Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 24
Pertemuan


POV Jamet

Mandi itu bikin seger badan, apalagi kalau pakai air dingin. Tiap hari aku biasa mandi air dingin di Malang dan itu sangat menyenangkan. Aku beruntung bisa merasakan air dingin sesampainya di Jakarta lagi, terima kasih kepada Jennifer dan suhu dingin dari AC di kamarnya.

Aku mengusap kepalaku, lalu turun ke badan, lalu ke penisku, lalu ke kaki. Aku masih berlama-lama di kamar mandi karena penisku dari tadi tegang gak mau turun. Wangi badan Jennifer ada di mana-mana di seantero rumah ini. Itu bikin aku canggung tapi sekaligus penasaran. Apalagi aku lupa bawa baju ganti dari dalam tas.

Sexting dengan Jennifer memang menyenangkan. Kulakukan itu dengan Jennifer karena Janiar selalu menolak ketika tanganku sudah menelusup ke dalam roknya. Padahal, aku sungguh gak mau selingkuh, namun Jennifer benar-benar liar. Tapi sexting hanyalah sexting, aku gak sanggup membayangkan selingkuh dalam keadaan sebenarnya dengan Jennifer.

“Met? Mandinya kok lama kaya cewek?” Jennifer udah memanggil.
“Apa??” Aku pura-pura gak denger.
“Nggak, gapapa.” Sahutnya.

Yasudahlah. Keluar mungkin gak apa-apa. Lewat sekelebat di depan Jennifer gak mungkin bermasalah besar.

Aku kemudian mengikat handuk dari posisi pinggang ke bawah, lalu kupakai baju kotorku supaya sopan di depan perempuan. Selanjutnya, kubuka pintu pelan-pelan sambil memegang satu kantong alat mandi. Kepalaku mulai menoleh keluar untuk melihat situasi.

Disitulah ada Jennifer, di atas kasur sambil baca buku. Celananya pendek sekali. Bajunya longgar sekali. Aku melihatnya, dan dia melihatku.

“Kenapa, Met?” Tanya Jennifer.
“E-eh, kirain gak ada orang.” Gue kagok.
“Tuh bajunya gue taro di pinggir kasur.” Tunjuknya ke pinggir kasur.
“Oh iya, makasih.”

Gue masuk lagi ke kamar mandi. Apa itu maksudnya Jennifer bilang baju gue udah siap di kasur? Apakah dia membuka-buka tas gue? Apakah dia beli baju buat gue?

Gue keluar kamar mandi lagi, lalu pelan-pelan berjalan di atas ubin yang dingin. Gue melihat baju yang dimaksudkan Jennifer. Di sebelah baju itu, ada celana pendek dan celana dalam juga. Semua pakaian ini gak asing buat gue. Ini mirip pakaian yang gue bawa dari Malang.

“Kok kaya bajuku ya?” Tanyaku.
“Emang baju lu. Gue ambil tadi dari tas.” Jawabnya sambil baca buku.
“Dih, sembarangan buka tas orang.”

Jennifer cuma mengedipkan matanya sambil melihatku sebentar. Kemudian, dia melanjutkan lagi kegiatannya membaca buku, sementara gue mengambil set pakaian itu untuk dikenakan di kamar mandi.

Aku berjalan pelan-pelan ke kamar mandi. Kugantungkan sekantong alat mandi dan pakaian ganti di gantungan dinding. Kemudian, kudorong pintu agar menutup. Tapi yang terjadi adalah kemunculan sebelah tangan yang menahan laju pintu. Itu tangan Jennifer dengan membawa kepercayaan dirinya untuk ikut masuk ke kamar mandi.

Jennifer menutup pintu kamar sampai rapat. Kemudian, dia mendorongku hingga terpojok ke dinding dekat bak mandi. Dia putar keran yang ada di sisi kiri lenganku. Mengalirlah air dingin mengguyur kami berdua. Handukku langsung basah seperti bajunya Jennifer.

“Aku udah nunggu-nunggu momen ini tau gak.” Katanya.
“Aku?”

Aku bertanya kenapa dia menggunakan kata subjek ‘aku’, bukannya ‘gue’ seperti biasanya. Tapi, dia gak menjawab, melainkan pelan-pelan memajukan kepalanya hingga dekat sekali dengan hidungku. Wangi tubuhnya bercampur aroma sabunku di kamar mandi ini hingga membuatku hilang akal sehat.

“Kamu tuh ya, udah ngeliat yang enak-enak tapi tetep gak peka.” Katanya.
“...”
“Di bawah sini ngaceng dari tadi kan.” Jennifer meremas batang penisku tiba-tiba.
“Uhhh.” Gue refleks mendesah.

Handukku dikibaskannya sampai jatuh di lantai yang sudah basah. Dia melumat bibirku ganas sekali. Ini ciumanku dengan Jennifer yang kedua, setelah apa yang dia lakukan di stasiun waktu itu.

Kalau aja gak teringat Janiar, aku udah mengikuti maunya Jennifer. Oleh karena itu aku masih setengah menolak. Aku mencoba mendorong kepalanya menjauh. Aku juga mencoba menghentikan tangannya yang mulai mengocok penisku.

“Jen, kita gak boleh...” Kataku.
“Apanya, Met?”
“Begini...” Kataku lagi.

Harusnya ada penghargaan buat cowok yang kuat menahan nafsunya begitu perempuan, apalagi ketika perempuan itu udah bermain-main di batang penisnya si cowok.

Ini benar-benar nikmat sekali. Aku gak mau berhenti, tapi aku punya moral yang mengharuskan kegiatan ini berhenti. Lain halnya dengan Jennifer. Seluruh keinginannya sudah ada di depan matanya sendiri. Entah aku, atau penisku, itulah yang dia mau. Maka dari itu dia pasti enggan melepas kesempatan seperti ini.

“Jen..” Gue meronta.

Ini pelecehan kepada laki-laki.

“Kamu udah liat badanku. Sekarang aku mau lihat kamu.” Kata Jennifer dengan meyakinkan.

Kenekadan Jennifer ini benar-benar berlandaskan sexting kemarin-kemarin. Dasar gue sial. Harusnya gak gue ladeni ini Jennifer meski penasaran. Gue kira semua ini karena kami sama-sama butuh, tanpa ada paksaan, dan gak ada yang menyesal satu sama lain. Tapi nyatanya dia sudah mulai mengancam macam-macam. Gue terjebak cewek gila ini.

“Jen... kamu mau apa?” Tanyaku sambil menahan horny.
“Aku mau kamu.” Dia tegas.
“Maksudnya?”

Jennifer menatapku dengan seribu makna. Bibirnya tersungging seperti punya rencana jahat. Benarlah, dia berlutut di depanku, lalu memasukkan penisku dalam-dalam ke mulutnya, dan kami tetap berada di bawah guyuran shower. Oh sial banget ini enaknya.

“Jenn... aghhh...” Gue udah gak kuat.
“Mmmhh..” Jennifer melihat gue.

Kenapa Jennifer bisa jadi seksi begini. Aku menyerah.

Aku mengelus pipinya dan mulai mendesah. Aku memberi sinyal kepada Jennifer bahwa aku setuju untuk meneruskan permainan gila ini. Persetan dengan Janiar yang ada di Malang sana. Cukup satu kali ini aja, karena nafsuku udah menang.

Jennifer kembali berdiri untuk menciumku. Kami melepas seluruh penutup tubuh yang masih melekat basah. Kemudian kami melakukan ciuman yang lebih gila dari tadi. Aku memutar badan untuk memojokkannya. Kepalaku naik lebih tinggi darinya agar bisa kuberikan lidah dan liurku.

Tangan Jennifer makin memelukku erat. Kedua tangannya bergantian menyapu belakang kepala hingga punggungku dengan lembut. Badanku merapat dengan badannya, sampai-sampai penisku terjepit antara perutku dan perutnya.

“Kita pindah.” Ajaknya.

Keran shower dimatikan. Kami berdua mengeringkan tubuh dengan handuk milik Jennifer. Lalu kami berdua berjalan menuju tempat tidur sambil saling merangkul. Kenikmatan dan rasa penasaran ini harus tuntas sekali ini aja.

Saat kami bercumbu dan berguling, Jennifer bertanya apakah momen di stasiun di Malang itu ciuman pertamaku atau bukan. Aku menggeleng. Aku menjawab bahwa ciuman pertamaku adalah dengan Janiar beberapa tahun lalu, ketika aku pertama kali berpacaran dengannya. Kemudian, aku dan Janiar berakhir putus karena jarak yang jauh sampai menembus tiga provinsi.

Aku kembali berpacaran dengan Janiar menjelang kelulusan tahun lalu. Waktu itu, aku sempat disuruh pulang oleh ibuku karena ada insiden kafe yang meledak. Saat itulah aku dan Janiar membicarakan masa depan dan bisnis lele.

Aku tak sempat memerhatikan Jennifer saat aku bercerita tadi. Rupanya dia menunjukkan mimik muka yang sayu. Aku tau, ini adalah ekspresi cemburu kebanyakan wanita. Jennifer cemburu ketika aku menceritakan tentang Janiar.

“Aku mau kamu ikut aku selama ada di Jakarta. Titik.” Jennifer berkata tegas.
“O-oke..”

Jennifer kembali melumat bibirku lebih ganas daripada tadi. Dia juga memainkan penisku naik turun sampai rasanya seperti melayang. Jennifer mengecupku di sekujur muka, lalu turun ke dada, lalu ke penisku lagi agar bisa dikulumnya dalam-dalam.

Jennifer gak berlama-lama juga dengan mulutnya. Suatu ketika dia mencoba naik ke atas selangkanganku. Aku yang kepalang tanggung dengan rasa nikmat ini ikut memegang tonggak penisku sendiri agar terarah dengan benar. Diturunkanlah pinggul Jennifer pelan-pelan. Kemudian, rasa basah dan sempit merambat dari ujung hingga pangkal penisku.

“Ahhh... enak.. banget...” Desahku.
“Kalo ini, pertama bukan?” Jennifer bergoyang memutar.
“Ini pertama.. sshh...”

Jennifer banyak sekali bergerak hingga aku gak mampu mengimbanginya. Payudaranya yang gak terlalu besar itu menggantung dan bergoyang-goyang. Kupegang sebentar payudara Jennifer itu sampai penisku mulai berkedut-kedut.

“Kalo mau keluar bilang ya, kita gak pake kondom.” Jennifer memperingatkan.
“Aduhh.. ini mau keluar.” Kataku.
“Eh, tahan, bentar lagi.”

Aku berusaha menahan rasa di ujung penis ini setengah mati, tapi Jennifer dengan beringasnya bergerak makin cepat. Licin, sempit, dan enak. Cuma ketiga rasa itulah yang bisa aku rasakan sekarang. Percuma juga rasanya aku menahan diri karena sekujur tubuh ini makin merinding dibuat oleh Jennifer.

“Jeeen... nggak tahan....” Kata-kataku tertahan.

Tepat saat rasaku di ujung tanduk, Jennifer bangkit dari posisi enaknya. Saat itu jugalah spermaku muncrat ke atas, lalu jatuh lagi membasahi perutku sendiri. Gak sampai di situ, Jennifer justru mengulum penisku lagi meski sudah tercampur antara spermaku dan lendirnya.

“Dasar perawan.” Lirik Jennifer padaku.

---

POV Hari

Gue sedang bersama-sama Erwan. Kami berdua berada di belakang kerumunan pasukan dan tahanan atas alasan keamanan kami berdua. Seluruh pasukan sekarang sedang menunggu pintu gerbang untuk dibuka dari dalam. Di sisi lain, Julia ada jauh di depan sana untuk memimpin pasukan berjalan atau menahan serangan dadakan jika sewaktu-waktu gerbang dibuka.

Gue gak menyangka kemenangan pasukan pemberontak bisa selesai hari ini. Apa yang dilakukan Dani, Erna, Laras, Pur, Alex, dan Anders di dalam sana sangatlah hebat dan diluar dugaan. Rencana awalnya adalah hanya untuk meretas sistem baju zirah dan keamanan pasukan istana. Tapi yang terjadi kini adalah kami sudah bisa menguasai satu kota sepenuhnya.

“Kapan kita bisa masuk?” Erwan bergurau sendiri.
“Sabar.” Kata gue singkat.

Kerumunan orang lain di sekitar kami juga tak kalah penasarannya. Mereka gak sabar untuk bisa memasuki Kota Kraun sebagai simbol kemenangan dan peperangan telah usai. Usaha mereka dan kematian rekan-rekan yang lain menjadi gak sia-sia karena kebenaran telah ditunjukkan sebagaimana mestinya.

Pelan-pelan terdengar bunyi deru mesin. Gerbang besar terbuka sedikit demi sedikit. Gak ada serangan dadakan dari dalam kota. Oleh karena itu, pasukan berbondong-bondong mulai berjalan ke depan atas komando Julia. Teriakan-teriakan gembira membahana sepanjang jalan. Banyak yang hiperbolik bahwa sang tangan kanan Raja Frey telah kembali dari kematian. Itulah julukan Julia sekarang.

“Gede ya gedung-gedungnya.” Kata Erwan.
“Jangan lupa, ramah lingkungan juga.” Sahut gue.
“Iya betul.”

Julia dan beberapa pengawal yang ditugasinya langsung berjalan menuju istana, sedangkan pasukan yang lainnya dipersilahkan beristirahat sesuka hati. Kami berdua terpaksa tertinggal beberapa menit atas info tersebut sehingga butuh tumpangan angkutan umum yang bisa melayang itu untuk menyusul ke istana.

Sekitar 10 menitan waktu bumi kemudian, kami sampai di depan istana. Dani langsung menyambut gue dengan pelukannya yang kencang dan bahagia. Dia melompat-lompat. Gue gak sanggup mengimbangi hebohnya Dani karena kaki ini masih pincang.

“Banyak hal gila waktu kita masuk ke sini tadi malam.” Dani mulai cerita.
“Ceritanya di dalam aja sih.” Potong Pur.

Di salah satu ruang besar di istana, kami duduk kembali dalam meja berbentuk lingkaran. Duduklah kami dia antara orang-orang penting, atau seenggaknya dianggap penting dalam rapat darurat kali ini. Ada muka-muka baru selain Alex dan Anders yang juga ikut dalam perkumpulan.

Cerita mulai bergulir dari Rosi. Katanya, malam itu setelah mereka menyusup ke dalam kota lewat saluran air yang kering, mereka masuk ke pemukiman pinggir kota yang kumuh. Mereka berbelok ke sana ke mari untuk menghindari CCTV. Lalu, tiba-tiba mereka disergap oleh orang-orang kumuh bersenjata.

“Itulah mereka.” Tunjuk Pur ke orang-orang baru ini.

Orang-orang baru itu menunduk untuk memberi salam.

Rosi melanjutkan ceritanya. Mereka mengira pasukan penyusup alias tim kami ini adalah orang-orang istana karena menggunakan seluruh baju zirah. Mereka ditahan dan baju zirah robotnya berusaha dilucuti. Tapi begitu Rosi menunjukkan wajahnya, tiba-tiba orang-orang ini menunduk patuh.

Mereka menjelaskan dengan tunduk bahwa mereka merupakan gerilyawan yang gak ikut pergi dari kota saat terjadi konflik. Jumlah mereka sedikit, namun tersebar di berbagai sudut kota. Mereka masih mau patuh karena Rosi adalah orang dalam istana, serta memiliki idealisme yang sama terhadap Raja Frey. Sayangnya, pasukan kumuh ini berada di posisi yang kurang kuat untuk melakukan kudeta.

“Dari situlah kita dapat banyak bantuan orang.” Pur memotong.
“Sst, berisik!” Laras memotong juga.

Rosi melanjutkan ceritanya. Penyusupan diam-diam pagi buta itu menjadi lebih mudah karena mereka bisa saling berkomunikasi antar orang-orang di sudut kota. Tugas Erna dan Dani lebih fokus untuk meretas bangunan pemancar dan ruang kendali, sedangkan keamanan menjadi tugas selain mereka berdua.

Kondisi sempat memanas saat pasukan istana mulai bergerak atas pantauan CCTV. Tapi, Pur berhasil menang melawan panglima perangnya Ratu Helga dalam posisi satu lawan satu di ruangan kecil. Saat itu pulalah dideklarasikan bahwa pasukan istana kalah telak. Selebihnya, cerita berjalan seperti apa yang dikatakan Dani dalam pesan videonya kepada gue.

“Hebat kan gue. Jangan ngeremehin benang makanya.” Pur menyombongkan diri.
“Saya mengucapkan terima kasih banyak." Julia merendah
"No problem." Balas Pur.
"Saya ingin tau tentang rakyat sipil, gimana nasibnya?” Tanya balik Julia.

Rosi si adik kembar langsung menjawab hal tersebut. Kata Rosi, rakyat sipil malam tadi dalam kondisi aman atas koordinasi dan keamanan yang dilakukan gerilyawan.

Rakyat juga akhirnya balik menentang ratu ketika surat kuasa raja Frey diumumkan di sudut-sudut kota melalui layar besar. Ada dasar hukum yang kuat atas surat kuasa tersebut sehingga Ratu Helga berada di bawah ancaman hukuman pengadilan Asgard dan beberapa dunia yang lain.

Setelah ini mulailah dibahas tentang pengambilalihan kekuasaan, di mana semua orang langsung setuju bahwa penanggung jawab kerajaan sementara dibebankan kepada Julia. Pencarian Raja Frey dilakukan secepatnya setelah pengadilan Ratu Helga dan orang-orangnya selesai dilakukan di Asgard. Selain itu, jadwal kepulangan kami juga dibahas sebentar karena udah bukan masalah besar.

“Kita jadi pulang.” Bisik Dani.
“Iya.” Jawab gue.
“Besok langsung pulang.” Bisik Dani lagi.
“Terserah jagoannya aja.”

Kemenangan yang tak terduga ini bisa terjadi hanya dalam waktu semalam, oleh orang-orang yang gak terduga juga. Suatu keajaiban telah terjadi di dunia yang tak kalah ajaib. Dunia Vanaheim namanya. Semoga suatu hari nanti gue bisa kembali ke sini dalam kondisi yang lebih baik.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Episode 25
Pulang


POV Hari

Sinar mentari pagi menembus kamar super luas ini, tersaring korden putih yang membuatnya menjadi remang-remang. Dari celah korden itu, sinar kekuningan yang murni membentuk garis melintang melewati mata gue.

Siapa yang menyangka gue bisa kembali ke istana dalam posisi sebagai tamu, mengingat pertama kali itu kami menginap di kurungan bawah tanah. Dua hari ini semuanya berbeda. Gak ada lagi Ratu Helga, gak ada lagi zirah robot. Semuanya mengalami transisi yang sangat singkat setelah masa akuisisi kerajaan.

“Hari! Bangun Bangun!”

Dani di luar sana sudah menggedor pintu.

“Masuk. Pintu gak dikunci.” Gue menjawab.

Cepat setelah pertemuan meja bundar kemarin itu, dokumen-dokumen kerja milik Raja Frey dibuka dan ditindaklanjuti. Salah satunya adalah kunci sakti pembuka teknologi canggih sekelas Asgard. Di suatu ruangan tersembunyi itulah segala macam teknologi yang jauh melampaui bumi tersimpan, gak tersentuh Ratu Helga.

Julia dan Rosi sangat bersyukur siapa pun yang sadar atas kehilangan sang Raja Frey sudah mempersiapkan segalanya sejak awal. Bayangkan jika Ratu Helga memakai teknologi itu, Julia bisa sekejap kalah dan mati di hari pertama pemberontakannya. Atau, Dani gak akan bisa meretas sistem zirah robot mereka yang kemarin masih menggunakan bahasa komputer bumi dalam angka 1 dan 0. Gak ada juga gerilyawan yang bisa bertahan di dalam kota.

“Mandi gila! Jadi mau pulang gak?” Dani masuk ke kamar.
“Emang lu udah mandi?” Tanya gue.
“Udah lah.”

Gue bangkit dan berjalan sambil masih sedikit terpincang, mengambil pakaian ganti yang disediakan Dani entah dari mana.

Usai bermandi pagi yang biasa aja, kami berkumpul lagi di menja bundar untuk sarapan. Ada Erna, Erwan, Pur, Laras, Rosi, dan Julia ikut bergabung di sini. Semua udah rapi dengan standar pakaian masing-masing. Gue dengan kaos dan jeans, Erna mengenakan kerudung segi empat biasa, Rosi dengan pakaian ketat seksinya, dan Julia dengan sorbannya.

Gak ada daging yang gue santap karena entah dari makhluk apa itu yang disajikan di atas meja. Sayuran yang masih terlihat normal akhirnya menjadi alternatif bagi kami orang-orang dari bumi. Selanjutnya, semua orang menikmati makanannya masing-masing.

Julia selesai makan pertama kali.

“Selamat pagi semuanya, ada beberapa pengumuman pagi ini ya.” Sapa dia.
“Uhuk.” Pur keselek daging.
“Gapapa, santai sambil makan aja.” Julia sopan.

Julia lagi-lagi menyampaikan ucapan terima kasih kepada kami yang telah membantu mereka. Padahal, gue secara pribadi gak membantu apa-apa selain kena tembak. Kemudian, Julia mengucapkan juga salam perpisahan karena kami akan kembali ke bumi. Erna membalas ucapan itu secara formal layaknya jamuan pejabat. Sangat formal.

Julia juga menjelaskan hasil diskusinya dengan Rosi bahwa nanti saat ekspedisi pencarian Raja Frey, akan diselingi dengan penutupan portal-portal ilegal yang yang menghubungkan antar dunia, terlebih ke arah Midgard. Hal itu juga akan serta merta memutus portal yang ada di Monas.

Kami semua mendengarkan dan mengiyakan tanpa ada debat.

“Ada kabar lainnya dari Asgard.” Lanjut Julia.
“Soal Ratu Helga?” Tanya Laras.
“Bukan, ini soal raja kalian.”
“Raja Odin?” Pur mengonfirmasi.

Julia enggan menyebutkan detailnya, mungkin Odin atau Thor, atau juga Loki. Ciri-ciri yang disebutkan Julia gak begitu jelas karena memang hanya begitu pesan yang dia dapat dari gagak Odin.

“Ini ada pesan dari gagaknya Odin.” Julia mengangkat sebuah gulungan.
“Serius?” Tanya Laras
“Itu gagak sembarangan banget datengnya. Padahal kemaren dateng langsung ke kita.” Respon Pur.

Saat ini Asgard dalam kondisi kritis, kata Julia. Bahkan, pemindahan tahanan Ratu Helga dan koleganya sampai harus dipindahkan ke Alfheim. Sayangnya, kritis tersebut gak digambarkan jelas seperti apa. Julia secara pribadi berpendapat bahwa kabar itu disembunyikan itu untuk menjaga fokus anak-anak Loki yang bertugas di luar Asgard.

Pur dan Laras gak percaya begitu saja. Laras mengecek sendiri surat gulungan yang dipegang Julia. Dia membolak balik tulisan dan mengecek cap yang digunakan. Akhirnya, dia sendiri yang mengonfirmasi bahwa surat itu dari Odin. Surat itu kemudian dioper ke Pur untuk dicek ulang. Hasilnya sama, surat itu asli.

“Jadi kita gak boleh ke Asgard?” Tanya Laras.
“Portal ke Asgrad deket dari sini padahal.” Sambung Pur.

Julia kemudian meminta izin untuk mengetahui ada berapa einherjar bergelar anak-anak Loki yang sedang aktif. Selain itu, dia juga ingin tau apa tugas anak-anak Loki yang sedang berdinas itu. Terakhir, Julia memberi saran kepada Pur dan Laras untuk meneruskan misi mereka apapun yang terjadi.

“Anak-anak Loki gak banyak, cuma delapan.” Jawab Laras.
“Tapi kita gak boleh kontak satu sama lain.” Sambung Pur.
“Tugas kita dari awal nyari makhluk Jotun yang buron.” Sambung Laras lagi.

Julia mengangguk, lalu melihat Rosi. Julia lalu menangguk lagi untuk memberi Rosi izin berbicara. Pasti itu hal penting, tebak gue.

“Jadi semalam suntuk tadi saya sama tim lagi buka berkas-berkas panglimanya ratu Helga. Mereka ternyata pernah ketemu satu makhluk Jotun di Kota Kraun ini, beberapa bulan lalu. Pasukan zirah robot mengejar makhluk Jotun itu sampai ke Hutan Tepi Barat. Karena itu dulu daerah konflik, mereka lalu berhenti dan hanya melihat makhluk itu masuk ke portal Midgard.”

Cerita Rosi gak begitu panjang. Singkat kata, Pur dan Laras tercengang. Mereka langsung banyak bertanya kepada Rosi perihal makhluk Jotun yang dilaporkan, mulai dari ciri fisik, jenis kelamin, tinggi badan, dan perlengkapan yang dia miliki.

Rosi gak menjawab langsung, melainkan memberi setumpuk kertas terbungkus rapi dan satu benda mirip flashdisk. Dia bilang itu semua adalah berkas laporan soal makhluk Jotun. Belum semuanya dibaca Rosi, tapi dia menyempatkan bilang bahwa makhluk Jotun ini lumayan berbahaya.

“Fix kita ikut ke Midgrad.” Kata Pur.
“Harus lah. Kan lu berdua emang janji mau bantu kita.” Gue nyeletuk.
“Iya sih. Kebetulan.” Kata Pur lagi.

Sarapan akhirnya diselesaikan. Kami mulai berkemas untuk bersiap pulang. Dengan dikawal beberapa orang, kami berjalan beriringan ke luar istana.

Gak disangka sama sekali bahwa ternyata kami disambut seperti artis oleh penduduk Vanaheim. Mereka berkumpul di luar pagar istana untuk melihat adanya kami. Pelan-pelan datang juga gerombolan drone yang bentuknya seperti kamera-kamera profesional. Benda-benda itu terbang melayang dan mendekat. Bentuknya macam-macam, ada yang fungsinya merekam dan juga memotret menggunakan flash eksternal. Rasanya kami seperti menjadi Syahrini atau Agnez Mo.

Dari kami berenam yang bukan bangsa Vanir, cuma Pur yang langsung tertawa gembira sambil melambaikan tangan ke luar. Sorak sorai langsung membahana dari luar pagar menyambut tangan Pur yang terangkat itu.

“Ayo, semuanya melambai dong.” Ajak Pur.
“Harus nih?” Tanya Dani.
“Harus banget. Ini namanya politik.” Jawab Pur.

Gue, Dani, Erna, dan Erwan menuruti Pur. Kami melambaikan tangan ke arah orang-orang di balik pagar sana dan ke kamera sambil tersenyum. Dani bahkan melakukan improvisasi dengan banyak memberi kiss bye kepada mereka. Totalitas politik.

Kalau dipikir-pikir memang benar juga kata Pur, ini politik. Meski kami sudah berteman dengan Julia dan Rosi, kami masih punya peluang mendapat dukungan lebih jika mau berbaik hati dengan lebih banyak orang. Siapa tau di antara orang-orang di luar sana, ada orang hebat lainnya.

“Ayo angkat tangannya cuy.” Kata Pur ke Laras.
“Oh, iya...” Laras ketahuan melamun.
“Masih kepikiran Asgard?” Tanya Pur.

Laras mengangguk.

Suara Pur dan Laras masih cukup besar untuk bisa gue dengar, jadi ini bukan nguping. Erna dan Rosi pun sampai ikut menoleh setelah Pur mengucapkan kata Asgard. Hari ini, pelan-pelan topik pembicaraan soal Asgard sepertinya menjadi panas dan sensitif.

“Kita anak-anak Loki, inget kan?” Tanya Pur.

Laras mengangguk lagi.

“Abis ini kita cari indomie goreng di Midgard ya biar seneng.” Pur mencoba menghibur.
“Apa sih haha.” Tanggapan Laras.

Ini bagus. Laras masih bisa tertawa.

Kami satu per satu naik ke mobil yang bisa melayang. Mobilnya mewah mirip limusin dan ada fasilitas karaokenya juga. Sayangnya kami gak bisa menikmati itu lama-lama karena perjalanan kami terhitung singkat. Begitulah kata Rosi yang sendirian mengantar kami, karena mobil ini bisa berfungsi tanpa membutuhkan sopir.

Sesampainya di Hutan Tepi Barat, kami satu-satu turun dari mobil. Portal ke bumi ada di perbatasan antara hutan dan padang rumput, jadi kami harus berjalan kaki ke sana. Rosi masih ikut mengantar kami sampai ke titik perpisahan itu.

Selanjutnya, kami satu-satu berpamitan kepada Rosi. Erwan menjadi orang terakhir karena memang seharusnya begitu. Dia perlu waktu pribadi bersama Rosi. Kami pun gak mau menguping, jadi kami berjalan lebih mendekat ke portal. Erna malah lebih dahulu masuk ke dalam portal untuk mengecek situasi.

“Lah, udah duluan aja si Erna.” Celetuk gue.
“Yaudah masuk deh, siapa lagi?” Suruh Pur.
“Gue.” Dani merespon.

Dani menjadi orang kedua yang masuk ke portal. Kemudian, gue menjadi orang ketiga. Lagi-lagi gak ada perubahan yang terasa setelah pindah dunia. Gak ada perubahan gravitasi, perubah oksigen yang dihirup, atau rasa semacam efek jet lag. Cuma mata yang mendadak remang karena gue berpindah dari tempat yang terang ke tempat gelap.

Gue seketika ada di lorong cawan Monas.

“Aman. Sepi.” Kata Erna.

Muncul lagi Pur dari portal tersebut. Sekarang tersisa Laras dan Erwan yang masih ada di Vanaheim.

“Kakak lu pelukan.” Kata Pur.
“Bodo amat.” Erna cuek.
“Abis itu ciuman.” Kata Pur lagi.
“Terserah dia lah, bukan urusan gue.” Erna kesel.

Laras datang, disusul Erwan gak terlalu lama kemudian.

“Ehm, guys, portalnya mau ditutup sama Rosi.” Pengumuman Laras.
“Sekarang banget?” Tanya Pur.
“Biar makhluk Jotun itu gak kabur lagi.” Kata Laras.
“Betul.” Tanggapan Erna singkat.

Tiba-tiba, sekilas dan tipis, terdapat kilatan berwarna kemerahan yang bersumber dari portal. Setelah itu, kondisi tetap remang-remang. Gue mencoba menembus portal itu lagi untuk tes. Rupanya benar, udah gak ada portal di sini.

Kami berjalan menuruni anak-anak tangga di lorong monas ini. Dengan kartu wisata Jakarta yang masih tersimpan, kami melakukan tap masing-masing orang untuk bisa keluar dari Monas.

Gue, Dani, dan Erna menuju tempat parkir motor untuk menjemput motor kami. Mungkin udah berdebu. Erwan mengajak Laras dan Pur untuk nebeng mobilnya. Jadi, kami berpisah sementara di tempat parkir.

“Ini hari apa ya?” Tanya Dani.
“Gak tau, hape gue udah mati dari kapan tau.” Jawab gue.
“Kita cek aja nanti dari kartu parkir.” Balas Erna

Erna menyambung pembicaraan kami. Ide bagus, sebagus uang yang nanti akan kami keluarkan untuk bayar parkir. Pasti harganya lebih dari sepuluh ribu.

Benar rupanya. Parkir motor kami masing-masing harganya lebih dari 200 ribu. Artinya kami udah sekitar enam harian ada di Vanaheim. Gue panik, apa yang terjadi dengan A.T.C.U. kalo mereka tau gue dan Erna menghilang selama itu tanpa kabar. Gue lebih panik ketika mulai membawa motor karena kaki gue masih pincang.

Begitu keluar tempat parkir, kami menunggu Erwan. Kemudian, kami beriringan pergi kembali menuju Depok. Erwan harus ke Depok karena harus mengantar Pur dan Laras dulu, lalu dia dan Erna mau ke Rumah Sakit untuk jenguk bapaknya. Dani sempat iseng bertanya harus bayar parkir seberapa mahal. Ternyata memang mahal. Hampir 500 ribu jumlahnya. Itu karena harga parkir mobil lebih mahal daripada parkir motor. Untung Erwan banyak duit.

Dua jam kemudian, menjelang maghrib, kami sampai di parkiran apartemen. Erna dan Erwan sepakat ingin naik ke apartemen terlebih dulu mau beristirahat melepas penat. Kami semua bersama-sama menaiki lift ke lantai atas dengan muka kuyu.

“Ada sinyal.” Erna bicara.
“Ada apa?” Tanya gue.
“Ada satu sinyal asing, dari dalem penthouse kita.” Kata Erna lagi.

Kami semua mendadak waspada. Lift terbuka pelan-pelan. Pintu penthouse terbuka. Ternyata memang ada seseorang di dalam sana yang membongkar dan merecoki barang-barang kami. Mungkin maling, mungkin musuh. Kami harus berjalan dengan waspada.

“Jangan-jangan makhluk Jotun?” Tanya Erwan.

Gue menoleh ke Erwan. Logis juga pemikirannya meski masih banyak teori lain yang lebih nalar. Lebih memungkinkan kalau di dalam sana adalah orang Roxxon atau Hammer Tech. Kalau benar itu mereka, waktunya benar-benar gak pas karena gue masih pincang.

“Gue maju duluan.” Usul Pur.

Pur mengendap-ngendap tanpa suara. Dia masuk ke penthouse kami dengan tenangnya. Gak lama kemudian, terdengar suara gaduh di dalam sana yang membuat kami makin panik. Kami berlari semampu mungkin untuk mengetahui apa yang terjadi.

Barang-barang berserak di lantai. Sofa gak lagi pada tempatnya. Pintu-pintu kamar terbuka dan buku bergelatakan di lantai. Itulah yang terjadi di penthouse kami sepengelihatan gue. Belum lagi Pur yang sekarang sedang tergeletak menindih tivi LCD kami sampai pecah.

“Sial.” Pur mengumpat.
“Siapa kamu!?” Tanya si lawan Pur.

Gue beralih pandang ke sisi yang lain. Orang yang menjadi lawan Pur berupa siluet perempuan, dia juga sambil memegang senter. Tapi karena ruangan yang masih gelap, gue gak bisa melihat jelas siapa dia itu.

Tiba-tiba, Laras menyerang ke depan menggantikan Pur. Memang lebih adil jika perempuan melawan perempuan. Sementara itu, gue, Dani, Erna, dan Erwan memilih bersembunyi di balik tembok samping pintu sambil mengintip.

“I’ve got company. Need back up.” Lawan kami bicara kepada earphonenya.

Gue menyempatkan mengintip beberapa detail dari perempuan ini. Dia berseragam hitam, tapi kurang jelas. Mata gue harus memicing untuk mempertajam pandangan. Barulah terlihat jelas bahwa ada lambang bertuliskan A.T.C.U. di lengan kanannya.

Pur bangun dan menyerang lagi si perempuan. Kini dua lawan satu.

“STOP! STOP! Ini orang A.T.C.U.!” Teriak gue.

Pur kaget. Laras kaget. Lawan kami kaget. Dani juga kaget. Erna langsung ikut menyusul gue untuk menghentikan perkelahian di hadapan kami ini. Erwan ada di paling belakang, dia mencari sakelar lampu untuk kemudian di tekan semuanya sampai cahaya terang membanjiri ruangan.

Benar rupanya. Perempuan ini agen A.T.C.U. yang entah kapan datangnya. Teori baru bermunculan di kepala gue yang sedang bengong ini. Jika kami kedatangan utusan dari A.T.C.U., berarti kemungkinan besar kami sedang dalam masalah.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Rilis 2 episode ini adalah bonus untuk pembaca, karena besok Thor Ragnarok akan tayang di Indonesia. Sekaligus ini waktunya pas untuk mid season final.

Unnamed Inhumans 2: Einherjar akan break dulu 2 minggu, tayang lagi tanggal 7 November 2017. So, enjoy this 2 episodes ya.
 
Terakhir diubah:
Rilis 2 episode ini adalah bonus untuk pembaca, karena besok Thor Ragnarok akan tayang di Indonesia. Sekaligus ini waktunya pas untuk mid season final.

Unnamed Inhumans 2: Einherjar akan break dulu 2 minggu, tayang lagi tanggal 7 November 2017. So, enjoy this 2 episodes ya.
yahh... libur 2 weeks nihh..
 
Rilis 2 episode ini adalah bonus untuk pembaca, karena besok Thor Ragnarok akan tayang di Indonesia. Sekaligus ini waktunya pas untuk mid season final.

Unnamed Inhumans 2: Einherjar akan break dulu 2 minggu, tayang lagi tanggal 7 November 2017. So, enjoy this 2 episodes ya.

Mild spoiler: saya mngira soul stone sbagai last stone Dr infinity stone yg ntar dipake Thanos bakal muncul di Thor Ragnarok ini. Tnyata nggak. Well...besar kmungkinan ntar di Black Panther awal 2018 dah. :D
 
Wah gak boleh spoiler dong.

Btw, selamat pagi. Yang udah nonton Thor Ragnarok tunjuk tangan hayoo
 
Rilis 2 episode ini adalah bonus untuk pembaca, karena besok Thor Ragnarok akan tayang di Indonesia. Sekaligus ini waktunya pas untuk mid season final.

Unnamed Inhumans 2: Einherjar akan break dulu 2 minggu, tayang lagi tanggal 7 November 2017. So, enjoy this 2 episodes ya.
masih lama ya 2 minggu nya...
gk sabar nunggu updatenya
 
Episode 26
Perpisahan


POV Eda

15 Agustus 2017. Gue jejingkrakan, seneng banget karena bulan depan bisa mulai bekerja di perusahaan obat itu. Nanti, gue akan berlomba-lomba dengan belasan orang lainnya dalam akselerasi karir. Artinya, setahun ke depan gue harus belajar lagi mati-matian soal obat-obatan, fisiologi manusia, dan patologi-patologinya. Artinya, gue juga harus sering pulang tengah malam.

Bodo amat sama pulang malam. Presiden aja jarang pulang ke rumah kalo gak penting-penting amat.

Gue butuh motor. Itu yang terlintas di benak gue pertama kali ketika menerima pengumuman ini. Bokap sudah dikabari dan setuju beli motor ketimbang beli mobil baru. Katanya, kalo gue sukses di akselarasi karir ini, gue dipersilahkan beli mobil pake uang sendiri.

Gue menelepon Rivin.

“Kamu di mana? Aku ada kabar gembira nih.” Gue antusias.
“Jalan pulang.” Jawabnya singkat.
“Hati-hati sayang.”

Ada jeda sebentar.

“I love you.” Gue berbisik di telepon.
“Bye.” Jawabnya.

Telepon dimatikan.

What the fuck! Gila apa, gue lagi ada kabar gembira begini malah dicuekin. Dia gak tau ya namanya mood swing. Gue mendadak mengalami itu sekarang, dari yang tadinya bahagia jejingkrakan karena dapet pekerjaan, gembira, dan riang, sekarang rasanya jadi mau banting handphone.

Rivin mulai berkelakuan aneh begini semenjak gue pulang setengah mabuk itu. Gue meyakinkan diri waktu itu cuma setengah mabuk karena gue masih ingat sedikit-sedikit kejadiannya. Gue tau Rivin malam itu meronta dan menangis. Bukan tipikal menangis rindu atau bahagia, tapi menangis karena tersakiti.

Oleh karena itu, gue langsung minta maaf tulus, setulus-tulusnya, waktu bangun pagi. Rivin gak membalas. Dia hanya diam dengan matanya yang sayu, dia beranjak mandi, dia berdandan seperlunya, lalu dia berangkat kerja dan hanya mengucapkan pamit sebagai formalitas. Gak ada cium di tangan, di pipi, apalagi di bibir kaya kemarin-kemarin. Itu berlangsung sampai sekarang. Masih untung dia gak sampai memilih minggat dari sini. Tapi ya dampaknya seperti tanpa ada ujung.

Ada pesan masuk dari Samuel.

Samuel: Ada pengumuman. Keterima?

Gue diam sebentar, memikirkan apakah gue harus membalas pesan dari dia yang bertubi-tubi sejak sebulan lalu atau nggak. Gara-gara Samuel lah gue perang dingin sama Rivin. Andai dia lebih bijak mengizinkan gue pulang pasti gak begini. Andai gue lebih tegas pasti gak begini.

Gue: Iya.

Jari gue malah membalas positif pesan dari Samuel. Sialan.

Samuel: Good news. Gue juga, we have to celebrate it

Samuel sialan. Perayaan versi dia pasti berbeda makna dengan perayaan versi gue. Perayaan versi gue adalah mabok softdrink sama martabak bareng temen-temen, maen PES, nonton bola, ngomongin spesies laba-laba terbaru, lalu nginep sampai weekend berakhir di apartemen gue atau rumahnya Hari.

Perayaan versi Samuel itu masak-masak, maen game yang membuat seisi ruamh sampai bergetar karena berisik, lalu ketiduran. Sampai sini versinya Samuel masih baik-baik aja, gak ada yang salah. Setelah itu barulah salah, ketika malam semakin larut. Samuel dan kawan-kawannya akan berbondong-bondong ke club, lalu mabok dan menari diiringi musik yang bikin detak jantung serasa jadi bass drum.

Gue: Nggak deh, udah cukup masalah yang gue dapet. Gue jadi anak rumahan aja

Itu pesan balasan gue. Lalu, gak ada lagi balasan-balasan lainnya setelah Samuel mencoba membujuk. Upayanya dengan alasan imbal balik sudah gak mempan, karena udah impas setelah gue mabok malam itu.

Samuel: Cewek lu nanyain mulu tuh

Gak gue balas juga kalimat barusan dari Samuel itu. Buat apa lagi nawarin cewek segala. Samuel udah tau gue punya calon istri.

Gue mengabaikan pesan-pesan Samuel. Lalu, gue mencari kontak grup main gue yang isinya Cuma kami berempat. Gue, Hari, Dani, dan Jamet. Gue mengirim pesan kalau gue sedang ada kabar gembira, lalu mengajak mereka untuk makan-makan di apartemen ini.

Balasan dari mereka gak cepat dan gak sesuai harapan gue. Gue paham kalau Hari dan Dani telah menjadi agen rahasia, tapi cukup membuat kecewa karena harus menomorsekiankan teman mainnya juga. Begitu juga Jamet, yang meski lagi ada di Depok lebih dari satu bulan, dia sibuk sama usaha lelenya.

“Oh, God, gue sendirian banget?” Gumam gue.

Gue menggeletakkan diri di kasur, lalu memilih permainan-permainan apa aja yang ada di handphone yang bisa membuang-buang waktu gue sampai Rivin pulang.

Setengah jam kemudian, Rivin pun datang. Dia masuk terburu-buru ke kamar, gak menyapa gue, lalu sibuk membuka-buka lemari. Rivin gak sama sekali menyahut ketika gue memanggil dia. Terpaksa, gue sampai harus menepuk pundaknya untuk mendapat perhatian.

“Kamu kenapa sih?” Tanya gue.
“Gak usah pegang-pegang!” Matanya melotot.
“Ya, ada apa dulu. Masa tiba-tiba marah begini.”

Gue bingung sendiri deh.

“Tanya aja sama selingkuhan kamu di depan itu.” Ketus Rivin.
“Selingkuhan?”

Gue malah jadi kaget. Ada hal apa dengan selingkuhan fiktif ini. Untuk jawaban itu, gue pun beranjak ke depan pintu, sementara Rivin mulai mengepak baju-bajunya ke dalam koper besar. Ya ampun, ini bencana. Kiamat kecil.

“Alis???” Darah gue berdersir.

Gue kaget, tapi terpaksa dengan cara berbisik. Gue berbisik karena masih bisa mikir. Kalo gue teriak nama Alis kenceng-kenceng, Rivin bakal tau kalo gue kenal Alis dan itu semakin menegaskan kalo gue selingkuh sama Alis.

“Tau dari mana gue tinggal di sini?” Gue masih berbisik.
“Gue yang nganter waktu elu mabok kali.”
“TAPI NGAPAIN KE SINI???”

Gue menengok ke dalam, mengecek udah sejauh apa Rivin menyelesaikan susunan baju-bajunya. Gue harus secepatnya mencegah Rivin minggat dari sini. Gue juga harus secepatnya mengusir Alis jauh-jauh dari sini. Multitasking.

“Lu pergi dari sini sekarang!” Bentak gue ke Alis.

Gue beranjak ke Rivin, menahan laju tangannya yang masih mengumpulkan pakaian ke dalam kopernya. Gue berusaha keras memeluk dia seerat mungkin meski balasannya adalah dorongan-dorongan agar gue menjauh.

Rivin menyuruh gue untuk melepaskan pelukan yang katanya menjijikan. Tubuh gue menjijikan. Apa lagi katanya?

“Lepas. Jijik...!” Rivin mendorong-dorong.
“Gak mau.” Balas gue.

Di luar dugaan, gue kalah kuat. Ternyata kekuatan perempuan yang marah itu bisa gak terduga kaya Dwayne Johnson.

“Ini badan udah nidurin berapa cewek!?” Tunjuk Rivin ke dada gue.
“Maksudnya gimana?”
“Dasar penjahat kelamin.. Mau enaknya doang...”

Demi Tuhan, Rivin beneran tau mood swing kan. Tadinya gue mau mempertahankan dia lho. Tapi, gara-gara dia mencaci dengan telak, gue jadi lebih memilih mempertahankan harga diri gue. Gue gak pernah sekali pun meniduri perempuan lain lagi sejak bersama dia, dan dia harusnya tau itu. Dan memang itulah kenyataannya.

“Aku gak ngapa-ngapain selain sama kamu!” Kata gue.
“Bohong!”
“Bohong apa!?” Gue bentak balik.
“Selingkuhan kamu itu...” Rivin mulai menangis.

Ujian macam apa lagi ini. Cerita apa aja si Alis kampret itu ke Rivin sampe punya pikiran aneh-aneh begini.

“JAWAB...!” Rivin dan tangisnya.
“Kamu kenapa jadi mikir aneh begini sih.” Gue bingung.
“Berarti bener kamu udah apa-apa.” Kata Rivin.

Oke, kesabaran gue mulai habis menghadapi wanita yang prasangka begini. Ini udah beberapa kali dia prasangka sejak kami tinggal berdua. Gue menoleransi semuanya karena gue sayang Rivin. Tapi, semuanya semakin menjadi-jadi sejak gue pulang mabok malam itu. Inilah puncak kemarahan gue.

“Ada juga kamu yang apa-apa ya sama Putra.” Kata gue.
“...” Rivin diam.
“Udah untung aku masih mau sama kamu!”

Oke, pembalasan gue kayanya berlebihan. Lebih baik gue stop.

Sayangnya, omongan yang udah lepas dari mulut pasti gak bisa ditarik kembali. Ini hukum yang berlaku juga buat tindakan gue tadi. Akibatnya, Rivin menyelesaikan rangkaian lipatan bajunya yang masih berantakan. Dia menutup koper dengan isi yang masih seadanya, lalu pergi dari kamar.

Gue pergi mengejar Rivin, dan entah atas alasan apa, Alis masih bersandar di dinding di depan kamar gue. Gila.

Bodo amat sama Alis. Lebih penting gue mengejar Rivin yang menjadi jauh beberapa langkah di depan. Tapi, di depan lift inilah perkara yang lebih besar terjadi. Rivin mengancam gue gak boleh satu lift sama dia, atau dia teriak sekencang-kencangnya sampai kehebohan terjadi.

Gue dengan tololnya mengalah untuk menunggu lift berikutnya. Ini keputusan fatal, karena Rivin langsung pergi dengan taksi yang mangkal di depan apartemen. Begitulah kata satpam yang mengatakan kronologi kejadian dua menit lalu kepada gue. Gue gak punya kendaraan, gak punya uang lebih, dan gak ada yang bisa dijadikan alat untuk mengejar Rivin.

Kecuali kalo tadi Alis datang ke sini bawa mobilnya.

Kebetulan, Alis baru keluar dari lift.

“Alis, lu harus bantuin gue ngejar calon istri gue.” Gue panik.
“Gimana?” Alis mengerutkan alisnya.
“Ya elu harus tanggung jawab!” Bentak gue.

Alis gila! Dia santai banget, sementara gue setengah mati cari akal buat mencegah Rivin pergi. Inilah gue, duduk di bangku depan sebelah kirinya Alis untuk mencoba mengejar taksi yang entah udah sejauh apa di depan kami.

Tapi, yang terjadi terjadilah. Tiga jam dan satu kali isi bensin kemudian, gue terpaksa kembali ke apartemen karena taksi Rivin gak ketemu. Di kosannya pun gak ada. Selain itu, duit gue makin tiris karena harus beliin bensin mobil boros keparat ini.

“Ikut gue!” Gue menarik Alis.

Gue memaki diri gue sendiri dalam hati karena harus menarik Alis naik ke kamar untuk meminta penjelasan. Penjelasan kenapa Rivin sampai berpikir aneh-aneh dan melakukan prasangka. Alis sungguh-sungguh harus memperbaiki keadaan karena kelakukannya.

---

POV Anwar

“Telat lagi tuh anak.” Gue memaki.

Ini udah sering terjadi sama Erna. Telat latihan, bahkan pernah menghilang seminggu dan melewatkan acara manggung yang harusnya berpersonel lengkap. Akibatnya, selain gak dapat honor, dia gak kebagian terkenal karena ada produser label yang menonton kami waktu itu.

“Sabar sayang.” Begitu kata Tika.
“Iya, tapi ini udah berlebihan.” Balas gue.

Terdengarlah suara deru motor yang familiar. Erna datang. Kemudian, dia bergabung dengan kami di depan studio. Dia minum sebentar dan menghela nafas.

“Oke, udah kumpul kan?” Gue malas basa-basi.
“Sorry telat.” Erna membuat gestur dengan telapak tangannya.
“Gak boleh begini lagi.” Kata gue.

Gue mengumumkan hal penting buat keberlangsungan Bryophyte. Belum ada yang tau kabar ini selain gue sendiri, karena gue lah yang selalu menjadi narahubung band ini dengan orang luar. Bahkan Tika sekali pun belum tau.

Gue mulai menyampaikan bahwa Bryophyte punya harapan berkembang dengan label kenalan bokap. Kami akhirnya bisa menghasilkan uang dengan hobi kami ini. Meski begitu, kami tetap harus membuat satu atau dua lagu yang digemari anak muda zaman sekarang. Ini pun masih bisa kami akali agar gak mainstream murahan.

“Kok gue gak tau ya?” Ledek Tika.
“Ya kan surprise.” Tanggap gue.
“Gue gak setuju sih.” Balas Tika.
“Gue juga.” Jennifer menambahkan.

Tika menegaskan bahwa band ini dibuat atas dasar dakwah tentang konservasi. Bryophyte bukan jalurnya band-band teater atau audisi. Bukan juga band yang dibentuk karena dasar butuh uang. Bryophyte dibentuk karena kami berempat sayang sama lingkungan.

“Ya tapi kan...” Gue memotong.
“Tapi gimana? Kamu lagi ada masalah ya?” Tanya Tika
“Kita perlu penghasilan tetap.” Jawab gue.

Oke, gue makin kedengeran skeptis dengan idealisme Bryophyte yang udah disepakati ini.

“Maka itu kita kan sambil kerja yang lain juga, Anwar. Gue masih nyambi ngajar les piano, Tika tuh ngajar private anak SMA, Erna juga kerja. Cuma elu yang gak kerja.” Jennifer buka suara.

Sebenarnya, memang itu alasannya. Gue belum punya penghasilan yang mumpuni. Bokap dan nyokap meski kelihatannya cuek, ternyata bisa marah juga begitu tau gue belum dapat penghasilan yang layak setelah setengah tahun lulus kuliah. Bokap secara tersirat mengultimatum gue untuk meneruskan Bryophyte ini ke jalur bisnis, atau bubar sekalian daripada buang-buang waktu.

Gue ceritakanlah beban gue itu kepada mereka.

“Aduh, Anwar. Kenapa baru cerita sih.” Tika memberi raut prihatin.
“Oke, kita cari jalan keluarnya ya.” Sambut Jennifer.

Gue mengangguk sambil dielus-elus sama Tika. Pacar yang baik.

“Kalo kita terima tawaran label itu gimana?” Tanya Erna.
“Kita latihan makin rutin, ada tur, ada banyak jadwal, banyak lalala lilili gitu deh.” Jawab gue.
“Rutin?” Erna menggumam.

Erna tampak berpikir panjang. Di sini lah masalah lainnya. Erna udah bekerja yang entah di mana itu, yang bikin dia selalu sibuk tanpa kenal jam. Dia juga masih harus bergiliran menjaga bapaknya yang gak bangun-bangun di rumah sakit selama lebih dari sebulan. Latihan makin rutin pasti bikin Erna sering telat atau malah gak dateng.

“Keberatan ya?” tanya gue ke Erna.

Erna mengangguk.

“Eh, tapi kalo emang Bryophyte butuh berkembang, it’s okey. Gue mundur gapapa. Label nanti pasti nyari drummer baru kan.” Usul Erna ekstrim.
“NGGAK! NGGAK BOLEH!” Tika menolak mentah-mentah.
“Iya, Bryophyte itu kita bereempat. Bukan orang lain.” Sambung Jennifer.

Ternyata mencari solusi yang ada hubungannya sama profesi itu berat. Lebih berat ketimbang permasalahan yang ada di kepanitiaan mahasiswa dulu. Waktu masih mahasiswa, solusi bisa muncul gitu aja meski kiri-kanan banyak nyinyir. Uang bisa ngalir dari sponsor atau d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) kalau acara kita bagus dan punya nilai penting. Kalo ada masalah sama anggota, bisa selesai dengan kekeluargaan dan bisa dibantu kinerjanya sama temen sendiri.

Dulu serba ada solusi. Sekarang semua serba sendiri, apalagi dalam langkah awal begini menuju prospek yang masih gelap kaya gimana.

“Kita patungan, bikin ini jadi indie. How?” Usul Tika.
“Bisa juga sih.” Sahut gue pelan.
“Latihan emang harus rutin, tapi gak mengikat kaya label. Kalo ada problem juga kan lebih santai.” Lanjut Tika.
“Ntar gue bicarain sama bokap soal strategi promosinya deh biar gencar.” Sambung gue lagi.

Dasar gue lemah.

Ide ini sebenernya masih cenderung sama jika semisal kami yang berlabel. Kami malah harus rekaman sendiri dan promosi juga sendiri. Bahkan, perlu mixer sendiri. Kami akan tetap harus melakukan tur yang malah lebih berat karena mengatur sendiri jadwal-jadwalnya. Tapi inilah kami, berdiri atas dasar kekeluargaan dan akan terus begitu.

“Yakin gapapa, War?” Erna tampak ragu.
“Santai aja, soal bokap bisa dibicarain lah.” Jawab gue.
“Kalo ada apa-apa bilang aja, gue gak enak nih.” Balas Erna lagi.

Sebenarnya memang ada apa-apa. Kami butuh modal yang gak kecil untuk berkembang. Butuh uang untuk mengembangkan studio di rumah gue. Butuh uang untuk bikin rekaman sendiri. Butuh uang untuk promosi juga. Memangnya uang kami bisa sampai nominal berapa sih kalo digabung. Gue juga masih punya malu untuk minta-minta tambahan terus ke bokap.

“Tuh kan dari muka lu nunjukin ada apa-apa.” Respon Erna.

Skakmat.

“Ya, masih kepikiran sih.” Gue menjawab ragu.
“Serius, gue gak ikutan Bryophyte lagi gapapa. Kan bukan berarti kita putus pertemanan.”

Jennifer dan Tika makin keras mencoba menahan Erna untuk gak keluar dari band ini. Tapi Erna juga dengan kerasnya mendorong kami untuk maju tanpa dia. Erna selalu dalam keseriusannya dalam bicara dan kuat dengan keputusannya. Tika dan Jennifer pasti akan kalah debat.

Erna tiba-tiba mendapat telepon yang katanya dari kantor. Dia dengan buru-buru membereskan barang bawaannya yang dimasukkan dalam tas ransel ukuran 40 liter. Dia meninggalkan debat di tengah jalan. Kemudian, dia minta maaf kepada kami karena ada panggilan pekerjaan mendadak.

Gila ya, kerja apa sampe jam 10 malem begini gak istirahat. Sepintas gue malah mikirin penghasilan yang dihasilkan Erna. Apapun pekerjaannya, pasti uangnya sebanding dan nominalnya besar banget. Dia beruntung bisa dapet pekerjaan di sana. Gak kaya gue.

"Anwar! Cegah dong, jangan ngelamun aja." Jennifer membentak.

Erna buru-buru pergi dengan motornya. Dia masih mencoba ditahan-tahan oleh Tika dan Jennifer sampai parkiran, bersikeras supaya gak ada yang keluar dari Bryophyte. Sementara gue tetap terduduk lunglai di depan tivi yang menyala tanpa ditonton.

Erna pergi. Tika dan Jennifer kembali ke ruangan.

“We loss Erna.” Tika mengangkat kedua tangannya.
“I know.” Jawab gue.
“Bukan salah kamu.” Tika mengusap pundak gue.

Jennifer berjalan mondar mandir di depan gue. Dia gelisah, tapi terganggu rambut pajangnya yang sering berantakan setiap membalikkan badan. Kegelisahannya semakin menegaskan kalau lepasnya Erna adalah mutlak kesalahan gue.

“Gak bener ini.” Kata Jennifer.

Tanpa aba-aba, Jennifer menyusul pergi begitu saja dengan mobilnya. Gak ada yang punya mood bagus malam ini. Apalagi gue.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Rivina Azzahra


Alicia


Ernawati


Kartika Rahayu


Jennifer
 
Terakhir diubah:
Bimabet
makin menarik, masalah eda-rivin, masalah byrophyte, tebakan ane sih, suhu TS mau cooling down dulu dari masalah sisi inhumannya, tapi tetep aja ane penasaran gimna si hari balas dendam ama hammer tech & roxxon, pokoknya si Hari musti bales dendam, demi Kenia, cewe favorit ane disini :galau:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd