Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 22
Tiga Shot atau Lebih


POV Hari

Kata Erwan, waktu gue kebangun bentar tadi malem, gue langsung dioperasi dadakan begitu bisa ditarik mundur dari garis depan. Malem itu badan gue menggigil. Rosi sama anak buahnya stand by di samping tempat tidur gue. Mulutnya berkomat-kamit sambil memegang batu rune entah bersimbol mirip daun semanggi atau bukan, sambil anak buahnya nutupin luka di kaki gue pake air dan ramu-ramuan yang bau busuk banget.

Paginya, badan gue mendingan. Sekarang gue baru bangun. Gue juga merasa udah bisa jalan kaki, dikit-dikit. Tapi tadi malam Rosi udah ngelarang Erwan supaya gue jangan sampai keluar dari rumah gubuk ini. Dia disuruh jagain gue meski orangnya harus ketiduran sekarang.

TOK! TOK!

Pintu diketuk. Kemudian, bukan gue yang ngasih izin masuk, tapi Erwan yang baru aja kebangun di pojokan dekat pintu itu.

“Siapa?” Tanyanya.
“Julia.”

Erwan keluar rumah menyambut Julia. Mereka berdua berbisik-bisik gak jelas. Kemudian, mereka berdua masuk sekaligus. Dari tatapan matanya, ada yang mau Julia bilang ke gue. Dia berbasa-basi dulu supaya gue santai. Ketebak.

Julia, dia merasa bersalah telah membuat gue kena tembak. Padahal, bukan sepenuhnya salah Julia juga. Gue sendiri gegabah karena terus kepikiran mau cepet pulang. Kalo harus didebat, gue harus menang dengan menyatakan kami berdua bersalah. Ini bukanlah kesalahan satu pihak. Bagusnya, Julia gak ngajak berdebat. Dia mau menyampaikan hal lain yang kayanya lebih penting.

“Ini soal temen-temen kamu.” Katanya.

Badan gue pelan-pelan menegang. Jadi ada rasa merinding di sekujur tubuh. Detak jantung gue mulai meningkat, rasa-rasanya gak ada yang lebih berisik dari detak jantung gue sendiri. Padahal, informasinya Julia belum disampaikan. Ini respon tubuh sialan yang tipikal sewaktu hormon adrenalin tersekresi dari kelenjar supra adrenalnya, di permukaan atas ginjal.

Semoga bukan berita buruk yang disampaikan Julia. Kami ke Vanaheim ini tanpa sengaja dan tanpa niat buruk. Jangan sampai kami mati di sini satu persatu. Itu doa gue dalam hati.

“Temen-temen kamu, Dani sama Erna masuk diam-diam ke Kota Kraun untuk ngerusak sistem mereka. Laras, Pur, Alex, sama Anders ikut ngejaga. Mereka semua berangkat sebelum terang tadi.” Jelas Julia.

Gue belom menemukan inti pembicaranya. Gue gak bisa fokus.

“Mereka gak kenapa-napa, kan?” Tanya gue sambil deg-degan setengah mampus.
“Mereka baru berangkat sekitar 3 jam lalu. Belum ada info lagi.” Respon Julia.

Gue menghela nafas. Beruntung ini bukan berita buruk.

“Komunikasi kita sama mereka lewat mana?” Tanya gue lagi.
“Gak ada komunikasi. Mereka sendirian.”

Oke, ralat. Ini buruk.

Kemudian, Erwan mengambil sesuatu dari kotak kayu ukuran besar. Itu adalah drone dengan empat sisi baling-baling. Ada kamera di tengahnya. Erwan lalu mengatakan kalau drone itu yang membuat orang-orang istana tau kita ada di sini, kemarin. Karena drone itulah pasukan mereka datang melakukan serangan mendadak.

Dani udah ngehack drone itu sampai jatuh. Ada dua katanya, yang satu lagi berhasil diretas dan sekarang dibawa untuk penyusupan mereka. Selain itu, mereka juga ngebawa set baju zirah yang udah aman dipakai supaya mereka kebal peluru. Rupanya mereka lumayan siap dan gak cuma modal nekat.

“Saya mau ngecek tahanan dulu.” Julia pamit.

Dia menepuk pipi gue, lalu pergi keluar. Gak ada rasa yang mendesir sama sekali. Gue sedang gak punya nafsu.

“Sebentar lagi kita pulang.” Kata Erwan
“Semoga.”
“Kalo boleh, saya mau tidur lagi ya.” Izinnya.

Sebelum Erwan tidur, gue meminta tolong diambilkan air minum terlebih dulu. Selanjutnya, Erwan kembali tertidur pulas.

Entah apa yang terjadi selama beberapa jam saat gue gak sadar dari kemarin. Keputusan-keputusan yang diambil saat itu pasti reaksi dari tindakan darurat. Gue sekarang cuma bisa berharap kali ini gak ada lagi tindakan konyol dan musibah kedua. Semoga Dani dan Erna baik-baik aja.

Gue ketiduran lagi.

Akhirnya, inilah kerjaan gue sekarang, tidur sebentar cuma buat bangun lagi, lalu cuma buat tidur lagi. Kadang-kadang juga sempat minum dan kentut. Untungnya gue belom terasa pengen berak.

Rasa gelisah pelan-pelan meradang karena gue bosan gak bisa ke mana-mana. Handphone juga gak nyala karena baterainya habis. Kalau menyala pun, gak ada sinyal dari bumi yang bisa sampai sini.

“Bosen?” Tanya Erwan.
“Banget.” Jawab gue lugas.

Erwan gosok-gosok kepala.

“Kenapa? Bosen juga?” Gue heran.
“Ada satu hal yang jadi pikiran saya. Mereka itu, Julia, Laras, Raja Frey, Thor, katanya dewa?” Tanya Erwan.
“Bisa jadi.”

Gue menjawab sekenanya karena masih bosan dengan keadaan begini. Tapi, Erwan gak puas. Dia menanggapi serius jawaban gue dengan menyangkut pautkan perilaku syirik. Lama-lama gue tergelitik juga mau nanggepin. Semata-semata supaya Erwan gak terlalu ambil pusing.

Erwan menyangkut-pautkan posisi Dewa dan Tuhan. Memang, Dewa dalam kepercayaan lain, Dewa sejajar posisinya dengan Tuhan. Buat orang Nordik, dewa-dewalah yang mengatur dan menjaga kehidupan. Ada juga Dewa jahat yang posisinya sejajar dengan setan. Loki, misalnya.

“Saya gak percaya Dewa. Tapi mereka ada di sini.” Katanya.

Gue mendadak mulai bijak pada orang yang lebih tua umurnya beberapa tahun ini.

“Kalo saya sih, anggap aja mereka orang biasa. Mereka juga punya umur kan, meski jauh lebih lama hidupnya daripada kita.” Jawab gue.
“Gitu ya?”
“Ya, anggap aja begitu.” Dahi gue mengerut yakin.

Erwan mengangguk. Dia masih mencoba melaukan rasionalisasi dengan apa yang dia tau dalam kurun waktu 48 jam ini. Pasti pikirannya kacau balau sekarang. Struktur berpikirnya rusak seketika. Apalagi dia manusia biasa.

---

POV Eda

Gue terbangun ketika Rivin udah berangkat kerja. Seminggu ini gue gak bisa lagi nganterin dia karena mobil masih ringsek. Bokap udah nyuruh jual kiloan aja mobil gue itu karena udah terlalu berat kerusakannya.

Kemarin, Samuel memang punya obat yang manjur buat ngilangin memar bekas ditampol. Obatnya bukan sembarangan. Bentuknya bubuk-bubuk putih keruh mirip garam yang dijual buat ditabur ke kentang crispy. Tapi itu bukan garam, melainkan obat cina.

Samuel melarutkan obatnya pake air panas sedikit. Terus, ada kain lap yang direndam di air panas itu. Lalu, kainnya di lap dikit-dikit ke bagian pipi gue yang memar. Perih banget rasanya, tapi ampuh. Rivin sampe gak menyadari kalau pipi gue sebenarnya lumayan bengkak malam itu.

Dalam kondisi gue yang masih teler, tmuncul pesan wa dari Samuel.

Samuel: Hari ini ada acara?

Mata gue masih mengejap-ngejap sebentar karena silau. Terus, gue mikir kegiatan apa yang akan gue lakukan hari ini. Tidurkah? Rupanya memang tidur doang, alias jadwal gue kosong.

Samuel: Gue main ke sana boleh?

Hening sebentar karena nyawa gue belum ngumpul. Samuel mengetik lagi.

Samuel: Ngecek lukanya sekalian
Gue: Eh gak usah

Gue mendadak sedar. Samuel lanjut mengetik...

Samuel: yaudah, ke rumah gue aja mau? Mumpung gak ngapa-ngapain.

Gue mengetik... Boleh.

Jam sepuluh, di hari yang terik ini, gue meluncur menuju rumah Samuel lagi di Pejaten. Di sana, ternyata ada beberapa temannya lagi. Ada yang cowok dan ada yang cewek. Jadi, sekarang kami berdelapan jumlahnya kalau gue dihitung. Rinciannya, beberapa orang cowok lagi main PES di depan tivi, beberapa tiduran sambil main hape sambil kepalanya dipangku cewek, mungkin mereka pacaran. Samuel sendiri lagi masak di dapur bareng dua orang lain.

Gak semuanya temen Samuel chinese, tapi menurut gue semua orang ini terasa jelas sosialita.

Gue canggung dalam keadaan asik sendiri begini. Kemudian, gue memilih ke dapur supaya bisa ngobrol bareng Samuel. Siapa tau bisa lebih asik di sana. Rupanya, dia lagi sibuk bareng dua perempuan. Satu berwajah oriental dan yang satu lagi biasa aja.

“Masih masak?” tanya gue.
“Masih. Orangnya banyak banget sih.” Kata samuel.

Gue cuma berbalas obrolan dengan Samuel. Bertanya sedikit-sedikit, ke mana orang tuanya, mereka yang datang ini siapa-siapa aja, lalu ada acara apa sebetulnya hari ini. Samuel juga ngejawab semuanya, satu-satu. Orang tuanya kerja semua, mereka semua satu kampus dan baru lulus juga, masih sama-sama mencari kerja, lalu kumpul-kumpulah mereka di rumah Samuel untuk sekedar mengisi waktu.

“Bantuin gue yuk.” Cewek berawajah oriental nyeletuk.
"Gue?" Tanya gue.
"Iya, siapa lagi." Dia menjawab.
“Tapi gue gak bisa masak.”
“Udah ayo sini, gampang kok.” Ajaknya.

Sekilas gue melirik tampilan fisik cewek oriental ini yang serba kecil. Bahkan jauh lebih pendek dari gue. Dan, karena gue bosan, gue mengiyakan aja tawarannya untuk bantuin masak sambil malu-malu gak jelas.

“Bikin apa?” Gue melihat bahan masakan.
“Gue kebagian onion ring sama chicken wings. Gampang kan. Yuk.” Katanya.

Samuel dan cewek yang satu lagi mulai bisik-bisik sambil cengengesan. Gue diam aja karena takut serba salah, sementara si cewek oriental yang lagi masak onion ring ini memberikan instruksi balut-balut telur dan balut-balut tepung.

“Lis, udah punya pacar lho itu.” Si cewek satu lagi ngeledek.
“Apa siih.” Balasnya.
“Hehehe.” gue cuma bisa ikut cengengesan.

Karena mungkin mereka sadar kalo gue makin canggung, barulah mereka mengajak berkenalan sambil berjabat tangan satu sama lain.

“Eh kita belom kenalan lho, Alicia. Panggilnya Alis aja.” Kata si cewek oriental.
“Hendra. Panggil aja Eda.” Balas gue.
“Gue Talia.” Kata cewek satu lagi.

Alicia​


Talia

Suasanya makin heboh di dapur karena ledek-ledekan makin frontal. Alis dan Talia saling balas ledekan. Semuanya menjurus ke cowok. Cowok si A, si B, sampai Z disebut satu-satu. Samuel sampai minta maaf kepada gue karena kelakukan centil mereka.

"Maklumin." Bisik samuel.
“Sorry ya Eda, kita emang begini. Ya maklumin aja.” Kata Talia sambil jarinya ngetril.
“Apaan, itu elu aja, gue enggak kok. Ya kan, Samuel.”

Alis mengedip-ngedipkan mata ke Samuel. Samuel ketawa, tapi ditahan. Ledekan semakin berbalas keras. Talia bilang kalau Alis selalu jaga image di depan cowok ganteng calon korbannya. Lalu, dia bilang ke gue supaya jangan mau jadi cowok koleksinya Alis yang kesekian.

Rumah ini ramai sekali. Apalagi ketika suara riuh Alis dan Talia kedengeran sampai ruang tamu. Mereka yang di sana semuanya menuntut untuk tenang dan makanannya cepat jadi. Beberapa teman Samuel yang lain juga mondar-mandir mengecek dapur. Mereka gak lupa juga meledek Alis yang kecentilan di depan gue. Pesan mereka semua sama, gue jangan sampai termakan godaan-godaannya Alis. Yah, gue cuma cengengesan aja.

Beberapa waktu kemudian, tapi gak sampai sejam, makanan tersaji di piring dan siap dibawa ke tempat perkumpulan.

“Selesai!!!” Kata Talia.

Gue, Samuel, dan Alis berbaris di belakang Talia sambil membawa menu-menu lainnya. Menu seluruhnya ada banyak. Ada onion ring sama chicken wing yang gue ikutan bikin tadi bareng Alis. Ada Korean Barbeque buatan Samuel. Ada dim sum sama es buah buatan Talia. Gak lupa nasi ikut dihidangkan karena kita tetap orang Indonesia. Gak kenyang kalau tanpa nasi.

Sembari cicip-cicip, Samuel mengeluarkan set kartu permainan werewolf. Jadi, kami akan bermain werewolf sampai capek. Semua yang main PES wajib ditinggalkan. Ini pasti seru.

Tawa dan debat bergulir satu-satu. Demi apapun, gue gak mau dibunuh di awal dalam permainan begini, dan untungnya itu sukses. Selama dua kali permainan yang berlangsung satu jam lebih, gue justru membunuh orang secara asal-asalan. Di satu sisi, guelah yang dua kali menjadi werewolf. Seru kan.

Menjelang sore, beberapa orang udah ketiduran di sofa, termasuk Samuel. Beberapa yang lain kembali main PES atau gitaran. Gue sendiri ikutan main PES, tapi sedang menunggu antrian karena ini turnamen. Untuk mengisi kekosongan, gue membantu Alis mencuci piring di dapur.

“Bener ya kata temen-temen itu?” Tanya gue iseng.
“Bener apa?” Dia heran.
“Lo koleksinya banyak?”
“Ih, enak aja. Mereka aja yang iseng itu.” Kata Alis sambil ketawa.

Alis bilang dia memang supel sama banyak cowok. Teman mainnya juga lebih banyak cowok dibandingkan cewek. Tapi bukan berarti dia centil, katanya. Dia gak sesering itu pacaran seperti yang dibilang Talia tadi siang.

“Seriusan baru dua kali pacaran?” Kata gue.
“Serius gue.” Katanya
“Oooh.”

Mulut gue membulat.

“Malem ini kita mau party. Ikut yuk. Gak jauh kok, ada tempat asik sekitar sini.” Ajak Alis.
“Ha?” Gue kaget.
“Emang belum pernah?” Alis gantian sok kaget.

Gue menggeleng. Serius gue belum pernah party ala-ala mereka. Walau gue liar bersama Dani atau Rivin, tapi keluar malem seperti itu menurut gue adalah pemborosan. Apalagi ini masa sulit dan gue udah diomelin Rivin berkali-kali soal berhemat.

“Ayo, ikut aja.” Ajak Alis lagi.
“Nggak deh. Ngeri.” Gue menggeleng lagi.
“Gak ada uang jajan?” Tanyanya.

Gue jadi makin illfeel begitu Alis nanya begitu. Iya, gue gak ada uang jajan. Gue gak menyangka ruh-ruh sosialita begini mencoba merasuki gue dengan cara-cara yang halus. Gue buru-buru menyelesaikan aksi cuci-cuci piring dan pergi untuk gilirannya main PES. Teriakan gol dan kebobolan gue lantangkan untuk menghindari pikiran yang aneh-aneh.

Abis ini, gue mau langsung pulang aja.

“Kita nanti malem mau party. Ikut kan?” Ajak Ruly, teman Samuel yang agak botak.
“Aduh, gimana ya hehehe.” Gue bingung mau jawab apa.
“Udah ikut aja yuk.” Kata Riza, yang mukanya agak arab.

Gue pun sengaja kalah supaya jatah gue untuk bermain PES bisa selesai. Setelah itu, gue membangunkan Samuel yang tidur sofa untuk pamit pulang. Gue udah siap fisik dan mental agar segera pulang. Nyatanya, kata Samuel, gue harus ikut ke party apapun masalahnya. Dia bilang gue harus ikut sebagai ucapan terima kasih udah ditolong kemarin. Oh, gue terjebak di sini.

Beberapa jam kemudian, di tempat antah berantah, di suasana yang jedag-jedug ini, kapala gue mulai berat....

Gue dipaksa menengguk minuman apa itu yang rasanya panas. Satu gelas porsi kecil itu apa namanya, kata Riza gak cukup. Alis dan beberapa temannya yang lain juga mengamini. Riza bilang, kalo gue mau pulang cepet harus minum tiga gelas itu dulu. Nyatanya, kepala gue udah kelewat pusing begitu minum yang ketiga. Ini gimana caranya gue bisa pulang kalo pusing.

"Tambah dua shot lagi, abis itu kita anter pulang. Oke?" Bujuk Riza.

Gue gak perlu mikir siapa yang bayar. Free, entah kata siapa.

“Kepala gue pusing.” Kata gue.
“Yaudah, ayo pulang. Gue anter.” Itu suara cewek.

Gue masuk mobil yang warnanya putih. Gue menyebutkan alamat yang membuat supir dadakan gue itu kaget karena gue tinggal di apartemen. Dia makin kaget karena gue cerita tinggal bareng pacar dan diizinkan orang tua. Mulut ini gak bisa berhenti cerita. Sialan.

“Gue anter sampe mana?” Suara cewek itu.
“Sekarang jam berapa?” Gue nanya balik.
“Jam sebelas lewat.” Jawab dia.

Gue lupa tadi membalas dengan jawaban apa lagi, tapi sekarang mobil udah masuk basement. Gue kemudian turun mobil sendirian. Naik lift sendirian. Jalan di lorong juga sendirian. Gue mengetuk pintu. Rivin membuka pintu itu dengan raut muka yang gak bisa gue gambarkan lagi.

“EDA!? MABOK??!!” Itu katanya.

Dia menyebut mulut gue bau alkohol atau semacamnya. Dia juga bilang gue susah ditelepon, lalu gue merespon dengan berjalan masuk kamar dan melempar handphone ke kasur. Entah gue ngomong apa lagi waktu itu.

Badan gue rasanya makin panas. Ngeliat Rivin marah-marah itu jadi malah terasa makin seksi. Gue melumat bibirnya supaya suaranya bisa bergemuruh sambil tertahan. Gue menggerayangi badannya sambil menahan laju tangannya yang meronta binal. Lalu, kami bermain cinta sampai gue gue lupa tadi Rivin marah karena apa.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Episode 23
Sampai Berjumpa


POV Hari

Sekarang mungkin udah lewat tengah malam. Karena hari ini kerjaan gue cuma makan, tidur, kentut, dan berak, jadi malem ini gue belum sama sekali ngantuk. Erwan pun demikian. Maka kami berdua ngobrolin apa aja yang bisa membuat kami saling berkomunikasi satu sama lain.

Kami udah ngebahas topik tentang Tuhan dan Dewa tadi siang. Menjelang sore kami membahas kehidupan berekonomi manusia dewasa, lalu barusan sampai pada topik pulang kampung.

“Seru juga ya ke Padang naik mobil.” Sahut gue.
“Dulu karena kebutuhan, kan. Kalo sekarang ongkos pesawat udah terjangkau.” Tanggap Erwan.

Lalu kami diam sejenak sambil melonjorkan kaki. Topik pulang kampung ini udah sampai pada ujungnya.

“Bosen nih.” Gue ngomong ngasal.
“Dari tadi siang begini-begini aja sih ya.” Kata Erwan.
“Ya gimana lagi.” Sahut gue.
“Iya.”

Sepi lagi. Kami diam tanpa kata karena pembicaraan pun gak ada, tapi tidur pun susah.

Julia masih gak berkunjung lagi. Mungkin dia sibuk di luar sana mengatur orang-orangnya serta tawanan yang mereka dapatkan. Kami juga belum mendapat info apa-apa tentang Dani dan timnya yang pergi menyusup ke Kota Kraun dari tadi pagi.

“Bosen nih.” Kata gue lagi.
“Udah ngomong 50an kali lho, Har.” Kata Erwan.
“Ah masa?”
“Beneran, hahaha.” Dia tertawa tipis.

Gue benar-benar bosan. Kalau topik bosan ini jadi bahan pembicaraan, udah gak menarik lagi karena justru bikin makin bosan. Erwan juga pasti bosan, tapi dia bisa apa.

“Jalan-jalan yuk.” Ajak gue.
“Waduh gak boleh lah.” Erwan menanggapi.
“Gak usah jauh-jauh.”
“Ngeri ah.” Erwan garuk-garuk kepala.

Tanpa menjawab lagi, gue berjalan terpincang-pincang menuju pintu. Gue membuka sedikit pintu rumah untuk melihat kondisi di luar. Ternyata gak ada penjaga yang menunggu di depan pintu rumah gubuk ini. Mereka semua ramai, tapi cuma berlalu lalang sambil menguap. Pasti mereka lelah.

“Aman.” Gue menoleh ke Erwan.
“Ah gila.” Katanya, tapi ikut juga.

Kami berjalan layaknya orang biasa, kecuali gue yang agak pincang. Sekali itu, kami berpapasan dengan seorang pasukan. Dia hanya melihat kami seperti melihat orang asing dengan tatapannya yang menyelidik, lalu pergi seperti gak terjadi apapun. Kemudian kami berjalan lagi.

Kedua kali, kami bertemu lagi dengan seorang pasukan lain yang perawakannya lebih tinggi dari orang yang tadi. Dia lebih ramah karena menyapa kami dengan senyum. Dia bilang juga supaya kami jangan main jauh-jauh. Kami berjalan lagi.

“Kok gak kenapa-napa ya?” Erwan bingung.
“Udah diizinin keluar kali.” Itu kesimpulan kami.

Kami berdua berjalan lebih normal karena gak perlu ketakutan ketahuan orang-orang. Mereka pun juga gak bertindak mengancam atau menarik kami kembali ke gubuk.

Gue dan Erwan berputar-putar memutari kampung kecil ini. Ada dua lumbung karbohidrat kosong yang kami lewati. Dari situ, kami berbelok ke kiri menuju kumpulan pasukan yang lebih ramai. Mungkin di sana ada hal menarik yang bisa dibahas.

“Halo.” Sapa gue.
“Halo, Midgardian.” Sapa mereka.
“How about today?” Tanya gue dalam bahasa inggris.
“Biasa aja lah, kita kan bisa All-speak dikit-dikit.” Kata salah seorang mereka.

Kami mulai berbincang mengenai kegiatan yang telah dilalui orang-orang hari ini. Dari situ, gue akhirnya mengetahui bahwa mereka sedang istirahat dari giliran jaga tawanan. Mereka bilang, ada sekitar tiga ratusan tawanan perang yang diperoleh dari perang kemarin. Itu pun hanya yang berhasil hidup setelah Pur, Laras, dan Rosi menghabisi kelompok mereka tanpa ampun.

Salah seorang dari mereka yang berjenggot liar menunjukkan lokasi kawasan tahanan. Dia pun bersedia mengantar kami keliling di tengah malam yang tanpa angin ini. Di sana, dia bilang para tawanan dikurung dalam kerangkeng buatan dari jejeran kayu. Gak ada atap. Mereka pun hampir tanpa pakaian kecuali celana dalam yang udah kotor kena lumpur.

“Harusnya mereka dikurung lebih layak.” Kata bapak berjenggot.
“Terus kenapa begini?” Tanya Erwan.
“Gak ada tempat lagi.” Jawabnya.

Kami sampai di tempat kurungan tawanan. Kami melihat-lihat sebentar sampai gue dan Erwan terasa gak tega lagi untuk menonton pemandangan ini.

Selanjutnya, Bapak berjenggot mengantar kami ke rumah besar tempat baju-baju zirah robot dikumpulkan. Kemudian, Bapak berjenggot membuka pintunya. Kami bisa melihat dalam sorotan senter bahwa baju-baju robot itu banyak sekali dan bertumpuk berantakan. Bapak berjenggot bilang jumlahnya mungkin lebih dari lima ratus.

“Keren ya.” Erwan bergurau.
“Ya begitu lah.” Sahut bapak berjenggot.

Ada keheningan karena Erwan takjub dengan peralatan lumayan canggih yang baru pertama kali dia lihat itu.

“Pak itu apa?” Tunjuk gue ke tumpukan.
“Helm.” Jawabnya.

Yang gue tunjuk itu memang helm. Tapi bukan itu maksud gue.

“Itu pak, lampunya nyala kedap-kedip.” Tunjuk gue.

Erwan langsung disuruh bapak berjenggot itu memanggil orang-orang, termasuk Julia yang ternyata sedang tidur. Dia lari pontang panting seolah dikejar anjing sebesar beruang. Bapak berjenggot yang menyuruh Erwan malah terbahak-bahak dengan aksi konyol yang terjadi.

Beberapa waktu kemudian, ramailah jalanan di depan rumah besar ini dengan orang-orang yang sudah bersiap siaga. Julia pun datang lumayan lama dengan mukanya yang masih lusuh. Dia terlihat jelas kurang tidur dari kantong matanya yang punya kantong lagi.

“Tolong ambil.” Julia menyuruh seorang pasukannya.

Helm itu diambil dari tumpukannya untuk diberikan kepada Julia. Lalu, Julia menggenggam dengan pasti helm tersebut tanpa merasa takut bahaya. Dia pelan-pelan memasang helm itu di kepalanya. Kemudian, dia bicara dengan bahasa alien, mungkin berupa kode. Kemudian, Julia cukup lama gak berbicara kepada kami di sini. Dia menoleh-noleh sendirian bersama helm tersebut. Kelihatan lucu jadinya.

Selang beberapa lama, Julia melepas helm robotnya. Dia bertampang serius dalam melihat wajah-wajah kami. Dia lalu berteriak lantang ke depan seluruh pasukannya, disusul sorak sorai yang terasa seperti kegembiraan dari semua orang. Bukan bahasa Indonesia atau Inggris yang kedengaran, mungkin juga bukan bahasa yang ada di bumi. Gue gak ngerti.

Setelah gue tanya, ternyata pengumumannya adalah saat ini enam orang hebat yang sedang menyusup ke Kota Kraun sudah berhasil meretas seluruh sistem yang ada di sana. Mereka juga berhasil menguasai media komersil untuk melompat ke langkah selanjutnya. Itu merupakan kemajuan, karena sebenarnya rencana awal adalah hanya untuk merusak sistem keamanan.

Langkah selanjutnya itu, mereka tengah melakukan publikasi masal mengenai surat kuasa sah milik Raja Frey. Sembari melakukan itu, pasukan yang ada di sini disuruh bersiap di depan pintu kota untuk masuk dengan damai. Kemenangan tersisa selangkah lagi.

Erwan spontan mengusap wajahnya. Ketegangan akan berakhir sebentar lagi.

“Kenapa bisa tau?” Tanya gue.
“Ini pesan dari dalam kota.” Julia mengangkat helmnya.
“Dari Dani?”
“Betul.” Jawabnya.

Gue gak menyangka Dani bisa sejauh ini menguasai teknologi dan komunikasi digital. Apalagi ini menggunakan alat-alat asing. Dani keren.

“Mau lihat?” tawaran Julia.
“Maksudnya?”
“Ada pesan buat kamu. Erwan juga, tapi gantian ya.” Katanya dengan senyum.

Julia gak lupa menegur gue dan Erwan karena keluar malam-malam. Tapi gue mengelak dengan bangga karena kamilah yang menemukan hal berharga ini, yang ada di tumpukan zirah terlupakan itu. Julia membalas hanya dengan tersenyum sambil bergeleng-geleng. Julia kemudian melangkah pergi untuk mengurus hal lain.

Gue memakai helmnya. Ini seperti tayangan virtual di mana pandangan normal menjadi bias dengan video hologram. Selanjutnya, muncul tulisan dengan aksara asing yang gak bisa gue baca. Setelah menunggu sekian detik, muncul video yang menunjukkan wajah Dani dan Erna. Mereka terharu.

“Halo, Hari. Kita hampir menang. Gue gak nyangka. Tadi padahal gue hampir putus asa karena ngeretas sistem ini mustahil banget. Untungnya ada ini yang baru ketemu di akhir-akhir. Ada buku manualnya. Hahaha geblek ya.” Dani banyak bicara.

Erna memotong kata-kata Dani, dia lanjut mengatakan bahwa ini juga atas bantuan Pur yang bisa menerjemahkan bahasa Vanaheim ke bahasa Indonesia. Sinyal-sinyal yang diretas bisa tepat juga karena bantuan kefokusan Erna terhadap ketepatan mencari frekuensi tersebut. Di akhir pesan buat gue, mereka bilang bahwa kita akan benar-benar bisa pulang ke Midgard sama-sama.

Sebelum helm harus dioper ke Erwan, Erna mengatakan kami dapat berjumpa di dalam Kota Kraun nanti pagi.

“Nih, dari Rosi.” Helm gue serahkan ke Erwan.

---

POV Jennifer

Gue memarkirkan mobil gue pelan-pelan, mundur hingga tukang parkir bilang berhenti. Kemudian, gue keluar dari mobil. Gue berjalan pelan-pelan ke satu tempat makan yang baru buka untuk sarapan, sekaligus mengulur waktu. Gue melihat jam tangan, ternyata baru jam empat pagi. Pagi-pagi buta ini stasiun Gambir masih sepi sekali. Cuma ada satu tempat makan yang buka, itu pun mungkin baru buka karena daftar menunya baru aja diantar ke meja tempat gue duduk.

Sebuah telepon menginterupsi kegiatan gue melihat-lihat menu makanan.

“Hai.” Sapa gue

Gue mendengarkan suara laki-laki di seberang telepon ini sambil menahan bising kereta yang lewat di lantai atas.

“Oke, aku di kafe bawah ya. Langsung ke sini aja.” Jawab gue singkat.

Telepon ditutup.

Gak lama berselang, orang-orang datang berbondong-bondong dari atas, dari peron kereta. Mereka satu-satu mulai menanti atau sudah dinanti jemputan mereka. Dari segerombolan orang itu, ada pula satu orang yang gue tunggu.

“Met!” Gue mengangkat tangan.
“Jen!” Sahut dia.
“Sini!”

Datanglah dia. Zakaria alias Jamet. Lelaki manis yang membuat gue harus bangun jam tiga untuk berkendara dari rumah ke stasiun ini. Dia datang membawa dua tas ransel berbeda ukuran. Satu carrier ukuran 70 literan digendong di punggungnya dan satu ransel ukuran 40 literan di perutnya. Ada juga dua goodybag yang ditenteng di tangan kirinya.

Jamet duduk di depan gue dengan muka yang sama ngantuknya. Perjalanan 14 jam pasti melelahkan buat dia. Tapi gue terlanjur pesan makan dan sedang lapar beneran. Gak baik meninggalkan pesanan makanan, apalagi kalau harganya mahal aje gile.

“Gue makan dulu ya.” Kata gue.
“Iya boleh.” Katanya dengan senyum berpeluh.
“Mau pesen juga?” Tawar gue.
“Boleh deh.”

Jadi, kami mengobrol hal-hal ringan sambil sarapan yang kepagian. Gue berbicara mengenai Bryophyte dan drummer kami yang lagi kabur-kaburan itu. Gue juga bercerita tentang Anwar yang lagi suka uring-uringan. Cerita gue berakhir dengan keluh kesah mengenai masa depan Bryophyte dengan idealisme anggota-anggotanya. Sulit sekali mengampanyekan lingkungan buat generasi milenial yang sukanya jalan-jalan ke mall.

Gue gantian mendengarkan Jamet yang berbicara tentang usaha lelenya. Dia berinovasi menggunakan populasi alga yang dibentuk menjadi pelet sebagai suplemen. Katanya, suplemen berupa alga udah banyak dijual dalam nama dagang wafer alga. Dia sekarang sedang mencoba membuat perbedaan dari pakan itu dengan menggunakan spesies alga berbeda yang dapat dikultivasi di lingkungan tropis.

“Pilihannya masih seputar Cladophora sih.” Kata Jamet.
“Alga hijau? Kenapa?” Gue antusias.
“Gue baca banyak paper, banyak yang statement alga hijau bagus gitu buat lele.”

Jamet bilang bahwa banyak pilihan untuk spesies dari kelompok alga hijau sebagai pakan lele. Banyak baik buruknya itu yang masih dipertimbangkan. Beberapa kendalanya antara lain kalau menggunakan ganggang laut itu jauh aksesnya ke pantai. Sementara itu, kultivasi spesies yang berukuran mikro membutuhkan pasca produksi yang lumayan panjang.

Makanan kami habis, tapi kami masih antusias berbincang. Tepatnya, gue suka banget mengamati Jamet bercerita soal bisnis yang berangkat dengan keahliannya. Jamet sekarang terlihat sangat seksi sampai-sampai semua ceritanya gak ada yang luput dari perhatian gue.

Di samping itu, biji mata gue suka sekali menjelajahi wajah Jamet dari kening hingga dagu. Gue juga memerhatikan kantung matanya yang lumayan membesar dibanding waktu main di Malang dulu.

“Jarang tidur ya, Met?” Gue penasaran.
“Eh, keliatan ya? Hahaha.” Dia ngeles.
“Sibuk panen lele?”
“Sibuk ngeriset lele tepatnya sih.” Katanya sambil bercanda.

Jamet lanjut bercerita tentang prospek cerahnya beternak Lele di ibu kota. Oleh sebab itulah dia main ke Jakarta di samping mau ketemu gue. Dia mau survey lokasi di daerah Depok pinggiran untuk ketemu penyewa tanah.

Lambat-laun langit menjadi terang. Stasiun Gambir mulai ramai. Saat inilah kami sampai pada momen yang tepat untuk pergi. Jamet meletakkan barang-barangnya di kursi belakang mobil gue, dan dia duduk di sebelah bangku sopir. Kemudian, gue menyetir menyusuri pagi hari Jakarta yang padat mengular ini. Macet di sana sini, tapi tak terasa karena kami larut dalam cerita masing-masing.

“Jadinya langsung ke Depok?” Tanya gue.
“Mampir ke rumah Hari dulu ya. Gue belom sempet dateng waktu ibu sama adeknya meninggal.” Ajak Jamet.
“Eh, kan Hari gak bisa dihubungin.” Kata gue.
“Seriusan?”

Jamet bangun dari senderan kursinya.

Gue bercerita lagi tentang kabur-kaburnya Erna. Anwar sampai mencoba menghubungi Hari dan Dani karena belakangan Erna sering bareng mereka berdua. Dari situlah gue tahu kalo mereka bertiga menghilang. Akhirnya, Tika juga bantu nyari ke rumah sakit, ketemu sama ibunya. Ibunya Erna juga bilang kalau Erna udah hampir seminggu gak dateng ke rumah sakit.

Erna hilang beneran.

“Jadi, yang gak bisa dihubungin sekarang siapa aja nih?” Selidik Jamet.
“Erna, Hari, sama Dani.” Gue menghitung dengan jari.
“Mereka bertiga?” Jamet mengonfirmasi.
“Sebenernya, kata nyokapnya Erna, abangnya Erna juga gak bisa dihubungin. Tapi katanya itu biasa sih.”

Gue dan Jamet jadi hening di dalam mobil. Mendadak Jamet memiliki banyak pikiran soal sahabat-sahabatnya. Mau gimana lagi, Hari kan temen baiknya dari zaman maba. Pasti ada rasa khawatir berlebih yang gak bisa gue bayangin.

“Mampir ke rumah gue dulu aja ya?” Ajak gue.
“Gimana ya...” Jamet mulai berpikir panjang.
“Lu jauh-jauh dari Malang pasti capek, istirahat aja dulu. Besok baru ke Depok. How?”

Gue mulai persuasif untuk menenangkan hati Jamet. Toh, kalau Jamet ada di rumah gue kan kami punya waktu lebih banyak buat berduaan. Ini seperti pepatah yang bunyinya sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

“Gue gak enak sama Janiar. Apa gue pesen hotel aja ya?” Respon Jamet.
“Boros dong, Met.” Gue membujuk.
“Gue bawa duit lumayan banyak.” Katanya.
“Kalo gitu ngapain minta jemput gue.”

Gue bernada agak ketus supaya memberi kesan marah. Lalu keluar beberapa kata lagi, seperti bilang bahwa percuma punya temen di Jakarta kalo apa-apa harus sendiri, semata supaya dia nurut apa yang gue bilang. Hasilnya berbuah manis, Jamet setuju tinggal di rumah gue. Yes!

Satu setengah jam kemudian, kami sampai di parkiran mobil rumah gue. Jamet mengeluarkan barang-barangnya, lalu gue antarkan dia ke kamar tamu di dekat dapur. Kamarnya lumayan kecil, jadi gue mengeluarkan trik lagi supaya dia mau istirahat di kamar gue yang punya AC.

Hari ini rasanya semesta mendukung juga rencana gue. Asisten rumah, Mbak Rini, kalau jam segini pasti lagi ke pasar. Nyokap bokap kerja office hour, seringnya lembur. Suasana sangat mendukung untuk menggoda Jamet lebih nakal lagi.

“Seriusan, di kamar gue aja kalo mau tidur. Ada ACnya.” Ajak gue.
“Liat ntar ya.” Jamet agak canggung.

Jamet bilang kalo dia mau mandi dulu. Inilah dia kesempatan emas gue. Gue bilang kalau lebih baik pake kamar mandi yangada di dalam kamar gue. Kamar mandi lainnya cuma ada di kamar bokap nyokap dan itu dikunci. Selain itu, kamar mandi luar lagi mampet. Jelas gue bohong dong.

Jadilah Jamet mandi di kamar gue. Gue tersenyum bangga. Harus pakai baju apa nih di depan Jamet nanti.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Hahaha koneksi lambat nih, jadi harus bersabar barusan buat update.

It's Talia actually, corrected. Hope you enjoy the episode.
 
aduh aduh, jamet digodain nih.. Semoga jamet gampang kegoda ya suhu haha
 
Yap bener banget sampe tahun depan serial-serial mcu bakal padet. Mungkin karena menuju infinity war ya
 
Bimabet
rada aneh ame samuel, sempet mau mampir ke aprtmn eda, pdhal drmhnye lg ngumpul2.

dari temen jd demen, asik2:mantap:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd