Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Mengabulkan permintaan kharinka di thread baru?

  • Iya

    Votes: 127 59,9%
  • Nggak usah.

    Votes: 85 40,1%

  • Total voters
    212
http://www.imagebam.com/image/3e7c8e936228974

(Tante Laras)


Part 7; I Got Ur Mum!

Pov. Sakti

Muka Ka Rere yang kayak kecapean, Lintang yang tiba - tiba keluar rumah sambil siul - siul gak jelas kayak orang baru aja gajian, bikin pikiranku ngebayangin yang enggak - enggak, kalo baru aja disini udah terjadi hal yang secara gak langsung aku tau banget apa yang dipengenin Lintang. Yang aku gak habis pikir cuma, masa iya sih secepet itu? Mau marah juga nggak bisa secara aku ngincer Ibunya, kan. Nggak marah, ya jelas, yang jadi objek rencana bejat Lintang jelas - jelas kan Kakakku!

Aku kan bukan Lintang yang kayak ngasih pinjem motor ke sahabat sendiri buat beli rokok di depan gang terus dibalikin lagi gitu aja. Ya ada sedikit perasaan nggak rela lah, seenggaknya, kasih tau aku kek kalo mau apa - apa sama Ka Rere. Akupun nggak akan ngegagalin atau ngusik rencana dia itu.

Tapi ya okelah kalau kayak gitu cara mainnya, aku harus mikirin siasatku sendiri.

Dan Tante Laras, tunggu pembalasan Sakti atas kecabulan anakmu ke Kakakku itu ya!


****

Senin pagi, jadwal kuliah hari ini masih beberapa jam lagi, masih ada waktu buat leha - leha nggak jelas dirumah. Kak Rere udah berangkat ke butik, Mama? Kayak biasa, belum lama pulang entah dari mana dan ngeloyor masuk ke kamarnya, tidur mungkin. Oh ya, mungkin aku belum cerita soal Mama.

Umur Mama masih sekitar empat puluhan ya kalo nggak salah, aku nggak begitu tau juga soalnya. Tapi yang jelas, dengan umurnya yang udah semakin menua, berbanding kebalik sama 'penampakannya' sekarang. Dari dulu, dari waktu Ayah masih ada, dari waktu aku masih kecil, Mama emang lebih sering ngabisin uang hasil keringetnya sendiri buat nyalon dan perawatan. Dulu, almarhum Ayah dan Mama sering debat kecil soal Mama yang lebih milib buat cari uang sendiri daripada harus bergantung sama penghasilan Ayah yang aku rasa cukup untuk menuhin kebutuhan dia disamping kebutuhan aku sama Kak Rere. Dari hasil kerja keras Ayah udah bisa ngehasilin rumah ini, rumah yang nggak bertingkat tapi lebar banget. Kita punya halaman sendiri di belakang sana, garasi yang cukup buat dua mobil sedan, dan teras yang lega, terus Vespa, Vespa biru muda yang kata Ayah dulu, udah nemenin Ayah dari dia muda dan ketemu Mama pertama kalinya, sampe sekarang masih ada dan berpindah tangan kepemilikan jadi punyaku. Masih banyak peninggalan - peninggalan Ayah yang masih ada sampe sekarang.

Bu Darwis, panggilan akrab tetangga - tetangga ke Mama. Nama asli Mama sebenernya Bellarisa Giana. Kalau di butiknya, pegawai - pegawai Mama biasa manggil Mama Ibu Bella, di sekolahku juga, kalau ada rapat wali murid dulu, wali kelasku manggil Mama dengan nama aslinya.

Paras Mamaku? Jujur, mungkin wajahku yang babyface ini menurun dari Mama. Bagaimana tidak? Mama masih terlihat seperti cewek - cewek abg, tak kalah dengan cewek - cewek di kampusku. Dandanan Mamaku apalagi, stasiun tv fashion style yang sering ia tonton, majalah - majalah fashion dan kegiatan menyelami internetnya yang seringkali melihat - lihat trend fashion luar, cendrung menjadi pengaruh besar akan penampilan Mama sekarang. Kadang Mama suka pergi dengan balutan kaus polos dan bomber hitam, celana jeans ketat yang robek - robek dan sepatu vans. Akupun bingung, ini yang mana yang anak yang mana yang orangtua sih? Penampilanku aja nggak se 'anak muda' itu. Tapi, ya gitulah Mama. Wanita setengah baya yang imutnya nggak luntur - luntur dimakan usia.

Tapi, akhir - akhir ini Mama sering jarang pulang kerumah, aku nggak tau pasti apa kegiatannya diluar sana. Apalagi setelah Mama nyerahin butiknya ke tangan Kak Rere, ya walaupun masih sedikit ada komando dari Mama. Kak Rere sih pernah bilang kalo Mama lagi mau ngerintis usaha baru, tapi apa usaha barunya itupun Kak Rere belum tau. Aku juga nggak begitu mau buat nanya ke Mama sih, jadi ya selama nggak ada masalah dan Mama terlihat fine - fine aja, ya biarin aja, lah.

Panjul, nama kesayanganku ke Vespaku, udah lama juga nggak aku cuci kayaknya. Dua mingguan lebih, mungkin. Apalagi kemarin lupa aku masukin ke dalem garasi pas ujan lebat. Jadilah makin kotor aja si Panjul.

Setelah nyiapin selang dan ember yang isinya air dan sabun cuci, aku mulai nyuci Vespaku dengan santai.

"Wih, rajin bener!" suara yang familiar di telingaku. Lintang. Huh, padahal aku ngarepin emaknya yang pertama kali nyapa. Eh malah anaknya yang tampangnya super ngeselin itu.

"Iyalah, emang elu." balasku tanpa menghentikan kegiatanku

"Kakak lu ada?" tanya nya yang spontan membuatku menghentikan kegiatanku dan memandangnya sinis

"Ngapain lu nyariin kakak gua?" tanyaku

"Hehehe..." dia hanya terkekeh tanpa menjawab pertanyaanku. Kekehan mesum. Sialan bener ini bocah.

Kemudian tak lama, kulihat seorang wanita dengan lenggok pinggul khasnya keluar dari pintu rumah yang terletak di seberangku. Iya, Tante Laras.

"Eh, Sakti... Tumben nyuci motor sendiri?" tanya Tante Laras yang baru saja keluar dari rumah

"Eh, iya Tante, daripada gabut nggak jelas mending nyuci motor aja. Ehehe..." jawabku yang lalu mendapat pandangan misterius dari Lintang

Ih ya ini bocah.

"Oh, gitu. Yaudah Tante anter Lintang dulu ya. Yuk, udah mau jam delapan ini nanti kamu telat ke sekolah," pamit Tante Laras lalu menaiki mobil yang kurasa adalah ojek online

Agak aneh padahal selain mobil yang sering dipake si Oom, masih ada satu mobil yang nganggur dab emang diberikan si Oom khusus untuk Tante Laras. Tapi karena Tante Laras nggak bisa bawa mobil sendiri, jadilah mobil itu teronggok bersantai di garasinya. Tapi kadang aku disuruh bawa sih kalau Tante Laras mau ke pasar dan kebetulan aku nggak ada kegiatan apa - apa. Tapi ya itu cuma sekali aja waktu itu. Sekarang gak dia pake - pake lagi tuh mobil.

*****

"Savage! Savage!" teriakku seru sambil memencet - mencet tombol di smartphoneku,

'You have been slain!' terdengar suara khas dari sebuah game online yang sedang banyak di gandrungi remaja saat ini

"Siaaal!" gerutuku kesal. Padahal dikit lagi tuh, eh, mati kena turret! Huh. Aku menggunakan hero dengan role Assasin yang belum lama di rework. Hero yang dibuat dari sejarah Jepang itu, saat ini memang menurutku overpower sekali. Ya tegantung cara main sih, hehehe.

Sedang sabar menunggu waktu cooldown ressurection, tiba - tiba layar di hapeku berganti

Tante Laras menghubungiku

"Halo?" sapa Tante Laras

"Ya, halo. Kenapa, Tante?" tanyaku

"Sakti kuliah jam berapa?" tanya nya

"Jam sepuluh lewat sih aku berangkatnya, kenapa ya, Tan?"

"Yah, bentar lagi dong?"

"Iya, Tante, ini tadi lagi main game sambil siap - siap nunggu jam sepuluh aja, trs langsung berangkat,"

"Hmm, gitu. Yaudah, Tante naik gr*b aja deh kalo gitu."

"Eh? Tante mau dijemput? Sakti jemput aja. Emang Tante dimana?"

"Di superin*do, yang biasa Tante belanja itu, Sak."

"Lah, deket. Yaudah, Sakti jemput aja. Jangan mesen gr*b duluuu."

"Gapapa?"

"Gapapa, Tanteku..."

"Tanteku? Hmmm..."

"E-eh... Iyaudah Sakti kesana sekarang."

"Hahaha, iyaiya, Tante tunggu yaa..."

******

"Kamu mau langsung berangkat kuliah, Sak?" tanya Tante Laras

"Hmm, tadi temenku ngabarin katanya kuliah libur, Tan." jawabku berbohong. Iyalah, males kuliah. Jam segini, cuma ada Tante Laras. Suaminya kerja, anaknya pulang jam satu siang nanti. Kapan lagi?

"Beneran libur?" tanya nya lagi, kemudian melenggok ke dapur, "Tante bikinin minum ya, kopi apa teh?" lanjut Tante Laras

"Iya, beneran libur, Tan. Eh, nggak usah Tante, waduh..." balasku

"Nggak apa - apa, itung - itung bayar capeknya Sakti tadi jemput Tante, haha," jawab Tante Laras dengan suara khasnya

Suara khasnya? Iya. Kalian tahu, suara serak - serak empuk? Nah, itu. Mungkin kalau ada kompetisi suara wanita ternafsuin sedunia, suara seperti inilah yang akan jadi pemenangnya. Mengalahkan suara centil centil khas abg yang sudah diadopsi perek - perek demi menggaet sang hidung belang.

Kenapa aku bisa bilang gitu? Ya tentu saja, suara khas serak - serak empuk yang seperti ini jarang dimiliki wanita, dan nggak bisa dengan mudah ditiru wanita lain. Yang langka memang juara. Setuju?

Dan itulah suara yang sedang kudengar saat ini. Suara serak - serak empuk yang dengan biadabnya masuk ke rongga telingaku, memancing hormon kelelakianku dan menyebabkan konak yang tak bisa terbendung.

Gila kan? Denger suaranya yang lagi dalam kondisi ngobrol biasa kayak gini aja, aku sange. Gimana pas ngentot? Walah, mikir suaranya pas ngentot, malah tambah konak!

"He, kok ngelamun?" suara Tante Laras ngagetin, biarpun nafsuin.

"Eh, enggak Tante, ehehehe..."

"Haha, Tante ganti baju dulu ya, Sak," ucap Tante Laras lalu berjalan menuju kamarnya. Celana panjang batik ketat berwarna coklat yang menampakkan bokong mulus wanita setengah baya itu tak luput dari pandangan mataku. Ya Tuhan, Tante....

Demk menetralisir ke-konak-an yang terjadi di batang kontolku, akupun menyeruput kopi hangat yang dibuatkan Tante Laras hingga berbunyi "Sruuut." ketika hampir saja selesai menyeruput, terdengar teriakan yang mengagetkanku, hampir saja tersembur kopiku

"AAAA!!! KECOAAAA!!!" suara teriakan itu

Dengan secepat kilat walau tak bisa disejajarkan dengan kekuatan The Flash, aku berlari ke arah suara tersebut, kamar Tante Laras.

"Eh! Ada apa, Tante?! Tante kenapa?!" tanyaku panik menatap Tante Laras yang...

Bagian atas tubuhnya hanya dibalut bra berwarna hitam.

Anjinglah! Akupun terbengong dongok menatapnya

"I-itu ada kecoa!"

"Eh, jangan malah ngeliatin Tante! Itu usirin kecoanya, Saktiiii!"

"Ha? Aduh, iya - iya, mana kecoanya mana?!" tanyaku gelagapan

Mana sih ini kecoanya, kecoa yang saat ini seharusnya aku usir atau aku biarkan saja. Karena tanpanya, aku nggak bakal bisa ada disini. All Hail, Kecoa!

Terimakasih serangga sialan.

"Nah, ini dia!" kataku setengah berteriak melihat kecoa yang sedang merayap najis di tembok dekat pintu.

Baru saja ingin kutangkup, kecoanya malah terbang!

Adegan ini seperti diperlambat dengan selambat - lambatnya

Kecoa itu, dengan bedebahnya mengepakan sayapnya, anggun sekali gerakan sayap kecoa itu.

Apalagi ketika arah terbang kecoa itu, yang segera menuju ke Tante Laras.

Seperti berlomba dengan waktu, aku pun melonjak terbang, merentangkan tangan menggapai kecoa itu, namun aku kalah cepat, genggamanku sia - sia.

Dan, 'Pluk!'

Kecoa itu dengan kurang ajarnya hinggap di...
Shit.

"AAAAAA!!!!" pekik Tante Laras

"Jangan bergerak Tante!" ucapku

Akupun dengan perlahan naik ke atas kasur, Tante Laras berdiri mematung dengan wajah bercampur antara geli-takut-jijik.

Mata Tante Laras mendelik ke bawah menatap dadanya, tempat dimana kecoa itu hinggap dengan sukses.

Perlahan, kecoa itu merayap turun ke bawah, tepat di depan cup bra sebelah kiri Tante Laras.

Akupun dibuat bingung, waduh, tangkep jangan? Jangan deh, eh, tangkep deh. Duh, gimana ini?

Aku sudah berdiri, tepat di depan Tante Laras.

Bulir airmata turun dari mata kanannya. Duh, kok malah nangis? Sebegitu jijiknya, kah?

"TANGKEP AJA SAKTI! PLEASE, TANGKEP AJA!!!" pekik Tante Laras yang menyadarkan kebingunganku

Okelah Tante, siap - siap ya aku tangkep toketnya. Eh, kecoanya, maksutku.

Dan dengan gerakan perlahan, aku memusatkan pandanganku ke kecoa yang sedang menempel di depan cup bra Tante Laras itu.

1

2

3

"Hap! Nah!" akhirnya, ketangkep juga lu!

Dan sekarang, kesenanganku diliputi sedikit kekakuan dimana telapaku bukan hanya menangkap serangga kotor itu. Melainkan juga tepat berada di tete Tante Laras.

Sedetik kemudian aku tersadar, kecoa sialan ini sudah tuntas melaksanakan tugasnya. Hehehe. Maaf ya, selamat tinggal kecoa.

Akupun membawa kecoa itu dengan menjepit kedua antena kecoa itu diantara jari telunjuk dan jempolku.

Berjalan keluar kamar menuju keluar pintu rumah, melemparnya asal. Lalu kembali masuk, dan menuju ke dalam kamar Tante Laras.

"Huhuhuhu..." Tante Laras duduk diatas kasur, tersedu - sedu. Aku heran. Kenapa ya, cewek sebegitu takutnya sama kecoa? Dan aku baru tau, kalo serangga kecil menjijikan itu bisa bikin seseorang nangis, kayak Tante Laras sekarang ini.

"Udah, Tan, jangan nangis, udah Sakti buang kecoanya, nih tisu..." ucapku lalu memberikan kotak tisu yang kuambil dari meja riasnya

"Hk.. Hk.. Tisu basahnya mana... Ambilin sini..." ucap Tante Laras, sesenggukan. Duh, kasian amat Tanteku ini. Akupun meraih kotak tisu basah yang juga terletak di meja riasnya, memberikan tisu basah itu ke Tante Laras. Tante Laras lalu mengelap dadanya.

Dan seketika itupun. Pandanganku. Kembali. Menuju. Toketnya.

Insting laki - lakiku, menuntunku untuk menutup pintu kamarnya tanpa mengalihkan pandanganku dari toketnya.

Begitu terdengar suara "Klik" pintu yang terkunci

Tante Laras dengan terkejut menatapku

"Eh, kok dikunci????"

Aku tak menjawabnya, perlahan aku merangkak diatas kasur menuju Tante Laras yang bersandar.

Wanita itu tak bergerak, hanya memandangku

"Sak-sakti mau ngapain?" tanya nya

Kembali, aku tak menjawabnya. Dengan gerak cepat, aku menarik dua buah tungkai kakinya, ia pun terlentang. Kepalang tanggung.

Secepat kilat lalu aku menindihnya

"Saktiiii! Sadar, hey! Aduh! Sakti mau ngapain?! Ini Tante, Sak! Tentangga kamu!" pekik Tante Laras, tangan kanannya menampar - nampar, tangan yang lain mendorong dadaku. Gak sakit, wle!

Badanku emang kecil, Tan. Tapi bukan berarti aku gak punya tenaga, hehe. Kedua tanganku memegang sisi - sisi kepala Tante Laras. Wajahku melawan gerakan tangannya yang mendorong dadaku, aku berusaha memagutnya.

"Hmmffhh!! Udah! Stop! Uda-hmmpffhh" yes berhasil, kini bibirku menyatu dengan bibirnya, walau ia masih berusaha menggelengkan kepalanya, tapi tetap kalah dengan kekuatan tanganku yang terus - terusan berusaha agar wajahnya tetap berposisi menghadap wajahku.

Dibawah sana, aku menggerakan pinggangku mendorong - dorong selangkangannya, menggesek - gesek kelaminnya yang masih tertutupi celana batik kain yang terlihat tipis itu.

Lalu tangan kiriku bergerak meremas toket jumbonya, menurunkan cup sebelah kanannya dan memuntir putingnya. Tante Laras masih berusaha melawan, mengusir - usir tangan jahilku yang berusaha bertindak kurang ajar. Tapi lagi - lagi, aku pemenangnya.

Rontaan Tante Laras melemah, entah lelah atau ikut terangsang.

"Maafin Sakti, Tante." gumamku di telinganya

"Stop, Sakti... Kamu mau apain Tante... Jangan, Sakti..." desahnya pasrah

Aku tak menanggapi. Lehernya menjadi sasaranku, kucumbu leher mulus itu dengan bernafsu sementara tanganku sibuk menggerayanginya, merayap pelan ke belakang badannya dan membuka oengait bra nya.

Berhasil. Kunaikan kedua cup bra itu ke atas, hingga tereksposlah dengan jelas payudara sekal Tante Laras. Payudara yang sangat - sangat konakable.

Cumbuan mulutku bergerak turun ke toket sebelah kanan nya, ku kecup puting coklat muda itu dengan mesra walau kurang ajar. "Cuph! Mchh!"

"Ahh... Sakti... Tega banget... Aduhh... Jangan... Enak... Eh... Ya Tuhan... Saktiiii!" racau Tante Laras tak kuat menerima seranganku. Dibawah sana kurasakan kini pinggul Tante Laras mulai merespon. Ia menekan pinggulnya ke arah pinggulku.

Tangan kananku merayap turun, memasuki celah celana batik dan celana dalamnya, menyadari aksi cabul tanganku, tangan Tante Laras dengan cepat mencengkram tanganku hendak menarik keluar benda asing yang dengan biadabnya ingin menginvansi selangkangannya.

"Eh! Jangaaann!" pekik Tante Laras

Namun terlambat. Jemariku telah berada tepat di depan kewanitaannya.

Bulu - bulu halus terasa di telapak tanganku.

Lalu segera saja, kucuil benda kecil yang setahuku bernama klitoris itu.

Tak sia - sia memang selama ini tontonan bokepku. Terimakasih, bokep. Karenanya, pembelajaran mesumku menunjukan hasil yang memuaskan.

"Aaaah! Keluarin! Tangan Sakti keluarin dari celana Tante! Aaaah!" desah Tante Laras

Tangan kiriku bergerak ke atas membelai rambutnya, "Diem." gumamku pelan lalu kembali memagutnya.

Tante Laras merespon. Kedua bibirnya membalas pagutanku, dengan liar.

"Tetangga kurang ajar!" umpat Tante Laras namun kembali memagutku.

Hehehe.

Lintang, i think i got your mum!

Kejadian selanjutnya membuat mataku berbinar dan senyumku mengembang.

Kedua tangan Tante Laras meraih ujung kausku, menariknya keatas.

"Buka..." gumam Tante Laras. Kulihat wajahnya memerah, kini nafsu dua arah. Baguslah.

Akupun membantunya meloloskan bajuku. Kemudian bergerak meloloskan bra nya. Kini bagian atas tubuh kami tak terlindung apa - apa. Kembali kutindih badannya.

"Sakti sayang Tante!" entah apa yang kupikirkan hingga kata itu meluncur begitu saja.

"Jangan ngomong apapun. Selesein yang udah kamu mulai!" balas Tante Laras kemudian mencumbui leherku dengan bernafsu.

Cumbuanku kutujukan ke telingannya, kujepit cuping telinga itu di bibirku, kujilati lubang telinganya, desahan Tante Laras semakin terdengar.

Tak lama kemudian, aku beringsut turun. Memelorotkan celana kain batik yang terlihat ketat itu, berikut celana dalamnya. Melempar kedua benda itu asal.

Kini, obyek fantasiku tepat berada di depanku. Bugil. Dan di depan mataku, kelamin wanita yang selalu menjadi bayangan setiap onani - onani kurang ajarku, terlihat jelas.

Vagina yang hanya ditumbuhi bulu jarang di atasnya, merah keunguan terlihat di tengah vaginanya dengan sedikit gelambir. Tak tahan, wajahku menuju kesana. Dengan mesra, ku kecup vagina itu, "Cph!" lalu kujulurkan lidahku, mengais apa yang bisa lidahku kais.

"Ahh... Aduhh..." desah Tante Laras

Ia menjambak rambutku, menerima rangsangan dari pemuda yang usianya jauh dibawahnya.

Jari tengahku kini ikut turut serta melakukan aksi cabulku, kutusukan jari tengaku ke dalan meki becek Tante Laras dengan tempo keluar - masuk yang pelan namun semakin dalam.

Kualihkan jilatanku menuju sisi mekinya, paha bagian dalamnya kini menerima jilatan dan kecupanku. Kutumpukkan kedua paha yang sekal itu ke pundakku, dan melanjutkan kegiatan mulutku di vaginannya

"Aaah... Shh... Aaah!" desahnya makin memburu, tubuhnya terasa semakin menggeliat, dan tak lama setelah itu pekik lenguh terdengar mulutnya diiringi semburan kecil orgasme yang keluar dari kelaminnya, mulutku dibuat makin becek aja.

Sekarang gantian ya, Tante.

Setelah memberikan sedikit jeda agar Tante Laras bisa menikmati orgasmenya, aku beringsut ke atas mengarahkan selangkanganku ke wajahnya

Entah sejak kapan bagian bawahku sudah tak terlindungi apapun lagi.

Sejenak kulihat Tante Laras terkejut melihat batang kontolku

"Duh... Gede.. Eh..." gumam Tante Laras tak sadar, matanya berbinar melihat kontol superku. Ya iyalah. Sakti Jr gitu.

Ia menggengam batang penis saktiku. Penis sakti yang dimiliki Sakti. Wuhuuu~

Membelai penisku dengan mesra, mengecupi kepala kontolku itu, ah, enaknya.

Tak lama, perlahan ia memasukan sedikit demi sedikit kontolku ke dalam mulutnya hingga hampir seluruhnya. Iya, hampir. Kalo dipaksakan ya kayaknya bisa sih masuk semua. Tapi, kasian ah. Segini aja udah enak kok.

Akupun perlahan menggerakan pinggulku hingga kontolku yang sudah sedari tadi menegang tegak keluar masuk di mulutnya.

"Slphh... Slphh..." kecipak becek terdengar dari dalam mulutnya. Bibirnya yang sepongable itu terlihat sibuk mengenyoti kepala kontolku. Duh, Tante Laras. Kalo begini terus aku bisa ngecrot, nih! Ga dapet memeknya dong!

Akupun menyudahi kegiatan sepongnya. Beringsut turun memposisikan selangkanganku menghadap selangkangannya

"Pe-pelan - pelan, Sak..." ucapnya

Usahaku beberapa kali menemui kegagalan, biar bagaimanapun, ini pertama kalinya aku melakukan penetrasi. Sadar dengan hal itu, Tante Laras membantuku. Memposisikan kontolku tepat di lubang kelaminnya,

"Dorong, Sak..." gumamnya

Akupun menuruti, kudorong pinggulku dengan perlahan namun pasti. Dan perlahan kepala kontolku memasuki lubang itu, aaaah, enak banget, Tante!

"Aahhhh! Udahhh! Segitu duluuu! Tarik lagihh! Terus dorong lagi... Shh..." ucap Tante Laras ketika batang kontolku sudah setengahnya masuk. Oke, sekarang Tante Laras menjadi pemandu seksku. Bukannya tadi nolak - nolak ya, Tante? Wehehehe...

Tarik ulur pun terjadi sampai kontolku sepenuhnya tertelan ke dalam vaginanya yang masih terasa sempit itu.

Entah memang sempit atau kontolku yang kebesaran. Gak tau deh.

Tempo gerakan pinggulku masih stabil, pelan tapi bertenaga, setidaknya sebelum Tante Laras bergumam, "Lebih kenceng dikit, Sak... Ahhhhh!"

Oke, Tante!

Perlahan aku menaikan tempo hingga kecipak bunyi kelamin kami semakin terdengar.

"Cplak.. Ceplak... Cplkkk!"

"Aaah! Saktiiii! Enak banget, Sakkk!" bibir Tante Laras mendesah tepat di telingaku. Kupagut bibir itu, tak tahan dengan bibir tebal namun seksinya itu. Huh.

Sejenak pikiranku melayang ke beberapa saat tadi.

Ketika aku tanpa sadar berucap bahwa aku menyayangi wanita yang sedang kutindih ini.

Benarkah? Bukannya tujuanku cuma biar bisa ngentot doang? Tapi, kalo emang sayang, gak masalah kan? Ya jelas masalah! Dia ini bini orang!

Kemudian tiba - tiba pikiranku beralih, ke sosok seseorang.

Wina...

Kenapa tiba - tiba mikirin cewek itu? Gue kan lagi ngentot!

Pusing dengan perdebatan singkat di kepalaku, akupun kembali memfokuskan kegiatan nyata yang sedang kulakukan. Harus tuntas, seenggaknya biar gak terlalu penasaran lagi aja. Ehehe.

Kini posisi berganti.

Tante Laras sedang berlenggok dengan liarnya diatas selangkanganku. Pinggulnya bergerak turun - naik menumbuk kontolku.

Gundukkan payudara berukuran brutal terlempar - lempar kesana kemari, kedua tanganku bergerak menertibkan kedua payudara pecicilan itu. Meremasnya dan mencubit - cubit putingnya.

"AAAAH! SAKTIIII! TETANGGA SENDIRI DIENTOTINNNNHHHH! AAAAH! TANTE MAU KELUAR LAGIIIII!" Pekik liar Tante Laras seiring goyangannya yang juga semakin liar

"Bareng Tanteeeee!" balasku yang akupun merasa sebentar lagi mani - maniku akan muncrat keluar dari penginapannya.

Dan tak lama tubuh Tante Laras tak bergerak, mulutnya ternganga tak bersuara, matanya hanya menyisakan putihnya saja. Dia orgasme hebat. Akupun memuncratkan maniku, di dalam vaginanya. Badanku bergetar, geli-nikmat.

Ah, inilah ngentot pertama di dalam hidupku.

Tubuh Tante Laras lunglai seperti daun yang jatuh layu, menindih badanku. Kepalanya disamping kepalaku. Kudengar nafasnya yang menyiratkan kelegaan luar biasa.

"Gila... Hh... Baru kali ini... Orgasme kayak gini... Hh..." gumamnya

"Makasih ya... Sakti..." lanjut Tante Laras

Loh kok jadi dia yang terima kasih? Harusnya kan aku...

Bersambung.
 
Thx updatenya om

Skor sekarang sudah O-O (Orgasme-Orgasme):Peace:
TO Sakti selanjutnya kak Rere atau Mama Bella ya? ;)
 
Ayo sakti, hajar terus Tante Laras , sampe Ledes....
 
Part 8

"Kayaknya gue stop kuliah aja deh, Yo..." Minggu pagi, Setyo main ke rumah. Tentu aja bareng Kharinka, pacarnya. Tiara sama Wina quickshopping ke Jogja, kata cewek manis itu.

"Loh, kenapa?" tanya Setyo

"Gak tau. Ketularan si Rere kayaknya." jawabku

"Kakak lu? Yang jelas. Kenapa?" tanya Setyo

"Ya gak tau, gairah akademis gue kayaknya justru makin drop. Gak tau kenapa..."

"Jangan becanda. Drop kenapa? Lo itu hampir jenius kalo udah urusan akademis. Dari dulu. Inget pas SMA dulu? Yang selalu dapet nilai hampir sempurna siapa? Elu." celoteh Setyo

"Terus tiba - tiba lo mau stop kuliah, ya aneh aja. Andai kata stop, lo mau ngapain?" tanya nya

"Belum kepikiran sih, tapi mau nyoba jadi Barista kayaknya. Lo kan tau, kayak gimana gue sukanya sama kopi."

Iya, dari dulu, semenjak SMA kelas satu mungkin, aku suka kopi. Awalnya sih, karena Mama waktu itu ngajak aku sama Kak Rere ke sebuah coffee shop di Jogja, di daerah Kaliurang. Latte pertama yang dibuat dari biji kopi asal Wamena yang aku minum. Dan enak. Aku langsung jatuh cinta sama kopi dari situ.

Sampe sekarang.


*****

Pov. 3rd

"Ahhh!" seorang gadis, atau wanita yang masih terlihat seperti gadis, meliak - liauk diatas tubuh seorang laki - laki. Lenguhan dan desahan lembut terdengar dari mulutnya

"Bentar lagi, goyang terus... Aduh..." ucap laki - laki berkumis itu, kumis yang terlihat sedikit beruban.

Sang wanita mungil dengan wajah yang terlihat imut dan lucu yang padahal sudah memasuki usia kepala empat itu menggerakan tubuhnya dengan liar, mengejar orgasmenya.

Tangan si lelaki bergerak menuju ke payudara mungil namun padat dan mengkal milik sang wanita dan meremasnya, memuntir puting yang mencuat disana.

"Mas, aku nyampe, dikit lagi, ahh... Ahhhh!" seketika tubuh wanita itu menegang kaku, orgasme melanda.

Dan secepat kilat sang wanita beringsut turun menyadari lelaki di hadapannya akan segera berejakulasi, dikocoknya batang kejantanan berukuran standar itu dengan cepat,

"Aaaah!" desah sang lelaki merasakan kenikmatan ejakulasinya.

Beberapa saat kemudian

"Mau langsung balik?" tanya lelaki berkumis yang kini bersandar di sofa, disamping ranjang besar sebua ruangan yang tampak seperti kamar hotel

"Iyalah, seharian nggak pulang..." jawab sang wanita datar

"Kamu kok sekarang kayak dingin gini sih ya..." gumam lelaki itu

"Terus kamu mau saya kayak gimana? Saya kan cuma pelampiasan nafsu kamu aja, kan?" ucap wanita itu ketus

"Kok kamu ngomongnya gitu?!" balas lelaki itu gusar

"Ya habis? Udah setengah tahun lebih saya rasa kita jalan hubungan kayak gini dan kamu nggak ada keputusan jelas. Salah kalau saya bilang, saya cuma jadi pemuas kamu aja?!" sengit sang wanita yang kini sedang mengenakan kaus ketat polosnya

"Terus kamu mau gimana, Bella?! Aku nggak bisa gitu aja pisah sama istriku dan lanjut sama kamu?!" balas lelaki itu.

Mata sang wanita, yang ternyata adalah Bella, Bellarisa Giana, berair dan segera melesat turun air mata itu.

"Awalnya, saya kira harapan yang kamu kasih ke saya itu bakal benar - benar jadi kenyataan. Hahaha, begok banget ya, saya. Okay kalau gitu, selamat malam, Mas Bowo." segera setelah mengucapkan kalimat itu, Bella dengan cepat melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Suasana hatinya serasa kacau. Andai saja ia tak termakan rayuan lelaki yang tinggal tepat di depan rumahnya itu. Kala itu, mulut manis Bowo berhasil mencuri hati Bella.

Pukul tiga dini hari, Bella sudah membook tiket kereta ekonomi-bisnis Solo-Jakarta yang akan berangkat jam enam pagi nanti

Memang, hubungan yang dekat sering terjadi karena sebuah tumpangan. Dan kemudian menjadi obrolan ringan, kedekatan yang tak di harapkan dan berakhir pada sebuah hubungan tanpa kejelasan. Berhari hari, berminggu - minggu bahkan berbulan - bulan Bella sabar menunggu kepastian itu, namun Bowo tak juga memberikannya.

Menjalani hubungan dengan seseorang yang tinggal tepat di depan rumahmu, dan berkeluarga, tentu tidak mudah. Apalagi kau adalah seorang janda cantik beranak dua. Pergi keluar kota dengan alasan bisnis padahal bersenggama, dua - tiga hari baru beranjak pulang ke rumah. Tentu itu bukanlah suatu hal yang gampang. Namun dengan sabar, Bella menanti itu. Menanti kejelasan seperti yang dijanjikan Bowo sebelum persenggaman pertama kali mereka terjadi. Alih alih mendapatkan kepastian, Bella justru termakan rayuan dan mulut manis Bowo tiap waktu, dan lagi - lagi ujungnya sama; senggama.

Maka kini terkuaklah kenapa Bella jarang sekali berada di rumah akhir - akhir ini.

Pagi - pagi sekali, Bella sampai di rumahnya. Jam enam lewat sedikit, biasanya rumah masih sepi. Namun ternyata tidak juga, Sakti dan Rere terlihat sedang duduk di teras, bercengkrama.

"Eh, kalian..." sapa Bella kepada kedua anaknya

"Mamaaa!" seperti biasa, Rere langsung menghambur ke pelukan Ibunya, sifat manja gadis itu seringkali keluar tatkala rindu tak bertemu walau seharian atau dua hari saja. Berbeda dengan Sakti yang agak cuek.

Sakti tergeli melihat pemandangan yang ia saksikan. Dua wanita cantik yang berpelukan, sejenak ia bertanya bercanda, ini siapa yang anak siapa yang nyokap? Badan sekal bongsor montok Rere memeluk Ibunya yang mungil namub seksi itu, apalagi wajah Ibunya yang masih terlihat anak muda banget, dan dandanan yang juga mengikuti trend anak muda nya.

"Gimana usaha nya, Ma? Aman?" tanya Rere yang masih memeluk Ibunya namun mereka berdua sambil melangkah masuk ke dalam rumah

"Lancar kok, eh Mama ikutan nongkrong disini yaa sama kalian..."

"Duduk dimana? Mager bangun, ah." ucap Sakti

"Lah, yang ngusir kamu siapa, Sayang..." balas Bella, Ibunda Sakti

Lalu tiba - tiba Bella duduk di pangkuan Sakti, tanpa merasa bersalah.

"Kebiasaan, kan..." gumam Sakti pelan. Masih cuek. Lalu meraib handphone nya dan berniat bermain game moba analog favoritnya

"Main game terus, Mama kan jarang bisa ngumpul sama kalian gini..." ucap Bella

"Siapa suruh? Sakti gak nyuruh Mama jarang pulang kan?"

"Ya kan urusan kerjaan, Sakti..."

"Kerjaan apa sih? Kok aku gak tau?" tanya Sakti lalu menekan tombol lock di sisi kanan handphone keluaran cina yang sedang naik daun itu.

"Ada deeeh... Peluk Mama, Sak... Kangen juga sama anak laki satu - satunya iniiiii...." ucap Bella lalu meraih kedua lengan Sakti dan menaruh kedua lengan itu ke perutnya, karna posisi Bella, Mama Sakti, duduk dipangkuan Sakti dan membelakangi cowok itu.

"Apaan sih, Maaa..." keluh Sakti namun menuruti mau Ibunya.

Rere yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, kini membuka pembicaraan.

"Ma, si Sakti mau stop kuliah tuh katanya..." ucap Rere tiba - tiba

"Loh, kenapa? Kok gitu, Sayang?" tanya Bella kepada anak lelaki satu - satunya itu

"Duh, Ma, Sakti juga bingung. Kayak gak semangat lagi aja..." gumam Sakti

"Gak masuk akal deh alesannya. Serius cuma karna gak semangat lagi?" tanya Bella

"Ya gitu, deh. Tapi kalo Kak Rere boleh, masa aku gak boleh?" balas Sakti

"Nggak sesederhana itu, Sakti..."

"Mama fine - fine aja waktu Kakakmu mau stop kuliah, justru karna dari sebelom dia sempet masuk kuliah, Mama udah tau bakat Rere ada dimana..."

"Inget kan, waktu Rere diem - diem ngejalanin online shopnya sendiri?"

"Jujur aja nih, ya... Selain mobil yang Rere pake, barang - barang yang dia punya di kamarnya, LED Tv, kulkas mini, dan lain - lain, itu hasil dari online shopnya dulu itu lho, Sak..."

Sakti tertegun sejenak, masih menunggu pembicaraan Ibundanya

"Jadi waktu Rere mutusin buat stop kuliah, ya Mama setuju - setuju aja..." lanjut Bella

"Tapi, kan..."

Belum sempat Sakti meneruskan kalimatnya, Bella memotong

"Udah, ah. Mama ngantuk... Mama masuk dulu, Rere jangan lupa bemtar lagi ke butik, ya..." ucap Bella lalu melangkah masuk ke salam rumah

"Iya, Maa..." balas Rere lalu keluar menuju mobilnya yang sejak tadi menyala di halaman garasi rumahnya.

Tak lama ketika mobil Rere bergerak meninggalkan rumah, bocah kecil dengan potongan rambut yang menyerupai mangkuk yang terbalik, keluar dari pintu rumahnya, seperti biasa, sambil bersiul - siul, bocah itu pun berjalan santai ke arah yang sama dengan mobil Rere.

Sakti bukan tak menyadari apa yang akan mereka lakukan nanti, mau disembunyikan serapih apapun, Sakti dapat menebak apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Jelas terlibat raut gelagat cabul Lintang yang terpampang di wajahnya.

Masih pagi loh ini... batin Sakti menggumam.


****

http://www.imagebam.com/image/75f814936755304
(Syadzwina)


"Sakti? Wina boleh nanya sesuatu?" ya, aku dan Wina memang udah lumayan lama akrab, obrolan yang kita lakuin nggak cuma pas lagi di kampus aja. Aku sama cewek manis itu, sering tenggelam di obrolan santai di aplikasi messenger hijau yang menggunakan nomer telfon pribadi.

Kadang, wina dulu yang nyapa, kadang juga aku.

"Nanya apa? Nanya tinggal nanya," balasku singkat sembari menyeruput minuman bersoda botolan.

"Sakti... Beneran mau udahan kuliahnya?" tanya nya, kemudian aku natap wajahnya. Aku nggak paham apa yang dia rasain, tapi yang jelas aku bisa liat rona ketidak relaan dan sedikit keputus asaan di wajahnya

"Hmm, emang kenapa?" tanyaku balik

"Ya, gakpapa sih... Cuman ya... Gatau deh..." gumamnya

"Kencengin dikit suaranya, gak bisa? Haha..." balasku

"Hmm... Gimana ya... Tapi, ka-kalo... Kalo Wina nggak mau Sakti stop kuliah, Sakti gimana?" tanya Wina, cewek itu cuma natap Es Teh di hadapannya tanpa menatapku.

"Alesan Wina apa kok Sakti nggak boleh cabut dari sini?" tanyaku

"Gak tau juga, Sakti... Wina juga bingung kenapa..."

"Ya, nggak usah bingung lah, kita kan masih bisa berkab-" belum selesai kalimatku, Wina langsung memotong

"Wina harus ngapain, biar Sakti bisa tetep disini?" tanya nya, sekarang Wina menatapku, menanti apa yang akan kubalas dari pertanyaannya barusan

"Ha?" aku agak terkejut dengan kata - katanya itu,

"Kita kan belom lama kenal, loh? Kok Wina bisa nanya kayak gitu?" lanjutku

"Nggak penting seberapa lama kita kenal, Sak. Yang jelas, Wina tanya, Wina harus gimana biar Sakti tetep disini?" kudengar suaranya bergetar, perlahan matanya pun kebasahan.

"Wina jujur ya..." ucapku

"Wina... Wina suka sama Sakti?" seiring dengan pertanyaan itu, samar aku mendengar isaknya. Pelan, namun terdengar.

"Loh, kok nangis? Jangan. Jawab aja yang Sakti tanya barusan...."

"...."

"Jangan diem. Sakti jadi bingung harus gimana kalo Wina nangis kayak gitu..." ucapku

"...."

"Wina? Jawab perta-"

"Anter Wina pulang."

"Iya, tapi ja-"

"Please, anter Wina pulang..."

Hendak mengulangi pertanyaan, tapi Wina langsung bangkit dari duduknya, meraih tangan kananku.

Aku nggak berusaha nanya lagi, dan ikutin apa mau dia.

***

"Sakti langsung pulang, ya?" tanyaku

Namun Wina dengan kecepatan tangannya itu menarik lepas kunci motorku, membawa kunci itu di dalam saku celana jeans nya

"Loh? Kok dicabut? Eh mau kemana? Siniin kuncinyaaaa..." ucapku

"Dorong motornya masuk." katanya setelah mendorong pagar rumahnya

"He? Gaenak ah, ada keluarga Wina kan di dalem? Duh," balasku

"Jangan bawel, kenapa sih? Ih!" pipinya menggembung, lucu sekali.

"Iya iya, ah elah..." keluhku

Setelah ku standar vespaku, Wina langsung menarik tanganku, ke dalam rumahnya.

Sesaat setelah menutup pintu rumahnya, Wina lalu berjalan cepat ke arahku, mendekap badanku erat - erat

"Please, jangan tanya kenapa. Wina juga nggak ngerti, Wina baru kali ini kayak ngerasa nggak rela, nggak rela nggak ketemy Sakti di kampus, nggak rela kalo nanti malah sama cewek lain selain Wina. Maafin Wina, terserah kalo Sakti mau anggep Wina apa, intinya, Wina nggak mau... Yah? Sakti jangan udahan ya ngampusnya? Wina nggak mau... Please..." celotehnya

Aku tertegun, tak merespon dekapnya, berdiri kaku dalam pelukan cewek yang selalu dikejar banyak cowok lain.

Kenapa harus aku, Wina? batinku

"Maksutnya apa, Wina? Kita sahabatan, kan? Serius deh, Wina bisa dapet cowok yang lebih ganteng dan bisa selalu nemenin Wina selain Sakti... Oke?" kini aku membalas dekapannya, sembari membelai rambutnya,

"Nggak! Wina cuma mau Sakti, bukan yang lain... Wina capek, Sak... Capek mendem hal yang Wina sendiri nggak tau apa yang Wina pendem itu... Wina nggak perduli yang lain, nggak peduli kalo Sakti nganggep Wina terlalu agresif dan malah jadi Illfeel sama Wina, nggak apa - apa... Tapi yang jel-"

"Syadzwina...."

"Yang jelas, Wina nggak mau. Nggak mau Sakti jauh, nggak mauuuuu! Huhuhu..." isak - sedu tangisnya terdengar jelas

Aku harus gimana?

Tolong...

"Wina, Sakti juga sama. Suka sama Wina, sayang malah..." ucapku, Wina meluk semakin erat.

"Serius? Jangan bohong, pasti Sakti cuma kasian kan, sama Wina?"

"Sakti belum selesai ngomong, Wina..."

"Iya, Sakti suka sama Wina, sayang sama Wina, tapi itu cuma sebatas temen dan sahabat deket. Makasih, Wina selalu ngerti dan selalu ada kalau Sakti mau cerita apapun, makasih Wina udah selalu perhatian sama Sakti... Tapi, Sakti ngerasa nggak layak buat Wina."

Kemudian aku nuntun Wina buat duduk di sofa, disampingku.

"Nggak ada yang nggak layak, Sakti... Kita belom nyoba buat... Nyoba buat pacaran, kan?" tanyanya, sengguknya masih terdengar diantara kata - kata yang barusan dia ucapin

"Anggep deh, kita pacaran, terus pas nanti entah ada sesuatu yang bakal bikin kita renggang dan akhirnya pisah, Wina yakin, kita bakal bisa saling ngerti dan saling perhatian satu sama lain? Nggak, kan? Sakti ngehargain banget pertemanan kita sekarang dan belum kepikiran buat ngerusak hubungan itu..."

"Nggak akan ada yang rusak, Sakti... Trust me, nggak akan ada yang rusak..."

"Wina, dan bahkan Sakti, nggak akan tau apa yang bakalan terjadi nanti, kan? Jujur, Sakti masih nyaman sama kita yang kayak gini...."

"Sakti, plea-"

"Gini, anggeplah kita sekarang jadian, Sakti yakin, Wina bisa bikin Sakti bahagia, Sakti yakin banget itu, Wina juga pasti udah siap buat nerima konsekuensi kalo kita jadian. Tapi Sakti? Wina sadar kan, siapa Om Alex, Papa kamu? Sadar kan, siapa Om Alex di mata masyarakat ibukota kita ini? Sakti sadar itu, dan Sakti rasa Sakti nggak akan siap nerima perbandingan - perbandingan orang lain kalau kita jadian, bayangin aja, anak gubernur jadian sama cowok biasa - biasa aja kayak Sakti? Jangan bilang enggak, dan bilang kalau mereka nggak perlu tau kalo seandaninya kita jadian, serapet apapun kita sembunyiin, pasti bakal kecium juga. Apalagi Papa Wina baru aja narik perhatian semua orang lewat aksi - aksi dia yang mencolok, nendang pegawai - pegawainya yang korupsi, bikin sungai Kalimulung yang tadinya sampah semua, sekarang bersih dan bisa diminum. Lama kelamaan, Wina anak semata wayangnya pun bakal ikut kesorot dan kebongkarlah hubungan kita. Itu yang bikin Sakti selalu kikuk dan grogi kalo ada di deket Wina, jangankan pacaran, jadi temen deket kamu aja Sakti ngerasa nggak pantes..."

Suasana tiba - tiba hening, hanya isak dan sengguk Wina yang samar terdengar. Maafin aku, Wina.

Nggak tahan liat ekspresinya yang lagi nangis dan justru makin imut aja itu, aku kembali meluk badan dia, dan tangisnya pun pecah. Wina, kenapa harus sesedih itu, sih? Aku harus gimana?

"Yaudah, kalau gitu... Wina nggak apa - apa. Seenggaknya Wina lega udah ngomong semuanya, semua yang Wina rasain ke Sakti... Tapi, syaratnya..."

"Syaratnya?" tanyaku bingung

"Syaratnya, Sakti jangan berenti kuliah, tetep kuliah ya? Please, Wina cuma mau itu aja kok..."

"Tapi ya kalo Sakti tetep mau berenti, ya Wina nggak bisa maksa dan terus - terusan nahan Sakti, kan? Itu hak nya Sakti. Tapi yang pasti, Wina bakal sedih banget dan nggak bergairah lagi buat kuliah, eh jadi ikut - ikutan Sakti deh stop kuliah juga... Hehehe...." Wina tersenyum lega, dan terkekeh lucu. Yaudah deh, karna kamu imut banget, aku gak jadi stop kuliah, deh.

"Wina kok bisa segininya sih, sama Sakti?" tanyaku, simpul senyumnya masih mengembang, kemudian Wina balik meluk aku lagi.

"Nggak tau, Wina nyaman sama Sakti, kalo deket - deket Sakti, apa yang Wina obrolin selalu nyambung, dan Sakti selalu mau nampung apa yang selalu Wina curhatin, Wina kayak nemu sosok Papa yang sebelum sibuk ngurus kota ini, beda kayak sekarang, Wina kehilangan sosok dia. Dan nemuin sosok itu lagi, di Sakti... Makasih ya, Sakti..." ucapnya tulus panjang lebar.

"Loh, emang Tante Astrid, nyokap Wina, kemana?" Iya, Tante Astrid, Bu Alex, istri gubernur Ibukota ini.

"Mama sama sibuknya, Mama kan lulusan arsistek, jadi ya Papa nyerahin pembangunan Mall nya ke Mama. Dan mall yang lagi dibangun itu kan di pulau seberang, jadi ya nggak ada bedanya Papa sama Mama, jarang balik, kalopun balik cuma sehari dua hari aja... Otomatis Wina disini cuma sama Bi Nah aja, kadang juga sama Mang Kardi..." kurasakan suaranya berbeda ketika menyebutkan nama 'Mang Kardi', entahlah, aku bukan penerka ulung soalnya.

"Mang Kardi?" tanyaku

"Iya, Mang Kardi, sopir khusus Wina. Kadang juga nyopirin Mama sih kalo Mama balik ke rumah..." jelasnya

"Oh gitu, eh kamar mandinya dimana? Sakti kebelet, nih..."

"Itu, lurus aja kesana, deket ruang makan, pintunya beda sendiri yang warna biru..."

Akupun jalan menuju kamar mandi setelah Wina menjelaskan rute menuju kamar mandinya barusan.

Baru saja menutup pintu kamar mandi dan hendak menyemprotkan air - air seni, aku mendengar suara laki - laki yang sepertinya sudah berusia.

'Eh, Non Wina, kirain belom pulang...' setelah hajatku selesai, akupun mendekatkan telingaku ke pintu kamar mandi, penasaran dengan obrolan mereka yang akan terjadi selanjutnya, apalagi setelah raut wajah Wina yang seketika berubah saat ia menyebut nama Mang Kardi, dan kurasa suara itu adalah suara Mang Kardi, sopir pribadinya.

Samar namun terdengar percakapan mereka.

http://www.imagebam.com/image/80c675936766584

(Syadzwina 'Wina')

"Eh... Mang! Ih, apaansih... Jangan... Ada temen Wina, Mang..."

"Loh, ada temennya? Mana?" tanya Mang Kardi

"Lagi di kamar mandi, ih... Udah sana... Bau, Mang Kardi bau matahari... Aduduh... Jangan dulu, Mang... Ada temen Wina..." ucap Wina seperti memelas

Damn, what is actually happened here?

"Bentar aja, Non... Sumpah, Mamang udah enggak Tahan... Duh, makin empuk aja ini... Semingguan kemaren kan Wina nggak bisa, sekarang udah bisa kan? Ayo dong, Non..."

Nggak bisa? Sekarang udah bisa? Apanya yang bisa? Bisa gila? Ingin rasanya aku keluar dan dengan diam - diam menyaksikan apa yang sedang mereka lakukan, tapi aku takut suara pintu nanti akan mengagetkan mereka dan menyudahi 'aksi' mereka. Dengan penasaran, akupun menempelkan kuping

"Iya... Aduh... Nanti aja, pas temen Wina pulang, Wina janji... Ahh... Sakit, Mang, Ih! Jangan kenceng - kenceng ngeremesnya, sakiiit... Huhuhu..."

Ngeremesnya? Apaan yang di remes, sih? Wah, ini sih nggak beres. Harus di beresin, ini sih... Tapi entar dulu aja kali ya? Aku masih penasaran... Hmm...

"Makanya, Mamang kan udah minta baik - baik, Non tau kan kalo Mamang udah kesel, Mamang bakal ngelakuin apa? Bukan cuma Non Wina loh yang bakal malu..."

"Iya - iya, tapi please nanti aja, beneran, aku deh yang ke kamar Mang Kardi kalo temen aku udah pulang... Please, Mang... Hk... Hk..." samar aku mendengar Wina terisak.

"Mamang maunya sekarang!" terdengar suara Mang Kardi sedikit meninggi

"Non Wina tau kan, gimana tanggepan orang - orang nanti kalo ngeliat video anaknya gubernur, lagi merem melek keenakan, apalagi videonya pas Wina lagi di dog-"

"Itu kan Mamang rekam pas Wina udah capek, udah pasrah! Semaleman suntuk Mamang gituin Wina! Mamang rekam pas Wina akhirnya harus nikmatin itu! Kalo waktu itu Wina nolak, Mamang bakal nusuk Wina kan? Siapa yang gak ketakutan diancem kayak gitu!" suara Wina agak meninggi, mungkin mereka lupa masih ada laki - laki lain yang sedang berada di kamar mandi, atau mereka pikir suara mereka nggak akan terdengar dari sini.

"Intinya Non Wina nikmatin kan? Enak, kan? Hwehehehe..." kekeh Mang Kardi

Fix. Aku tau kemana arah pembicaraan merek. Aku shock dibuatnya. Wina, yang tadi menangis terisak mengungkapkan isi hatinya, kini berada di ruang tamu yang entah sedang melakukan apa...

"Aduh, Mang... Jangan dilepas... Ahh... Huhu... Yaudah turunin sampe lutut aku aja. Jangan dilepashhhh" desahan yang aku paham bisa keluar dari mulutnya karna apa. Jelas. Pasti karna saat ini dia sedang menerima rangsangan. Tak salah lagi.

Aku semakin penasaran.

Atau, haruskah aku menolongnya dan menghentikan aksinya? Tapi, setelah mendengar pembicaraan mereka soal rekam dan sebar, aku mengurungkan niatku. Andaikata aku menolong Wina, apa itu akan jadi jaminan bahwa apa yang direkam, tidak disebar?

Emosiku sedikit tersulut, sahabatku sedang menghadapi masalah. Dan aku tak punya kuasa untuk menolongnya.

Argh!

"Wih... Kok dicukur, Non? Pasti biar Mamang makin nafsu yah? Hwehehehe... Duh imutnyaaaa," kekeh Mang Kardi

"Aaah... Mang... Jangan dijilat... Nanti muka Mamang kena pipis Wina-aaah... Kotor, aaah... Terus... Eh, jangan.... Stop... Aaah..." racau Wina mendesah tertahan

Dijilat? Pipis? Sebuah kesimpulan apa yang sedang terjadi saat ini timbul di otakku, dan seketika saja, kesimpulan itu membuat Sakti Jr konak dengan kurang ajar.

Kenapa malah nafsu sih aku nya? Ah, elaaah!

"Dah, gantian... Isep, Non..." suara Mang Kardi

"Nggak, kotor... Nggak mau, Mamaaang... Nggak ma-hmpfhh" kurasa batang penis itu sukses masuk dengan biadabnya ke mulut sahabatku

"Nah, gitu... Aduh... Enak, Non... Lobangnya jilatin, Non... Nah iya, bagus... Pinter... Anak pinter... Suka nyepong... Dasar... Aih..."

Sisanya tak kudengar lagi suara, mungkin mereka sedang fokus melakukan kegiatannya.

Namun tiba - tiba suara Wina terdengar

"Jangan... Wina isep kayak tadi aja... Jangan dimasukin kesitu... Ya Mang ya... Wina isep aja yaaa.. Aduhhhh... Jangan, Manghhh... Sakit... Kegedean... Aduuuuh!" desah Wina setengah panik

"Diem, Non... Bentar lagi... Ah... Bentar lagi juga enak... Duh ini... Ajib... Baru kepalanya ajahhh... Enak... Apalagi semuanya... Aaah... Sempit, udah imut, sempit pula... Ahh.." balas Mang Kardi...

"Ahh... Mamang... Udah mentok... Sumpah udah mentokhhhh... Jangan dipaksa lagi... Sakit... Udah mentok Manghhh... Ahhh... Huhuhu..." Wina tersedu diantara desah yang keluar dari bibirnya

"Jangan digerakin dulu... Sabar... Ah... Astaga, gedenya... Gila... Jangan digeraki-AAAH... Mamaaanghhh... Aku bilang kan... Aku bilang kan jangan digerakin duluuu.... Aaah... Ahhh... Astagaaaaa..."

"Ahh, enak, Non... Non... Coba cekek, Non... Cekek - cekek gitu Non... Bisa nggakhh... Ahhhh..."

"Apanya... Ahh... Apanya... Gim-ahhh... Gimana nyekeknya... Nggak ngerti..."

"Non coba... Coba kayak nahan kencing gitu... Coba..."

"Ahh... Kayak gini..."

"NAHHH... aaahhh... Iya gituuu... Ahhh... Mantepnya... Manteeep... Memek mantephhh..."

"Aaah... Mamang... Anak majikan sendirii... Diginiin... Mamang gilaaa... Sinting... Gila miring... Aduhhh... Terus, Manghhh.. Eh, jangan... Udah, Manghhh... Wina nggak tahaaaan..."

Oke, kalian tau, disamping mendengar percakapan itu, apa yang sedang aku lakukan?

Yap, benar sekali.

Coli...

Jelas, apa yang kudengar saat ini, pun membangkitkan nafsuku. Sialan juga ya aku ini. Sahabat sendiri dientot orang, malah nafsu...

"Aduhh... Ahhh... Kontol Mamang... Bisa mati ini... Dicekek terus kayak gini... Ahhh!"

Isak tangis Wina sudah tidak kudengar. Kini hanya desah nafsu gadis itu.

Kamu binal ya, ternyata...

"Mangg... Kok Wina ditunggingin... Kayak tadi aja... Jangan ditunggingin..."

"Ehhh... Mamanghhh... Yang itu jangan dicolok - colok... Sakittt... Keluarin jari Mamang... Ahhhh... Aduh... Jarinya jangan dimasukin semua kesituuu... Sakittt..."

Kemana? Anus? Siaaal, aku makin terangsang. Gila. Ini gilaaa...

"Nanti Wina nggak bisa be-a-be... Ahhh... Tapi nggak sakit lagi, Manghh... Colok terussss, masukin terus jarinyaa.... Eh, kok... Ya ampun, jangannnhhh... Lidahnya ngapain disitu... Kotor ituuu... Ahhh..."

Aku masih setia mengocok - kocok penisku, ahhhh...

"Mang... aduhh.. Masuk lagi... Titit Mamang masuk ke vagina Wina lagiii... Ya ampunn..."

"Namanya... Memek... Ahh... Coba... Bilang... Apa namanya... Ahh..."

"Ahh, Mamang... Jorok... Gak boleh ngomong jorok... Shhh..."

"Bilang... Buruanhhh... Kalo gak bilang memek... Mamang cabut aja ya... Gak Mamang entot kayak gini lagi, yaa..."

"Eh, janganhhh... Iyaa... Memek Wina... Memek kesayangan Mang Kardi... Aduhhh... Wina nakal banget, Manghhh... Wina jangan diomelin ya... Ahhh... Entotin aja... Jangan diomelin... Ahhh..."

Gila. Harusnya Wina lega dong kalo kontol itu dicabut dari kelaminnya? Tapi malah kenapa Wina nggak rela gitu, sih? Winaaa, kamu binal banget ya ternyata!

'PLAK.... PLAK...' Shit, apa baru saja yang aku denger itu suara tamparan? Gila, jahat banget Mang Kardi! Kenapa Wina ditampar, Mang?!

"Ahhh... Mamang marah ya... Pantat Wina kenapa di tampar... Auw... Wina nakal banget ya, Manghhh... Yaudahhh... Tampar lagiiii... Biar Wina nggak nakal sama Mamang... Aaaah... Wina nakal... Harus dientot... Harus ditampar... Ahhh... Shh... Yakan, Manghh? Harus ditampar kannn... Ahhhhh.."

"Ahhh... Non Wina... Ahhh..." desah Mang Kardi

"Ahhh... Shhh... Aduhhhh... Nah, jambak Manghhh... Jambak rambut Winaaa... Wina bandel kan, Manghhh... Makanya Mamang jambak Wina... Dasar Wina nakaaaal...."

Sungguh.

Gadis yang kulihat kalem.

Anggun.

Dikerjar bangak laki - laki.

Jenius.

Kini kudengar dengan binalnya mendesah dan menyuruh supirnya sendiri agar mengasarinya. Sepert menerima hukuman yang wajib diterima seorang murid karna kenakalannya di kelas.

"Manggg... Wina mau pipisss... Awas.. Ahhh... Nanti kontol Mamang... Ahh... Kena pipis akuuu... Kotor... Ahh..."

"Nghhh... Non Wina sayang... Mamang juga... Ayo... Pipis bareng - bareng..."

"Eh... Jangan di dalem... Manghhh... Nanti aku hamil... Ahhhh... Nanti aku hamil anaknya Mamanghhhh.... Sopir aku sendiriii... Aduhhh... Ahhhhh!"

"Mamang keluar, Non... Ahhh!!!"

"Ahhh, Mamaaanghhhhh!"

Seketika bisu. Hening.

Sama seperti kamar mandi ini. Hening. Spermaku menemplok dengan kurang ajar di tembok kamar mandi.

Ah, sial. Wina, kamu nakal, Wina!


Bersambung.
 
Selamat membaca. Mulustrasi Tante Laras, Rere, Syadzwina udah ada. Tinggal Bella aja nih ya? Hwehehe. Udah ada sih, cuma kayak kurang mencerminkan sosok si Bella nya itu sendiri di dalem cerita. Tapi diusahakan agar segera update deh mulustrasi Bella nya. Enjoy!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd