Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT True Love and True Lust. Loyalty and Betrayal (by : meguriaufutari)

Dear agan2,

Ane minta maaf sebelumnya
Sebelumnya ane janji mau update sidestory 1-3 hari ini,tapi ane lupa kl hari ini tanggal merah,jadi kantor libur
Dengan sangat menyesal,ane info kl update sidestory 1-3 adalah besok Selasa tgl 9 feb,dan sidestory 1-4 adalah lusa Rabu tgl 10 feb
Utk main story eps 17,akan diupdate minggu ini juga,entah kamis tgl 11 feb atau jumat tgl 12 feb

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya n thanks utk pengertiannya
 
Dear agan2,

Ane minta maaf sebelumnya
Sebelumnya ane janji mau update sidestory 1-3 hari ini,tapi ane lupa kl hari ini tanggal merah,jadi kantor libur
Dengan sangat menyesal,ane info kl update sidestory 1-3 adalah besok Selasa tgl 9 feb,dan sidestory 1-4 adalah lusa Rabu tgl 10 feb
Utk main story eps 17,akan diupdate minggu ini juga,entah kamis tgl 11 feb atau jumat tgl 12 feb

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya n thanks utk pengertiannya

siap suhu...
Slalu di tunggu kelanjutan Yuna N JentNya.
 
Dear agan2,

Ane minta maaf sebelumnya
Sebelumnya ane janji mau update sidestory 1-3 hari ini,tapi ane lupa kl hari ini tanggal merah,jadi kantor libur
Dengan sangat menyesal,ane info kl update sidestory 1-3 adalah besok Selasa tgl 9 feb,dan sidestory 1-4 adalah lusa Rabu tgl 10 feb
Utk main story eps 17,akan diupdate minggu ini juga,entah kamis tgl 11 feb atau jumat tgl 12 feb

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya n thanks utk pengertiannya


86 suhu , ijin gelar tenda dulu
 
seminggu gak online udah ada 2 update ternyata...
side story nya siapa? masih mistery...

Thanks updatenya suhu di tunggu kelanjutan side storynya besok :beer:
 
SIDESTORY 1-1 : Pertama
...

“Kamu tidak pandai berbohong.” Kata wanita itu.

Mendengar hal itu, petugas itu langsung ketakutan setengah mati. Seolah-olah seperti melihat harimau besar yang hendak memangsanya. Dalam sekejap, tangan wanita yang tadinya ada di bahu petugas itu, langsung memotong leher petugas itu. Dalam sekejap, teriakan ketakutan langsung membahana di desa itu. Mustahil, bagaimana caranya ia memotong leher orang dengan tangan kosong? Apakah ada pisau yang disembunyikan di pinggiran tangannya?

“Apa yang sebetulnya terjadi, nak?” Tanya wanita itu, sambil tetap melihat kearah petugas yang sudah tidak bernyawa itu.

“Tadi temannya berusaha memperkosa janda yang ada disitu.” Kataku sambil menunjuk janda itu.

“Lalu?” Tanya wanita itu.

“Aku langsung menerobos masuk ke rumahnya, dan membunuh petugas itu. Lalu, yang lain ikut berdatangan. Aku tidak berhasil membunuh mereka semua, dan sisanya seperti yang kamu lihat.” Kataku.

“Hmmm, kamu berkata jujur, nak.” Kata wanita itu.

Darimana dia tahu ya petugas itu berkata bohong dan aku berkata jujur?

Kemudian wanita itu mendekatiku. Ia menyentuh tanganku yang luka. Setelah kira-kira dua puluh detik berlalu, rasa sakit ditanganku itu sudah hilang. Saat dia melepaskan tangannya dari tanganku, aku melihat bahwa tanganku yang tadinya tertembak kini sudah sembuh total. Dia melakukan hal yang sama pada tubuhku lainnya yang luka. Setelah selesai, dia kembali berjalan kearah para petugas itu. Aku heran, daritadi dia mengeluarkan sihir-sihir yang ajaib. Apakah betul dia ini manusia?

“Bukankah kalian hanya bertugas mendata saja? Kenapa bisa sampai ada insiden pencobaan pemerkosaan?” Tanya wanita itu kepada para petugas lain.

Para petugas itu hanya bisa memasang tampang ketakutan, sama ketakutannya seperti petugas tadi.

...

BERSAMBUNG KE SIDESTORY 1-2


@agan riananto,

edited done ya
Terima kasih udah mengkoreksi
 
SIDESTORY 1-3 : Hubungan

Aku segera merobek sedikit lengan bajuku untuk mengelap kepala Arman yang berdarah akibat batu yang kulempar. Ini gawat, aku harus segera mencuci lukanya. Kalau dibiarkan, bisa infeksi. Aku segera mencari sekelilingku untuk mencari tumbuh-tumbuhan yang bisa membantu dalam mencegah infeksi. Ah, untunglah ada pohon pisang didekatku. Aku segera mengambil getah pohon pisang itu, dan kuoleskan di kepala Arman yang terluka akibat lemparan batuku. Oke, semoga ini bisa membantu mencegah infeksi.

Beberapa menit kemudian, ia segera terbangun, dan langsung siaga. Mukanya amat ketakutan.

"Arman, ini aku." Kataku.

Ia masih saja ketakutan, dan berusaha menjaga jarak dariku. Aku langsung mendekatinya dan memeluknya.

"Arman, ini aku." Kataku.

"Un.. Unnamed?" Kata Arman.

Huff, akhirnya kesadarannya kembali.

"Ya. Ini aku, sayang." Kataku sambil menenangkannya.

Mendengar itu, dia langsung lega. Seluruh tubuhnya langsung rileks.

"Tapi, apa itu berarti target kamu adalah aku, dan targetku adalah kamu?" Tanya Arman.

"Sepertinya sih gitu. Tapi kita pasti akan cari jalan keluarnya bersama ya." Kataku.

"Iya." Kata Arman.

Walaupun sepertinya di pulau ini hanya ada kita berdua, jika tidak menghitung pengawas kami berdua, tapi kita harus tetap waspada. Kami berdua berjalan semakin jauh ke dalam hutan untuk mencari sumber air. Tidak lama kemudian, hari pun mulai gelap. Waktu tinggal menunjukkan 21 jam 24 menit. Kami harus secepatnya menemukan sumber air. Saat hari mulai gelap begini, mulai terdengar lolongan para binatang. Rupanya kami tidak hanya berempat saja ya di hutan ini. Dari lolongannya, aku menangkap ada serigala, dan juga harimau.

Akhirnya, cahaya matahari telah hilang sepenuhnya. Kini, hutan tempat kami berjalan ini hanya diterangi oleh cahaya bulan. Gelap sekali disini. Orang biasa pasti sudah ketakutan setengah mati. Aku dan Arman sudah terbiasa latihan survival di hutan yang gelap begini. Mata kami dengan cepat langsung membiasakan diri. Pada saat yang bersamaan, kami merasakan aura membunuh. Jumlahnya lebih dari satu, dan jika dirasakan dari auranya, mereka bukan manusia melainkan binatang.

"Arman." Kataku.

Arman hanya mengangguk.

"Mereka mengintai kita." Kataku.

"Arah jam dua belas aman." Kata Arman.

Waktu sangat dibatasi di tempat ini. Jika kita kebanyakan berdiam diri, hanya akan membuang-buang waktu. Maka, kita memutuskan untuk lari, dengan harapan binatang-binatang itu akan mengejar kita. Beberapa orang bilang bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik. Tetapi, untuk menyerang, kita membutuhkan kepastian, terutama dengan membuat lawan kita lengah. Binatang hanyalah makhluk yang mengandalkan naluri semata. Mereka tidak memiliki akal budi untuk menganalisa keadaan. Dengan berpura-pura lari begini, insting binatang akan mengatakan bahwa mangsanya kabur, dan ini saat yang tepat untuk mengejar mereka. Padahal, tujuan kita berlari adalah membuat mereka semua keluar dari persembunyian sehingga kita mampu menciptakan medan dimana kita berhadapan langsung dengan mereka. Dengan demikian, memperkecil kemungkinan serangan yang datang secara tiba-tiba.

Setelah bermenit-menit kami berlari, kami sampai ke suatu area yang cukup luas dan terbuka. Oke, saatnya kita menyerang balik binatang-binatang yang mengejar kita. Kita berdua berhenti berlari. Saat kami melihat kebelakang, belasan anjing liar sudah menunggu kami. Kita kalah jumlah disini. Tapi untunglah tidak ada binatang di belakang kami. Kami tidak perlu melindungi punggung satu sama lain.

Dua anjing pertama langsung maju dan menyergap kami. Saat posisinya sudah dekat dengan kami, kedua anjing itu langsung melompat untuk menerkam aku dan Arman. Aku segera menangkap kedua kaki depan anjing itu, membantingnya ke tanah, dan menginjak perutnya dengan sangat kencang. Sementara Arman melakukannya dengan lebih sadis. Ia menangkap kedua kaki depan anjing itu, dan langsung merobek tubuh anjing itu dengan sekuat tenaga. Akibat kedua kawannya mati, anjing-anjing lain langsung menyerbu kami berdua. Anjing pertama yang melompat kearahku langsung kulumpuhkan dengan kupatahkan lehernya. Aku menggunakan anjing yang mati itu sebagai senjata untuk kuayunkan kepada anjing-anjing liar lainnya. Kulihat Arman melumpuhkan satu demi satu anjing liar yang hendak menerkamnya. Sepertinya sih, ia akan baik-baik saja. Aku lebih baik fokus pada lawanku saja, karena jika aku terluka, bisa-bisa Arman teralihkan perhatiannya dan itu sangat berbahaya.

Satu anjing lagi berlari kearahku, tapi ia tidak melompat, melainkan terus berlari kearahku. Sepertinya ia mengincar kakiku. Aku langsung melompat ke udara sambil memelantingkan tubuhku. Saat tubuhku terpelanting di udara dan menghadap kearah tanah, aku melancarkan tendangan tusukan tepat kearah leher anjing itu. Kreekk... Terdengar suara leher anjing itu yang patah. Saat aku masih di udara hendak jatuh ke tanah, dua anjing liar berusaha menyergapku. Arman langsung melompat harimau untuk menyergap kedua anjing itu. Kedua anjing yang disergap oleh Arman itu tentu mati dengan menyakitkan. Saat Arman masih terjerembab di tanah, salah satu anjing berlari kearahnya.

"Tenaga ki. Jika dialirkan ke suatu media, bisa memperkuat benda itu. Pedang akan menjadi semakin tajam, besi akan menjadi semakin kokoh, baju biasa bisa menjadi sekuat besi, dan bahkan sesuatu yang membentuk garis bisa menjadi setajam pedang." Penjelasan Yuna kembali terngiang dikepalaku pada waktu ia memberikan training tentang tenaga ki.

Aku mencoba mengalirkan tenaga ki ke tanganku. Setelah aku merasa tanganku sudah diperkuat oleh tenaga ki, aku menggunakan tanganku untuk menebas anjing itu layaknya seperti suatu pedang. CRAASS... Yah, tidak terbelah sempurna seperti pedang, tapi cukup untuk membuat mulut anjing itu robek sampai ke tenggorokannya. Oke, sepertinya aku mulai paham bagaimana cara mengatur tenaga ki di dalam tubuh. Jadi, begini ya waktu itu cara Yuna memotong leher petugas itu di desaku dulu. Hanya saja, penggunaan tenaga ki yang aku lakukan masih jauh dari yang Yuna lakukan.

Dalam sekejap saja, tinggal dua anjing yang tersisa. Sepertinya, kedua anjing itu cukup takut dengan kami, apalagi banyak dari kawannya sudah mati oleh kami. Kedua anjing itu pun mengambil langkah yang tepat dengan berlari terbirit-birit ke dalam hutan. Di sekitar kami, sudah bergelimpangan mayat-mayat anjing liar.

"Paling tidak, persediaan makanan sudah terjamin." Kataku.

"Kamu mao makan anjing-anjing liar ini?" Tanya Arman.

"Habis, lebih suka mati kelaparan?" Tanyaku.

"Betul juga sih." Kata Arman.

Aku dan Arman masing-masing membawa dua mayat anjing itu untuk nantinya kami bakar jika sudah menemukan sumber air. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan untuk menemukan sumber air. Tidak lama kemudian, kami menemukan suatu pola jalur di hutan ini. Pola jalur ini biasanya terbentuk akibat jalur ini sering dilewati. Biasanya digunakan oleh hewan-hewan yang cukup besar. Kami mengikuti pola jalur ini, hingga akhirnya kamu menemukan sumber air. Ah, betapa leganya kita. Kami langsung meminum air dari sumber air itu. Rasanya betul-betul sangat menyegarkan dan membuat badan rileks.

Kami menyiapkan segala yang dibutuhkan untuk membakar anjing-anjing ini untuk nantinya kami jadikan makan malam. Aku mengasah batu yang kudapatkan di tanah, dan berhasil kubuat menjadi tajam. Dengan pengetahuan berkat pelatihan survival praktek dan teori bersama Yuna, kami berhasil menyalakan api untuk memanggang anjing-anjing ini. Aku mulai memotong tubuh salah satu anjing mati itu, dan mengeluarkan bagian organ dalamnya dengan hati-hati. Kemudian, mulai kupanggang anjing mati itu.

Setelah sedikit matang, kami langsung mengoyak tubuh anjing yang sudah terpanggang itu dan memakannya. Kami makan dengan cepat. Kami tidak punya banyak waktu disini. Bau daging anjing yang terbakar ini akan memancing hewan buas lainnya ke tempat ini. Kami harus sudah pergi dari tempat ini, sebelum bahaya yang lebih besar mendatangi kami. Setelah selesai makan, kami minum air secukupnya, kemudian pergi dari tempat ini. Kami berhenti tidak jauh dari tempat itu, karena kami tetap membutuhkan sumber air tersebut. Kami memanjat pohon yang cukup besar dan tinggi, untuk menghindari serangan dari predator. Sambil beristirahat, kami memantau untuk melihat hewan apa saja yang mendatangi tempat kami makan barusan.

Pemandangan diatas pohon ini cukup indah. Bulan bersinar dengan cukup indah. Daun-daun di pepohonan yang sebetulnya berwarna hijau menjadi tampak hitam akibat gelapnya malam hari. Suara jangkrik dan katak pun mengisi kebosanan kami di tempat ini. Aku melihat benda yang dilingkarkan di pergelangan tanganku ini. 19 jam 56 menit. Itulah waktu kami yang tersisa. Aku memutuskan untuk tidak mengambil pusing masalah itu. Permasalahanku sekarang adalah bagaimana cara mengatasi dinginnya malam hari. Tiba-tiba, tangan Arman langsung merangkulku. Kemudian, ia memelukku. Ah, pintar dia. Kami bisa tidur berpelukan untuk mengatasi dinginnya malam ini. Tidak lama kemudian, tanpa satu pun perkataan yang keluar dari mulut kami, kami pun tertidur dengan nyenyak.

Kami terbangun keesokan harinya ketika mendengar suara berisik. TAT TIT TUT TAT TIT TUT... Bunyinya mirip alarm. Asalnya dari benda yang ada di pergelangan tangan kami. Waktu menunjukkan tinggal 9 jam 59 menit. Ternyata benda ini berbunyi ketika waktu yang tersisa dibawah sepuluh jam. Aku heran. Kami tertidur hampir sepuluh jam? Apakah karena saking tegangnya, otak kami membutuhkan waktu untuk tidur yang lebih panjang? Kami segera menuruni pohon. Aku melihat Arman melihat kearah pergelangan tangannya. Wajahnya cukup terkejut melihat angka yang ada di pergelangan tangannya.

"Apakah pada akhirnya kita harus saling membunuh?" Tanya Arman.

"Tenang. Pastilah ada jalan keluar kok." Kataku.

"Bagaimana jalan keluarnya? Kamu gak ngerti? Kita gak punya jalan keluar sama sekali." Kata Arman dengan bernada tinggi.

"Kamu kenapa emosi begitu? Pikir lah dengan kepala dingin! Emosi tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali!" Kataku.

Arman hanya diam saja sambil berdecak kesal. Cih, gawat. Rupanya waktu yang hampir tiba ditambah dengan ketidakjelasan suatu situasi membuatnya semakin emosi. Hmmm, aku jadi menyadari bahwa training ini bukan hanya sekedar training untuk membunuh lawan. Jadi, kita memang sengaja dipertemukan sangat cepat di pulau ini. Dengan waktu yang masih banyak, pikiran kita tentunya masih fresh, masih bisa berpikir dengan tenang. Menghadapi hutan yang cukup ganas ini, kami pastinya dipaksa untuk bekerja sama. Bahu-membahu dalam membunuh lawan, mencari makan, dan bertahan hidup bersama. Hal itu akan membuat emosi positif kita semakin bertumbuh. Pada akhirnya, kami harus membunuh kawan kami sendiri demi keberlangsungan hidup kita sendiri. Ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi orang yang harus kubunuh adalah Arman. Teman seperjuanganku selama lima tahun, dan bahkan orang yang sangat kucintai ini. Ditambah dengan egoisme kita sendiri untuk bertahan hidup, akan membuat emosi kita semakin tergunjang-ganjing tidak stabil. Arman sudah masuk ke dalam perangkap yang dibuat ini. Aku harus tenang, aku harus berpikir bagaimana caranya agar kita berdua bisa selamat dari tempat ini.

"Arman, diam disini sebentar. Aku ingin berpikir keras bagaimana caranya kita bisa lolos dari hal ini." Kataku.

Untungnya dia diam dan mendengarkanku. Tapi sekeras apapun aku berpikir, tetap saja aku tidak menemukan jalan keluarnya selain harus saling membunuh. Dua puluh menit kuhabiskan untuk berpikir.

"Gimana?" Tanya Arman.

"Sabar, jangan mendesakku terus!" Kataku juga mulai emosi akibat tingkahnya.

"Gimana mao sabar? Tinggal sembilan setengah jam lagi!" Kata Arman dengan nada tinggi.

"Arman, cukup." Kataku sambil berdiri.

"Bukankah pelatihan selama ini sudah meletakkan kita dalam bahaya dan tekanan yang melebihi situasi ini? Kenapa kali ini kamu begitu panik?" Tanyaku dengan marah.

"Beda dengan kamu! Aku dilatih menjadi pembunuh elite. Pembunuh elite memastikan lawannya mati, dan dirinya sendiri tetap bertahan hidup. Kamu, sebagai sekretaris elite, sudah tugasmu mati melindungi majikanmu." Kata Arman.

Sungguh, sakit hatiku langsung memuncak mendengar perkataannya itu.

"Bukankah dua malam lalu kamu mengatakan bahwa kamu mencintaiku sepanjang kita berhubungan intim?? Lalu, serendah itukah pandanganmu terhadap aku??" Tanyaku dengan nada tinggi.

"Itu beda cerita! Kali ini nyawa yang dipertaruhkan!" Kata Arman.

Aku bingung. Bukankah selama lima tahun ini kami dilatih dengan begitu keras ya? Tidak hanya sembilan atau sepuluh kali kami berada dalam pelatihan yang hampir membuat kami kehilangan nyawa. Kali ini, kenapa dia begitu takut? Memang, pada awalnya aku takut mati. Tapi setelah menjalani pelatihan-pelatihan yang berbahaya bersama Yuna, entah kenapa kematian menjadi sesuatu yang siap aku terima kapan saja. Apakah hanya diriku saja yang beranggapan demikian? Kondisi sekarang ini, yang membuatku takut adalah jika aku harus membunuh Arman dengan tanganku sendiri. Tetapi, yang dipikirkan Arman hanyalah bagaimana cara hidup, bukan cara agar kita keluar dari masalah ini tanpa harus membunuh satu sama lain.

"Arman. Aku tanya satu hal. Apa yang membuatmu begitu ingin hidup?" Tanyaku.

"Apa pun yang terjadi, aku harus pulang ke rumah. Berbeda denganmu yang tidak punya rumah!" Kata Arman.

"Arman, bicaramu keterlaluan." Kataku.

"Itu memang kenyataan kan!" Kata Arman.

"Ayah, ibu, dan kakakku menungguku di rumah. Akulah tumpuan harapan hidup mereka. Aku akan pulang, aku akan menghidupi mereka, dan aku akan menikah dengan calon istriku." Kata Arman.

"Apa? Calon istri?" Tanyaku.

"Ya. Beberapa minggu lalu, aku mendapat surat dari ayahku, bahwa calon istriku sudah ditentukan. Kami akan menikah ketika aku pulang nanti." Kata Arman.

".... Jadi, bagaimana dengan kata-kata "Aku mencintaimu" yang kamu ucapkan?" Tanyaku.

"Maaf Unnamed. Sepertinya waktu itu, aku dibutakan oleh nafsu, sehingga hanya mengandalkan naluri semata. Maaf aku sudah membohongimu. Aku, tidak betul-betul mencintaimu." Kata Arman sambil menundukkan kepalanya.

Aku hanya terdiam mendengarkan ucapan itu dari mulutnya.

"Baiklah, Arman. Aku mengerti, aku mengerti sepenuhnya." Kataku. Sebetulnya, aku sudah ingin menangis. Tapi, rasa sedihku ini bercampur dengan kemarahan, sehingga air mataku tertahan.

Aku melemparkan pisau batu yang kemarin kugunakan untuk memotong daging anjing kepada Arman.

"Arman, ketahuilah satu hal ini. Meskipun kamu membohongi aku bahwa kamu mencintai aku, ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak membohongimu. Perasaanku ini kepadamu nyata. Aku betul-betul mencintaimu. Sampai sekarang, perasaan itu pun tidak berubah. Jujur, aku tidak punya kekuatan untuk membunuhmu, karena aku sangat mencintaimu." Kataku.

"Aku serahkan pisau batu itu kepada kamu. Lakukanlah apa yang kamu suka. Sekalipun kamu memutuskan untuk membunuhku, aku tidak akan melawan sedikitpun." Kataku.

"... Maafkan aku, Unnamed. Aku tidak punya jalan lain." Kata Arman, sambil kemudian maju kearahku.

Tidak ada keraguan sedikitpun kah? Heh, aku betul-betul bodoh. Bisa-bisanya aku dipermainkan oleh perasaan semacam ini. Cinta? Heh! Perasaan yang hanya menipuku saja. Meskipun begitu, ketahuilah Arman bahwa aku tidak menyesal pernah mencintaimu. Aku menutup mataku, menerima kematian yang akan segera menghampiriku. Aku merasakan aura Arman yang semakin maju kearahku. Wahai kematian, cepatlah datang jika kau mau datang. Aku sudah tidak peduli.

Setelah beberapa puluh detik kemudian, aku tidak merasakan apapun. Tidak merasakan sakit, tidak juga merasakan adanya perubahan. Aku mulai membuka mataku. Didepanku, Arman berdiri. Pisau batu yang kuberikan itu hanya ia pegang saja.

"Kenapa kamu gak mengindar sama sekali?" Tanya Arman.

"Perlukah kuulang sekali lagi?" Tanyaku.

"Sedalam itukah kamu mencintaiku?" Tanya Arman.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

Melihat reaksiku, Arman pun ikut tersenyum.

"Aku mengerti, Unnamed. Sebelum aku membunuhmu, aku ingin berpesan satu hal kepadamu." Kata Arman.

"Cepat katakan." Kataku.

"Janganlah kamu trauma untuk mencintai seseorang. Saat ini, kamu salah langkah saja karena mencintai orang bodoh sepertiku. Tidak semua orang di dunia ini bodoh. Dan apapun yang terjadi, hiduplah bahagia nanti disana. Tidak perlu memikirkan dan menghormati orang bodoh sepertiku." Kata Arman.

"Entahlah, aku masih belum tahu apakah bisa." Kataku.

"Berhubung kita akan mendapatkan pemenang dari kontes membunuh ini sebentar lagi, aku mau menggunakan kesempatan ini untuk meminta maaf kepadamu karena sudah membodohimu." Kata Arman.

"Aku memaafkan kamu, Arman." Kataku.

"So long, Unnamed." Kata Arman, sambil kemudian menyayatkan pisau batu itu di lehernya.

Dalam sekejap saja, Arman langsung tidak bernyawa. Saking shock-nya, aku hanya bisa bengong dan berdiam diri melihatnya. Sungguh, dunia ini terasa begitu gelap. Kepalaku begitu pusing, seluruh badanku terasa kaku.

"Ar... Armaan..." Kataku sambil gemetaran masih tidak percaya akan hal ini.

"He.. heei... Armaan..." Panggilku, berharap seolah-olah ia membuka matanya kembali.

Tidak lama kemudian, air mataku mengalir dengan sendirinya. Tidak mungkin. Tidak mungkin ini terjadi. Arman, kumohon kembalilah kesini. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalani hidup ini tanpa dia. Meskipun dia melukaiku dengan perbuatannya, tapi aku tetap mencintai dia sepenuhnya. Aku mulai berjalan mendekat kearahnya dengan susah payah. Dalam beberapa menit, aku telah sampai di hadapan tubuhnya. Tubuhnya sudah terbaring kaku. Ia sudah tidak bernyawa. Tidaak. Bagaimana mungkin ini terjadi?

"ARMAAANNN!" Teriakku sambil menangis.

Kali ini, aku betul-betul menangis sejadi-jadinya. Sialan, sialan, sialaaaannnn... Tiba-tiba aku teringat akan Yuna yang dulu pernah menyembuhkanku pada saat aku kena tembak oleh para petugas pendata di berbagai tempat. Tenaga ki... Pasti tenaga ki kuncinya. Aku langsung memegang leher Arman, dan mencoba mengalirkan tenaga ki milikku ke lehernya. Harusnya cara ini bisa menyembuhkannya. Dulu, Yuna membutuhkan waktu dua puluh detik untuk menyembuhkanku. Kali ini, sudah lebih dari semenit, tapi tidak ada yang terjadi juga. Leher Arman tetap tersayat. Aku kembali mencoba terus, tapi hanya kegagalan yang menantiku. Lama-lama, aku menjadi terlalu lelah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga ki. Sialaaaaannn...

"Blok D sudah ada pemenangnya. Subject X-101." Kata dua orang yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku.

Kedua orang itu langsung mengorek otak milik Arman untuk mencari penetralisir bom nano. Sebetulnya aku ingin sekali menghajar mereka. Tetapi, tubuhku terlalu lemah. Tubuh dan pikiranku terlalu dikuasai oleh rasa bersalah dan kehilangan. Sampai-sampai, aku tidak bisa melihat dengan jelas.

Ketika aku sadar, aku sudah berada di kamar tidurku. Aku melihat kesamping, kearah tempat tidur yang biasa ditiduri oleh Arman. Tempat tidur yang kami gunakan untuk menebar benih cinta kami. Sekarang, tubuhku sudah sedikit lebih baik. Paling tidak, beban yang seolah-olah menahanku dari setiap gerakan sudah hilang. Aku teringat kembali akan pemandangan paling menyeramkan dalam hidupku. Ya, pemandangan saat Arman merobek lehernya sendiri. Tetapi, kesedihan sudah hampir hilang dariku. Yang ada, hanyalah kemarahan. Ya, Cockatrice harus membayar mahal untuk ini. Aku mempersiapkan diriku, mengenakan pakaian yang memudahkanku untuk bergerak, mengambil pisau yang biasa kugunakan, dan juga pistol. Aku meletakkan pisau dan pistol itu di kantong belakang celana pendekku. Kemudian, aku keluar kamar untuk menuju ruang utama tempat Cockatrice berada. Ya, akan kubalaskan dendam Arman!

Hanya dalam beberapa menit, aku telah sampai di gerbang utama ruang utama. Aku merasakan adanya hawa keberadaan di dalam. Semoga saja itu Cockatrice. Aku langsung membuka pintu utama, dan masuk. Di dalam, aku melihat Cockatrice sedang duduk bermeditasi. Ha, malang sekali nasibmu, pak. Aku langsung mengeluarkan pistol, mengokangnya, dan mengarahkan moncongnya ke kepalanya. Tanpa membuat suara, aku langsung menarik pelatuknya. DOOORRRR... Hmm, aneh. Peluru yang terlontar dari pistol milikku ini tidak mengenainya. Setelah kuperhatikan, bidikanku memang tidak tepat. Aneh sekali, ini tidak mungkin. Aku sudah membidik dengan tepat.

Dalam sekejap, aku menyadari apa yang terjadi. Aku langsung melancarkan tendangan berputar dengan kaki kiri kebelakang. DUUKK... Tendanganku berhasil ditahan olehnya. Orang itu langsung melancarkan tinju kepadaku. Aku langsung menghindar ke samping, memutar badanku, dan melancarkan tendangan berputar dengan kaki kanan. DUAAKK... Kali ini kena dengan telak.

"Lumayan juga." Kata orang itu.

"Sudah kuduga itu kamu." Kataku.

Dia adalah salah satu dari sepuluh orang yang menjalani pelatihan bersamaku. Seorang wanita yang merupakan campuran dari orang Indonesia dan orang Rusia. Dia sangat ahli dalam menyembunyikan hawa keberadaannya. Tidak, malah boleh dikatakan dia ini cenderung unik, karena bisa menyembunyikan hawa keberadaan sambil memakai tenaga ki. Saat aku menembak tadi, pasti diam-diam dia mengubah arah pistolku. Karena hawa keberadaannya tidak terdeteksi, jadinya aku tidak menyadari bahwa dia ada disini.

"Percuma saja menduga, kalau ujung-ujungnya kamu mati di tanganku." Katanya.

"Mari kita lihat siapa yang akan mati." Kataku sambil berlari kearahnya.

Aku berlari kearahnya. Dia hanya diam di tempatnya saja. Hmm, hendak melancarkan serangan balasan sepertinya. Saat sudah dekat dengannya, aku mengubah arah seranganku dari berlari menjadi serangan leg sliding. Sial, rupanya ia sudah mengantisipasinya. Ia langsung membungkukkan badannya, dan bersiap menahan serangan leg sliding milikku. Kalau ia berhasil menahannya, aku akan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Tiba-tiba saja, ada yang menangkap tubuhku dan tubuhnya, lalu melemparkannya ke tembok. BRAAKK... Ukh, sial sakit sekali rasanya. Aku langsung bangun untuk melihat siapa yang melempar kami ke tembok. Rupanya Yuna. Cih, apa dia juga pengikut Cockatrice? Kalau begini, tidak mungkin aku keluar dengan selamat dari ruangan ini.

"Cockatrice, lihat menjadi apa mereka ini sekarang." Kata Yuna.

"Mereka tumbuh menjadi kuat, sesuai harapanku." Kata Cockatrice, masih sambil memejamkan matanya dan dalam posisi bermeditasi.

"Mereka masih anak kecil. Kau suruh mereka membunuh satu sama lain. Apa kau sudah gila?" Tanya Yuna.

"Sejak kapan kau menjadi lemah begini?" Tanya Cockatrice sambil membuka matanya.

"Aku menjadi lemah begini, sejak kau memasukkanku ke dalam ujian yang sama dengan anak-anak ini. Aku harus membunuh Max dengan tanganku sendiri." Kata Yuna.

"Karena itulah kau gagal. Kau dan anak itu sama saja. Anak yang satu lagi selain mereka berdua itu lolos juga gagal. Sampai saat ini dia masih berada dalam kondisi yang menyedihkan." Kata Cockatrice.

"Sudah tidak lagi." Terdengar suara dari belakang kami.

Aku mengenali anak itu. Dia juga salah satu dari kami bersepuluh. Dia berpasangan dengan gadis berambut panjang. Hmmm, kalau dia ada disini, berarti dia telah membunuh pasangannya itu ya?

"Cockatrice, aku datang untuk membunuhmu." Kata laki-laki itu.

"Sejak kapan aku melatih kalian menjadi pemberontak?" Tanya Cockatrice.

"Salahmu sendiri, Cockatrice. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kau jadi begini. Tapi, aku menduga sejak kedatangan orang berbaju serba hitam itu kan? Sejak hari itu, kau juga memakai baju serba hitam yang sama seperti orang itu." Kata Yuna.

"Tidak perlu kuberitahu pada orang sepertimu." Kata Cockatrice.

"Karena dirimu, mereka bertiga jadi begini. Lihat kondisi mereka, mengenaskan sekali bukan. Mereka bertiga ini sangat trauma." Kata Yuna.

"Emosi itulah yang harus dibunuh untuk menjadi seorang yang hebat." Kata Cockatrice.

"Kita membantu mereka untuk bertahan hidup di dunia yang kejam ini, Cockatrice!" Kata Yuna.

"Kita melatih mereka untuk menjadi hebat." Kata Cockatrice.

"Sepertinya memang sejak hari itu berubah. Aku tidak tahu bagaimana orang berbaju serba hitam itu mencuci otakmu. Tapi, sepertinya kau yang lama sudah hilang ya?" Tanya Yuna.

"Aku tidak pernah hilang. Hanya berevolusi menjadi lebih kuat." Kata Cockatrice.

"Yah, sepertinya memang tidak ada jalan lain. Maafkan aku, kawan." Kata Yuna sambil berlari kearah Cockatrice untuk menyerangnya.

Belum sampai Yuna berhasil berlari kedekatnya, tiba-tiba ia terjatuh. Entahlah, tapi aku merasakan suatu kekuatan yang sangat kuat. Kekuatan itulah yang menekan Yuna ke tanah. Yuna terlihat begitu kesakitan. Aku dan temanku yang laki-laki itu berusaha maju untuk membantu Yuna. Tapi, dengan sekali tatapan saja, tubuh kami berdua pun langsung tertekan ke tanah. Ukh, sakit sekali rasanya. Seolah-olah, ada benda berat yang menindih kami secara berulang-ulang. Ada apa ini sebetulnya?

Semakin lama, kami semakin kesakitan luar biasa. Aku melihat Yuna yang begitu kesakitan dan tidak bisa bergerak sama sekali. Walau aku tidak memiliki hubungan darah dengannya, aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Ia sangat keras dalam melatih kami. Meskipun begitu, ia begitu baik, perhatian, dan sayang terhadap kami. Dia juga kuat, dan karena alasan itulah aku ingin terus menjadi kuat sampai sekuat dia. Aku tidak punya orang tua dan sanak saudara. Berhubung Arman sudah hilang dariku, menurutku hanya tinggal Yuna yang memiliki hubungan erat denganku. Aku harus menyelamatkannya, walau harus kutukar dengan nyawaku sendiri!

BERSAMBUNG KE SIDESTORY 1-4
 
Kemudian wanita itu mendekatiku. Ia menyentuh tanganku yang luka. Setelah kira-kira dua puluh detik berlalu, rasa sakit ditanganku itu sudah hilang.

Bukane yg ketembak perutnya gan kok tanganya yg luka yg disentuh....

:bingung:...kayak e cuma aku yg protes terus deh .....:ampun: ampun gan
 
^
^^

Protes utk memperbaiki itu bgus asal jgn menjatuhkan penulis aj..

Wah2 update kali ini jelas dah unnamed itu Yuna dan yg auranya gk kerasa itu rayna.
Ntah lah klo tiba2 suhu bsa ngerubah crtanya hahaha :pandaketawa:
 
Baru diajarin kirim cendol sama suhu TJ...

terima kasih gan

Kemudian wanita itu mendekatiku. Ia menyentuh tanganku yang luka. Setelah kira-kira dua puluh detik berlalu, rasa sakit ditanganku itu sudah hilang.

Bukane yg ketembak perutnya gan kok tanganya yg luka yg disentuh....

:bingung:...kayak e cuma aku yg protes terus deh .....:ampun: ampun gan

ah gpp kok
protes itu kan justru membangun, asal protesnya bener aja ya
agan riananto protesnya sejauh ini bener2 aja kok

hmmm, untuk masalah tangan yang tertembak :

Aku mengikuti arahannya dan berjalan kearahnya. Ketika aku sudah dekat dengannya, petugas itu mengulurkan tangannya untuk menarik tanganku. Sebelum sempat ia menarik tanganku, aku langsung mematahkan tangannya. Petugas itu berteriak dengan kencang. Aku langsung meninju lehernya tepat di tengah lehernya, sehingga ia langsung tidak bernyawa. Otomatis, janda dan dua anak itu langsung berteriak histeris ketakutan. Teriakan-teriakan itu memancing para petugas yang lainnya masuk. Cih, kalau begini tidak ada jalan lain selain menghabisi mereka satu-satu. Saat mereka masuk, sebelum mereka sempat sadar apa yang terjadi, aku harus bertindak duluan. Aku langsung mendorong salah satu petugas dengan tubuhku. Aku meninju wajahnya, dan mengambil senjatanya. Kemudian aku menggunakan senjata itu untuk menembaki petugas yang lainnya. Mereka pun balas menembakiku. Ukh, tangan dan kakiku terkena tembak. Panas sekali rasanya. Beginikah rasanya tertembak? Sial, kali ini aku sudah sulit sekali bergerak. Paling, aku hanya bisa melompat sekali dengan menggunakan kaki kiriku yang lukanya tidak begitu parah, itupun dengan susah payah.

untuk masalah perutnya :

Kemudian wanita itu mendekatiku. Ia menyentuh tanganku yang luka. Setelah kira-kira dua puluh detik berlalu, rasa sakit ditanganku itu sudah hilang. Saat dia melepaskan tangannya dari tanganku, aku melihat bahwa tanganku yang tadinya tertembak kini sudah sembuh total. Dia melakukan hal yang sama pada tubuhku lainnya yang luka. Setelah selesai, dia kembali berjalan kearah para petugas itu. Aku heran, daritadi dia mengeluarkan sihir-sihir yang ajaib. Apakah betul dia ini manusia?
 
Semakin menjadi Naruto seria aja heeheh


Hadir selalu

*sakura mana sakura

Heheheeh
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd