EPISODE 10 PART III :
UNIT-355
1999's
(Ladenburg, regional Hessen, Jerman)
11 April 1999 | Pukul (UTC+1) 07.30 pagi
Frankfurt, 3 hari kemudian.
‘Grngggggg...
Tinn !! Tinn !!’
(Bunyi klakson mobil)
Ini adalah minggu pagi, saat beberapa mobil campervan mulai terlihat memasuki jalan bebas hambatan keluar dari wilayah Frankfurt.
Hampir 1 jam, Daphine mengendarai mobil pickup 4x4 di akses tol menuju selatan. Tidak sulit menemukan jalan tikus (alternatif tol) dari peta. Yang sulit adalah menemukan pom bensin karena mobil pinjaman ini borosnya bukan main.
“Ini semua gara-gara Hanna! Setelah pesta malam di rumah 2 hari lalu, mendadak mobilnya yang terparkir di halaman rumahku tidak bisa menyala. Mobil Hanna langsung dibawa Demon ke bengkel langganan, ada temuan indikasi pada bagian Dynamo-Altenator yang rusak, sementara servis terakhir tahun lalu. Wah memang dasar ini anak! Terpaksa kupinjamkan mobil untuk keperluan sehari-harinya. Toh, selama aku di Frankfurt juga tidak sebegitu urgent untuk membawa mobil pribadi—awalnya pikirku demikian~” – Daphine
Tapi, seru juga trip-solo seperti ini...
Ada beberapa kali Daphine turun untuk menanyakan arah, yang ada malah ditawari jasa tourgate untuk menemaninya trip ke kota, Hahaha. Walau sebetulnya tidak perlu waktu sampai 6 jam untuk berkeliling.
Dengan luas yang hanya 19 km persegi (tidak lebih besar dari kecamatan Depok, Yogyakarta), Ladenburg memang lebih cocok disebut kecamatan ketimbang kota wisata. Populasi warganya saja cuma menyentuh 11 ribuan.
Nah, jika anda tetap bersikukuh untuk sekedar mampir, destinasi pertama dalam tour tentu saja berkunjung ke monumen Stadtfuehrungen yang masih satu kawasan dengan perkampungan tua abad 17-an, St. Gallus.
Ada juga sejenis kawasan bersejarah kerajaan Prusia kuno berikut reservoir air pertama yang ada di Wasserturm.
Membosankan? lumayan...
Tapi jangan salah, bagi pecinta otomotif khususnya penggemar mobil Mercedes, kota sekecil ini ibarat ‘kiblat’ mereka jika pergi 'haji' ke Jerman. Banyak kolektor kaya, mencari mobil mercy klasik langka yang bisa ditemukan dengan harga murah tersebar di seluruh regional ini.
Ada tour mengunjungi Carl-Benz-Haus, rumah seorang insinyur pencipta raksasa brand otomotif asal jerman, Mercedes-Benz. Atau, juga bisa mengunjungi musem utamanya, dengan koleksi mobil Mercy yang lebih lengkap, Automuseum Dr. Carl-Benz.
Ladenburg tidak hanya mengandalkan sektor wisata berupa museum atau sejarah kota tuanya, ada juga wisata alam yang berupa danau konservasi Heddesheim, salah satu destinasi wisata paling ramai di regional ini.
Walau perlu waktu sekitar 20 menitan untuk mencapainya, pun begitu orang-orang akan tetap antusias berkunjung ke sini pada musim panas atau hari libur.
Tapi sudahlah, Daphine belum berminat untuk melakukan tour keliling kali ini. Next time, mungkin akan mengajak Hanna dan Max.
(Ladang panel surya, Leutershausen)
Pukul (UTC+1) 09.15 pagi
Daphine berbelok memasuki sebuah kawasan perkebunan jagung daerah
Leutershausen, sekitar 10 km dari pusat kota tadi.
Akses masuknya tidak terlalu bagus, untung mobil yang Daph gunakan sejenis 4x4, mulus saat menerjang beberapa lubang jalan.
Begitu tiba, matanya langsung disuguhkan hamparan perkebunan dengan beberapa lahan hampir 1 hektar yang sudah dijadikan sebagai ladang
Solar & Fotovaltaik (Pembangkit listrik tenaga Surya). Ada juga beberapa kincir angin yang beroperasi di wilayah ini.
....
‘Tok ! Tok ! Tok !’
Daph mengetuk pintunya. Sebuah rumah seluas hampir 400 m2, letaknya tidak terlalu jauh dari PLTS tadi. Beberapa pilar model
doric dengan bagian fasad yang terlihat elegan untuk ukuran rumah di pedesaan.
Ada jeda sekitar 5 menitan sampai si pemilik rumah terlihat dari jendela teralis beralih turun dari tangga untuk membuka pintu.
Keterangan alih bahasa :
: Percakapan Native bahasa Jerman
: Percakapan Native bahasa Russky
: Percakapan Native bahasa Hindi
( )
“Ya ?”
Sosok laki-laki yang bisa dia tebak si pemilik rumah terlihat bingung. Heran. Mengernyit saat tiba-tiba datang tamu yang mengetuk pintu rumahnya.
Mobil Ford 4x4 yang terparkir, penampilan, juga riasan wajahnya, jelas perempuan ini bukan dari wilayah
Ladenburg.
“Guten Morgen (Selamat Pagi), maaf mengganggu. Aku seorang staf dari kantor John Hancock & AOK mau menyampaikan pesan dari Pak Roger Kartheiser untuk anda, Tuan Helmund Keitel ?”
Daphine mengulurkan tangan, memperkenalkan diri, dan menjelaskan tujuannya datang.
“Roger, soal urusan apa? dia tidak menelponku dulu ?” tanya si pemilik rumah.
Daphine kemudian menyerahkan selembar surat. Yang langsung diterima si pemilik rumah, membacanya detail satu-persatu kalimat.
“Aku dari divisi kewirausahaan, mau membuat semacam dokumentasi tentang proyek panel surya yang sedang anda geluti... tentu karena anda sebagai nasabah perusahaan kami. Maaf, apa anda punya waktu luang ?”
“Oh, ya tentu. Ayo silahkan masuk !” jawab laki-laki itu, walau terlihat kurang berkenan pun tetap sopan mempersilahkan Daphine masuk.
“Terima kasih. Dan... Woah ! Ini benar-benar ide rumah yang paling menarik yang pernah kulihat !” puji Daphine saat melirik ke dalam, kemudian melangkah masuk.
“Danke (Terima kasih), ini juga digunakan untuk beristirahat para pekerja.” jawab si pemilik rumah.
Interior, pilar, dan ukiran langit-langitnya begitu kental bergaya khas arsitektural
roman.
“Anda punya selera terbaik !” puji Daphine, sekali lagi.
“Maaf sebelumnya. Siapa namamu ?”
“Daphine Leonides.”
“Aku seperti tidak asing dengan nama itu, apa kita pernah bertemu sebelumnya ?”
Seperti ada yang janggal dan seperti pernah mendengar nama terakhirnya...
“Denganku ? sepertinya belum. Apa mungkin saudara laki-laki ku ?”
“Oh ya, lalu siapa nama saudaramu itu? maaf aku sudah terlalu pikun.”
Helmund Keitel (48), pengacara sekaligus pensiunan direktorat penyidikan
BND (CIA-nya Jerman) yang juga kolega Roger Kartheiser dan Petr Clauss. Sosok tambun tinggi 184 cm ini pernah menyelidiki seseorang yang diduga sebagai penculik Antoine. Namun dalam kurun waktu sekitar 7 bulan, kasus ini sengaja ditutup dengan kesimpulan bahwa ;
'Antoine tewas dalam pelariannya untuk meminta ekstradisi, bukan diculik.'
Adam Arkin from 'Life A Civil War' (2007)
“Bisa kita berbicara sambil berkeliling ke ladangmu ? Aku harus mengirimkan rekaman dokumentasi ini ke kantor secepatnya.”
“Baiklah. Mari, kutemani berkeliling.”
....
Daphine diajak berkeliling melihat-lihat proyek
solar panel yang sedang Helmund garap. Ada beberapa teknisi yang sedang bertugas saat itu.
‘Tutt !’
Sambil berbincang ringan, Daphine merekam segala penjelasan Pak Helmund terkait bisnis panel surya ini dengan
handycam miliknya.
“Dengan semua yang sudah terbangun, bukankah biaya operasionalnya lebih mahal ?” Daphine bertanya.
“Yah, memang masih dalam tahap uji coba. Tentu 3x lipat jika dibandingkan dengan listrik konvensional. Hanya Pabrik, Mall, perkantoran, dll yang mulai menggunakan teknologi semacam ini. Tidak perlu buru-buru, aku percaya kurun 10-20 tahun lagi Jerman akan memasuki era energi surya.” jawab Helmund.
“Great~ bagaimana dengan jumlah listrik yang dihasilkan ? apa worth it dengan sistem rumahan ?”
“Perlu penyesuaian. Kalau cuma untuk memenuhi kebutuhan listrik rumahan, jelas belum menguntungkan. Perlu edukasi lebih perihal teknologi semacam ini. Masyarakat sering menganggap buruk karena cuman melihat dari segi masa pemakaian komponen dan
sparepart baterai.”
“Bagaimana dengan para staf yang biasa mengoperasikannya ? Dan apa ada pekerjaan maintenance khusus ?” imbuh Daphine, melirik pengambilan gambar dari balik layar kamera.
“Kami bekerja sama dengan warga, juga melakukan pelatihan ke sejumlah pekerja setempat. Untuk
maintenance tetap kami serahkan kepada staf teknisi yang berpengalaman.”
‘Tutt !’
Daphine menekan tombol jeda pada rekaman
handycam.
“Aku tidak punya banyak waktu. Bisa ceritakan sekali lagi soal kasus yang pernah anda tangani ?” terang Daphine memulai lagi.
“Maaf?” Helmund bertanya.
“Soal kasus yang anda tangani, pernah dengar soal isu Unit-355 ?” Daphine menanyakan berikutnya.
“Untuk apa kau menanyakan hal semacam itu?” Helmund seperti kurang berkenan.
Mereka mulai berdebat saat tiba-tiba Helmund mulai dicecar Daphine dengan pertanyaan seputar Antoine Leonides juga soal penanganan kasusnya dulu. Daphine ngotot ingin Helmund menceritakannya. Toh, kasus ini juga sudah lama dihentikan. Apa untungnya bagi Helmund untuk menutup-nutupinya?
Sementara Helmund, mantan penyidik, bersikukuh bahwa itu adalah haknya untuk tetap merahasiakan segala sesuatu yang berkaitan dengan rahasia keamanan negara.
“Kau menanyakan hal yang tidak semestinya! Pulanglah Nona, ternyata aku cuma dibodohi dengan urusanmu ke sini!” balas Helmund, mengusirnya. Jengah, langsung melengos berjalan melewatinya, meninggalkan Daphine.
Daph balas meneriakinya,
“Untuk apa aku menanyakannya ? Aku adik perempuan Antoine Leonides ! Kau tau siapa dia ?”
“Kau buang-buang waktu, pulanglah!” seru Helmund.
“Pak Helmund ! Laki-laki yang diculik dalam perjalanannya di stasiun metro oleh seorang dari BND bekerja sama dengan komite keamanan Soviet. Dan jika boleh aku mengingatkan, anda adalah penyidik yang mengurus ‘kasus kadaluarsa’ itu,” tutur Daphine sekali lagi.
“Sebagai saudarinya, kau tahu? apa yang bisa kukatakan pada ayah-ibuku jika sewaktu-waktu mereka menanyakan kabar putranya yang menghilang 9 tahun lalu tanpa diketahui apa penyebabnya dan siapa yang harus bertanggung jawab ?!” imbuh Daphine, nada bicaranya semakin tinggi.
Para pekerja sampai melengok ke arah mereka berdua. Helmund tidak bergeming, berjalan meninggalkan Daphine yang berkoar-koar seperti orang gila. Tanpa menoleh sedikitpun, nyatanya Helmund masih coba mengingat-ingat. Ada sedikit rasa iba dan ragu.
“Antoine Leonides ?” pikirnya.
“Benar. Semenjak Antoine menghilang hampir 9 tahun yang lalu, aku masih merahasiakannya dari ayah-ibuku di Miami. Yang mereka tahu, Antoine selama ini cuma sibuk bekerja sebagai konsultan proyek, membuatnya sering berpindah tugas dari kota ke kota. Tapi memang hubungan Ayahku tidak begitu dekat dengan Antoine.” - Daphine
“Antoine Leonides, itu saudaramu?” tanya Helmund, melinguk kepada Daphine, sepertinya masih belum percaya.
“Ceritakan semua yang kau tahu !”
....
Mereka berkeliling ke areal proyek lain, di sini Helmund mulai membeberkan cerita dari sudut pandangnya.
“Penyelidikan kami hanya sampai kepada fakta bahwa Tuan Barry, Nona Amelie, teman Italia mereka, Miguel dan Antoine—abangmu, yang pernah membentuk semacam ‘liga’ (perkumpulan) rahasia dengan kode
Unit-355. Mereka menjalin komunikasi ini secara tertutup saat tergabung dalam organisasi mata-mata Red Licence,” terang Helmund mengawalinya.
“Hampir 3 bulan semenjak mereka berempat bertugas ke Eropa Balkan di tahun 1990, bersamaan dengan berkobarnya api pemberontakan di beberapa negara-negara bagian Uni Soviet, yang pada akhirnya berdampak referendum Lithuania bulan Maret 1990, disusul negara-negara lain setahun kemudian.” imbuhnya.
“Apa korelasinya ?” tanya Daphine.
Dia tidak begitu paham dan berhenti melangkah untuk mendengar penjelasan Helmund.
“Pemberontakan Lithuania, kerusuhan Ukraina, protes Georgia diikuti referendum di negara bagian lain turut menjadi faktor bubarnya Uni Soviet. Lalu perang dingin pun berakhir. Ironisnya, justru organisasi ini dianggap ‘gagal’ untuk menjaga agar persaingan dua blok itu tetap lestari. Amerika Serikat memerlukan rival sepadan untuk berdagang. Sama halnya dengan Uni Soviet yang juga membutuhkan ‘ancaman’ untuk menjaga superioritas kubu komunisme.” tambah Helmund, walau terkesan melebar kemana-mana.
“Tolong jelaskan intinya saja !”
“Gembar-gembor perlawanan demi melepaskan diri dari Uni Soviet, membuat organisasi intelijen Red Licence di cap oleh Rusia dan beberapa negara lain—bahkan termasuk Amerika Serikat sebagai organisasi ‘sarang teroris’. Faktanya, pemberontakan-pemberontakan tadi tidak ada kaitannya dengan siapapun di tubuh organisasi Red Licence. Tuan Barry, Nona Amelie, Miguel dan Antoine yang memang kebetulan baru saja pulang dari tugas, malah dituduh sebagai provokator, penunggang gelap, dan campur tangan Red Licence untuk masuk ke dalam politik.”
“Itu cuma omong kosong, kan ?”
“Ya kau benar. Kenyataannya tidak demikian, mereka tidak terlibat pemberontakan di manapun, walau beberapa kali memang Nn. Amelie Barnett menerbitkan koran-koran
anonim soal kebobrokan 'bisnis' pimpinan Red Licence yang dibeking para rezim negara-negara tadi juga.” imbuh Helmund panjang lebar.
“Kau meyakini Barry tidak ada sepak terjang buruk atau punya niatan berkhianat kepada organisasi Red Licence ?”
“Bukan cuma ‘Unit-355’-nya Barry, banyak juga agen-agen dari CIA, DGSE Perancis, Mossad israel, bahkan rekan kami di BND yang dicurigai berafiliasi dengan para kelompok perjuangan kemerdekaan,
AVNOJ Yugoslavia misalnya. Mereka langsung diburu simpatisan para pemimpin Red Licence. Jika mereka beruntung, sekedar ditangkap oleh masing-masing pemerintah dengan tuduhan spionase tidak resmi.”
“Red Licence ?” Daphine menekankan keterangan satu ini.
“Tapi bukan cuma Red Licence saja yang mengincar Antoine. Semua ini soal ketegangan politik. Siapa sangka ? masa lalu abang-mu itu punya hubungan dekat dengan para agen timur. Dia bekerja secara paralel melalui divisi Stasi milik HVA, dan banyak dokumen negara barat yang dia bocorkan kepada seorang komite keamanan KGB. Tentu tak ada alasan bagi CIA untuk tidak menargetnya.” tutup Helmund kepada Daphine.
“CIA yang menculik Antoine ? bukan agen-agen BND dan Soviet ?”
“Itu masih sebatas temuan kami. Benar atau tidaknya entahlah. Toh kasus ini juga sudah lama ditutup.”
Daphine benar-benar tidak paham, semua informasi yang dia dapat, dimentahkan oleh keterangan Helmund.
“Lalu bagaimana dengan identitas pelaku penculikan Antoine yang bernama Petr Clauss. Itu nama rekan kalian juga bersama Pak Roger ?”
‘Degh !’
“Kau kenal Petr ?”
“Huh, baiklah kubuka saja, aku ini sebenarnya barusan pindah bekerja ke kedutaan. Nah, kalau soal informasi tentang kasus ini aku dapat dari pak Roger.”
Helmund cuma mengangguk.
“Aku percaya anda punya reputasi baik saat bertugas. Terbaik malah, karena itulah aku menemuimu.” jawaban Daphine, lebih tepatnya mengiba.
“Mungkin, ada baiknya kau menghentikan ini semua. Kau tahu? ‘mereka’ tidak akan suka dengan caramu ini,” balas Helmund. “Selain perlu pikiran matang, kau juga butuh dukungan yang lebih besar untuk itu.”
“Bukan masalah~”
“Oh ya ?”
“Itulah kenapa aku menemuimu. Oh, ya ngomong-ngomong berapa biaya yang kau perlukan untuk modal berekspansi pada bisnis ini ?”
Helmund cuma terkekeh, “Hahaha ... aku sudah purna tugas. Dana pensiunku mencukupi. Keluarga kami sudah tenang saat ini. Untuk apa mempersulit diri dengan mencampuri urusan saudari ‘targetku’ dulu?”
“Woah, haha. Kalau begitu, aku seharusnya juga target anda~” cibir Daphine.
‘Srkkk !’
Daphine memungut barang bawaannya dari dalam
handbag, mengeluarkan
semacam buku identitas seperti dokumen
passport.
“Tahun 1989, aku pernah dalam pengasingan di ‘Camp-romeo’ KGB wilayah Minsk, Belarus. Aku baru pulang ke Jerman dua tahun kemudian, menggunakan nama sandi ‘Leonnia Veigalev Pashkova’. Aku kira kau sudah mengendus pergerakanku, karena masih bertugas sebagai kepala penyidikan BND saat itu, kenapa tidak langsung menangkapku ? Ada tujuan terselubung ?” jelas Daphine, membuka sandi identitas miliknya saat bertugas sebagai agent mata-mata Rusia.
‘Degh !’
“Anda tidak sedang melindungi seseorang dibalik tertutupnya penyidikan kasus itu, Pak Helmund ?”
Pertanyaan Daphine ini nyatanya belum mampu Helmund jawab.
Ketika masih bekerja di bagian penyelidikan dulu, Helmund sudah matang menggunakan metode cuci otak, teknik ancaman verbal atau permainan psikologis kepada targetnya. Kali ini Helmund terlihat seperti balik ‘disandera’ dengan metode serupa.
‘Tingtung... Tingtung... Tingtung~’
Ponsel Daphine tiba-tiba berbunyi saat perdebatan sedang panas-panasnya, malah masuk panggilan telpon dari Max.
(Percakapan telepon )
“Was ist los ? (Ada apa ?) Kalian sudah berangkat ?” Daphine bertanya lebih dulu.
Hari itu mereka akan kembali ke asrama kampus untuk melanjutkan sisa semester ajaran.
“Daph, kenapa telepon kabel rumah tidak berfungsi ? bagaimana jika aku harus menelpon rumah ?”
“Oh soal itu, maaf lupa memberitahu. Teleponnya sementara tidak berfungsi, operator jaringan akan segera mengirim seorang teknisi.”
Walau sebetulnya, dia berbohong...
“Ehmm, okey~”, Max menjawabnya. “Oh iya Daph, aku menemukan sepasang
stocking lusuh tercecer di kamarku. Itu punya Hanna atau punyamu ?”
‘Degh !’
“Ya ! Ya... mungkin itu punyaku tercecer dari ember kotor. A-aku memang sempat naik ke atas, beres-beres kamarmu, mencari pakaian kotor untuk dicuci. Kasihan Hanna kalau mesti mengurus semua pekerjaan rumah.”
Seperti kikuk, pun jawabannya terkesan cari-cari alasan. Panas-dingin saat diberitahukan Max soal ini...
“Oh. Baiklah, maaf mengganggu. Kami akan berangkat malam ini. Kutunggu telpon lanjutan dari bibi
. I love you, See ya !” tutup Max.
‘Cklek ! Tutt..Tutt... Tuttt’
“Wer ist er ? (Siapa ?)”
“Putra Antoine, dia tinggal bersamaku di Dresden selama ini. Dan karena dia juga aku jauh-jauh menemuimu ke sini,” jawab Daphine.
“—Kalau begitu aku perlu bantuanmu untuk mempertemukan dengan beberapa kolega.”
Mereka kembali berbincang sambil berjalan-jalan di sekitar ladang kincir angin.
( 62 )
(Rumah Daphine, kota Dresden)
9 April 1999 | Pukul (UTC+1) 07.10 petang [ Flashback ]
Dua hari sebelum Daphine tiba di Frankfurt untuk bertemu dengan Helmund Keitel. Setelah malamnya mengadakan pesta di rumah...
Ketika Max berbelanja keperluan asrama ke
department store, Hanna juga ada keperluan mengurus mobilnya ke bengkel ditemani Demon. Sementara Phill dan Dominik sudah berpamitan pulang sedari sore.
‘Krieettt—’
Daph menutup resleting koper, tidak banyak barang yang akan dia bawa kali ini.
Daphine yang sebetulnya masih merasa pusing karena banyak minum, juga membantu beres-beres rumah pagi tadi, langsung lanjut
packing keperluannya untuk balik ke Frankfurt besok pagi.
( Percakapan telepon )
“Belikan saja dulu, terserah apapun variannya ! Tunggu-tunggu, apa itu suara Radhaj ? Kalian sempat-sempatnya jalan bareng ?” cibir Daphine melalui sambungan ponsel kepada Hanna.
“Apa mobilmu bisa beres hari ini ?” imbuhnya menanyakan kondisi mobil Hanna yang barusan mereka bawa ke bengkel.
“Was ? (Apa ?) gimana bisa rusak sampai segitunya ? terus, gimana buat keperluan sehari-harimu ?”
Sementara berbicara dengan Hanna di ujung panggilan, Daphine jepit ponselnya ke pundak, dia iseng mencoba beberapa set
stocking kerja juga sepasang
pantyhose yang barusan ketemu di lemari.
“Tunggu, di mana Demon? Jangan bilang kau memintanya pulang sendirian sementara kalian berkencan?”
‘Srtttt—’
Daphine mengerek naik
lace stocking hitam tadi sampai mentok ke paha atas, sambil berpose di depan kaca cermin. Bercita-cita menjadi model top pakaian dalam, bukanlah hal yang mustahil bagi Daph di kemudian hari.
‘Tingtong !
Tingtong !’
(Bunyi bel tamu)
Sedang asyik berlenggak-lenggok bak model
Victoria secret, Daph mendengar bel tamu berbunyi. Gerimis hujan yang mulai jatuh cukup menyamarkan suaranya.
“Eh ? Sebentar, sepertinya ada tamu, nanti kutelpon lagi !” jawab Daphine saat berpaling, kemudian menutup panggilan telepon Hanna.
Mengira Max yang pulang, Daphine langsung beralih mengintip ke jendela. Daphine sempatkan dulu melipir berkaca ke cermin untuk merapikan rambut, sebelum membukakan pintu.
( )
“Oh, Pak Grant ?”
“Guten Abend (Selamat malam), Nona Daphine ?” ucap salam sang tamu, Pak ‘Benjol’ Grant, petugas NW kemarin.
“Maaf mengganggu, aku memutuskan untuk cepat-cepat ke sini,” ujar Pak Grant. “Aku ingin membantumu.”
Pak Grant datang dengan tergopoh-gopoh.
“Yes please, mari silahkan masuk !”
Daphine menjumpai raut muka Pak Grant yang tegang, menduga ada yang tidak beres. Sepertinya darurat dan harus segera dibicarakan.
Si petugas NW itu terlihat menenteng koper kerja, juga membawa bingkisan kado unik. Bentuknya lonjong oval mirip bola
American football. Bingung juga, tidak ada pesta selain tadi malam.
“Huh, padahal rencananya aku mau istirahat lebih awal. Kenapa tiba-tiba pak tua benjol ini malah datang ke sini? Untung sedang tidak ada Hanna di rumah.” - Daphine
“Are you okay ? Ada apa tuan Grant ?”
Glek...
Pak Grant kedapatan (lagi) menelan ludah, menjilat bibir.
Walau terlihat tegang, sisi kelelakiannya tetap tidak bisa disembunyikan, sepertinya terlalu payah bagi dia untuk sekedar fokus bicara ke lawan jenis. Benar kata Hanna, mau umur tua-muda, bagaimanapun kalau ada barang bagus, namanya laki-lali tetap saja doyan.
Daphine mengenakan set jubah
sleepwear satin model kimono warna abu-abu bermotif sakura yang membungkusnya sampai sebatas bagian betis.
“Rapi sekali penampilan anda, aku kira tadi siapa ?” Daphine memuji penampilannya sesekali merapikan rambut
ginger. Basa-basi~
Berturut-turut juga membenarkan bagian tali pinggang
sleepwear. Merapatkan bagian dada yang tersingkap longgar karena gerakan remeh Daphine.
Kagok juga dengan yang dia kenakan malam ini di hadapan Pak Grant dengan setelan jas dan celana kain hitam.
“Maaf, aku tidak bisa terlihat normal. Emphh,” Pak Grant menjelaskan demikian. “Kebetulan aku baru saja bertemu biro penyelidikan. Mereka mengutusku untuk meminta beberapa keterangan darimu.” susul Pak Grant, seraya menyerahkannya kepada Daph.
“Vielen Dank ! (Terima kasih !) Tapi ngomong-ngomong, untuk apa ini pak ?” Daphine menerima ‘seserahan’ dari pak Grant.
“Oleh-oleh dari anakku, juga permintaan maaf kepada Nona Daphine dan Nona Hanna soal masalah kemarin malam.”
Mereka berdua kemudian beralih ke ruangan tengah.
“Sepi sekali, kemana mereka ?” tanya Pak Grant saat melongok ke dalam, tidak ada siapapun selain Daphine di rumah.
“Kebetulan saat ini Max sedang berbelanja. Karena sangat lelah, aku cukup menitipkan keperluanku kepadanya. Sementara Hanna ada urusan mendadak ke bengkel.”
Pantas saja wajah Daphine tidak terlalu segar, tanpa
make-up, mungkin sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya seharian ini.
Pak Grant menganggut. “Begini Nona Daph, maksud kedatanganku malam ini selain menindaklanjuti perintah Pak Herber perihal penyadapan kemarin, juga ingin memberitahukan hasil pertemuan tadi. Seharusnya ini rahasia, tidak boleh dibeberkan kepada siapapun.”
“Oh ya ?”
“Jadi karena aku bukan polisi, cuma warga biasa, sama sepertimu, peranku seharusnya membantu warga di lingkunganku. Hahaha ....”
“Great, soal apa itu pak ?”
“Sementara ini biro penyelidikan masih mendalami, pun berhasil mengidentifikasi bahwa pelaku berjumlah tiga orang. Dua orang terdeteksi CCTV bandara melakukan penerbangan ke London. Sementara seorang lagi, kami yakini sampai saat ini masih berkeliaran di Dresden.” sebut Pak Grant.
‘Degh !’
“Sialan ! Barsinov benar-benar serius mengincar Miro ke London. God, aku juga harus memperingatkan Q secepatnya !” - Daphine
“Dan berdasarkan pertemuan kami tadi, setelah petugas penyidik mengumpulkan seluruh bukti, juga mencatat keterangan dari para saksi, mereka mengindikasikan bahwa si pelaku pemerkosaan disertai pembunuhan kemarin adalah kolega Nona Daphine—”
“Apa ? gimana mereka bisa langsung menyimpulkan seperti itu ?” ucap Daphine tidak terima.
“Dan aku kira kejadian tadi malam itu cuma salah paham saja. Apa tidak bisa, kalau masalah ini kita rundingkan dulu bersama Pak Herber ?”
Pak Grant mengangguk, meringis, padahal belum selesai dia menjelaskan. “Benar, sebelumnya aku sudah mendiskusikannya dengan Pak Herber. Tapi untuk kasus baru ini, sepertinya penyadapan bukankah hal yang paling berat,” terang Pak Grant, “Justru yang menambah berat saat aku ditugaskan untuk menggali keterangan dari para saksi, tetangga dekatmu.”
“Soal apa ?”
‘Srkkkk—’
Pak Grant mengeluarkan satu-persatu peralatan bongkar, serta beberapa berkas perkara penyelidikan yang polisi serahkan kepadanya, untuk diantar langsung kepada Daphine. Penyelidikan kasus ini diambil alih oleh Herber secara langsung.
“Yang terlihat tidak asing, ada beberapa komponen alat sadap telepon kabel. Alat sejenis Splitter, Bug, dan beberapa decorder. Ya jelas aku hafal, itu semua sudah biasa kugunakan selama bertugas dulu. Karena itulah aku tidak begitu khawatir dengan ‘teknik konvensional’ ala kepolisian ini.” - Daphine
Pak Grant juga menunjukkan 3 surat penyidikan yang masih tersegel, termasuk berkas keterangan dari 3 saksi, serta sebuah amplop surat yang dikirim dari kota
Leipzig.
“Saksi pertama. Tetangga seberang rumahmu, Tn.
Mark Wiltze, menyebutkan kalau pada Rabu, 7 April 1999, pukul 07.00 malam, dia berpapasan dengan seorang tamu laki-laki yang berkunjung ke rumahmu. Laki-laki tadi, datang ke sini diantar lalu pulang juga dijemput oleh mobil sedan
mercy, sama seperti yang digunakan para terduga pelaku.” ucap Pak Grant, membacakan keterangan saksi pertama.
“Itu salah paham.” Daphine santai saja membantah,
“Malam itu suasananya ramai. Mungkin dia salah melihat antara Phill, Demon atau Dom yang sempat keluar membeli makanan.”
Pak Grant cuma mengangguk. Tangannya selalu menulis setiap keterangan yang Daphine katakan.
“Saksi kedua. Ny.
Merle Lettwein, tetangga sebelah yang terpaut 2 rumah dari sini. Pada malam itu, yang bersangkutan tengah menyiram tanaman, mengaku mendengar keributan antara Nona Daphine dengan seseorang di halaman, sebelum sebuah mobil sedan warna hitam melintas di depan rumahnya.” tambah Pak Grant, membacakan kesaksian orang sekitar yang terkesan memojokkan Daphine.
*
(baca: Bab LIV)
“Huh, dasar orang-orang kurang kerjaan! Ikut-ikutan masalah orang lain. Awas saja setelah ini, kubalas mulut cerewet mereka satu-persatu! Tetangga bangsat !” - Daphine
“Saksi terakhir. Rekan kami sekaligus
security komplek yang bertugas pada malam itu, Tn.
Manuel Zehnter, sempat bertegur sapa dengan orang-orang yang berada di mobil
mercy. Saat ini beliau tengah diperiksa sebagai saksi. Bagaimana menurutmu, Nona Daphine ?”
Untuk lebih meyakinkannya jika keterangan para saksi itu tidak dibuat-buat, Pak Grant nyalakan juga rekaman audio saat‘mewawancarai’ 3 orang tadi. Dan memang benar, mereka bertiga mengatakan semua itu. Ada materai dan cap kepolisian untuk memvalidasi kesaksian mereka tidak bohong dan dilindungi hukum.
Daphine tak sempat menjawabnya, matanya dialihkan oleh sodoran kertas dari Pak Grant.
Isi tulisannya adalah...
“Aku membacanya berulang-ulang. Ini adalah surat penyidikan yang dilayangkan untukku. Penetapan tersangka. Ada juga 4 poin sanksi hukum yang akan kuterima jika terbukti menyembunyikan atau menutupi hubungan kekerabatan dengan para kriminal buronan interpol.” - Daphine
“Ich verstehe nicht (Aku tidak paham), ada juga 6 catatan kunjungan tamu di komplek pada malam itu. Kenapa seolah hanya aku yang kalian sudutkan ?”
“Karena ada satu kesaksian penting, soal pertengkaran anda di halaman depan malam itu. Apa benar terjadi ?” kata Pak Grant, menunjuk uraian keterangan para saksi yang dimuat. “Bisa beri sedikit keterangan ?”
“Itu semua kurang tepat—” dalihnya, harus membela diri.
“Aku cuma sedikit marah kepada seorang kurir saat itu.”
“Siapa nama kurirnya ?” tanya Pak Grant, menyangsikan pengakuan tak masuk akalnya itu. Lantas mengeluarkan pena lainnya untuk mencatat khusus keterangan dari Daphine.
“Si tukang antar makanan karena mengirim varian yang tidak sesuai dengan menu pesanan kami.” dalih Daphine, terkesan berubah-ubah.
“Oke. Nona Daph katakan saja apapun, aku yang mencatat di sini.”
“Keteranganku juga jadi bahan masukan untuk kepolisian, Tuan Grant ?”
“Tugas kami selaku NW sebatas menanyai, melindungi para saksi, menunjukkan alat bukti rekaman, jika diminta, tapi tetap tidak punya wewenang memutuskan hukuman atau coba-coba mengintervensi penegak huk—”
Langsung dipotong Daphine,
“Very well~ kata anda ketika datang tadi mau membantuku ?” meliriknya ketus.
“Ya. Itu jelas. Aku akan membantumu, tapi bisa minta minumnya ? HAHAHA... Aku tidak kuat berakting seperti inspektur vijay~” celoteh Pak Grant, bercanda...
“HAHAHA...”
Pak Grant terkekeh begitu mengamati mimik muka Daphine yang sudah judes,
badmood gara-gara yang barusan.
“Hahaha. Hfff, sialan ! Aku pikir kali ini beneran diinterogasi detektif !” ujar Daphie,
“Mau minum bir atau kopi ?” basa-basi menawarkan.
“Apa saja boleh, yang penting tidak sampai merepotkanmu.”
“Apa saja boleh, tapi wine mahal kami kemarin sudah habis !”
“Hahaha. Tidak perlu, aku minta kopi saja,” jawabnya tiba-tiba dengan bahasa
native US. “Lagipula, kita sama-sama pernah hidup di Amerika.”
“Are you serious ? Tuan Grant atau Nyonya yang dari Amerika ?” celoteh Daphine juga dalam dialek native US, langsung antusias.
‘Titttt !’
Daphine menyalakan mesin kopi. Juga menyuguhkan
Burrito buatan Hanna kemarin dari dapur.
“Keluarga mantan istriku keturunan Amerika. Dan benar seperti itulah aksen kami dulu saat bertengkar, meneriaki satu sama lain.” kenangnya.
“Kami berbincang lumayan lama, Pak Grant ini juga tipikal yang gampang akrab. Dibalik pribadinya yang penyendiri, mata keranjang—pasti, sebenarnya dia ini sosok yang terkesan ‘melow’. Aku juga diceritakan banyak pengalaman Pak Grant yang semula berprofesi sebagai tukang reparasi radio, kemudian merantau ke New Jersey untuk melamar ke perusahaan AT&T. Di sinilah peruntungannya melesat. Setelah sukses mengisi beberapa posisi strategis, beliau juga sukses menerbitkan hak cipta melalui teknologi pemecah sinyal yang dia rancang sendiri. Gila, jenius juga ternyata !” - Daphine
( )
“Tunggu dulu, bagaimana anda terpikirkan dengan cara kerjanya ? Karena mencakup keamanan telekomunikasi, apa anda juga harus melakukan penelitian ?”
“Tentu saja tidak, Hahaha... perangkat yang kuciptakan ini masih berbentuk
prototipe. Cara kerjanya sederhana, mirip alat
Jammer. Bedanya, perangkat ini mengacak atau memecah gelombang elektromagnetik lebih rapi dan sistematis, sambungan telepon selama beberapa detik akan pecah, tapi tidak bagi 2 sumber sambungan panggilan. Lalu kembali lagi seperti semula bila kita atur.” jelas Pak Grant.
“Anda luar biasa jenius !” puji Daph.
“Analoginya, alat yang Pak Grant ciptakan tadi semacam remote ‘on/off’ yang disambungkan ke kabel pengalir sinyal ke dalam perangkat jenis analog apapun. Saat kita aktifkan untuk memutus (menyensor) suara percakapan panggilan, akan menimbulkan bunyi ‘Zzzzzt...’ untuk beberapa detik. Ini berguna menghindari para penyadap yang menguping ‘informasi’ pembicaraan. Gampangnya, jika kalian sedang malas untuk sekedar mengobrol atau bermasalah dengan orang yang menyebalkan, pakai saja alat ini yang akan membuat seolah-olah terjadi gangguan sinyal.” - Daphine
Menarik juga, pikir Daphine. Dengan teknologi semacam ini, tentu semakin mudah untuk menjaga kerahasiaan informasi yang dia dapat.
“Obrolan kami kemudian berlanjut, ‘wisata masa lalu’ kehidupan Pak Grant dengan sang mantan istri yang tega menggugat cerai hanya untuk memilih kehidupan bersama seorang junkies.” - Daphine
“Aku sempat membelikannya properti sebidang tanah di Orlando. Ada ladang gandum dan rerumputan hijau sepanjang mata memandang. Menjelang sore, kau bisa dengar juga suara kicauan burung.” ceritanya panjang lebar.
“Oh ya ? Woah, kalau kubayangkan pasti udaranya begitu sejuk.”
Pak Grant langsung membalikkan cerita bahagianya, “Tapi sebulan sebelum aku mengajaknya menilik lahan tadi, yang rencananya akan kami buat rumah dengan taman belakang... tiba-tiba dia melayangkan surat cerai kepadaku ....”
“A-aku turut bersimpati.” respon Daphine, iba dan menyayangkan sikap istri Pak Grant.
Pak Grant mengangguk, lalu menggaruk pelipisnya. “Umurku sudah 45 tahun saat itu, beberapa pekan lagi berganti 46. Dan belum sempat kuberikan banyak hal kepadanya (mantan istri) ketika kami bersama.”
“Apa mereka masih tinggal di Orlando ? atau ikut menyusulmu ke Jerman ?”
“Kedua anakku semuanya bekerja sebagai pengacara, dan menetap di
New Jersey. Yah terkadang, setiap natal mereka berkunjung ke sini,” jawabnya. “Kalau mantan istriku, jangan tanya... mungkin sekarang dia mengemis di jalanan, menjajakan diri seperti PSK setempat, atau masih bersenang-senang dengan pria muda pengangguran itu, Hahaha ....”
Pak Grant, walau sudah
move on, nyatanya masih tersisa sedikit benci dalam hatinya.
“Tenang saja, Pak Grant juga belum terlihat tua. Masih aman~” seloroh Daphine, coba menghiburnya.
“Umurku mungkin tua. Tapi tenaga dan semangatku tidak akan kalah dengan kalian-kalian ini~”
“That’s right !”
“Bagaimana denganmu ? aku dengar kau belum menikah ?” tanya Pak Grant, tiba-tiba menanyakan demikian. Mungkin, sudah kehabisan topik pembicaraan. “Pencarianmu berbanding lurus dengan capaian karirmu ?”
“Kalau soal itu (kriteria karir), aku selalu berubah-ubah~”
“Kenapa ?”
“Kehidupan materi sih tidak begitu kuperhitungkan. Hanya belum kutemukan pria yang tepat.”
Dari sini, sesekali menyeduh kopinya, tepian mata Grant, melirik naik-turun dari ujung kaki-ujung kepala, makin liar menerawang Daph.
Entah apa karena efek
kafein bercampur bayang erositisme tuanya, Grant kadang menghalu dari posisinya duduk, kalau saja ada kesempatan remeh, pulpen jatuh, hembusan angin kencang, atau apapun penting yang bisa menguak isi dalaman kimono Daphine.
Sambil menyimak, mata Pak Grant menjangkau apapun, menilik diam-diam Daphine dengan penampilan
sleepwear kimono seperti ini. Menerawang, sambil menerka jenis bawahan apa apa yang biasa Daphine dikenakan.
“Bagaimana dengan pria beruban yang biasa mengantarmu dulu. Aku dengar dia punya jabatan di perusahaan asuransi, tempat Nona Daphine bekerja ?” tanya Pak Grant sambil merebah ke sandaran kursi.
“Tuan Roger Kartheiser ?” Daphine menebak.
“Hahaha. Dia ini COO di kantor. Memang orang itu telat tua. Narsis. Suka tiba-tiba nimbrung ke party-party kecil kami. Jadi tidak hanya denganku, pernah juga Hanna atau staf cewek lainnya, bakal dikira pacaran sama sugar daddy kalau ada dia bersama mereka.”
“Oh~”
Daphine mencorat-coret keterangan di berkas penangguhan pun tetap merespon jawaban. Grant tentu betah, dan tidak akan menuntut itu buru-buru diselesaikan. Sebaliknya, merasa betah berlama-lama karena ada momen berdua, yah hitung-hitung juga cuci mata dan mengulik banyak hal darinya.
“Ada kesulitan ?” Pak Grant bertanya.
“Tidak, cuma bingung melampirkan diksi yang sopan.”
Daphine sempat membungkuk dan bertopang dagu sambil menulis. Itu membuat bagian atas kimono nya melonggar, tercetaklah belahan dadanya, menonjol bulat.
Sesekali tampak set dalaman berupa
lingerie warna biru, itu saja masih tidak muat, bahkan dari balik
sleepwear gombrong sekalipun. Cukup menjelaskan betapa mengerikan besaran ‘mangkuk susu’ yang disembunyikannya.
‘Jtarrrr !
JTAAARRR !’
(Gemuruh petir, hujan mulai deras)
Hujan deras tiba-tiba mengguyur komplek perumahan
Salgazze. Sialnya, ada beberapa barang yang belum sempat Daph pindahkan dari
backyard.
“Eh? Pak Grant, aku beres-beres ke belakang sebentar!”
“Möchte hilfe ? (Perlu bantuan ?)”
“Nope~” timpal Daph langsung buru-buru lari ke belakang.
Setelah sekalian menutup pintu sekat antara ruangan tengah menuju backyard, Daph sempat masuk ke kamar, sepertinya dia baru saja mengoleskan krim malam atau handbody lotion semacamnya.
Kini sekujur tubuh Daphine sudah wangi semerbak harum bunga, ada beberapa rona kemerahan dari lehernya, Pak Grant bisa menemuinya bahkan disela memasangkan perangkat sadap ke telepon box. Benar-benar disiksa batinnya, walau hanya dari gerakan kecil Daphine.
‘Drkkkk !’
Daphine menggeser kursi, untuk mencapai terang lampu. Semakin malam, penglihatan matanya terasa makin kabur. Dan otomatis posisi mereka kini lebih berdekatan.
Ini terkesan berlebihan, tapi memang Daphine ini cewek terseksi dan sempurna yang pernah Pak Grant temui.
Sempurna ? Daphine ini masuk jajaran kategori wanita karir. Hanya ada beberapa perempuan sepertinya di komplek perumahan ini. Tapi bukan itu poinnya, apalagi kalau bukan perihal fisiknya.
Posturnya ideal, begitupun lekukan-lekukannya di pantat, pinggang, terlihat sangat pas. Tidak kurang atau kelebihan.
“Sialan ! Betapa beruntungnya lelaki siapa pun yang pada akhirnya bisa menikahi Bibi Max ini.” - Grant
Bagian atas, idaman semua pria. Ini soal teteknya yang konon kata Pak Herber setara ukuran bola
disco. Dadanya menggembung, tidak terlalu tampak kendur, tapi sudah pasti bisa memuaskan suaminya kelak. Jangan naif, tapi itu terlalu besar!
Tidak akan cukup bagi satu tangan Pak Grant untuk meremasnya, mungkin kalau Pak Herber sih bisa.
Menuju ke bawah, di belakang, bokong Daphine seakan menungging saat melangkah, naik-turun seirama saat berjalan memunggungi Grant.
“Apalagi dengan persona Daphine yang ramah, asyik diajak bercanda, dan mudah akrab. Huh, bahagianya pasti berlipat. Dan anak-anakku tentu juga setuju punya ibu sambung sepertinya. Halah, Ngawur !” - Grant
Daphine balik mengecek satu persatu berkas yang Pak Grant antar, menulis surat pernyataan banding untuk setidaknya menangguhkan proses penyadapan ini, tanpa menyadari ada tatapan serigala yang mulai mengawasi tiap gerak-geriknya.
Entah disengaja atau tidak, Daphine sempat silangkan sebelah kakinya, otomatis tersingkap juga bawahan kimono itu, terseret ke atas hampir melewati pahanya.
“E-eh ?“
Pak Grant langsung gagap melirik kaki jenjang Daphine.
‘Trkk ! Trngg !’
Satu obeng perkakas milik Pak Grant, terjatuh dari meja.
Timing yang pas. Pak Grant cepat-cepat membungkuk, bermaksud memungutinya. Tapi itu cuma trik mesum yang sangat kuno. Konyol ! Pak Grant malah bengong, tertegun dengan posisi paha Daphine yang bersilang, tampak jelas oleh pandangannya.
“Ehm ?”
Daphine yang tersadar ada yang tidak beres, saat tak kunjung menemui muka Pak Grant dari kolong meja. Risih, Daph langsung cepat-cepat turunkan posisi kakinya lagi.
“Aku memang ceroboh, bagaimana mungkin bisa lupa kalau ada sejenis pria mata keranjang seperti pak Grant ini. Hfff~” - Daphine
Hujan semakin deras, beberapa kali kilatan cahaya petir terlihat dari halaman belakangnya. Sampai tiba-tiba...
‘JTARRR !!
Jglak ! Jglak !’
(Bunyi petir menyambar, tiba-tiba listrik padam)
“Wah ?!” Pak Grant kaget.
“Eh ?” Daphine juga ikutan kaget.
“Tunggu, biar kunyalakan lilin untukmu.”
Karena benar-benar gelap, Daphine harus berhati-hati ketika beralih ke dapur untuk mencari sumber penerangan. Gemuruh petir yang menggelegar, kilatan petir yang menyambar disertai hujan
“Teman-teman Max membawa genset di halaman. Kau memerlukannya? Kebetulan cuma kamar Max yang dipasangi lampu emergency.” Daphine berseru dari dapur.
Tapi tidak kunjung dijawab oleh Grant. Apa mungkin sudah sibuk berkemas ?
“Lilin saja sudah cukup!” jawab Pak Grant. “Lagipula aku akan segera pulang, sebelumnya kujelaskan dulu perihal pengirim surat dari
Leipzig tadi.”
“Surat dari Leipzig ?”
“Ya...” jawab Pak Grant seraya menyodorkan sepucuk surat dari seorang pengirim di Leipzig tadi kepada Daphine.
Juga menjelaskan maksud dan tujuan apa menyerahkan ini kepadanya tanpa sepengetahuan Herber.
“Was ? (Surat apa ?)”
Daphine bertanya, heran. Dahinya mengkerut, alisnya terangkat setelah diberitahu soal pengirim surat asal
Leipzig tadi.
Seperti sebuah pertanda buruk...
(Mall Alexanderplatz, kota Dresden)
Pukul (UTC+1) 07.30 petang
Di waktu yang hampir bersamaan...
( Percakapan telepon )
Demon sempat menelpon Max via panggilan telepon umum, mengabarkan kalau akan mampir ke rumah sebentar lagi. Beberapa barang termasuk sepatu kets dan kemeja milik abangnya tertinggal. Bisa runyam kalau semisal abangnya menanyakan itu...
“Kenapa buru-buru, kan bisa kubawakan besok ? Lagi pula pasti kalian dipersulit masuk gerbang komplek ?” Max menjawab melalui ponselnya.
“Kenapa ?” Demon bertanya.
“Kata Hanna sih, penjagaan dan pemeriksaan para tamu sedang ketat di setiap distrik dan perkampungan. Ini soal kasus pembunuhan kemarin,” jelasnya. “Hey tunggu, di mana Hanna ? Apa dia tidak mengantarmu pulang ? Kurang ajar !”
“Itu bukan masalahnya, yang mendesak sekarang adalah aku lupa... ada beberapa barang milik abangku, sial !”
“Kalau begitu, aku akan kirim pesan untuk Daph, mungkin dia bisa membantu, kalau belum tidur~” jawab Max. “Oh ya, begini, masuk saja jika memang pintunya belum terkunci. Tapi, tolong jangan sampai bangunkan Daphine, ya ? Kemudian kunci pintu manualnya dari luar, letakkan saja di tempat seperti biasanya. Ok ?”
“Ya baiklah, tapi jika aku tidak sempat... tolong bawakan semua barangku ke rumah pagi ini, ya?!” pinta Demon.
Akan menutup indikator panggilan limit telepon koin sudah berbunyi.
“Okay-Okay ! Dasar bocah pikun !” sahut Max.
Sementara itu, Max bersama Alicia yang baru keluar dari salon kecantikan, kini duduk berduaan di restoran makan malam.
Mereka berdua menyempatkan
ngedate sambil berbelanja barang diskonan untuk keperluan asrama. Ini malam terakhir mereka bertemu sebelum balik ke kampus masing-masing.
( )
“Pssttt! Max !
Babe ! Psssttt !
” bisik Alicia, merasa ada yang aneh dengan seseorang yang duduk tidak jauh dari meja mereka.
“Was ? (Apa ?)”
“Ada laki-laki di seberang meja kita. Dari tadi melirik ke sini terus, tidak tahu kenapa.
Look, dia juga tidak memesan makanan,” bisik Alicia. “Jangan langsung melinguk !”
“Yang mana sih ?” tanya Max.
“Psstttt ! laki-laki badannya besar banget ! Pakai topi, sama kemeja flannel.” bisik Alicia sekali lagi.
Dan benar saja, saat satu persatu dari mereka melinguk bergantian. Mereka mendapati laki-laki bertubuh jangkung 'raksasa' duduk sendirian. Posisinya menghadap tepat kepada mereka. Mencurigakan ?
Ada sekitar 1-2x bocah cilik pengunjung restoran, terlihat ketakutan mendapati sosok tidak lazim yang tingginya menjulang hingga 2 meteran duduk berdampingan meja.
“Sialan, pasti om-om genit tuh !” kometar Max, sok jagoan. “Ku urus dulu!”
“Kamu mau apa sih ?! jangan kasar ah !” protes Alicia, langsung panik ketika Max mulai beranjak dari kursi untuk memperingatkan atau setidaknya menanyai orang itu.
Alicia berniat mengadukan pria bertubuh jangkung itu ke pihak restoran, tapi malah keduluan oleh Max yang sudah kadung geregetan.
“Maaf pak, apa ada yang salah dengan kami?” tanya Max. “Kami tidak nyaman dengan cara anda yang seolah mengawasi semenjak datang” susul Max.
“Sorry ?” jawab laki-laki yang ternyata bertubuh jauh lebih bongsor dari Dom. Suaranya lirih, seperti sedang serak, pun cuma santai menanggapi Max.
Terjadi keributan kecil, seorang pelayan restoran sampai harus menengahi perselisihan ini.
Pelayan tadi juga menjelaskan kepada Max bahwa selain pria raksasa itu seorang tunawicara, sebetulnya pesanannya juga sedang dibuatkan. Membantah semua tuduhan tadi.
Max langsung mati kutu. Alicia yang mewakilkan untuk meminta maaf dan langsung memarahinya. Mereka berdua bergegas pergi meninggalkan restoran, malu.
Tidak berselang lama, pria raksasa tadi menghubungi seorang via panggilan ponselnya.
( Percakapan telepon )
“Da, chto tam ? (Ya, ada apa ?)” jawab seorang laki-laki, menggunakan dialek bahasa
Russky.
“Ya tol'ko chto vstretil yego (Aku barusan menemuinya).” jawab si pria jangkung.
“
Molodets (bagus),
Bouchon ! sejam lagi kami mendarat di London. Awasi dia sampai aku kirim perintah. Jika ada gangguan, ambil anak itu!” perintah Barsinov kepada si pria jangkung.
“Da ! (Baiklah !)”, jawab pria jangkung tadi.
Suaranya sangat lirih, tidak seperti orang normal pada umumnya.
Siapa sangka, pria berpostur tinggi menjulang yang sempat dilabrak Max tadi merupakan salah satu pendamping tugas Barsinov dari dinas GRU, yang bernama
Dmitry Grigorjev (39), ‘Bouchon’ panggilannya. 'Si Pria Raksasa' yang pernah membuat Daphine mengalami cedera saraf wajah, mungkin akan sangat ‘akrab’ kalau bertemu lagi.
*
(baca: Bab LI)
Bouchon menutup panggilan.
Wajahnya yang disamarkan dengan topi, membuat para pengunjung mall tidak akan sempat mengenali profilnya.
Mereka tidak menyadari, seorang buronan tingkat 1–psikopat berdarah dingin ini sedang berkeliaran di Dresden, mencari mangsa berikutnya.
(Rumah Daphine, kota Dresden)
Pukul (UTC+1) 08.15 malam
Kembali ke rumah Daphine, sementara hujan deras disertai petir, komplek
Salgazze juga mengalami padam listrik karena kerusakan trafo.
Kini, sepasang lilin berikut penyangganya, hanya cukup utntuk memberikan cahaya remang untuk mereka berdua.
( )
“Kau coba menipuku lagi, Pak Grant ?”
Daphine terlihat jengah mendengar bualan kosong penuh dusta si muka benjol.
“Itu cuman alasan saja, kan? Kau lah penipu sesungguhnya,” balas Pak Grant. “Kau pasti kenal laki-laki itu, ya ? Laki-laki buronan internasional di beberapa negara. Georgia, Bulgaria, Ukraina, Latvia, dan kini jadi buronan interpol di seluruh Jerman.”
‘Degh !’
Daphine hanya diam, tidak langsung menjawab. Tapi lirikan tajam, nada bicara, juga
gesturenya sangat mengintimidasi Pak Grant.
“Sialan ! Bagaimana bisa orang ini mengatakan seperti itu? Dari mana dia bisa tahu identitas Barsi? Apa Herber yang memberitahunya?” - Daphine
“Benar begitu, Nona Daphine? Hubunganmu dan Max, juga tidak lebih dari sekedar tipuan omong-kosong !”
Senyumnya sangat rekah. Seolah begitu digdaya kali ini. Tapi mukanya jadi jelek sekali. Seperti karakter
Villain Joker dalam film-film DC. Dia mulai mengeluarkan seluruh ‘kartu AS’ yang dia punya.
“Bicara soal Max, ponakanmu, juga putra abangmu. Bagaimana bisa, kau tega mengambil paksa Max dari ibunya ? mengadopsinya dari panti asuhan tanpa izin dan coba menjauhkannya dari orang tua sah. Ada apa ?”
‘Degh !’
Daphine makin bisu ditimpa fakta yang bahkan Max saja tidak tahu soal ini. Masa lalu Daphine juga soal Max, memang jadi sebuah teka-teki besar.
“Beberapa pekan lalu seorang wanita berumur, datang menemui petugas kami. Perempuan yang terlihat baik, tulus menyayangi putranya. Siapa dia gerangan? lalu menanyakan alamat rumahmu, dan meninggalkan surat untuk Max yang dititipkan kepada petugas kami. Kalau tidak salah, namanya
Rebecca Stolze (43), benar ?”
Daph langsung menoleh. Sialan! Laki-laki ini harus segera dia singkirkan kalau sempat ! Tapi tak mungkin untuk saat ini. Dia punya segala sesuatu untuk diberitahukan kepada Max.
“Apa anda benar-benar membawa paksa Max, tanpa sepengetahuan ibu kandungnya ? Itu sama saja penculikan.”
“Jangan main-main ! Anda tidak punya pembenaran untuk mencampuri urusan keluarga kami !”
“Wow-wow-wow.”
Pak Grant, walau sebetulnya ciut, perangainya tetap menyebalkan.
“Aku tidak akan mencampuri urusan keluarga kalian. Tenang saja~”
Daph masih berdiri mematung di ujung meja. Dia dibungkam seluruh fakta.
“Kau juga dilaporkan mengambil seorang anak tanpa menyertakan ijin hak asuh. Lalu menghilangkan identiasnya, pergi tanpa kabar dari ibunya. Itu sama saja kasus penculikan lho. Dan ini akan segera diusut Pak Herber, begitu kasus ini berakhir.” jelasnya.
“Kuperingatkan pada kalian, termasuk Herber. Aku adalah orang tua asuh Max yang sah ! Dan jangan coba rubah itu !” bentak Daphine, meledak sudah.
“Tapi kenapa Max tidak diperbolehkan bertemu ibunya ?” Pak Grant menyelidik, mengernyitkan dahi. “Maaf, aku jadi melebar kemana-mana. Dari mana tadi ? Oh iya, soal laki-laki buronan itu. Aku sudah tahu. Gampang sekali menemukan surat cekal visa laki-laki bernama...
Baier ?”
Daphine cuma menggeleng, membuang jauh fakta kebenaran. Matanya mulai berkaca-kaca, meremasi tangannya, dan beberapa kali mengepalkan tangan ke bawah. Terlihat gelisah, seperti bimbang dan takut rahasianya dibongkar.
“Bagaimana kalau kuberi pilihan. Pertama, Kukawal kasus ini sampai selesai. Itu artinya anda harus menjalani sanksi hukum— tentu jika dinyatakan bersalah dan semua rencanamu apapun itu tertunda. Gampang. Atau yang kedua, aku akan meloloskanmu dari sini, tapi Max akan mengetahui di mana dan bagaimana nasib ibunya kini? Hmmm...”
‘Drkkkk!’
Daphine terduduk lesu di kursi.
Karena Antoine juga yang pada akhirnya membuat Daphine berjanji untuk menjaga keselamatan Max, bahkan dari tangan ibunya sendiri.
“Maaf-maaf, aku terlalu jauh sampai ke ranah yang tidak seharusnya.” ujar Grant. “Ayolah aku jadi merasa bersalah, Nona Daph! Sudah, jangan menangis, aku akan tetap membantumu. Tapi ini khusus. Maksudnya, khusus untukmu, aku akan mempertaruhkan pekerjaan dan moralku. Nah, khusus untukku, aku juga minta perlakuan khusus... yang menyenangkan semua pihak.”
Daphine yang sempat berkaca-kaca, langsung mendongak dengan sedikit senyuman juga untuk mengiba, sampai tidak sempat memahami 'motif' pria tua itu.
“Yes please !”
“Kau tidak berpikir akan menyuap personil NW rendahan sepertiku ?”
Pak Grant, sial semakin jelek saja mukanya.
Daphine menggeleng, juga tidak memungkirinya. Tidak bukan suap maksudnya, ini soal apa yang biasa dia lakukan dan hanya apa yang dia punya.
“Ya sedikit uang juga perlu kalau kau ikhlas memberi. Tapi yang utama, soal yang satunya tadi...”
Daphine tidak paham, juga sudah tidak peduli dengan semua dusta. Akan dia bayar berapapun nominal yang dia minta.
“Khekhekhe.”
Pak Grant terkekeh, kekehan khas bapak-bapak. Mirip semua pria yang menginginkan Daphine. Seperti karakter ‘UB’ (
Ugly Bastard) pada kebanyakan cerita film porno JAV.
Tatapannya berkelana, menjilat bibirnya sendiri. Menyeringai.
“Uh ?!” Daphine kaget.
‘Drkkkk !’
Pak Grant menggeret kursi, duduk tepat di sebelah Daphine.
Pak Grant sebar semua berkas perkara, surat investigasi, bukti kesaksian, termasuk kaset tape rekaman suara para saksi di atas meja, di depan Daphine. Semua berkas, termasuk sanksi tertulis tadi akan resmi ditindaklanjuti begitu terverifikasi oleh penyidik kepolisian, ditambah rekaman visual CCTV yang dimiliki Pak Grant. Juga secarik surat dan catatan kriminal seorang perempuan bernama Rebecca Stolze tadi.
Dan ini yang lebih penting. Daph tidak menginginkan surat itu sampai kepada Max. Perempuan bernama Rebecca tadi, adalah yang terburuk dari yang terburuk.
Daphine melirik satu persatu dari 3 berkas berikut ‘
letter investigation’ berlambang kop 1/1 kepolisian yang belum sempat ditanda tangani 2 penyidik kepolisian, selain Herber. Jika itu dimusnahkan, termasuk keterangan para saksi, maka langkah awal penyidikan bisa saja ditangguhkan. Lalu berganti membaca teks tulisan surat dari Rebecca.
“Aku berjanji masalahmu di kepolisian akan coba Kutangguhkan. Juga tentu saja, soal kasus Max tadi. Akan Kuhapus semua bukti kehadiran ibunya ... jika—”, katanya sengaja tidak diteruskan.
Lengan Pak Grant tiba-tiba merangkul pundak Daph dari samping.
“Tsah !” cegah Daphine.
Insting, dia refleks menepis sambutan tangan Pak Grant kepadanya, sudah begitu 'mendidih' dalam fantasinya.
“Vertrau mir ! (Percayalah padaku !) Kau akan aman, begitu juga dengan Max.” bisiknya dengan suara serak yang begitu menyangkak bulu kuduk Daphine.
‘Degh !’
“Aku juga sama dengamu, Nona Daph,” imbuhnya, berbisik. “Aku pernah berkorban, merelakan seluruh cerita kenangan manis dengan istri dan anak-anakku, demi kebahagiaannya kepada seorang pengangguran!” tambahnya.
Daph menoleh nanar kepadanya di sebelah. Posisi duduk Pak Grant tepat di sisi pundaknya. Mata Pak Grant, seolah merayu Daphine untuk menilik gumpalan yang membengkak di antara resleting celana, bentuknya sudah menukik tegang. Sesekali tangan keriput Grant tertangkap mata Daphine bergerak mengelusnya.
Daph merenung lagi menuju semua berkas di meja. Ada dua hal yang dia pertaruhkan disana. Dilema karena ada di antara dua pilihan, menyerah dengan kasus ini atau menyerahkan Max (?)
Daphine melunak, ketika diberikan sandaran bahu Pak Grant yang ada di sebelahnya. Dia merebahkan kepala kepada pak tua itu dengan wajah ragu.
Lewat tabir cahaya remang lilin, bayangan mereka saling bersandar, menyatu, melingkupi seluruh ruangan.
“Max cuma bocah kecil saat Rebecca tega pergi meninggalkannya. Dia tidak kuat menanggung kenyataan bahwa suaminya adalah ancaman sekaligus incaran semua musuh, termasuk selingkuhannya.”
Daphine berujar lirih, menyandarkan kepalanya ke pundak Pak Grant.
Matanya menerawang kosong ke arah cahaya remang lilin, masih berkaca-kaca.
“Dan Antoine memintaku untuk membawanya, dia merasa hanya aku pantas untuk menjaga Max. Dari semua ancaman.”
Pak Grant lumayan terhenyak, ikut merenungi, mendengarkan segala
unek-unek yang dia sampaikan. Bersimpati?
“Oh, jadi seperti itu asal mulanya? Pantas saja Nona Daph tidak senang dengan kiriman kabar yang kuterima dari Herber beberapa minggu lalu. Tapi apa aku harus peduli, bukankah itu urusan keluarga mereka saja?” - Grant
Tentu saja tidak.
“Ancaman ?”
Pak Grant penasaran. Daphine cuma mengangguk, tapi tidak merasa perlu mengatakannya. Pak Grant juga cukup memahami batasannya...
Pak Herber kemudian berbisik, “Aku lebih punya nurani ketimbang pria seperti Herber, dengan segala ketamakan!” menghasut Daphie. “Dia juga yang memberitahukan alamat dan nomor telepon rumahmu kepada Nyonya Rebecca saat itu. Jika ceritamu benar ... maka aku juga percaya, penetapan (tersangka) ini juga bagian dari persekongkolan mereka berdua (Herber-Rebecca), untuk menjatuhkanmu juga tentu saja soal Max.”
Dengan segala hasutan, muslihat, tabiat, rayuan bercampur dengan pilu kenyataan yang Daph alami, Pak Grant sudah pasti akan mencapainya.
Pak Grant hampir menang. Dia punya segalanya untuk membuat Daphine bungkam. Termasuk untuk membuat Daphine luluh dengan penuh keraguan.
Hembusan nafasnya terasa berdesir ke leher Daph, sesekali menyisir sampai telinganya.
Nafsu tuanya makin mendidih saat Daphine malah tidak berekasi ketika pelan-pelan tapi seperti tidak sengaja, tangan Pak Grant mengusap paha Daphine.
Bahasa tubuh yang terlihat seolah berusaha menegarkan Daphine, namun niat aslinya hanyalah untuk menyibak bawahan kimono, mengintip jenis stocking yang membuatnya penasaran sedari tadi.
“Wow! Kali ini aku benar-benar menemukan stocking tadi, hal semacam ini saja sudah bikin kepalaku cenat-cenut nggak karuan.” - Grant
Tiba-tiba, Pak Grant yang sudah kelewat
horny, perlahan meraih sebelah tangan Daph, membimbing jemari lentik itu untuk bersandar kepadanya, menyapa apapun yang ada di balik celananya.
‘Degh !’
Wajah Daphine langsung memerah malu. Keringat dingin sampai terasa dari balik punggung Daph, dadanya serasa sesak. Baru sadar dia sudah terhipnotis dengan maksud basa-basi panjang si tua benjol itu.
Dalam situasi yang serba tidak menguntungkan ini, Daphine tahu, menyerah bukanlah jalan keluar, tapi lebih kepada pilihan paling logis.
“Jadi niat awal kedatangan Tuan Grant ke sini, sekedar memasang perangkat penyadapan atau memang berniat melecehkanku ?”
“Aku kira kau sudah tahu semenjak membukakan pintu ?” seloroh Pak Grant yang sudah ketahuan tabiat buruknya.
“Apa semua seluruh urusan di meja ini benar-benar bisa kau tangguhkan ?”
“Khekhekhe...”
Pak ‘Benjol’ Grant malah terkekeh lagi. Sambil melepas kacamatanya, mengusap matanya, menggaruk kepalanya.
Daphine benar-benar tidak berdaya. Dilema. Nuraninya menolak. Jijik. Jelas tidak akan rela menggadaikan diri hanya untuk lelaki menyedihkan seperti Grant.
Peran Pak Grant memang tidak lebih kepada pembantu tugas penyelidik kepolisian. Tapi dengan semua bukti barusan yang dia miliki, pengaruh hukum, juga kedekatannya dengan Herber rasanya dia bisa diandalkan untuk setidaknya ‘mengendapkan’ kasus semacam ini.
“Memang benar, secara tidak langsung aku yang jadi kena getahnya karena kasus Barsi sialan itu. Aku juga harus menghadapi serangkaian ancaman sanksi hukum. Dari penyadapan, sampai jadi tahanan rumah, pun masih bisa diberi tuntutan berlapis jika terbukti menyembunyikan pelaku kejahatan. Bukan ancaman itu yang jadi masalah. Semisal itu terjadi, sama saja dengan segala upaya dan rencanaku untuk segera menemukan sosok beridentitas ‘Petr Clauss’ akan terlambat. Jika rencanaku terlambat, maka Barsi akan yang akan lebih dulu mengambil Miro dari London. Jika Miro sudah dia dapatkan, maka akan hilang satu kunci berhargaku untuk mengungkap teka-teki kematian abangku.” - Daphine
Terlebih, ini semua demi menjauhkan Max dari wanita berbahaya bernama Rebbeca. Seperti wasiat Antoine dulu.
Dengan semua motif tadi, Daph harus mempersiapkan diri, melakukan sesuatu yang tentu akan memalukan bagi dirinya.
“Aku yang akan urus semua masalah ini dalam penyelidikan. Aku menjamin kau akan bebas! Aku cuma mau bersamamu Nona Daph, malam ini saja !” Pak Grant berbisik lagi.
‘Srkk ! Srkkk—’
Si tua mula benjol ini langsung bangkit melucuti celananya, buru-buru melepas kancing kemejanya satu persatu.
Tubuh kurus Pak Grant yang kian menyusut, cuma berlapis kulit keriput pembungkus tulang, sempat tersamarkan dari balik setelan jas tadi, kini tidak malu dia perlihatkan kepada Daphine.
“Eh ?” tidak Daphine kira.
Pria paruh baya itu ternyata memiliki
tattoo gambar burung gagak yang terlukis antara pinggang menerus ke perutnya yang agak buncit.
Bau minyak urang-aring rambut yang Grant gunakan, langsung dapat dikenali Daphine.
“Dan yah, baru kali ini aku menyadari kalau ternyata Pak Grant ini membayar lebih untuk jasa transplantasi rambut. Tapi ini adalah contoh yang gagal, hehehe. Eitss, kalau itu bisa bikin dia merasa pede, okelah~” - Daphine
Dari balik remang cahaya lilin, Daphine terka ukuran dan panjang alat kawinnya yang cuma standar, tidak terlalu ‘wah’. Keadaannya yang sudah panas memerah, ereksi keras, seperti siap muntah.
Jujur, Daph tidak sekalipun terperangah melihatnya. Cuma ekspresi senyum yang dipaksakan terpancar dari wajah Daphine.
Gosh...
“Melihat rupa, tekstur, dan denyutan penisnya yang aneh, aku yakin dia sempat mengkonsumsi suplemen atau pakai obat kuat. Hmm, bagaimana mungkin terpikirkan olehnya? Apa memang dia sudah begitu pede dan yakin bakal dapat ‘suguhan’? Shit! Kalau iya, aku yang bakal kerepotan kalau seperti ini!” - Daphine
“Emmh, P-Pak Grant, tapi kita—”
Karena situasi diselimuti kegelisahan, Daphine seperti tidak cukup ‘mood’ untuk meladeni pria ini. Bahkan ketika Grant lekas melucuti semua setelan jasnya berikut celana dalam, Daph hanya panik dengan situasi mereka saat ini masih di ruang tengah.
Bisa
berabe kalau Hanna, Max, atau orang lain tiba-tiba masuk.
Pak Grant sudah begitu lapar. Dia berdiri menghimpit Daphine ke kursi, langsung kasar menggerayanginya.
“Come on babe~” desah si tua dengan tangannya langsung ugal-ugalan, mengelusi sepanjang paha sampai penghujung kaki Daphine, dari betis lalu ke paha yang terbalut kain
stocking.
Daphine menahan geliat saat tangan Pak Grant segera menyibak bawahan kimononya, menggelitik naik, sampai menemui ujung bagian, masih tertutup celana dalam.
“Kau sengaja memakainya ? caramu menggodaku mirip pelacur saja, Khekhekhe...” katanya menyeringai, terus mengelus pahanya berikut mencubit kain
stocking yang Daph kenakan.
“Ah !” Daphine menggeleng.
Daphine yang sebelumnya cuma berniat mencoba tampilan aksesoris stocking, malah dikira bermaksud menggodanya, menyuguhkan itu khusus untuk Pak Grant. Ada yang lebih buruk dari pikiran kotornya, tingkatan ge-er nya sudah masuk kategori norak.
‘Srkkkk ! Srkkk !’
Pak Grant yang makin gemas hanya meraba-raba dari luar, langsung menyusup berpindah ke atas, tanganna yang lain ikut masuk menelusup ke belahan kimono Daphine, dia rasakan apapun yang di baliknya.
Dua bongkahan daging kenyal menunggu Pak Grant dari balik dalaman
lingerie. Grant remas itu perlahan, pelan, mulanya pelan, lalu menjurus kasar, sekuat tenaga, mengucal apapun isian ‘mangkuk susu’ itu.
Seperti sudah paham. Daphine tidak akan membiarkannya melakukan hal menjijikan ini begitu saja, karena posisinya terdesak masih duduk di kursi, Daph mulai menggenggam kemaluan Pak Grant yang berdiri di hadapannya, perlahan mengelusnya.
Itu sudah sangat keras ‘mementung’ ke atas. Tidak mengkhawatirkan dari segi ukuran, cuma keras bentuknya saja, denyutan-denyutan tadi juga sudah tidak terasa, mungkin karena pengaruh obat kuat.
Di sisi lain, Daphine sudah terlihat sebal dibuat kerepotan dari remasan tangan Pak Drant di kedua teteknya. Putingnya beberapa kali tersentuh saat dirasuki jemari-jemari hina itu.
“Tanganmu sehalus ini ? Gila ! O-ouh... Akh ! Arghhh !”
Daphine melumuri lagi tangannya dengan ludah agar tidak kesat. Sementara tangan kirinya menepis untuk menghentikan aksi nakal Pak Grant meremasi teteknya, Telapak tangan kanan Daphine langsung meraih dan mulai bekerja mengocok benda tegang ini.
‘Ckk.. Clk... Ckk.. Clk..’
“Ehmmm... ohhhh... Nona Daphine !”
Pak Grant malah yang balik kelimpungan. Tidak menduga, Daphine begitu lihai mengacaukannya.
‘Clk.. Ckk... Clk... Ckk...’
“O-oughhh ! Mmhhh !” erang si petugas NW sudah tidak terbendung, tangan Pak Grant saja sampai bekerjap-kerjap, tidak bebas meremas tetek Daphine, seiring kocokan lembut nan halus kulit pergelangan Daphine.
“Oh... Ah! Ah ! Nona Daphine ! Ah-ah ! A-argh ! Maaf ! Ehhh !”
Seakan mengurut, memijat, menggelitik batangnya dari pangkal pelir hingga memijat putar dibagian kepala jamurnya. Kadang, kombinasi tadi dipusatkan ke bagian lubang kencingnya. Seperti teknik yang sudah-sudah.
“O-oooorghhhh~”
Pak Grant sampai menggeriap geli. Ngilu juga rasanya saat diperdaya teknik semacam ini. Belum lagi, bius wewangian
handbody lotion Daphine malam itu.
“Juhh ! Cuih !”
Daphine kembali mengalirkan ludah, melumasi batang kelamin-pergelangan tangannya.
‘Clk.. Clk.. Clk...’
Kocok, kocok, pijit, urut, gelitik.
“Feels good right ?”
Handjob darinya makin sangar saat intensitasnya makin kencang, menarik ulur sampai ujung kepala kontolnya karena pelumasan ‘liur’ Daphine.
“Errghhjjdkdkdk !!!”
“Aku sadar. Mungkin ini salah satu—walau bukan satu-satunya cara untuk menyelamatkan diriku dari sanksi hukum. Dan Pak Grant, cuma 'masalah kecil' yang kebetulan lewat. Bajingan tua ini, paling cuma perlu 2-3 kocokan tangan lagi untuk membuatnya layu. Dan dia bakal menanggung malu. Hihihi.” - Daphine
Beberapa menit berselang...
‘Grrrnggggg...’
(Mobil melipir dan terparkir di depan rumah Daphine)
Sebuah mobil dengan cutting-stiker bertuliskan,
‘John Hancock & Vitallity Insurance’ yang sehari-hari digunakan sebagai armada operasional, terlihat melipir dan terparkir di depan rumah Daphine.
Penumpangnya adalah
Demon, sohib Max yang barusan menelponnya, berniat untuk mengambil beberapa barang tertinggal.
Sedangkan sang pengemudi tidak lain adalah abang nya sendiri,
Deeven Kashr, yang wajahnya sudah sangat lelah karena seharian berkeliling dari rumah ke rumah untuk menggaet nasabah.
Mengejutkan ?
( )
“Bhaee andar nahin aa raha hai ? (Abang tidak mau ikut masuk ?)” Demon bertanya, menggunakan bahasa Hindi.
Hujan sudah tidak sederas sebelumnya. Meskipun begitu, keadaan listrik di beberapa gang termasuk rumah Daphine masih dalam kondisi padam.
“Nahin (Nggak perlu). Lagi pula kita mesti bergegas, petugas keamanan bilang waktu kita cuma 5 menit.” jawab Deeven Kashr, menarik tuas rem tangan.
“Oh, okay~”
Demon bergegas melepas
seat-belt, kemudian turun dari mobil.
“Jika tidak di respon, lebih baik kita tinggalkan saja. Listrik padam, mungkin dia juga kerepotan mengurus masalah ini.” pesan Deeven sebelum adiknya turun dari mobil.
“Chhaata ! (Pakai payung !)” omel Deeven.
Tidak mengindahkannya, Demon tetap menapaki masuk halaman depan rumah Daphine dengan mantel gelap milik abangnya.
Hanya lampu teras dan beberapa lampu taman yang menggunakan sistem daya cadangan.
‘Tok ! Tok ! Tok !’
( )
“Bibi Daph ? Bibi ?
Ich bin es (Ini aku), Demon.” panggil Demon juga dari luar, menunggu dibukakan pintu, ada sekitar 10 menitan. Diketuk terusan, tapi tak kunjung ada sahutan dari dalam.
‘Ngikkk—’
Demon iseng mendorong
handle, ternyata memang belum sempat dikunci. Melongok ke dalam, ternyata sudah ada cahaya remang lilin di meja bundar ruangan.
‘Fyuhh~’ syukurlah. Itu artinya Bibi Daphine sempat terjaga, setidaknya tidak terlelap tidur dalam keadaan hujan badai ditambah listrik padam seperti saat ini.
‘Tinn ! Tinn !’
(Klakson mobil dari Deeven)
Sementara Deeven sudah memberinya isyarat ‘ayo pergi !’ dari mobilnya dengan membunyikan klakson. Dia sadar, tamu seperti mereka tidak boleh berlama-lama. Ada jam malam yang wajib ditaati saat ini. Apalagi dengan status 'imigran' seperti mereka yang begitu ketat diawasi para security dan petugas NW semenjak di pintu gerbang komplek tadi.
Tapi Demon cuek, malah balik memberinya isyarat, ‘aku masuk dulu !’
“Woy !!” bentak Deeven dari mobil. Kurang ajar memang, serampangan sekali bocah itu masuk tanpa dipersilahkan.
Padahal abang dan orang tuanya dulu selalu mengajarkan adab dan sopan santun. Seperti itulah kebiasaan buruk adiknya. Keras kepala. Tidak mengindahkan setiap nasehat dan pesan abangnya. Dan tidak bisa berpikir ke depan.
Termasuk kepada pilihan karirnya untuk menjadi pemain sepak bola begitu pindah ke Jerman. Tentu, akan sangat mengganggu urusan akademiknya—sebagai mahasiswa dengan status penerima beasiswa internasional di jurusan teknik mesin,
Universitas TU Dresden.
Demon melangkah pelan. Pesan Max tadi adalah untuk tidak membangunkan bibinya jika sedang beristirahat.
“E-eh ?”
Perhatian Demon dialihkan oleh beberapa berkas termasuk tape recorder yang berserakan di atas meja bundar. Hanya sepasang lilin yang masih berpijar berikut penyangga sebagai media penerangan.
Tidak. Dia tidak akan repot-repot menilik satu persatu isi tiap suratnya.
“Huh ?” Demon terkejut, saat kakinya tidak sengaja menjejak beberapa barang termasuk sepatu, jas, celana berikut ikat pinggang dan set kemeja yang sudah lusuh, berserakan di lantai.
‘Ngikk ! Ngikk ! Ngikkk !’
Suara derit dan guncangan ranjang di lantai atas, dari kamar Max.
Belum selesai keterkejutannya dengan semua barang yang dia temui ini, samar-samar dari arah kamar Max di lantai atas, Demon mendengar keras sekali lolongan dan desahan pria-wanita, bersamaan dengan derit ranjang yang seperti terhentak-hentak.
‘Degh !’
Apakah semua pikiran buruk dalam kepalanya ini, benar-benar nyata terjadi?
Beberapa saat sebelumnya...
( )
“Heirate mich ! (Menikahlah denganku !) Kukawini kau setiap malam! 3 kali sehari! Kumohon, akan kubahagikan hidupmu!” racau orang tua itu. Tambah gila.
“Nein ! (Nggak !)” Daphine menggeleng.
“Oh,
Komm schon Liebes~ (Ayolah sayang~) Anak-anakku akan sangat setuju !”
Dia langsung menggeret Daphine untuk berdiri. Langsung dia tubruk Daphine sampai terhuyung, terbentur tembok. Saatnya beraksi...
Sudah kalap, Grant langsung menyasar semuanya. Dia jamahi setiap bagian, inchi demi inchi. Atas-bawah. Kiri-kanan. Depan-belakang. Setiap jengkal permukaan kulit lembut, dengan harum
lotion tadi.
Daph dihimpit dengan posisi punggung membentur tembok ruang tengah. Kakinya sampai berjinjit karena serangan awal Pak Grant menuju ke bagian bawah. Inilah yang dia tunggu-tunggu...
“Hmmphh ! Hehehe.” Pak Grant hisap kedua puting
areola Daph yang makin mengeras, bergantian, kiri-kanan.
Bergantian. Itu turut membuat tanda birahinya juga terpancing. Jemari Pak Grant mulai menyambar celah kangkang bawahnya. Liang nikmat yang bersih halus. Becek sudah. Jari-jari tua tadi lancar saja menjajah itu. Hangat, basah, ada sedikti sensasi jepit. Grant rasa birahinya makin menjadi.
Desahan-desahan mulai Grant dengar. Desah manja. Tak kuasa menahan sensasi geli yang Grant beri.
Beberapa saat yang lalu, Pak Grant yang kelimpungan karena permainan binal Daphine menggetarkan seluruh belalai pahanya, langsung menghentikanya dan mengajaknya main berdiri. Dia sadar, tenaga yang bahkan sudah dibantu efek obat kuat juga tidak akan mempan di depan perempuan gila ini.
Mulut tuanya kemudian menyosor apapun yang bisa dijangkau. Bibir, pipi, leher, telinga Daphine, semuanya…
“Emmh ! Enghhh !”
Daphine sempat meronta, membuang wajahnya dari tiap serangan Pak Grant.
Apa yang dipikirkan Daphine terjawab benar, tanpa melakukan aba-aba atau semacamnya, Pak Grant langsung memutarnya untuk menungging. Dia tidak akan melewatkan momen nikmat satu ini...
“Emmghhh ! Aw ! A-arghhhh ! Pak !” pekik lirih Daphine, saat benda tadi bergesekan dengan pangkal pahanya
“Sshhhh... Ouw,
Yessss...”
Pak Grant mendorongnya perlahan, biarkan saja dulu. Muat didepan, ia dorong pelan lagi. Ini luar biasa
“Emphhh~”
Daphine memalingkan wajah saat dijojoh benda hidup tadi.
“O-oughhh...
yesssss...”
Sekali tusukan ia rasakan kontolnya masih kesat menjebol. Dua kali tusukan, keduanya sama-sama melenguh. Tiga kali tubrukan pinggul Pak Grant mulai menemukan ritme...
“A-akh !”
“O-okh, Hsshh… Huh !”
Reaksi Pak Grant saat sebagian miliknya berhasil masuk, gemas sekali rasanya begitu melirik muka Daphine yang sesekali merintih, menggigit bibir.
‘Srkkk ! Srttt !’
Pak Grant sempatnya membredel tali kait
sleepwear Daphine, menyingkap bagian bawahnya juga, tergulung sampai pantatnya. Bagian atas kimono Daph sudah terbuka, memperlihatkan lingerie warna biru yang dikenakan oleh Daphine.
‘—Brtttt !’
Kemudian, Pak Grant langsung membetot bagian talinya sampai putus.
“A-akh ! Ouw !”
Dua tetek jumbo tergantung dengan bebas di posisi menungging. Kedua tetek sebesar bola disco tadi ikut bergoyang oleh genjotan kasar Pak Grant di pangkal paha Daphine.
“Wohoho ! Ini sih bukan mangkuk susu lagi, ini kendi susu ! Hahaha… semoga saja isinya bukan silicon !” komentar menjijikan seperti itu terus terdengar oleh Daphine.
Di remasnya tetek Daphine dari belakang dengan gemas sambil terus menumbuk bawahan Daphine kuat-kuat. Pak Grant sedikit membungkukkan, tetap condong ke depan. Menghimpit Daphine ke dinding.
Grant tak peduli reaksi apa yang diberikannya. Tangan kasar Pak Grant dengan leluasa menggerayangi kedua ‘bola disco’.
Daph menengadah, memejamkan mata saat merasa putingnya semakin mengeras saja karena terus dirangsang Pak Grant dengan menggesek-gesekkan jarinya, memilin-milinnya atau memencetnya sehingga ia makin tak sanggup menahan desahannya.
Kadang lidah Pak Grant yang terasa panas, ikut menyapu tengkuk Daphine dari belakang. Bermula dari jilatan pada telinga Daph, kemudian lidah itu terus menggelitik titik sensitif lalu turun menciumi tenguknya.
Di antara cahaya remang lilin. Bunyi riuh, pekikan histeris, desahan panas, pilu ketidakberdayaan juga suara selangkangan Pak Grant yang bertubrukan dengan kulit pantat Daphine justru malah memanaskan udara dingin hujan malam itu.
“Ssshhh… kita pindah ke kamar saja !” tawar Daphine, instingnya terlalu ‘ajaib’ untuk menebak ke depan.
“Huh ?”
Pak Grant mengangguk, namun posisi Daph tetap ditahan.
“Naik ke sana, kita pindah ke kamar atas saja! Aku tidak suka bersenang-senang dalam gelap, naiklah dan tetaplah seperti ini~” ucapan Pak Grant membuat Daphine kaget dan menggeleng pelan di sela tumbukan penetrasi Pak Grant yang makin melemah. Hmmm, sepertinya sudah mendekati ujung...
“Emmh, tapi Itu kamar Max ! A-argh~ Ssshhh…”
“Ssshhh… Ayo jalan !” paksanya.
‘Cplak ! Cplak !’
Pak Grant menampar sebelah pantat Daphine, keras, terdengar jeritan kecil bibi Max itu.
Daphine dipaksa tunduk, takluk dengan ancaman, dan hanya bisa menuruti apa yang Pak Grant ucapkan. Masih dalam di dari belakang, Daphine berjalan pelan sedikit menungging naik melalui tangga. Ini gila tapi seru! Tak pernah dia pikirkan sebelumnya sensasi ini. Saat untuk berjalan saja sudah susah apalagi dalam posisi sedang dikangkangi dari belakang seperti.
‘Plak ! Cplak ! Plak !’
Tamparan-tamparan tangan Pak Grant berulang kali mendarat ke pantat Daphine.
“Sedikit demi sedikit aku mampu melewati satu-persatu anak tangga terakhir dan seolah merangkak masuk ke kamar Max. Pak Grant? Dia juga tidak lebih garang, menjejak pinggulnya dari belakang. Ini semua cuma akal-akalannya saja yang tidak mau terlihat lemah dan buru-buru ‘meledak’ setelah melihat langsung aksiku di bawah tadi.” - Daphine
‘Ngikk! Ngikk!
Ngikkk! Ngikkk!’
(Derit guncangan di atas ranjang)
Gempuran demi gempuran turut mengguncangkan ranjang tidur Max. Beberapa bagian Sprei bahkan sampai berantakan. Ini sudah berlangsung semenjak beberapa menit yang lalu, dan semakin dahsyat saja...
“E—mmghhh !” pekik Daphine lagi saat bagian kepala gundul Pak Grant sudah bergesekan kembali pada celah paha Daph.
“Ouwwww
Yesshhh... Oh Yeahh~” erang Pak Grant.
‘PlekPlekPlek !’
Suara tepukan permulaan yang masih becek.
Bagian punggung sampai pinggang Daphine seolah menahan untuk tidak ikut terhentak, wajahnya dia sembunyikan dari balik selimut. Dia tidak menyangka, Pak tua ini menggerakkan bawahannya dengan tempo pelan tapi begitu mantap, goyangannya pun lincah bagai mengajaknya berdansa.
Melalui celah paha dalam Daph, penis Pak Grant ini keluar-masuk, sudah hampir 5 menit dia menumbuk memek Daphine dalam posisi seperti ini.
“Emmghh... A—akh! Akhh~”
Genjotan dan tepukan pinggul Pak Grant makin keras menjojoh memek Daphine. Sampai selip sesekali, bertepuk keras suaranya.
Daphine dibawah, sampai melumat selimut supaya erangan dan teriakannya tidak terdengar. Kadang sampai gemetaran.
Grant sesekali menyarangkan tangan ke depan meremasi tetek Daph yang makin tergencet di bawah, bokongnya makin tandas ditumbuk, tusukan penetrasi yang makin mantap nan liar.
‘Plok... Plok ! PokPokPok !’
“Emmh ! Emmh ! Emmh !”
Daphine melingukan wajah seolah meringis ngilu.
Kadang juga sesekali, posisi Daph diangkat pelan supaya menungging dengan pantat naik tinggi, tanpa banyak bicara, Pak Grant langsung menusuk kemaluannya keras-keras untuk masuk ke memek si
redhead.
Tangan kuru laki-laki itu, erat memegang pinggang ramping Daphine, sementara kantung pelirnya berulang-ulang dihantamkan ke bokong Daph.
“Gerakan dengan benar! Nah ! Argh ! Yah ! seperti itu !”
Grant meminta Daph menggoyangkan bokongnya sendiri saat di
doggy dari belakang.
‘Cplak ! Plak !’
Pak Grant menampar sebelah pantat Daphine.
‘Plok ! Plok ! Plok !’
Daphine menurut saja, menggoyangkan pinggulnya, seolah menari-nari di hadapan tumbukan Grant. Benar-benar luar biasa ! Itu membuatnya berulang kali bergetar dalam tepukan penetrasi bokong Daphine. Bagai buah simalakama!
“Oh tuhan, bisa remuk ‘punya’ku kalo seandainya ini bokong menindih dan menggoyangku dari atas. Sial, dia punya segala nikmat yang bisa saja membunuhku.” - Grant
Bukan cuma jantung Pak Grant yang berdetak makin kencang, bawahannya pun ikut berdenyut, gerakannya juga mulai melemah, tidak lama lagi...
“Ergh ! Argh~ Ough !’
‘Cplak ! Plak !’
Sapuan tangan Grant, tak henti-hentinya menampar bokong Daphine dari belakang.
‘PokPokPok Plok ! Plok !’
“Hmm ?”
Daphine melinguk setelah gerakan Pak Grant yang lumayan sangar tadi berangsur mengendur.
“Komm hier her ! (Ayo ngehadap ke sini !)”
Tidak mau membuang waktu, Pak Grant langsung mengajak Daphine berganti gaya. Sebelum sempat mengambil jeda. Tentu saja tidak akan ada ampun lagi kali ini untuk aksi penghabisan...
Pak Grant langsung menindih Daph telentang dengan posisi kedua kaki mengankang, terjuntai ke atas. Oleh si tua, Daph segera dia tindih. Kakinya tertekan sampai ke bawah bagai sudut lancip.
‘Cuih ! Cuih ! Slppp—’
melumasi miliknya dengan liur dahulu, kemudian coba menekankan itu masuk lagi ke celah lubang Daphine.
Kaki jenjang Daphine ditekan mengangkang lebar, bersiap mengerjai Daph dari posisi
missionary.
Daphine merasakan benda tumpul didorong-dorong, kembali memasuki pangkal pahanya. Dia mendesah menahan pilu saat kontol tua itu menyeruak masuk ke dalam.
Tidak terlalu sulit melakukan penetrasi dengan posisi seperti ini. Ini membuat tiap dorongan pinggul Pak Grant lebih tepat dan menjojoh sampai mentok.
“Uhhh… Oughhh...
Yes ! Yess Baby !” dengus si petugas NW, sampai merem-melek, meresapi saat pinggulnya perlahan keluar masuk, mendorong kelaminnya mencoblos memek Daphine.
Tumbukan pinggul Pak Grant kadang keras pun dengan sisa tenaga tuanya, cukup membuat Daphine menggelinjang.
Daph kadang mendesah panjang, terasa becek di bawah. Badannya yang ditindih Pak Grant sesekali dipeluk erat-erat.
“Hegh ! Hekh ! Hegh !”
“A-ah Ouw! Slowly! Pelan Pak! Ah! Ah! Oh God... Kyakhh~” erangnya seperti sudah kepayahan saat berulangkali tusukannya meleset menyamping
Masih kesat, perih, panas !
“Emmh... Emmh ! Emmh !”
Itu tidak berlangsung lama, hanya saja ini yang paling menyiksa bagi Daph.
Bentukan kelaminnya yang bengkok menukik seperti pisang, dengan gaya main sodok tajam kedepan, tidak beraturan justru membuat Daph sedikit kelimpungan. Rambut Daph makin berantakan, acak-acakan. Lepek.
“Ehmmm... Ouuhhhh~ Eehgg !”
Nafas Pak Grant terasa panas saat menindih Daph. Di bawah, dia menjejalkan kontolnya makin lama semakin cepat.
Daph terbawa suasana, menambah kecepatan goyangannya dan sesekali meliuk-liukan pinggulnya. Daphine merasakan di bagian bawah makin dilumasi, berkontraksi makin cepat.
“A-A-Akhh Mmmh... Mmmhhh... AAAAAKHHH”
Sebelah tangan Grant juga muncul untuk meremasi tetek jumbo Daph yang terpental ke sana-sini karena genjotan pinggulnya, tapi perlahan melemah…
Daphine sedikit digeser lagi posisinya, kini menyerong ke samping dengan kedua kaki juga membentang silang menyamping, seraya membuka lebar lubang paha Daphine.
“Oughhh...” gerakan yang sedikit memaksa, ujung kepala lunak Pak Grant masih terasa kesat, menjebol celah paha dalam Daphine.
“Aarghh !” pekikan Daphine.
Terkejut, mulutnya sampai menganga sesekali melirik di belakang sana.
“Hsssshhh~” desah Pak Grant, sampai terpejam. Pelipisnya sudah basah oleh keringat.
“Eemnghhhh ! A-aarghh~”
Pak Grant begitu gemas untuk mencengkeram pinggang Daphine sebagai pegangan. Dia diposisikan berbaring miring, sampai perlahan ujung kepala kontol si Pak Grant mulai masuk menembus celah pangkal paha Daphine.
“Ouw! Ouuffff—” lenguh Daphine.
“Hegh ! Hekh ! Hegh ! Emphhhh...”
Perlahan dan perlahan, sebagian dan disentakkan sampai mentok. Tiap inchi bagian Pak Grant masuk, menjojoh memek Daph.
‘Clk..Clk... Cpok ! Plok ! Cpok ! Cpok !’
“Ergh ! Argh ! Ough ! E-eemph ! Ohh, Yessss” pekik Daphine, sesekali mendesah.
Lututnya mulai seru ditengah tumbukan pinggul Pak Grant.
“Menikahlah denganku, Nona Daph!”
Selalu saja di sisa malam itu, Pak Grant memohon seperti orang gila, meracau aneh di sela-sela permainan miring ini...
“Dan ini semua masih berlanjut (Nanti kuceritakan lagi). Yang pasti, di sisa malam itu, Pak Grant menghajarku habis-habisan. Ini diluar dugaan, bahkan aku saja tidak mengira staminanya se-dahsyat itu. Ini kali pertamaku tunduk pada lawan main. Tanpa siasat atau muslihat seperti yang sudah-sudah. Aku sama sekali tidak berdaya dihadapannya. Ini semua demi menjaga Max, dari perempuan bernama Rebecca itu !” - Daphine
( 63 )