Part 8
"Kayaknya gue stop kuliah aja deh, Yo..." Minggu pagi, Setyo main ke rumah. Tentu aja bareng Kharinka, pacarnya. Tiara sama Wina quickshopping ke Jogja, kata cewek manis itu.
"Loh, kenapa?" tanya Setyo
"Gak tau. Ketularan si Rere kayaknya." jawabku
"Kakak lu? Yang jelas. Kenapa?" tanya Setyo
"Ya gak tau, gairah akademis gue kayaknya justru makin drop. Gak tau kenapa..."
"Jangan becanda. Drop kenapa? Lo itu hampir jenius kalo udah urusan akademis. Dari dulu. Inget pas SMA dulu? Yang selalu dapet nilai hampir sempurna siapa? Elu." celoteh Setyo
"Terus tiba - tiba lo mau stop kuliah, ya aneh aja. Andai kata stop, lo mau ngapain?" tanya nya
"Belum kepikiran sih, tapi mau nyoba jadi Barista kayaknya. Lo kan tau, kayak gimana gue sukanya sama kopi."
Iya, dari dulu, semenjak SMA kelas satu mungkin, aku suka kopi. Awalnya sih, karena Mama waktu itu ngajak aku sama Kak Rere ke sebuah coffee shop di Jogja, di daerah Kaliurang. Latte pertama yang dibuat dari biji kopi asal Wamena yang aku minum. Dan enak. Aku langsung jatuh cinta sama kopi dari situ.
Sampe sekarang.
*****
Pov. 3rd
"Ahhh!" seorang gadis, atau wanita yang masih terlihat seperti gadis, meliak - liauk diatas tubuh seorang laki - laki. Lenguhan dan desahan lembut terdengar dari mulutnya
"Bentar lagi, goyang terus... Aduh..." ucap laki - laki berkumis itu, kumis yang terlihat sedikit beruban.
Sang wanita mungil dengan wajah yang terlihat imut dan lucu yang padahal sudah memasuki usia kepala empat itu menggerakan tubuhnya dengan liar, mengejar orgasmenya.
Tangan si lelaki bergerak menuju ke payudara mungil namun padat dan mengkal milik sang wanita dan meremasnya, memuntir puting yang mencuat disana.
"Mas, aku nyampe, dikit lagi, ahh... Ahhhh!" seketika tubuh wanita itu menegang kaku, orgasme melanda.
Dan secepat kilat sang wanita beringsut turun menyadari lelaki di hadapannya akan segera berejakulasi, dikocoknya batang kejantanan berukuran standar itu dengan cepat,
"Aaaah!" desah sang lelaki merasakan kenikmatan ejakulasinya.
Beberapa saat kemudian
"Mau langsung balik?" tanya lelaki berkumis yang kini bersandar di sofa, disamping ranjang besar sebua ruangan yang tampak seperti kamar hotel
"Iyalah, seharian nggak pulang..." jawab sang wanita datar
"Kamu kok sekarang kayak dingin gini sih ya..." gumam lelaki itu
"Terus kamu mau saya kayak gimana? Saya kan cuma pelampiasan nafsu kamu aja, kan?" ucap wanita itu ketus
"Kok kamu ngomongnya gitu?!" balas lelaki itu gusar
"Ya habis? Udah setengah tahun lebih saya rasa kita jalan hubungan kayak gini dan kamu nggak ada keputusan jelas. Salah kalau saya bilang, saya cuma jadi pemuas kamu aja?!" sengit sang wanita yang kini sedang mengenakan kaus ketat polosnya
"Terus kamu mau gimana, Bella?! Aku nggak bisa gitu aja pisah sama istriku dan lanjut sama kamu?!" balas lelaki itu.
Mata sang wanita, yang ternyata adalah Bella, Bellarisa Giana, berair dan segera melesat turun air mata itu.
"Awalnya, saya kira harapan yang kamu kasih ke saya itu bakal benar - benar jadi kenyataan. Hahaha, begok banget ya, saya. Okay kalau gitu, selamat malam, Mas Bowo." segera setelah mengucapkan kalimat itu, Bella dengan cepat melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Suasana hatinya serasa kacau. Andai saja ia tak termakan rayuan lelaki yang tinggal tepat di depan rumahnya itu. Kala itu, mulut manis Bowo berhasil mencuri hati Bella.
Pukul tiga dini hari, Bella sudah membook tiket kereta ekonomi-bisnis Solo-Jakarta yang akan berangkat jam enam pagi nanti
Memang, hubungan yang dekat sering terjadi karena sebuah tumpangan. Dan kemudian menjadi obrolan ringan, kedekatan yang tak di harapkan dan berakhir pada sebuah hubungan tanpa kejelasan. Berhari hari, berminggu - minggu bahkan berbulan - bulan Bella sabar menunggu kepastian itu, namun Bowo tak juga memberikannya.
Menjalani hubungan dengan seseorang yang tinggal tepat di depan rumahmu, dan berkeluarga, tentu tidak mudah. Apalagi kau adalah seorang janda cantik beranak dua. Pergi keluar kota dengan alasan bisnis padahal bersenggama, dua - tiga hari baru beranjak pulang ke rumah. Tentu itu bukanlah suatu hal yang gampang. Namun dengan sabar, Bella menanti itu. Menanti kejelasan seperti yang dijanjikan Bowo sebelum persenggaman pertama kali mereka terjadi. Alih alih mendapatkan kepastian, Bella justru termakan rayuan dan mulut manis Bowo tiap waktu, dan lagi - lagi ujungnya sama; senggama.
Maka kini terkuaklah kenapa Bella jarang sekali berada di rumah akhir - akhir ini.
Pagi - pagi sekali, Bella sampai di rumahnya. Jam enam lewat sedikit, biasanya rumah masih sepi. Namun ternyata tidak juga, Sakti dan Rere terlihat sedang duduk di teras, bercengkrama.
"Eh, kalian..." sapa Bella kepada kedua anaknya
"Mamaaa!" seperti biasa, Rere langsung menghambur ke pelukan Ibunya, sifat manja gadis itu seringkali keluar tatkala rindu tak bertemu walau seharian atau dua hari saja. Berbeda dengan Sakti yang agak cuek.
Sakti tergeli melihat pemandangan yang ia saksikan. Dua wanita cantik yang berpelukan, sejenak ia bertanya bercanda, ini siapa yang anak siapa yang nyokap? Badan sekal bongsor montok Rere memeluk Ibunya yang mungil namub seksi itu, apalagi wajah Ibunya yang masih terlihat anak muda banget, dan dandanan yang juga mengikuti trend anak muda nya.
"Gimana usaha nya, Ma? Aman?" tanya Rere yang masih memeluk Ibunya namun mereka berdua sambil melangkah masuk ke dalam rumah
"Lancar kok, eh Mama ikutan nongkrong disini yaa sama kalian..."
"Duduk dimana? Mager bangun, ah." ucap Sakti
"Lah, yang ngusir kamu siapa, Sayang..." balas Bella, Ibunda Sakti
Lalu tiba - tiba Bella duduk di pangkuan Sakti, tanpa merasa bersalah.
"Kebiasaan, kan..." gumam Sakti pelan. Masih cuek. Lalu meraib handphone nya dan berniat bermain game moba analog favoritnya
"Main game terus, Mama kan jarang bisa ngumpul sama kalian gini..." ucap Bella
"Siapa suruh? Sakti gak nyuruh Mama jarang pulang kan?"
"Ya kan urusan kerjaan, Sakti..."
"Kerjaan apa sih? Kok aku gak tau?" tanya Sakti lalu menekan tombol lock di sisi kanan handphone keluaran cina yang sedang naik daun itu.
"Ada deeeh... Peluk Mama, Sak... Kangen juga sama anak laki satu - satunya iniiiii...." ucap Bella lalu meraih kedua lengan Sakti dan menaruh kedua lengan itu ke perutnya, karna posisi Bella, Mama Sakti, duduk dipangkuan Sakti dan membelakangi cowok itu.
"Apaan sih, Maaa..." keluh Sakti namun menuruti mau Ibunya.
Rere yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, kini membuka pembicaraan.
"Ma, si Sakti mau stop kuliah tuh katanya..." ucap Rere tiba - tiba
"Loh, kenapa? Kok gitu, Sayang?" tanya Bella kepada anak lelaki satu - satunya itu
"Duh, Ma, Sakti juga bingung. Kayak gak semangat lagi aja..." gumam Sakti
"Gak masuk akal deh alesannya. Serius cuma karna gak semangat lagi?" tanya Bella
"Ya gitu, deh. Tapi kalo Kak Rere boleh, masa aku gak boleh?" balas Sakti
"Nggak sesederhana itu, Sakti..."
"Mama fine - fine aja waktu Kakakmu mau stop kuliah, justru karna dari sebelom dia sempet masuk kuliah, Mama udah tau bakat Rere ada dimana..."
"Inget kan, waktu Rere diem - diem ngejalanin online shopnya sendiri?"
"Jujur aja nih, ya... Selain mobil yang Rere pake, barang - barang yang dia punya di kamarnya, LED Tv, kulkas mini, dan lain - lain, itu hasil dari online shopnya dulu itu lho, Sak..."
Sakti tertegun sejenak, masih menunggu pembicaraan Ibundanya
"Jadi waktu Rere mutusin buat stop kuliah, ya Mama setuju - setuju aja..." lanjut Bella
"Tapi, kan..."
Belum sempat Sakti meneruskan kalimatnya, Bella memotong
"Udah, ah. Mama ngantuk... Mama masuk dulu, Rere jangan lupa bemtar lagi ke butik, ya..." ucap Bella lalu melangkah masuk ke salam rumah
"Iya, Maa..." balas Rere lalu keluar menuju mobilnya yang sejak tadi menyala di halaman garasi rumahnya.
Tak lama ketika mobil Rere bergerak meninggalkan rumah, bocah kecil dengan potongan rambut yang menyerupai mangkuk yang terbalik, keluar dari pintu rumahnya, seperti biasa, sambil bersiul - siul, bocah itu pun berjalan santai ke arah yang sama dengan mobil Rere.
Sakti bukan tak menyadari apa yang akan mereka lakukan nanti, mau disembunyikan serapih apapun, Sakti dapat menebak apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Jelas terlibat raut gelagat cabul Lintang yang terpampang di wajahnya.
Masih pagi loh ini... batin Sakti menggumam.
****
http://www.imagebam.com/image/75f814936755304
(Syadzwina)
"Sakti? Wina boleh nanya sesuatu?" ya, aku dan Wina memang udah lumayan lama akrab, obrolan yang kita lakuin nggak cuma pas lagi di kampus aja. Aku sama cewek manis itu, sering tenggelam di obrolan santai di aplikasi messenger hijau yang menggunakan nomer telfon pribadi.
Kadang, wina dulu yang nyapa, kadang juga aku.
"Nanya apa? Nanya tinggal nanya," balasku singkat sembari menyeruput minuman bersoda botolan.
"Sakti... Beneran mau udahan kuliahnya?" tanya nya, kemudian aku natap wajahnya. Aku nggak paham apa yang dia rasain, tapi yang jelas aku bisa liat rona ketidak relaan dan sedikit keputus asaan di wajahnya
"Hmm, emang kenapa?" tanyaku balik
"Ya, gakpapa sih... Cuman ya... Gatau deh..." gumamnya
"Kencengin dikit suaranya, gak bisa? Haha..." balasku
"Hmm... Gimana ya... Tapi, ka-kalo... Kalo Wina nggak mau Sakti stop kuliah, Sakti gimana?" tanya Wina, cewek itu cuma natap Es Teh di hadapannya tanpa menatapku.
"Alesan Wina apa kok Sakti nggak boleh cabut dari sini?" tanyaku
"Gak tau juga, Sakti... Wina juga bingung kenapa..."
"Ya, nggak usah bingung lah, kita kan masih bisa berkab-" belum selesai kalimatku, Wina langsung memotong
"Wina harus ngapain, biar Sakti bisa tetep disini?" tanya nya, sekarang Wina menatapku, menanti apa yang akan kubalas dari pertanyaannya barusan
"Ha?" aku agak terkejut dengan kata - katanya itu,
"Kita kan belom lama kenal, loh? Kok Wina bisa nanya kayak gitu?" lanjutku
"Nggak penting seberapa lama kita kenal, Sak. Yang jelas, Wina tanya, Wina harus gimana biar Sakti tetep disini?" kudengar suaranya bergetar, perlahan matanya pun kebasahan.
"Wina jujur ya..." ucapku
"Wina... Wina suka sama Sakti?" seiring dengan pertanyaan itu, samar aku mendengar isaknya. Pelan, namun terdengar.
"Loh, kok nangis? Jangan. Jawab aja yang Sakti tanya barusan...."
"...."
"Jangan diem. Sakti jadi bingung harus gimana kalo Wina nangis kayak gitu..." ucapku
"...."
"Wina? Jawab perta-"
"Anter Wina pulang."
"Iya, tapi ja-"
"Please, anter Wina pulang..."
Hendak mengulangi pertanyaan, tapi Wina langsung bangkit dari duduknya, meraih tangan kananku.
Aku nggak berusaha nanya lagi, dan ikutin apa mau dia.
***
"Sakti langsung pulang, ya?" tanyaku
Namun Wina dengan kecepatan tangannya itu menarik lepas kunci motorku, membawa kunci itu di dalam saku celana jeans nya
"Loh? Kok dicabut? Eh mau kemana? Siniin kuncinyaaaa..." ucapku
"Dorong motornya masuk." katanya setelah mendorong pagar rumahnya
"He? Gaenak ah, ada keluarga Wina kan di dalem? Duh," balasku
"Jangan bawel, kenapa sih? Ih!" pipinya menggembung, lucu sekali.
"Iya iya, ah elah..." keluhku
Setelah ku standar vespaku, Wina langsung menarik tanganku, ke dalam rumahnya.
Sesaat setelah menutup pintu rumahnya, Wina lalu berjalan cepat ke arahku, mendekap badanku erat - erat
"Please, jangan tanya kenapa. Wina juga nggak ngerti, Wina baru kali ini kayak ngerasa nggak rela, nggak rela nggak ketemy Sakti di kampus, nggak rela kalo nanti malah sama cewek lain selain Wina. Maafin Wina, terserah kalo Sakti mau anggep Wina apa, intinya, Wina nggak mau... Yah? Sakti jangan udahan ya ngampusnya? Wina nggak mau... Please..." celotehnya
Aku tertegun, tak merespon dekapnya, berdiri kaku dalam pelukan cewek yang selalu dikejar banyak cowok lain.
Kenapa harus aku, Wina? batinku
"Maksutnya apa, Wina? Kita sahabatan, kan? Serius deh, Wina bisa dapet cowok yang lebih ganteng dan bisa selalu nemenin Wina selain Sakti... Oke?" kini aku membalas dekapannya, sembari membelai rambutnya,
"Nggak! Wina cuma mau Sakti, bukan yang lain... Wina capek, Sak... Capek mendem hal yang Wina sendiri nggak tau apa yang Wina pendem itu... Wina nggak perduli yang lain, nggak peduli kalo Sakti nganggep Wina terlalu agresif dan malah jadi Illfeel sama Wina, nggak apa - apa... Tapi yang jel-"
"Syadzwina...."
"Yang jelas, Wina nggak mau. Nggak mau Sakti jauh, nggak mauuuuu! Huhuhu..." isak - sedu tangisnya terdengar jelas
Aku harus gimana?
Tolong...
"Wina, Sakti juga sama. Suka sama Wina, sayang malah..." ucapku, Wina meluk semakin erat.
"Serius? Jangan bohong, pasti Sakti cuma kasian kan, sama Wina?"
"Sakti belum selesai ngomong, Wina..."
"Iya, Sakti suka sama Wina, sayang sama Wina, tapi itu cuma sebatas temen dan sahabat deket. Makasih, Wina selalu ngerti dan selalu ada kalau Sakti mau cerita apapun, makasih Wina udah selalu perhatian sama Sakti... Tapi, Sakti ngerasa nggak layak buat Wina."
Kemudian aku nuntun Wina buat duduk di sofa, disampingku.
"Nggak ada yang nggak layak, Sakti... Kita belom nyoba buat... Nyoba buat pacaran, kan?" tanyanya, sengguknya masih terdengar diantara kata - kata yang barusan dia ucapin
"Anggep deh, kita pacaran, terus pas nanti entah ada sesuatu yang bakal bikin kita renggang dan akhirnya pisah, Wina yakin, kita bakal bisa saling ngerti dan saling perhatian satu sama lain? Nggak, kan? Sakti ngehargain banget pertemanan kita sekarang dan belum kepikiran buat ngerusak hubungan itu..."
"Nggak akan ada yang rusak, Sakti... Trust me, nggak akan ada yang rusak..."
"Wina, dan bahkan Sakti, nggak akan tau apa yang bakalan terjadi nanti, kan? Jujur, Sakti masih nyaman sama kita yang kayak gini...."
"Sakti, plea-"
"Gini, anggeplah kita sekarang jadian, Sakti yakin, Wina bisa bikin Sakti bahagia, Sakti yakin banget itu, Wina juga pasti udah siap buat nerima konsekuensi kalo kita jadian. Tapi Sakti? Wina sadar kan, siapa Om Alex, Papa kamu? Sadar kan, siapa Om Alex di mata masyarakat ibukota kita ini? Sakti sadar itu, dan Sakti rasa Sakti nggak akan siap nerima perbandingan - perbandingan orang lain kalau kita jadian, bayangin aja, anak gubernur jadian sama cowok biasa - biasa aja kayak Sakti? Jangan bilang enggak, dan bilang kalau mereka nggak perlu tau kalo seandaninya kita jadian, serapet apapun kita sembunyiin, pasti bakal kecium juga. Apalagi Papa Wina baru aja narik perhatian semua orang lewat aksi - aksi dia yang mencolok, nendang pegawai - pegawainya yang korupsi, bikin sungai Kalimulung yang tadinya sampah semua, sekarang bersih dan bisa diminum. Lama kelamaan, Wina anak semata wayangnya pun bakal ikut kesorot dan kebongkarlah hubungan kita. Itu yang bikin Sakti selalu kikuk dan grogi kalo ada di deket Wina, jangankan pacaran, jadi temen deket kamu aja Sakti ngerasa nggak pantes..."
Suasana tiba - tiba hening, hanya isak dan sengguk Wina yang samar terdengar. Maafin aku, Wina.
Nggak tahan liat ekspresinya yang lagi nangis dan justru makin imut aja itu, aku kembali meluk badan dia, dan tangisnya pun pecah. Wina, kenapa harus sesedih itu, sih? Aku harus gimana?
"Yaudah, kalau gitu... Wina nggak apa - apa. Seenggaknya Wina lega udah ngomong semuanya, semua yang Wina rasain ke Sakti... Tapi, syaratnya..."
"Syaratnya?" tanyaku bingung
"Syaratnya, Sakti jangan berenti kuliah, tetep kuliah ya? Please, Wina cuma mau itu aja kok..."
"Tapi ya kalo Sakti tetep mau berenti, ya Wina nggak bisa maksa dan terus - terusan nahan Sakti, kan? Itu hak nya Sakti. Tapi yang pasti, Wina bakal sedih banget dan nggak bergairah lagi buat kuliah, eh jadi ikut - ikutan Sakti deh stop kuliah juga... Hehehe...." Wina tersenyum lega, dan terkekeh lucu. Yaudah deh, karna kamu imut banget, aku gak jadi stop kuliah, deh.
"Wina kok bisa segininya sih, sama Sakti?" tanyaku, simpul senyumnya masih mengembang, kemudian Wina balik meluk aku lagi.
"Nggak tau, Wina nyaman sama Sakti, kalo deket - deket Sakti, apa yang Wina obrolin selalu nyambung, dan Sakti selalu mau nampung apa yang selalu Wina curhatin, Wina kayak nemu sosok Papa yang sebelum sibuk ngurus kota ini, beda kayak sekarang, Wina kehilangan sosok dia. Dan nemuin sosok itu lagi, di Sakti... Makasih ya, Sakti..." ucapnya tulus panjang lebar.
"Loh, emang Tante Astrid, nyokap Wina, kemana?" Iya, Tante Astrid, Bu Alex, istri gubernur Ibukota ini.
"Mama sama sibuknya, Mama kan lulusan arsistek, jadi ya Papa nyerahin pembangunan Mall nya ke Mama. Dan mall yang lagi dibangun itu kan di pulau seberang, jadi ya nggak ada bedanya Papa sama Mama, jarang balik, kalopun balik cuma sehari dua hari aja... Otomatis Wina disini cuma sama Bi Nah aja, kadang juga sama Mang Kardi..." kurasakan suaranya berbeda ketika menyebutkan nama 'Mang Kardi', entahlah, aku bukan penerka ulung soalnya.
"Mang Kardi?" tanyaku
"Iya, Mang Kardi, sopir khusus Wina. Kadang juga nyopirin Mama sih kalo Mama balik ke rumah..." jelasnya
"Oh gitu, eh kamar mandinya dimana? Sakti kebelet, nih..."
"Itu, lurus aja kesana, deket ruang makan, pintunya beda sendiri yang warna biru..."
Akupun jalan menuju kamar mandi setelah Wina menjelaskan rute menuju kamar mandinya barusan.
Baru saja menutup pintu kamar mandi dan hendak menyemprotkan air - air seni, aku mendengar suara laki - laki yang sepertinya sudah berusia.
'Eh, Non Wina, kirain belom pulang...' setelah hajatku selesai, akupun mendekatkan telingaku ke pintu kamar mandi, penasaran dengan obrolan mereka yang akan terjadi selanjutnya, apalagi setelah raut wajah Wina yang seketika berubah saat ia menyebut nama Mang Kardi, dan kurasa suara itu adalah suara Mang Kardi, sopir pribadinya.
Samar namun terdengar percakapan mereka.
http://www.imagebam.com/image/80c675936766584
(Syadzwina 'Wina')
"Eh... Mang! Ih, apaansih... Jangan... Ada temen Wina, Mang..."
"Loh, ada temennya? Mana?" tanya Mang Kardi
"Lagi di kamar mandi, ih... Udah sana... Bau, Mang Kardi bau matahari... Aduduh... Jangan dulu, Mang... Ada temen Wina..." ucap Wina seperti memelas
Damn, what is actually happened here?
"Bentar aja, Non... Sumpah, Mamang udah enggak Tahan... Duh, makin empuk aja ini... Semingguan kemaren kan Wina nggak bisa, sekarang udah bisa kan? Ayo dong, Non..."
Nggak bisa? Sekarang udah bisa? Apanya yang bisa? Bisa gila? Ingin rasanya aku keluar dan dengan diam - diam menyaksikan apa yang sedang mereka lakukan, tapi aku takut suara pintu nanti akan mengagetkan mereka dan menyudahi 'aksi' mereka. Dengan penasaran, akupun menempelkan kuping
"Iya... Aduh... Nanti aja, pas temen Wina pulang, Wina janji... Ahh... Sakit, Mang, Ih! Jangan kenceng - kenceng ngeremesnya, sakiiit... Huhuhu..."
Ngeremesnya? Apaan yang di remes, sih? Wah, ini sih nggak beres. Harus di beresin, ini sih... Tapi entar dulu aja kali ya? Aku masih penasaran... Hmm...
"Makanya, Mamang kan udah minta baik - baik, Non tau kan kalo Mamang udah kesel, Mamang bakal ngelakuin apa? Bukan cuma Non Wina loh yang bakal malu..."
"Iya - iya, tapi please nanti aja, beneran, aku deh yang ke kamar Mang Kardi kalo temen aku udah pulang... Please, Mang... Hk... Hk..." samar aku mendengar Wina terisak.
"Mamang maunya sekarang!" terdengar suara Mang Kardi sedikit meninggi
"Non Wina tau kan, gimana tanggepan orang - orang nanti kalo ngeliat video anaknya gubernur, lagi merem melek keenakan, apalagi videonya pas Wina lagi di dog-"
"Itu kan Mamang rekam pas Wina udah capek, udah pasrah! Semaleman suntuk Mamang gituin Wina! Mamang rekam pas Wina akhirnya harus nikmatin itu! Kalo waktu itu Wina nolak, Mamang bakal nusuk Wina kan? Siapa yang gak ketakutan diancem kayak gitu!" suara Wina agak meninggi, mungkin mereka lupa masih ada laki - laki lain yang sedang berada di kamar mandi, atau mereka pikir suara mereka nggak akan terdengar dari sini.
"Intinya Non Wina nikmatin kan? Enak, kan? Hwehehehe..." kekeh Mang Kardi
Fix. Aku tau kemana arah pembicaraan merek. Aku shock dibuatnya. Wina, yang tadi menangis terisak mengungkapkan isi hatinya, kini berada di ruang tamu yang entah sedang melakukan apa...
"Aduh, Mang... Jangan dilepas... Ahh... Huhu... Yaudah turunin sampe lutut aku aja. Jangan dilepashhhh" desahan yang aku paham bisa keluar dari mulutnya karna apa. Jelas. Pasti karna saat ini dia sedang menerima rangsangan. Tak salah lagi.
Aku semakin penasaran.
Atau, haruskah aku menolongnya dan menghentikan aksinya? Tapi, setelah mendengar pembicaraan mereka soal rekam dan sebar, aku mengurungkan niatku. Andaikata aku menolong Wina, apa itu akan jadi jaminan bahwa apa yang direkam, tidak disebar?
Emosiku sedikit tersulut, sahabatku sedang menghadapi masalah. Dan aku tak punya kuasa untuk menolongnya.
Argh!
"Wih... Kok dicukur, Non? Pasti biar Mamang makin nafsu yah? Hwehehehe... Duh imutnyaaaa," kekeh Mang Kardi
"Aaah... Mang... Jangan dijilat... Nanti muka Mamang kena pipis Wina-aaah... Kotor, aaah... Terus... Eh, jangan.... Stop... Aaah..." racau Wina mendesah tertahan
Dijilat? Pipis? Sebuah kesimpulan apa yang sedang terjadi saat ini timbul di otakku, dan seketika saja, kesimpulan itu membuat Sakti Jr konak dengan kurang ajar.
Kenapa malah nafsu sih aku nya? Ah, elaaah!
"Dah, gantian... Isep, Non..." suara Mang Kardi
"Nggak, kotor... Nggak mau, Mamaaang... Nggak ma-hmpfhh" kurasa batang penis itu sukses masuk dengan biadabnya ke mulut sahabatku
"Nah, gitu... Aduh... Enak, Non... Lobangnya jilatin, Non... Nah iya, bagus... Pinter... Anak pinter... Suka nyepong... Dasar... Aih..."
Sisanya tak kudengar lagi suara, mungkin mereka sedang fokus melakukan kegiatannya.
Namun tiba - tiba suara Wina terdengar
"Jangan... Wina isep kayak tadi aja... Jangan dimasukin kesitu... Ya Mang ya... Wina isep aja yaaa.. Aduhhhh... Jangan, Manghhh... Sakit... Kegedean... Aduuuuh!" desah Wina setengah panik
"Diem, Non... Bentar lagi... Ah... Bentar lagi juga enak... Duh ini... Ajib... Baru kepalanya ajahhh... Enak... Apalagi semuanya... Aaah... Sempit, udah imut, sempit pula... Ahh.." balas Mang Kardi...
"Ahh... Mamang... Udah mentok... Sumpah udah mentokhhhh... Jangan dipaksa lagi... Sakit... Udah mentok Manghhh... Ahhh... Huhuhu..." Wina tersedu diantara desah yang keluar dari bibirnya
"Jangan digerakin dulu... Sabar... Ah... Astaga, gedenya... Gila... Jangan digeraki-AAAH... Mamaaanghhh... Aku bilang kan... Aku bilang kan jangan digerakin duluuu.... Aaah... Ahhh... Astagaaaaa..."
"Ahh, enak, Non... Non... Coba cekek, Non... Cekek - cekek gitu Non... Bisa nggakhh... Ahhhh..."
"Apanya... Ahh... Apanya... Gim-ahhh... Gimana nyekeknya... Nggak ngerti..."
"Non coba... Coba kayak nahan kencing gitu... Coba..."
"Ahh... Kayak gini..."
"NAHHH... aaahhh... Iya gituuu... Ahhh... Mantepnya... Manteeep... Memek mantephhh..."
"Aaah... Mamang... Anak majikan sendirii... Diginiin... Mamang gilaaa... Sinting... Gila miring... Aduhhh... Terus, Manghhh.. Eh, jangan... Udah, Manghhh... Wina nggak tahaaaan..."
Oke, kalian tau, disamping mendengar percakapan itu, apa yang sedang aku lakukan?
Yap, benar sekali.
Coli...
Jelas, apa yang kudengar saat ini, pun membangkitkan nafsuku. Sialan juga ya aku ini. Sahabat sendiri dientot orang, malah nafsu...
"Aduhh... Ahhh... Kontol Mamang... Bisa mati ini... Dicekek terus kayak gini... Ahhh!"
Isak tangis Wina sudah tidak kudengar. Kini hanya desah nafsu gadis itu.
Kamu binal ya, ternyata...
"Mangg... Kok Wina ditunggingin... Kayak tadi aja... Jangan ditunggingin..."
"Ehhh... Mamanghhh... Yang itu jangan dicolok - colok... Sakittt... Keluarin jari Mamang... Ahhhh... Aduh... Jarinya jangan dimasukin semua kesituuu... Sakittt..."
Kemana? Anus? Siaaal, aku makin terangsang. Gila. Ini gilaaa...
"Nanti Wina nggak bisa be-a-be... Ahhh... Tapi nggak sakit lagi, Manghh... Colok terussss, masukin terus jarinyaa.... Eh, kok... Ya ampun, jangannnhhh... Lidahnya ngapain disitu... Kotor ituuu... Ahhh..."
Aku masih setia mengocok - kocok penisku, ahhhh...
"Mang... aduhh.. Masuk lagi... Titit Mamang masuk ke vagina Wina lagiii... Ya ampunn..."
"Namanya... Memek... Ahh... Coba... Bilang... Apa namanya... Ahh..."
"Ahh, Mamang... Jorok... Gak boleh ngomong jorok... Shhh..."
"Bilang... Buruanhhh... Kalo gak bilang memek... Mamang cabut aja ya... Gak Mamang entot kayak gini lagi, yaa..."
"Eh, janganhhh... Iyaa... Memek Wina... Memek kesayangan Mang Kardi... Aduhhh... Wina nakal banget, Manghhh... Wina jangan diomelin ya... Ahhh... Entotin aja... Jangan diomelin... Ahhh..."
Gila. Harusnya Wina lega dong kalo kontol itu dicabut dari kelaminnya? Tapi malah kenapa Wina nggak rela gitu, sih? Winaaa, kamu binal banget ya ternyata!
'PLAK.... PLAK...' Shit, apa baru saja yang aku denger itu suara tamparan? Gila, jahat banget Mang Kardi! Kenapa Wina ditampar, Mang?!
"Ahhh... Mamang marah ya... Pantat Wina kenapa di tampar... Auw... Wina nakal banget ya, Manghhh... Yaudahhh... Tampar lagiiii... Biar Wina nggak nakal sama Mamang... Aaaah... Wina nakal... Harus dientot... Harus ditampar... Ahhh... Shh... Yakan, Manghh? Harus ditampar kannn... Ahhhhh.."
"Ahhh... Non Wina... Ahhh..." desah Mang Kardi
"Ahhh... Shhh... Aduhhhh... Nah, jambak Manghhh... Jambak rambut Winaaa... Wina bandel kan, Manghhh... Makanya Mamang jambak Wina... Dasar Wina nakaaaal...."
Sungguh.
Gadis yang kulihat kalem.
Anggun.
Dikerjar bangak laki - laki.
Jenius.
Kini kudengar dengan binalnya mendesah dan menyuruh supirnya sendiri agar mengasarinya. Sepert menerima hukuman yang wajib diterima seorang murid karna kenakalannya di kelas.
"Manggg... Wina mau pipisss... Awas.. Ahhh... Nanti kontol Mamang... Ahh... Kena pipis akuuu... Kotor... Ahh..."
"Nghhh... Non Wina sayang... Mamang juga... Ayo... Pipis bareng - bareng..."
"Eh... Jangan di dalem... Manghhh... Nanti aku hamil... Ahhhh... Nanti aku hamil anaknya Mamanghhhh.... Sopir aku sendiriii... Aduhhh... Ahhhhh!"
"Mamang keluar, Non... Ahhh!!!"
"Ahhh, Mamaaanghhhhh!"
Seketika bisu. Hening.
Sama seperti kamar mandi ini. Hening. Spermaku menemplok dengan kurang ajar di tembok kamar mandi.
Ah, sial. Wina, kamu nakal, Wina!
Bersambung.