke dua bagian paling menggemaskan itu. Resiko yang akhirnya Daphine terima karena terlalu berani memamerkannya.
“Woah,
you're so beautiful~” pujian keempat orang itu semakin gemas, beramai-ramai menelusupkan tangan mereka, meremasi tetek Daphine.
‘Brett !’
Salah satu dari mereka sampai berani membredel sobek belahan jumpsuit Daphine.
“EMMPHH !”
“Hehehe,
I like It~” kata seorang begitu tangan-tangan mereka bergantian mengucal, meremas, menggelitik puting areola Daphine.
“Emmph !”
Daphine memberontak, mengguling-gulingkan badan ke samping kanan-kiri.
Keempat India itu heboh berebut merogoh dada Daphine, meremas-remas setiap jengkal yang bisa mereka jangkau dari balik jumpsuit Daphine.
Tidak mau kalah.
Ammar (35), yang berambut gondrong, menyisihkan paksa tangan-tangan ketiga konconya dengan membuka lebar masing-masing kedua telapak tangannya untuk mencengkram kasar seluruh daging mengkal Daphine.
“HNNGHHHH !”
Daphine langsung mengamuk, meronta, coba menimpuk dengan kedua tangannya yang masih terikat sesekali menggulingkan diri begitu bagian atasnya mulai dilecehkan beramai-ramai seperti ini.
Tidak hanya bagian Tetek Daphine yang dipermainkan ramai-ramai, digrepe-grepe.
Dari balik jumpsuit Daphine yang sudah koyak dan berantakan, nampak gumpalan tangan mereka semua yang bergerak menelusup dari bagian dada, kemudian turun, sampai berusaha merogoh celana dalam Daphine.
“Idiot ! Bar-bar sekali mereka ini. Semuanya berebut justru yang ada malah menyakitiku. Entah muat sampai berapa tangan yang memaksa menelusup masuk ke jumpsuit yang ku kenakan ini. Mereka ini gila dan beringas ! Meremasi tetek cuma untuk melihatku ketakutan, mencubit kasar puting areola hanya ingin mendengar teriakanku. Dasar orang rendahan! Bagaimana bisa ‘percobaan-pembunuhan’ seperti ini mereka sebut pesta malam ?” - Daphine
“Mmmph ! Muach !”
‘Degh !’
Ketika bagian tengkuk hingga leher diciumi, bokong Daphine juga bersamaan diremas dan dielus pelan.
“Hmph !
Slrrpp...”
‘Srrrng !’
Ada gigitan dan jilatan kecil yang membuat Daphine gemetar sesaat ketika bagian sensitif telinga, tengkuk,
‘klik’ kuncir rambut ginger panjangnya dibuka, sengaja digerai oleh satu dari mereka.
“Mmppffh…”
Daphine menahan nafasnya saat mulai bagian bawahannya sampai atasan jumpsuit mulai dilucuti satu persatu.
Daphine memberontak, menepis usaha orang itu dengan tangannya yang masih terikat. Tapi, segera ditangkis oleh salah satu pria yang entah siapa itu.
Keadaan kamar saat itu sudah sangat gelap.
Sejatinya Daphine berteriak dalam senyap saat dilecehkan sedemikian rupa oleh empat pria asing sekaligus. Ada semacam trauma pada kejadian seperti ini yang bahkan lebih parah di masa lalu.
“ENNGHH !” Daphine menggeleng.
‘Krekk ! Brettt!’
Seorang dari mereka langsung membetot sobek bagian bawahan jumpsuit Daph. Lumayan kasar.
Daphine coba mengayunkan tendangan, tapi itu malah memudahkan mereka melolosi bawahan jumpsuit lewat pinggul, lutut, dan berakhir di kaki.
Hawa dingin AC langsung bisa Daphine rasakan karena bagian bawahnya sudah polos tanpa dalaman.
“E—engghh !”
Daphine bergulingan, coba menutupi itu dengan kedua tangannya yang masih terikat.
Tidak hanya Daphine yang dipaksa bugil, masing-masing baju yang sebelumnya keempat India pakai juga sudah ditanggalkan. Berikut celana dan dalaman masing-masing.
Bau keringat dari badan mereka langsung ketahuan Daphine.
Dari balik remang cahaya, Daphine sempat melirik bagian bawahan mereka satu-persatu.
Antara ngeri juga surprise dengan perwujudan mereka. Sepintas, ada kemiripan dengan Pak Radhaj juga Rakash. Tapi yang kali kini badannya lebih bau, dekil, dan serampangan.
Pun tidak begitu jelas, tapi keseluruhan bulu kemaluan mereka dicukur bersih. Kontras dengan Radhaj ataupun Rakash yang penampilan area selangkangan mereka yang awut-awutan.
Daph pikir mereka memang sengaja mencukur habis itu untuk mencari pekerjaan sebagai aktor film porno, semacamnya.
( )
“Nggak ! Nggak seru kalau langsung keroyokan. Aku tidak setuju. Memang apa enaknya ?” tanya Ammar kepada rekannya.
“Kalau kita bergiliran, siapa yang pertama ?” tanya Ankush.
“Tidak. Menurutku tidak adil menggunakan urutan. Bagaimana kalo berpasangan.” usul Khadib.
“Sudah kubilang ! Aku ogah main barengan !” tolak Ammar.
Sepertinya Ammar ini tipikal cowok
straight, ‘konvensional’, tidak senang dengan ide
gangbang atau
threesome semacamnya.
“Ya ya okey. Kita ambil jalan tengah. Kita adu suit, yang pertama-kedua boleh memilih main berpasangan atau single.” usul si Khadib.
“Bukan ‘gangbang’ atau pesta keroyokan sebagaimana mestinya, mereka malah sibuk mengambil peluang bergiliran,” - Daphine
“Hey, babe~” datanglah satu orang ini.
Ada yang langsung tertawa puas, ada juga wajah yang dongkol dalam adu-peluang barusan.
“Sosok pria berjambang lebat, badannya lumayan ‘kencang atletis’ dengan beberapa tato menghias lengan. Kalau tidak salah bernama Jagam (34), langsung melompat ke ranjang. Menakutiku yang tidak paham harus mulai dari mana.” - Daphine
‘Nggik ! Ngikkk !
Ngikk ! Ngikkk !’
(Derit guncangan ranjang begitu Jagam melompat)
“AAARGHH !”
Daphine berontak meskipun belum berhasil lepas dari jeratan di pergelangan tangannya.
‘Brkk !’
Daph masih sempat bergulingan, menghindari sosok menakutkan ini. Hampir saja kena tubrukan Jagam.
“Bau Keringat dan nafas Jagam masuk ke kategori ‘buruk’. Aku bisa merasakannya saat dia mulai merangkulku di ranjang. Nafasnya memburu, pelukannya lengket karena keringat.” - Daphine
“Mmmphh !”
Daphine menggeleng. Hanya sanggup mengiba pada keempat laki-laki India itu.
Apa itu berguna? jelas tidak.
Jagam awalnya hanya bergelayut sebelum mulai menindih Daphine yang dalam posisi telungkup, Daphine menggeleng saat dipaksa berciuman, dia langsung menolak dan memalingkan wajah.
“Mmmh! Muach! Hehehe...” kekeh Jagam, sesekali memaksa mencium, lalu mengendus turun ke pundak Daphine.
Jagam tidak peduli dengan segala penolakan Daphine barusan. Nafas buasnya beralih mengendus, menciumi gemas tengkuk dan leher Daphine.
Bau keringat Jagam, juga sensasi geli brewok lebatnya saat menggesek tengkuk Daphine.
Daphine pasrah saja ketika Jagam sedikit menggeser posisinya, serong ke samping dengan kedua kaki juga membentang silang menyamping, seraya membuka lebar lubang paha Daphine.
Yah, dengan tangan yang diikat apa yang bisa Daphine perbuat ?
“Juih !”
Jagam sempat membasahi liur, mulai menekan masuk benda itu ke lubang Daphine yang tentu saja tidak mengira bakal langsung mendapat penetrasi.
“Oughhh...” gerakan yang sedikit memaksa, ujung kepala lunak Jagam masih terasa kesat, menjebol celah paha dalam Daphine.
“H—AARGHH!” pekikan Daphine. Terkejut, mulutnya sampai menganga sesekali melirik di belakang sana.
“Hsssshhh~” desah Jagam, sampai terpejam.
Ini pengalaman pertamanya bersetubuh dengan perempuan Eropa. Karena terlalu agresif tanpa melanjutkan foreplay, itu terasa panas saat bagian kepalanya menyeruak masuk. Selanjutnya hanya ada sensasi ‘geli’, seolah dalaman Daphine mencengkram dan memijit tiap titik-titik saraf penis Jagam.
“Eemnghhhh... A-aarghh~” pekik Daphine, mengira Jagam bakal melanjutkan ‘foreplay’ sebelumnya.
Jagam saat mencengkeram pinggang Daphine sebagai pegangan. Daphine diposisikan berbaring miring, dengan perlahan ujung kepala kontol si Jagam mulai masuk menembus celah pangkal paha Daphine.
“Ouw! Ouuffff~” lenguh Daphine.
Masih terasa ngilu, karena keadaan paha dalam Daph yang masih kesat tanpa pelumasan terlebih dulu, malah langsung di genjot dengan kasar.
“Hegh! Hekh! Hegh! Emphhhh...”
Perlahan dan perlahan, sebagian dan disentakkan mentok kemudian. Tiap inchi bagian Jagam masuk, menjojoh memek Daph.
‘Plok… Plok… Cpok ! Cpok !’
‘Plok… Plok… Cpok ! Cpok !’
“Emmghh... A—akh! Akhh~”
Tetek Daphine diremas kasar dari samping, bokongnya makin tandas ditumbuk, tusukan penetrasi yang makin mantap nan liar.
‘Cplk.. Plok.. Plok!’
“Emmh! Emmh! Emmh!”
Daphine melingukan wajah kepada Jagam, menggigit bibir, tapi juga meringis ngilu. Ini semacam ‘penghargaan’ kepada lawan main, yang ‘sukses’ membuat Daph penasaran.
Mendapati respon Daphine, Jagam makin bernafsu. Menusuk kasar dengan tempo cepat sampai Daphine terpekik kadang mendongak, menganga nikmat.
‘Pok.. Pok.. Cpok ! Cpok !’
Kepalanya terguncang kesana-kemari, mengikut tumbukan dan sentakan pinggul Jagam.
Rambut ginger Daph yang mulanya berangkat dalam keadaan lembut, rapi dan wangi semerbak sudah berantakan. Lepek, basah oleh keringat, pun kusut karena terpental kesana-sini.
“Ouw, Yeah... Yeah... Arghhhh~” suara Daphine perlahan pulih. Yang pertama keluar dari mulutnya hanya erangan nikmat, bukan rintihan atau penolakan sebagai korban.
“Ini gila ! Yang pertama saja sudah bikin kelimpungan. Ketiga yang lain sabar mengantri, menunggu giliran. Sementara bagian bawahanku seolah menyedot, memijit nikmat benda keras yang belum sempat kuamati lebih detail ukurannya...” - Daphine
‘Plok… Plok… Pok.. Pok.. Plok!’
( )
“Do you like It, honey ?” bisik Jagam menggunakan bahasa Inggris ‘gado-gado’ India.
“Mmmphh, Ouw Yeah~”
Liur Daphine sampai merembes melalui celah bibir, juga sebagian membekas di sprei.
Tangan Daphine yang terikat sesekali mengerjap, meremasi bantal ketika tusukan demi tusukan kian mentok sampai dalamannya.
‘Plok ! Plok ! Pok... Pok...’
Suara becek tepukan pinggul dan bokong,
‘Plak ! Plak !’ diselingi sabetan tangan Jagam jadi pemicu ketiga rekannya mulai mengelus kontol mereka sendiri di sofa.
“So, you ever played a party ?
(Pernah berpesta sebelumnya?)”
Jagam sempat bertanya demikian, sementara sentakan pinggul dan nafasnya yang kian melemah.
“Y-yeah~ Sshhhhh !”
Daphine malah menangguk manja, di antara tumbukan dan remasan ke tetek jumbonya.
Mendengar itu, Jagam sempat terperangah, diikuti ketiga orang lainnya kompak berdiri mendekati ranjang.
“Akhhh~Mmpfff... Huh ?”
‘Degh !’
Daphine baru tersadar, merasa sudah kelewatan mengartikan jawaban tadi.
“Bulu kudukku merinding, begitu ketiga orang lainnya sudah duduk di tepi ranjang, mengelilingiku bersama Jagam. Seperti pegulat Smackdown yang bersiap digantikan rekannya untuk bertarung ke dalam ring. Malam 13 Maret itu masih berlanjut, entah bagaimana akhirnya...” - Daphine.
[ LI ]