Episode 22
Tiga Shot atau Lebih
POV Hari
Kata Erwan, waktu gue kebangun bentar tadi malem, gue langsung dioperasi dadakan begitu bisa ditarik mundur dari garis depan. Malem itu badan gue menggigil. Rosi sama anak buahnya stand by di samping tempat tidur gue. Mulutnya berkomat-kamit sambil memegang batu rune entah bersimbol mirip daun semanggi atau bukan, sambil anak buahnya nutupin luka di kaki gue pake air dan ramu-ramuan yang bau busuk banget.
Paginya, badan gue mendingan. Sekarang gue baru bangun. Gue juga merasa udah bisa jalan kaki, dikit-dikit. Tapi tadi malam Rosi udah ngelarang Erwan supaya gue jangan sampai keluar dari rumah gubuk ini. Dia disuruh jagain gue meski orangnya harus ketiduran sekarang.
TOK! TOK!
Pintu diketuk. Kemudian, bukan gue yang ngasih izin masuk, tapi Erwan yang baru aja kebangun di pojokan dekat pintu itu.
“Siapa?” Tanyanya.
“Julia.”
Erwan keluar rumah menyambut Julia. Mereka berdua berbisik-bisik gak jelas. Kemudian, mereka berdua masuk sekaligus. Dari tatapan matanya, ada yang mau Julia bilang ke gue. Dia berbasa-basi dulu supaya gue santai. Ketebak.
Julia, dia merasa bersalah telah membuat gue kena tembak. Padahal, bukan sepenuhnya salah Julia juga. Gue sendiri gegabah karena terus kepikiran mau cepet pulang. Kalo harus didebat, gue harus menang dengan menyatakan kami berdua bersalah. Ini bukanlah kesalahan satu pihak. Bagusnya, Julia gak ngajak berdebat. Dia mau menyampaikan hal lain yang kayanya lebih penting.
“Ini soal temen-temen kamu.” Katanya.
Badan gue pelan-pelan menegang. Jadi ada rasa merinding di sekujur tubuh. Detak jantung gue mulai meningkat, rasa-rasanya gak ada yang lebih berisik dari detak jantung gue sendiri. Padahal, informasinya Julia belum disampaikan. Ini respon tubuh sialan yang tipikal sewaktu hormon adrenalin tersekresi dari kelenjar supra adrenalnya, di permukaan atas ginjal.
Semoga bukan berita buruk yang disampaikan Julia. Kami ke Vanaheim ini tanpa sengaja dan tanpa niat buruk. Jangan sampai kami mati di sini satu persatu. Itu doa gue dalam hati.
“Temen-temen kamu, Dani sama Erna masuk diam-diam ke Kota Kraun untuk ngerusak sistem mereka. Laras, Pur, Alex, sama Anders ikut ngejaga. Mereka semua berangkat sebelum terang tadi.” Jelas Julia.
Gue belom menemukan inti pembicaranya. Gue gak bisa fokus.
“Mereka gak kenapa-napa, kan?” Tanya gue sambil deg-degan setengah mampus.
“Mereka baru berangkat sekitar 3 jam lalu. Belum ada info lagi.” Respon Julia.
Gue menghela nafas. Beruntung ini bukan berita buruk.
“Komunikasi kita sama mereka lewat mana?” Tanya gue lagi.
“Gak ada komunikasi. Mereka sendirian.”
Oke, ralat. Ini buruk.
Kemudian, Erwan mengambil sesuatu dari kotak kayu ukuran besar. Itu adalah drone dengan empat sisi baling-baling. Ada kamera di tengahnya. Erwan lalu mengatakan kalau drone itu yang membuat orang-orang istana tau kita ada di sini, kemarin. Karena drone itulah pasukan mereka datang melakukan serangan mendadak.
Dani udah ngehack drone itu sampai jatuh. Ada dua katanya, yang satu lagi berhasil diretas dan sekarang dibawa untuk penyusupan mereka. Selain itu, mereka juga ngebawa set baju zirah yang udah aman dipakai supaya mereka kebal peluru. Rupanya mereka lumayan siap dan gak cuma modal nekat.
“Saya mau ngecek tahanan dulu.” Julia pamit.
Dia menepuk pipi gue, lalu pergi keluar. Gak ada rasa yang mendesir sama sekali. Gue sedang gak punya nafsu.
“Sebentar lagi kita pulang.” Kata Erwan
“Semoga.”
“Kalo boleh, saya mau tidur lagi ya.” Izinnya.
Sebelum Erwan tidur, gue meminta tolong diambilkan air minum terlebih dulu. Selanjutnya, Erwan kembali tertidur pulas.
Entah apa yang terjadi selama beberapa jam saat gue gak sadar dari kemarin. Keputusan-keputusan yang diambil saat itu pasti reaksi dari tindakan darurat. Gue sekarang cuma bisa berharap kali ini gak ada lagi tindakan konyol dan musibah kedua. Semoga Dani dan Erna baik-baik aja.
Gue ketiduran lagi.
Akhirnya, inilah kerjaan gue sekarang, tidur sebentar cuma buat bangun lagi, lalu cuma buat tidur lagi. Kadang-kadang juga sempat minum dan kentut. Untungnya gue belom terasa pengen berak.
Rasa gelisah pelan-pelan meradang karena gue bosan gak bisa ke mana-mana. Handphone juga gak nyala karena baterainya habis. Kalau menyala pun, gak ada sinyal dari bumi yang bisa sampai sini.
“Bosen?” Tanya Erwan.
“Banget.” Jawab gue lugas.
Erwan gosok-gosok kepala.
“Kenapa? Bosen juga?” Gue heran.
“Ada satu hal yang jadi pikiran saya. Mereka itu, Julia, Laras, Raja Frey, Thor, katanya dewa?” Tanya Erwan.
“Bisa jadi.”
Gue menjawab sekenanya karena masih bosan dengan keadaan begini. Tapi, Erwan gak puas. Dia menanggapi serius jawaban gue dengan menyangkut pautkan perilaku syirik. Lama-lama gue tergelitik juga mau nanggepin. Semata-semata supaya Erwan gak terlalu ambil pusing.
Erwan menyangkut-pautkan posisi Dewa dan Tuhan. Memang, Dewa dalam kepercayaan lain, Dewa sejajar posisinya dengan Tuhan. Buat orang Nordik, dewa-dewalah yang mengatur dan menjaga kehidupan. Ada juga Dewa jahat yang posisinya sejajar dengan setan. Loki, misalnya.
“Saya gak percaya Dewa. Tapi mereka ada di sini.” Katanya.
Gue mendadak mulai bijak pada orang yang lebih tua umurnya beberapa tahun ini.
“Kalo saya sih, anggap aja mereka orang biasa. Mereka juga punya umur kan, meski jauh lebih lama hidupnya daripada kita.” Jawab gue.
“Gitu ya?”
“Ya, anggap aja begitu.” Dahi gue mengerut yakin.
Erwan mengangguk. Dia masih mencoba melaukan rasionalisasi dengan apa yang dia tau dalam kurun waktu 48 jam ini. Pasti pikirannya kacau balau sekarang. Struktur berpikirnya rusak seketika. Apalagi dia manusia biasa.
---
POV Eda
Gue terbangun ketika Rivin udah berangkat kerja. Seminggu ini gue gak bisa lagi nganterin dia karena mobil masih ringsek. Bokap udah nyuruh jual kiloan aja mobil gue itu karena udah terlalu berat kerusakannya.
Kemarin, Samuel memang punya obat yang manjur buat ngilangin memar bekas ditampol. Obatnya bukan sembarangan. Bentuknya bubuk-bubuk putih keruh mirip garam yang dijual buat ditabur ke kentang crispy. Tapi itu bukan garam, melainkan obat cina.
Samuel melarutkan obatnya pake air panas sedikit. Terus, ada kain lap yang direndam di air panas itu. Lalu, kainnya di lap dikit-dikit ke bagian pipi gue yang memar. Perih banget rasanya, tapi ampuh. Rivin sampe gak menyadari kalau pipi gue sebenarnya lumayan bengkak malam itu.
Dalam kondisi gue yang masih teler, tmuncul pesan wa dari Samuel.
Samuel: Hari ini ada acara?
Mata gue masih mengejap-ngejap sebentar karena silau. Terus, gue mikir kegiatan apa yang akan gue lakukan hari ini. Tidurkah? Rupanya memang tidur doang, alias jadwal gue kosong.
Samuel: Gue main ke sana boleh?
Hening sebentar karena nyawa gue belum ngumpul. Samuel mengetik lagi.
Samuel: Ngecek lukanya sekalian
Gue: Eh gak usah
Gue mendadak sedar. Samuel lanjut mengetik...
Samuel: yaudah, ke rumah gue aja mau? Mumpung gak ngapa-ngapain.
Gue mengetik... Boleh.
Jam sepuluh, di hari yang terik ini, gue meluncur menuju rumah Samuel lagi di Pejaten. Di sana, ternyata ada beberapa temannya lagi. Ada yang cowok dan ada yang cewek. Jadi, sekarang kami berdelapan jumlahnya kalau gue dihitung. Rinciannya, beberapa orang cowok lagi main PES di depan tivi, beberapa tiduran sambil main hape sambil kepalanya dipangku cewek, mungkin mereka pacaran. Samuel sendiri lagi masak di dapur bareng dua orang lain.
Gak semuanya temen Samuel chinese, tapi menurut gue semua orang ini terasa jelas sosialita.
Gue canggung dalam keadaan asik sendiri begini. Kemudian, gue memilih ke dapur supaya bisa ngobrol bareng Samuel. Siapa tau bisa lebih asik di sana. Rupanya, dia lagi sibuk bareng dua perempuan. Satu berwajah oriental dan yang satu lagi biasa aja.
“Masih masak?” tanya gue.
“Masih. Orangnya banyak banget sih.” Kata samuel.
Gue cuma berbalas obrolan dengan Samuel. Bertanya sedikit-sedikit, ke mana orang tuanya, mereka yang datang ini siapa-siapa aja, lalu ada acara apa sebetulnya hari ini. Samuel juga ngejawab semuanya, satu-satu. Orang tuanya kerja semua, mereka semua satu kampus dan baru lulus juga, masih sama-sama mencari kerja, lalu kumpul-kumpulah mereka di rumah Samuel untuk sekedar mengisi waktu.
“Bantuin gue yuk.” Cewek berawajah oriental nyeletuk.
"Gue?" Tanya gue.
"Iya, siapa lagi." Dia menjawab.
“Tapi gue gak bisa masak.”
“Udah ayo sini, gampang kok.” Ajaknya.
Sekilas gue melirik tampilan fisik cewek oriental ini yang serba kecil. Bahkan jauh lebih pendek dari gue. Dan, karena gue bosan, gue mengiyakan aja tawarannya untuk bantuin masak sambil malu-malu gak jelas.
“Bikin apa?” Gue melihat bahan masakan.
“Gue kebagian onion ring sama chicken wings. Gampang kan. Yuk.” Katanya.
Samuel dan cewek yang satu lagi mulai bisik-bisik sambil cengengesan. Gue diam aja karena takut serba salah, sementara si cewek oriental yang lagi masak onion ring ini memberikan instruksi balut-balut telur dan balut-balut tepung.
“Lis, udah punya pacar lho itu.” Si cewek satu lagi ngeledek.
“Apa siih.” Balasnya.
“Hehehe.” gue cuma bisa ikut cengengesan.
Karena mungkin mereka sadar kalo gue makin canggung, barulah mereka mengajak berkenalan sambil berjabat tangan satu sama lain.
“Eh kita belom kenalan lho, Alicia. Panggilnya Alis aja.” Kata si cewek oriental.
“Hendra. Panggil aja Eda.” Balas gue.
“Gue Talia.” Kata cewek satu lagi.
Alicia
Talia
Suasanya makin heboh di dapur karena ledek-ledekan makin frontal. Alis dan Talia saling balas ledekan. Semuanya menjurus ke cowok. Cowok si A, si B, sampai Z disebut satu-satu. Samuel sampai minta maaf kepada gue karena kelakukan centil mereka.
"Maklumin." Bisik samuel.
“Sorry ya Eda, kita emang begini. Ya maklumin aja.” Kata Talia sambil jarinya ngetril.
“Apaan, itu elu aja, gue enggak kok. Ya kan, Samuel.”
Alis mengedip-ngedipkan mata ke Samuel. Samuel ketawa, tapi ditahan. Ledekan semakin berbalas keras. Talia bilang kalau Alis selalu jaga image di depan cowok ganteng calon korbannya. Lalu, dia bilang ke gue supaya jangan mau jadi cowok koleksinya Alis yang kesekian.
Rumah ini ramai sekali. Apalagi ketika suara riuh Alis dan Talia kedengeran sampai ruang tamu. Mereka yang di sana semuanya menuntut untuk tenang dan makanannya cepat jadi. Beberapa teman Samuel yang lain juga mondar-mandir mengecek dapur. Mereka gak lupa juga meledek Alis yang kecentilan di depan gue. Pesan mereka semua sama, gue jangan sampai termakan godaan-godaannya Alis. Yah, gue cuma cengengesan aja.
Beberapa waktu kemudian, tapi gak sampai sejam, makanan tersaji di piring dan siap dibawa ke tempat perkumpulan.
“Selesai!!!” Kata Talia.
Gue, Samuel, dan Alis berbaris di belakang Talia sambil membawa menu-menu lainnya. Menu seluruhnya ada banyak. Ada onion ring sama chicken wing yang gue ikutan bikin tadi bareng Alis. Ada Korean Barbeque buatan Samuel. Ada dim sum sama es buah buatan Talia. Gak lupa nasi ikut dihidangkan karena kita tetap orang Indonesia. Gak kenyang kalau tanpa nasi.
Sembari cicip-cicip, Samuel mengeluarkan set kartu permainan werewolf. Jadi, kami akan bermain werewolf sampai capek. Semua yang main PES wajib ditinggalkan. Ini pasti seru.
Tawa dan debat bergulir satu-satu. Demi apapun, gue gak mau dibunuh di awal dalam permainan begini, dan untungnya itu sukses. Selama dua kali permainan yang berlangsung satu jam lebih, gue justru membunuh orang secara asal-asalan. Di satu sisi, guelah yang dua kali menjadi werewolf. Seru kan.
Menjelang sore, beberapa orang udah ketiduran di sofa, termasuk Samuel. Beberapa yang lain kembali main PES atau gitaran. Gue sendiri ikutan main PES, tapi sedang menunggu antrian karena ini turnamen. Untuk mengisi kekosongan, gue membantu Alis mencuci piring di dapur.
“Bener ya kata temen-temen itu?” Tanya gue iseng.
“Bener apa?” Dia heran.
“Lo koleksinya banyak?”
“Ih, enak aja. Mereka aja yang iseng itu.” Kata Alis sambil ketawa.
Alis bilang dia memang supel sama banyak cowok. Teman mainnya juga lebih banyak cowok dibandingkan cewek. Tapi bukan berarti dia centil, katanya. Dia gak sesering itu pacaran seperti yang dibilang Talia tadi siang.
“Seriusan baru dua kali pacaran?” Kata gue.
“Serius gue.” Katanya
“Oooh.”
Mulut gue membulat.
“Malem ini kita mau party. Ikut yuk. Gak jauh kok, ada tempat asik sekitar sini.” Ajak Alis.
“Ha?” Gue kaget.
“Emang belum pernah?” Alis gantian sok kaget.
Gue menggeleng. Serius gue belum pernah party ala-ala mereka. Walau gue liar bersama Dani atau Rivin, tapi keluar malem seperti itu menurut gue adalah pemborosan. Apalagi ini masa sulit dan gue udah diomelin Rivin berkali-kali soal berhemat.
“Ayo, ikut aja.” Ajak Alis lagi.
“Nggak deh. Ngeri.” Gue menggeleng lagi.
“Gak ada uang jajan?” Tanyanya.
Gue jadi makin illfeel begitu Alis nanya begitu. Iya, gue gak ada uang jajan. Gue gak menyangka ruh-ruh sosialita begini mencoba merasuki gue dengan cara-cara yang halus. Gue buru-buru menyelesaikan aksi cuci-cuci piring dan pergi untuk gilirannya main PES. Teriakan gol dan kebobolan gue lantangkan untuk menghindari pikiran yang aneh-aneh.
Abis ini, gue mau langsung pulang aja.
“Kita nanti malem mau party. Ikut kan?” Ajak Ruly, teman Samuel yang agak botak.
“Aduh, gimana ya hehehe.” Gue bingung mau jawab apa.
“Udah ikut aja yuk.” Kata Riza, yang mukanya agak arab.
Gue pun sengaja kalah supaya jatah gue untuk bermain PES bisa selesai. Setelah itu, gue membangunkan Samuel yang tidur sofa untuk pamit pulang. Gue udah siap fisik dan mental agar segera pulang. Nyatanya, kata Samuel, gue harus ikut ke party apapun masalahnya. Dia bilang gue harus ikut sebagai ucapan terima kasih udah ditolong kemarin. Oh, gue terjebak di sini.
Beberapa jam kemudian, di tempat antah berantah, di suasana yang jedag-jedug ini, kapala gue mulai berat....
Gue dipaksa menengguk minuman apa itu yang rasanya panas. Satu gelas porsi kecil itu apa namanya, kata Riza gak cukup. Alis dan beberapa temannya yang lain juga mengamini. Riza bilang, kalo gue mau pulang cepet harus minum tiga gelas itu dulu. Nyatanya, kepala gue udah kelewat pusing begitu minum yang ketiga. Ini gimana caranya gue bisa pulang kalo pusing.
"Tambah dua shot lagi, abis itu kita anter pulang. Oke?" Bujuk Riza.
Gue gak perlu mikir siapa yang bayar. Free, entah kata siapa.
“Kepala gue pusing.” Kata gue.
“Yaudah, ayo pulang. Gue anter.” Itu suara cewek.
Gue masuk mobil yang warnanya putih. Gue menyebutkan alamat yang membuat supir dadakan gue itu kaget karena gue tinggal di apartemen. Dia makin kaget karena gue cerita tinggal bareng pacar dan diizinkan orang tua. Mulut ini gak bisa berhenti cerita. Sialan.
“Gue anter sampe mana?” Suara cewek itu.
“Sekarang jam berapa?” Gue nanya balik.
“Jam sebelas lewat.” Jawab dia.
Gue lupa tadi membalas dengan jawaban apa lagi, tapi sekarang mobil udah masuk basement. Gue kemudian turun mobil sendirian. Naik lift sendirian. Jalan di lorong juga sendirian. Gue mengetuk pintu. Rivin membuka pintu itu dengan raut muka yang gak bisa gue gambarkan lagi.
“EDA!? MABOK??!!” Itu katanya.
Dia menyebut mulut gue bau alkohol atau semacamnya. Dia juga bilang gue susah ditelepon, lalu gue merespon dengan berjalan masuk kamar dan melempar handphone ke kasur. Entah gue ngomong apa lagi waktu itu.
Badan gue rasanya makin panas. Ngeliat Rivin marah-marah itu jadi malah terasa makin seksi. Gue melumat bibirnya supaya suaranya bisa bergemuruh sambil tertahan. Gue menggerayangi badannya sambil menahan laju tangannya yang meronta binal. Lalu, kami bermain cinta sampai gue gue lupa tadi Rivin marah karena apa.
BERSAMBUNG