Episode 26
Perpisahan
POV Eda
15 Agustus 2017. Gue jejingkrakan, seneng banget karena bulan depan bisa mulai bekerja di perusahaan obat itu. Nanti, gue akan berlomba-lomba dengan belasan orang lainnya dalam akselerasi karir. Artinya, setahun ke depan gue harus belajar lagi mati-matian soal obat-obatan, fisiologi manusia, dan patologi-patologinya. Artinya, gue juga harus sering pulang tengah malam.
Bodo amat sama pulang malam. Presiden aja jarang pulang ke rumah kalo gak penting-penting amat.
Gue butuh motor. Itu yang terlintas di benak gue pertama kali ketika menerima pengumuman ini. Bokap sudah dikabari dan setuju beli motor ketimbang beli mobil baru. Katanya, kalo gue sukses di akselarasi karir ini, gue dipersilahkan beli mobil pake uang sendiri.
Gue menelepon Rivin.
“Kamu di mana? Aku ada kabar gembira nih.” Gue antusias.
“Jalan pulang.” Jawabnya singkat.
“Hati-hati sayang.”
Ada jeda sebentar.
“I love you.” Gue berbisik di telepon.
“Bye.” Jawabnya.
Telepon dimatikan.
What the fuck! Gila apa, gue lagi ada kabar gembira begini malah dicuekin. Dia gak tau ya namanya mood swing. Gue mendadak mengalami itu sekarang, dari yang tadinya bahagia jejingkrakan karena dapet pekerjaan, gembira, dan riang, sekarang rasanya jadi mau banting handphone.
Rivin mulai berkelakuan aneh begini semenjak gue pulang setengah mabuk itu. Gue meyakinkan diri waktu itu cuma setengah mabuk karena gue masih ingat sedikit-sedikit kejadiannya. Gue tau Rivin malam itu meronta dan menangis. Bukan tipikal menangis rindu atau bahagia, tapi menangis karena tersakiti.
Oleh karena itu, gue langsung minta maaf tulus, setulus-tulusnya, waktu bangun pagi. Rivin gak membalas. Dia hanya diam dengan matanya yang sayu, dia beranjak mandi, dia berdandan seperlunya, lalu dia berangkat kerja dan hanya mengucapkan pamit sebagai formalitas. Gak ada cium di tangan, di pipi, apalagi di bibir kaya kemarin-kemarin. Itu berlangsung sampai sekarang. Masih untung dia gak sampai memilih minggat dari sini. Tapi ya dampaknya seperti tanpa ada ujung.
Ada pesan masuk dari Samuel.
Samuel: Ada pengumuman. Keterima?
Gue diam sebentar, memikirkan apakah gue harus membalas pesan dari dia yang bertubi-tubi sejak sebulan lalu atau nggak. Gara-gara Samuel lah gue perang dingin sama Rivin. Andai dia lebih bijak mengizinkan gue pulang pasti gak begini. Andai gue lebih tegas pasti gak begini.
Gue: Iya.
Jari gue malah membalas positif pesan dari Samuel. Sialan.
Samuel: Good news. Gue juga, we have to celebrate it
Samuel sialan. Perayaan versi dia pasti berbeda makna dengan perayaan versi gue. Perayaan versi gue adalah mabok softdrink sama martabak bareng temen-temen, maen PES, nonton bola, ngomongin spesies laba-laba terbaru, lalu nginep sampai weekend berakhir di apartemen gue atau rumahnya Hari.
Perayaan versi Samuel itu masak-masak, maen game yang membuat seisi ruamh sampai bergetar karena berisik, lalu ketiduran. Sampai sini versinya Samuel masih baik-baik aja, gak ada yang salah. Setelah itu barulah salah, ketika malam semakin larut. Samuel dan kawan-kawannya akan berbondong-bondong ke club, lalu mabok dan menari diiringi musik yang bikin detak jantung serasa jadi bass drum.
Gue: Nggak deh, udah cukup masalah yang gue dapet. Gue jadi anak rumahan aja
Itu pesan balasan gue. Lalu, gak ada lagi balasan-balasan lainnya setelah Samuel mencoba membujuk. Upayanya dengan alasan imbal balik sudah gak mempan, karena udah impas setelah gue mabok malam itu.
Samuel: Cewek lu nanyain mulu tuh
Gak gue balas juga kalimat barusan dari Samuel itu. Buat apa lagi nawarin cewek segala. Samuel udah tau gue punya calon istri.
Gue mengabaikan pesan-pesan Samuel. Lalu, gue mencari kontak grup main gue yang isinya Cuma kami berempat. Gue, Hari, Dani, dan Jamet. Gue mengirim pesan kalau gue sedang ada kabar gembira, lalu mengajak mereka untuk makan-makan di apartemen ini.
Balasan dari mereka gak cepat dan gak sesuai harapan gue. Gue paham kalau Hari dan Dani telah menjadi agen rahasia, tapi cukup membuat kecewa karena harus menomorsekiankan teman mainnya juga. Begitu juga Jamet, yang meski lagi ada di Depok lebih dari satu bulan, dia sibuk sama usaha lelenya.
“Oh, God, gue sendirian banget?” Gumam gue.
Gue menggeletakkan diri di kasur, lalu memilih permainan-permainan apa aja yang ada di handphone yang bisa membuang-buang waktu gue sampai Rivin pulang.
Setengah jam kemudian, Rivin pun datang. Dia masuk terburu-buru ke kamar, gak menyapa gue, lalu sibuk membuka-buka lemari. Rivin gak sama sekali menyahut ketika gue memanggil dia. Terpaksa, gue sampai harus menepuk pundaknya untuk mendapat perhatian.
“Kamu kenapa sih?” Tanya gue.
“Gak usah pegang-pegang!” Matanya melotot.
“Ya, ada apa dulu. Masa tiba-tiba marah begini.”
Gue bingung sendiri deh.
“Tanya aja sama selingkuhan kamu di depan itu.” Ketus Rivin.
“Selingkuhan?”
Gue malah jadi kaget. Ada hal apa dengan selingkuhan fiktif ini. Untuk jawaban itu, gue pun beranjak ke depan pintu, sementara Rivin mulai mengepak baju-bajunya ke dalam koper besar. Ya ampun, ini bencana. Kiamat kecil.
“Alis???” Darah gue berdersir.
Gue kaget, tapi terpaksa dengan cara berbisik. Gue berbisik karena masih bisa mikir. Kalo gue teriak nama Alis kenceng-kenceng, Rivin bakal tau kalo gue kenal Alis dan itu semakin menegaskan kalo gue selingkuh sama Alis.
“Tau dari mana gue tinggal di sini?” Gue masih berbisik.
“Gue yang nganter waktu elu mabok kali.”
“TAPI NGAPAIN KE SINI???”
Gue menengok ke dalam, mengecek udah sejauh apa Rivin menyelesaikan susunan baju-bajunya. Gue harus secepatnya mencegah Rivin minggat dari sini. Gue juga harus secepatnya mengusir Alis jauh-jauh dari sini. Multitasking.
“Lu pergi dari sini sekarang!” Bentak gue ke Alis.
Gue beranjak ke Rivin, menahan laju tangannya yang masih mengumpulkan pakaian ke dalam kopernya. Gue berusaha keras memeluk dia seerat mungkin meski balasannya adalah dorongan-dorongan agar gue menjauh.
Rivin menyuruh gue untuk melepaskan pelukan yang katanya menjijikan. Tubuh gue menjijikan. Apa lagi katanya?
“Lepas. Jijik...!” Rivin mendorong-dorong.
“Gak mau.” Balas gue.
Di luar dugaan, gue kalah kuat. Ternyata kekuatan perempuan yang marah itu bisa gak terduga kaya Dwayne Johnson.
“Ini badan udah nidurin berapa cewek!?” Tunjuk Rivin ke dada gue.
“Maksudnya gimana?”
“Dasar penjahat kelamin.. Mau enaknya doang...”
Demi Tuhan, Rivin beneran tau mood swing kan. Tadinya gue mau mempertahankan dia lho. Tapi, gara-gara dia mencaci dengan telak, gue jadi lebih memilih mempertahankan harga diri gue. Gue gak pernah sekali pun meniduri perempuan lain lagi sejak bersama dia, dan dia harusnya tau itu. Dan memang itulah kenyataannya.
“Aku gak ngapa-ngapain selain sama kamu!” Kata gue.
“Bohong!”
“Bohong apa!?” Gue bentak balik.
“Selingkuhan kamu itu...” Rivin mulai menangis.
Ujian macam apa lagi ini. Cerita apa aja si Alis kampret itu ke Rivin sampe punya pikiran aneh-aneh begini.
“JAWAB...!” Rivin dan tangisnya.
“Kamu kenapa jadi mikir aneh begini sih.” Gue bingung.
“Berarti bener kamu udah apa-apa.” Kata Rivin.
Oke, kesabaran gue mulai habis menghadapi wanita yang prasangka begini. Ini udah beberapa kali dia prasangka sejak kami tinggal berdua. Gue menoleransi semuanya karena gue sayang Rivin. Tapi, semuanya semakin menjadi-jadi sejak gue pulang mabok malam itu. Inilah puncak kemarahan gue.
“Ada juga kamu yang apa-apa ya sama Putra.” Kata gue.
“...” Rivin diam.
“Udah untung aku masih mau sama kamu!”
Oke, pembalasan gue kayanya berlebihan. Lebih baik gue stop.
Sayangnya, omongan yang udah lepas dari mulut pasti gak bisa ditarik kembali. Ini hukum yang berlaku juga buat tindakan gue tadi. Akibatnya, Rivin menyelesaikan rangkaian lipatan bajunya yang masih berantakan. Dia menutup koper dengan isi yang masih seadanya, lalu pergi dari kamar.
Gue pergi mengejar Rivin, dan entah atas alasan apa, Alis masih bersandar di dinding di depan kamar gue. Gila.
Bodo amat sama Alis. Lebih penting gue mengejar Rivin yang menjadi jauh beberapa langkah di depan. Tapi, di depan lift inilah perkara yang lebih besar terjadi. Rivin mengancam gue gak boleh satu lift sama dia, atau dia teriak sekencang-kencangnya sampai kehebohan terjadi.
Gue dengan tololnya mengalah untuk menunggu lift berikutnya. Ini keputusan fatal, karena Rivin langsung pergi dengan taksi yang mangkal di depan apartemen. Begitulah kata satpam yang mengatakan kronologi kejadian dua menit lalu kepada gue. Gue gak punya kendaraan, gak punya uang lebih, dan gak ada yang bisa dijadikan alat untuk mengejar Rivin.
Kecuali kalo tadi Alis datang ke sini bawa mobilnya.
Kebetulan, Alis baru keluar dari lift.
“Alis, lu harus bantuin gue ngejar calon istri gue.” Gue panik.
“Gimana?” Alis mengerutkan alisnya.
“Ya elu harus tanggung jawab!” Bentak gue.
Alis gila! Dia santai banget, sementara gue setengah mati cari akal buat mencegah Rivin pergi. Inilah gue, duduk di bangku depan sebelah kirinya Alis untuk mencoba mengejar taksi yang entah udah sejauh apa di depan kami.
Tapi, yang terjadi terjadilah. Tiga jam dan satu kali isi bensin kemudian, gue terpaksa kembali ke apartemen karena taksi Rivin gak ketemu. Di kosannya pun gak ada. Selain itu, duit gue makin tiris karena harus beliin bensin mobil boros keparat ini.
“Ikut gue!” Gue menarik Alis.
Gue memaki diri gue sendiri dalam hati karena harus menarik Alis naik ke kamar untuk meminta penjelasan. Penjelasan kenapa Rivin sampai berpikir aneh-aneh dan melakukan prasangka. Alis sungguh-sungguh harus memperbaiki keadaan karena kelakukannya.
---
POV Anwar
“Telat lagi tuh anak.” Gue memaki.
Ini udah sering terjadi sama Erna. Telat latihan, bahkan pernah menghilang seminggu dan melewatkan acara manggung yang harusnya berpersonel lengkap. Akibatnya, selain gak dapat honor, dia gak kebagian terkenal karena ada produser label yang menonton kami waktu itu.
“Sabar sayang.” Begitu kata Tika.
“Iya, tapi ini udah berlebihan.” Balas gue.
Terdengarlah suara deru motor yang familiar. Erna datang. Kemudian, dia bergabung dengan kami di depan studio. Dia minum sebentar dan menghela nafas.
“Oke, udah kumpul kan?” Gue malas basa-basi.
“Sorry telat.” Erna membuat gestur dengan telapak tangannya.
“Gak boleh begini lagi.” Kata gue.
Gue mengumumkan hal penting buat keberlangsungan Bryophyte. Belum ada yang tau kabar ini selain gue sendiri, karena gue lah yang selalu menjadi narahubung band ini dengan orang luar. Bahkan Tika sekali pun belum tau.
Gue mulai menyampaikan bahwa Bryophyte punya harapan berkembang dengan label kenalan bokap. Kami akhirnya bisa menghasilkan uang dengan hobi kami ini. Meski begitu, kami tetap harus membuat satu atau dua lagu yang digemari anak muda zaman sekarang. Ini pun masih bisa kami akali agar gak mainstream murahan.
“Kok gue gak tau ya?” Ledek Tika.
“Ya kan surprise.” Tanggap gue.
“Gue gak setuju sih.” Balas Tika.
“Gue juga.” Jennifer menambahkan.
Tika menegaskan bahwa band ini dibuat atas dasar dakwah tentang konservasi. Bryophyte bukan jalurnya band-band teater atau audisi. Bukan juga band yang dibentuk karena dasar butuh uang. Bryophyte dibentuk karena kami berempat sayang sama lingkungan.
“Ya tapi kan...” Gue memotong.
“Tapi gimana? Kamu lagi ada masalah ya?” Tanya Tika
“Kita perlu penghasilan tetap.” Jawab gue.
Oke, gue makin kedengeran skeptis dengan idealisme Bryophyte yang udah disepakati ini.
“Maka itu kita kan sambil kerja yang lain juga, Anwar. Gue masih nyambi ngajar les piano, Tika tuh ngajar private anak SMA, Erna juga kerja. Cuma elu yang gak kerja.” Jennifer buka suara.
Sebenarnya, memang itu alasannya. Gue belum punya penghasilan yang mumpuni. Bokap dan nyokap meski kelihatannya cuek, ternyata bisa marah juga begitu tau gue belum dapat penghasilan yang layak setelah setengah tahun lulus kuliah. Bokap secara tersirat mengultimatum gue untuk meneruskan Bryophyte ini ke jalur bisnis, atau bubar sekalian daripada buang-buang waktu.
Gue ceritakanlah beban gue itu kepada mereka.
“Aduh, Anwar. Kenapa baru cerita sih.” Tika memberi raut prihatin.
“Oke, kita cari jalan keluarnya ya.” Sambut Jennifer.
Gue mengangguk sambil dielus-elus sama Tika. Pacar yang baik.
“Kalo kita terima tawaran label itu gimana?” Tanya Erna.
“Kita latihan makin rutin, ada tur, ada banyak jadwal, banyak lalala lilili gitu deh.” Jawab gue.
“Rutin?” Erna menggumam.
Erna tampak berpikir panjang. Di sini lah masalah lainnya. Erna udah bekerja yang entah di mana itu, yang bikin dia selalu sibuk tanpa kenal jam. Dia juga masih harus bergiliran menjaga bapaknya yang gak bangun-bangun di rumah sakit selama lebih dari sebulan. Latihan makin rutin pasti bikin Erna sering telat atau malah gak dateng.
“Keberatan ya?” tanya gue ke Erna.
Erna mengangguk.
“Eh, tapi kalo emang Bryophyte butuh berkembang, it’s okey. Gue mundur gapapa. Label nanti pasti nyari drummer baru kan.” Usul Erna ekstrim.
“NGGAK! NGGAK BOLEH!” Tika menolak mentah-mentah.
“Iya, Bryophyte itu kita bereempat. Bukan orang lain.” Sambung Jennifer.
Ternyata mencari solusi yang ada hubungannya sama profesi itu berat. Lebih berat ketimbang permasalahan yang ada di kepanitiaan mahasiswa dulu. Waktu masih mahasiswa, solusi bisa muncul gitu aja meski kiri-kanan banyak nyinyir. Uang bisa ngalir dari sponsor atau d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) kalau acara kita bagus dan punya nilai penting. Kalo ada masalah sama anggota, bisa selesai dengan kekeluargaan dan bisa dibantu kinerjanya sama temen sendiri.
Dulu serba ada solusi. Sekarang semua serba sendiri, apalagi dalam langkah awal begini menuju prospek yang masih gelap kaya gimana.
“Kita patungan, bikin ini jadi indie. How?” Usul Tika.
“Bisa juga sih.” Sahut gue pelan.
“Latihan emang harus rutin, tapi gak mengikat kaya label. Kalo ada problem juga kan lebih santai.” Lanjut Tika.
“Ntar gue bicarain sama bokap soal strategi promosinya deh biar gencar.” Sambung gue lagi.
Dasar gue lemah.
Ide ini sebenernya masih cenderung sama jika semisal kami yang berlabel. Kami malah harus rekaman sendiri dan promosi juga sendiri. Bahkan, perlu mixer sendiri. Kami akan tetap harus melakukan tur yang malah lebih berat karena mengatur sendiri jadwal-jadwalnya. Tapi inilah kami, berdiri atas dasar kekeluargaan dan akan terus begitu.
“Yakin gapapa, War?” Erna tampak ragu.
“Santai aja, soal bokap bisa dibicarain lah.” Jawab gue.
“Kalo ada apa-apa bilang aja, gue gak enak nih.” Balas Erna lagi.
Sebenarnya memang ada apa-apa. Kami butuh modal yang gak kecil untuk berkembang. Butuh uang untuk mengembangkan studio di rumah gue. Butuh uang untuk bikin rekaman sendiri. Butuh uang untuk promosi juga. Memangnya uang kami bisa sampai nominal berapa sih kalo digabung. Gue juga masih punya malu untuk minta-minta tambahan terus ke bokap.
“Tuh kan dari muka lu nunjukin ada apa-apa.” Respon Erna.
Skakmat.
“Ya, masih kepikiran sih.” Gue menjawab ragu.
“Serius, gue gak ikutan Bryophyte lagi gapapa. Kan bukan berarti kita putus pertemanan.”
Jennifer dan Tika makin keras mencoba menahan Erna untuk gak keluar dari band ini. Tapi Erna juga dengan kerasnya mendorong kami untuk maju tanpa dia. Erna selalu dalam keseriusannya dalam bicara dan kuat dengan keputusannya. Tika dan Jennifer pasti akan kalah debat.
Erna tiba-tiba mendapat telepon yang katanya dari kantor. Dia dengan buru-buru membereskan barang bawaannya yang dimasukkan dalam tas ransel ukuran 40 liter. Dia meninggalkan debat di tengah jalan. Kemudian, dia minta maaf kepada kami karena ada panggilan pekerjaan mendadak.
Gila ya, kerja apa sampe jam 10 malem begini gak istirahat. Sepintas gue malah mikirin penghasilan yang dihasilkan Erna. Apapun pekerjaannya, pasti uangnya sebanding dan nominalnya besar banget. Dia beruntung bisa dapet pekerjaan di sana. Gak kaya gue.
"Anwar! Cegah dong, jangan ngelamun aja." Jennifer membentak.
Erna buru-buru pergi dengan motornya. Dia masih mencoba ditahan-tahan oleh Tika dan Jennifer sampai parkiran, bersikeras supaya gak ada yang keluar dari Bryophyte. Sementara gue tetap terduduk lunglai di depan tivi yang menyala tanpa ditonton.
Erna pergi. Tika dan Jennifer kembali ke ruangan.
“We loss Erna.” Tika mengangkat kedua tangannya.
“I know.” Jawab gue.
“Bukan salah kamu.” Tika mengusap pundak gue.
Jennifer berjalan mondar mandir di depan gue. Dia gelisah, tapi terganggu rambut pajangnya yang sering berantakan setiap membalikkan badan. Kegelisahannya semakin menegaskan kalau lepasnya Erna adalah mutlak kesalahan gue.
“Gak bener ini.” Kata Jennifer.
Tanpa aba-aba, Jennifer menyusul pergi begitu saja dengan mobilnya. Gak ada yang punya mood bagus malam ini. Apalagi gue.
BERSAMBUNG