Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 5
Sembunyi Dulu


POV Dani

Pukul 10 pagi, rumah Hari sudah dipenuhi saudara serta kerabat ibunya.

Dini hari tadi gue menelepon ambulans untuk langsung menjemput ke Karang Tengah. Informasi yang dipublikasikan oleh polisi adalah kecelakaan tabrak lari yang menewaskan satu orang. Tentunya ini atas bantuan koneksi dari A.T.C.U. Oleh karena itu juga, motor Hari harus dikondisikan ringsek.

Setelah proses dengan polisi dan rumah sakit yang singkat, ambulans mengantarkan jenazah ke Tanah Abang. Bagusnya, Hari bisa bohong kepada publik soal kejadian semalam.

Pur dan Laras sudah gue suruh langsung ke Depok, menempati penthouse kami. Keberadaan mereka masih gue rahasiakan dari A.T.C.U. untuk sementara. Dengan kata lain, yang tertulis di berita acara A.T.C.U. adalah abhwa Hari menghadapi puluhan orang sendirian. Memang sangat mencurigakan karena Hari bukanlah tentara terlatih, tapi rekaman kemapuan perkelahian Hari di Tonga cukup untuk menutupi alibinya.

Beberapa jam kemudian, bangunan Roxxon itu disisir dan ditangkaplah orang-orang berbadan besar yang terkapar pingsan. Gak ada yang mati malam tadi.

Di saat yang bersamaan ketika ambulans Hari datang tadi, Eda juga datang dengan taksi konvensional. Dia masih tampak shock setelah katanya diserang sekelompok orang gak dikenal. Dia sekarang sedang tertidur pulas di kamar Hari, belum sanggup kembali sendiri ke Depok. Kami semua pun sepakat untuk membahasnya nanti setelah kegiatan pemakaman dan tahlilan selesai.

“Kak Erna belum dateng?” Kenia menghampiri gue.
“Belum ada kabar.” Jawab gue.
“Yaudah, kita jalan ya. Yakin gak ikut?” Hari menyahut.
“Gak usah, di sini aja, nunggu Kak Rivin dateng jemput tuh anak.” Gue menunjuk ke lantai dua.

Kenia dan Hari pun pamit untuk mengikuti iring-iringan pemakaman ibunya. Begitu iring-iringan mobil pergi, gue masuk ke kamar Kenia untuk membuka laptop. Gue harus mencari dengan cepat karena gak enak dengan keluarga Hari di sini.

Gue mencari-cari informasi soal Roxxon Medical Indonesia dan dua orang bernama Jenggo dan Niken. Asumsi yang paling pertama muncul, kedua nama tadi adalah alias. Sama sekali bukan nama asli. Maka dari itu, perusahaan Roxxon lah fokus pertama pencarian gue.

Tak butuh waktu lama, info umum Roxxon langsung muncul berderet di mesin pencari. Perusahaan tersebut merupakan multibisnis, dengan bisnis utama berupa perminyakan. Sejak delapan tahun lalu mereka resmi merambah produksi alat dan obat untuk kesehatan. Hal itulah yang saat di ini diekspansi di Indonesia. Badan usaha mereka di Indonesia tidak lain adalah PT. Roxxon Medical Indonesia, dengan CEO bernama Rangga Sudrajat. Itu si Jenggo, mungkin.

Gue memerhatikan foto-foto orang bernama Rangga ini. Dia berwajah keras dengan kumis tipis. Usianya masih 45 tahun, namun perutnya gak membuncit layaknya orang-orang paruh baya bertitle CEO.

“Ini datanya gue save aja kali ya. Siapa tau ini si Jenggo Jenggo itu.” Gumam gue sendiri.

Semua data tadi gue save dalam format html untuk bisa dibuka nanti dalam kondisi offline. Setelah itu, gue keluar kamar untuk membantu saudara-saudaranya Hari menyiapkan keperluan dari siang hingga malam nanti. Membeli air mineral, snack, dan berpartisipasi mencuci piring gue lakukan secepat mungkin.

“Nak Dani, ada temannya di depan tuh.” Seorang tante memanggil gue.
“Iya, tante, sebentar.” Gue yakin yang dateng pasti Kak Rivin.

Lucu juga kalau gue bayangkan tantenya Hari yang banyak sekali ini. Satu pun belum ada yang gue hafal namanya. Jadi, ya dari tadi gue manggil pake tante tante aja biar sekedar terasa dekat.

“Eh, Kak Rivin, mau jemput Eda kan, ya?” Gue menghampiri Kak Rivin di depan rumah.
“Iya.” Jawab Kak Rivin kaku.
“Naik aja ke atas, Kak. Lagi sakit orangnya.” Gue ngasal.

Mantan teman ML mengantar pacar baru mantannya untuk ketemuan di rumah sahabat mereka. Rumit. Canggung. Kami berdua berjalan pelan ke depan pintu kamar Hari. Di dalam sana, Eda sedang tertidur pulas. Kak Rivin gue izinkan berjalan masuk duluan untuk membangunkan laki-laki satu itu.

“Sayang, Eda, bangun.” Kak Rivin menguncang badan Eda.

Iyuh, jijik ya kalo diliat dari pihak ketiga. Padahal gue juga dulu gitu, tapi minus kata sayang.

“Ehhmmm... Jam berapa sekarang~?” Eda ngelindur.
“Jam 11. Udah siang.” Gue menyahut, setengah ketus.

Eda langsung loncat dari dari tidurnya hingga terduduk. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti kucing habis nyemplung di air. Kesadarannya perlahan utuh.

“Kalian? Ngapain?” Eda nunjuk kami berdua.
“Ada juga aku yang nanya, kamu ngapain malah ke sini?” Kak Rivin membalas.
“Eh, Hari mana?” Eda acuh.
“Lagi ke Karet Bivak.” Jawab gue sambil melipat tangan.

Di Karet Bivak ada tempat pemakaman umum, tempat ibunya dimakamkan sekarang.

“Astaga, gue ketiduran.” Eda mengusik rambutnya yang tebal.
“Ada apa sih ini?” Kak Rivin mulai bingung.
“Ibunya Hari meninggal pagi ini. Eda kecelakaan. Gitu.” Jawab gue singkat.

Untuk menghindari ditanya lebih banyak, gue izin pergi membuat minum untuk mereka berdua. Teh manis panas untuk Eda, dan mungkin sirup cocopandan dingin untuk Kak Rivin. Gue membiarkan mereka berbincang berdua dulu tanpa ada mantan pacar di sebelahnya. Semoga mereka gak berantem di sini.

“Nak Dani, nanti malam ikut tahlilan kan?” Seorang tante berbeda bertanya ke gue.
“Iya, tante.” Sahut gue standar.
“Kalo gitu pulang dulu aja, ganti baju.” Sarannya.
“Saya tinggal di sini kok, tante.”

Sial, salah ngomong.

“Sa-Saya tidur sama Kenia di kamarnya.” Ralat gue buru-buru.

Masih salah ngomong ya? Si tante malah senyam-senyum sendiri. Dia bergumam sendiri, menyinggung kelakukan anak muda zaman sekarang. Yah, memang kami masih muda kok.

Beberapa waktu kemudian, gue mengantar nampan berisi tiga gelas minuman. Satu buat Eda, satu buat Kak Rivin, satu lagi buat gue. Di dalam kamar, Kak Rivin meminta penjelasan lebih kepada gue yang udah ada di rumah ini selama beberapa hari.

Sejujurnya, gue memang gak tau apa-apa sejak Eda pamit kemarin siang. Gue fokus bermain laptop, yang aslinya mengawasi Hari, Pur, dan Laras yang sedang di Karang Tengah. Penjelasan Eda sebenarnya juga sudah cukup jelas, kalau dia dibegal.

“Eda dibegal dengan cara yang luar biasa aneh. Udah gitu perlindungan yang dirasanya tepat adalah ke sini. Bukan ke Depok, bukan ke tempat lu.” Jawaban ini gue simpan sendiri dalam hati.

Eda juga udah menjelaskan kalau hapenya pecah terjatuh sehingga gak bisa menjawab telepon Kak Rivin. Tapi kesalahannya adalah tetap memilih ke sini daripada ke Depok.

“Ayo pulang!” Kak Rivin ngambek, dia buru-buru membereskan tas tentengnya.
“Tehnya belum abis.” Eda salah ngomong.
“Aku bela-belain cuti buat jemput kamu. Ayo pulang!” Kata Rivin lagi.
“Beklah.” Jawab Eda pasrah.

Mereka berdua berjalan keluar, menunggu taksi online, lalu pergi begitu saja. Kayanya Eda gak akan diizinin dateng tahlilan malem nanti.

Hari dan Kenia kembali dari Karet Bivak satu setengah jam kemudian,. Wajah Kenia murung, matanya merah. Hari terpaksa menyeimbangkan suasana dengan raut muka yang lebih tegar. Keluarga dan koleganya bergantian memberi ucapan duka cita dan pelukan. Beberapa diantaranya menawarkan untuk tinggal bersama, tapi Hari menolak. Dia beralasan sudah memiliki pekerjaan tetap dan sanggup membiayai Kenia sendirian.

---

POV Laras

“Apartemennya bagus.” Aku memuji selera orang yang memilih ruangan ini.
“Namanya juga Penthouse.” Pur melempar tasnya ke depan pintu salah satu kamar.

Aku menyalakan AC, lalu bersantai di ssebuah sofa panjang. Aku mulai mengingat-ngingat kamar mana yang harus kami tempati selama menginap di sini. Ada tiga kamar ukuran besar dan satu kamar ukuran kecil. Kalau gak salah, Dani bilang kami bisa menempati kamar berstiker Wildlife Indonesia. Katanya, itu kamarnya Erna, tapi jarang ditempati. Pur sendiri boleh di kamarnya Hari.

Di sudut ruangan, tertempel pita merah yang membentuk bujur sangkar di lantai. Ukurannya lumayan luas, mungkin ukuran 4x4 meter. Ada pula matras di atasnya. Tepat di tengah-tengah matras tergantung samsak tinju. Di pojokan dinding, berjejer peralatan tanding lainnya seperti manusia kayu, pelindung kepala, dan sarung tinju.

“Sekarang kita ngapain di sini?” Pur mondar mandir.
“Ngumpet kan.” Aku menjawab.
“Tugas kita bukan ngumpet kan.”

Pur meninggi nada bicaranya.

“Iya gue juga tahu, tapi kondisi di luar sana langsung panas. Coba lu liat berita.” Aku menyalakan tivi.

Muncul berita kecelakaan lalu lintas tadi malam yang bersifat tabrak lari. Beberapa media yang jurnalisnya kritis atau demi sekedar mengisi konten harian mulai latah membuka perbicangan panjang soal kejadian tersebut.

Di Salah satu channel, pakar forensik yang bukan terafiliasi pemerintah menanggapi diskusi sang presenter soal kejanggalan TKP kecelakaan di Karang Tengah tersebut. Pasalnya, gak banyak darah yang tercecer, gak ada saksi mata yang mendengar hantaman, dan sang anak yang tenang-tenang saja menghadapi situasi tersebut.

Tadinya si presenter mengira arah pembicaraan ini membawa spekulasi ke pembunuhan seorang anak kepada orang tuanya sendiri. Tapi rupanya pakar forensik membelokkan opini hingga tersangkut pada kejadian di Thamrin akhir pekan lalu. Si pakar forensik ini berkata bahwa kasus tersebut berkaitan dan sangat berbau inhuman.

“Tuh, denger.” Aku memandang Pur.
“Ah, manusia ******. Bengong deh kita di sini.” Pur membanting diri ke sofa.
“Gue sih bisa sambil baca buku.” Aku memandangi rak buku di salah satu tembok.

Aku suka dengan selera si pemilik, entah Hari, Dani, atau siapapun yang menaruh interior berupa buku-buku menarik di sini. Semuanya bahkan keluaran terbaru sejak tahun 2010. Banyak sekali pilihan, ada novel, ensiklopedia, majalah populer, jurnal ilmiah, hingga biografi.

Aku melangkah ke rak tersebut, memilih sebentar, lalu mengambil satu buku novel karangan Aditya Mulya.

“Buku mulu. Seribu tahun, gak bosen apa?” Celetuk Pur.
“Belajar itu wajib, Pur.” Jawabku.
“Apaan belajar, itu novel kan.” Sahut Pur lagi.
“Jangan salah, di novel biasanya banyak kutipan fakta sains, sejarah...” Aku retoris.
“bla bla bla... let’s do a quicky.”

Pur mendekatiku, lalu dengan seketika menyambar bibirku dan melumatnya habis-habisan. Kaki kiriku diangkatnya setinggi pinggang. Aku yang tadinya kagok, perlahan mengikuti mau Pur. Kujatuhkan buku dari tangan ke lantai, lalu Pur mendorong hingga badanku rebah di sebuah sofa panjang lagi.

Tangan Pur mulai menyelinap ke dalam kaosku. Jemarinya lincah menjamah seluruh tubuh bagian atasku. Pelan-pelan, Pur menyingkap bra, lalu mulai meremas-remas buah dadaku sebelah kiri. Aku tak tahan, kubuka sendiri baju dan braku sendirian. Kutekan kepala Pur di puting dada kanan agar dia menghisapnya lebih kuat.

“Pur.. ahh.. kita baru dateng...” Desahku.
“Tapi enak, kan?” Tanyanya.
“Banget...”

Pur memilih memainkan lidahnya lebih lama di putingku, silih berganti antara dada kiri dan kanan. Tangannya kini mulai menjamah menyusup ke balik celana jeans belelku. Dua jarinya langsung menggesek rambut-rambut kemaluanku. Klitorisku digeseknya kuat-kuat sampai pinggulku naik tinggi sekali.

Pur semakin menggairahkan, dia menjilat panjang dari tengkuk sampai naik ke daun telingaku. Lalu dia berbisik seksi dengan hembusan nafasnya yang hangat.

“Kamu nakal.” Bisiknya di telingaku.
“Pur... terusss...” Aku menggelinjang nikmat.

Pur dengan jarinya bermain di selangkanganku, dengan lidahnya dia menjilati seluruh tengkuk dan telingaku. Aku di bawahnya hanya tergeletak pasrah menunggu kejutan selanjutnya.

Lama-lama, Pur meningkatkan intensitas gerakan jemarinya. Dia langsung menerobos liang senggamaku dengan kedua jarinya yang aktif, namun masih terasa sulit karena celana jeansku menekan gerakannya. Spontan aku mendorong celanaku jauh-jauh ke bawah dan meloloskannya.

“Kamu buka juga.” Pintaku.

Pur menghentikan kegiatannya merangsangku. Dia melepaskan seluruh pakaiannya di depan mata. Penisnya sudah tegak menjulang dengan ukuran yang sepadan buat vaginaku. Batangnya agak sedikit melengkung ke kiri, namun itu yang membuatku tergila-gila.

Apalagi kami seorang Einherjar. Gak ada yang gak sempurna dari otot-otot kami, begitu pula otot-otot perut Pur yang berkotak-kotak. Belum lagi bisep dan trisepnya yang sanggup mengangkatku kala kami dikejar raksasa Jotun ratusan tahun lalu, saat kami pertama kali bertemu.

“Masukin, Pur.” Aku siap mengangkang.
“Buru-buru banget sih?” Ledeknya.
“Siapa yang ngajak quicky coba.”

Aku mengusap pintu liang senggamaku dengan dua jari, lalu kutunjukkan lendirnya kepada Pur.

Pur langsung bergerak ke atas tubuhku. Aku reaktif dengan semakin melebarkan kakiku. Tangan Pur pun bertumpu pada sandaran sofa. Penisnya sudah berada tepat di lubang masuk yang tepat. Pur memasukkannya pelan, lalu mengeluarkannya lagi. Dia melakukannya berulang-ulang hingga darah perawanku berhenti mengalir. Sedikit sakit, namun sudah biasa.

“Shhh... Shhhh...” Aku menikmatinya.
“Muka kamu binal banget sih.”
“Kamu yang binal.” Ledekku balik.

Pur membenamkan penisnya dalam-dalam. Batang bengkoknya terasa sekali, namun itulah menambah rasa nikmat di dalam sana. Pur juga melumat bibir bawah dan lidahku ganas sekali. Kalau sudah begini, tandanya dia akan memulai permainannya sendiri.

Aku telentang pasrah dengan kepala bersandar pada pinggiran sofa. Pur mulai menggenjot dengan gerakan cepat. Lendirku keluar semakin banyak dan terasa meleleh hingga ke lubang anus.

“Pur... Ahhh... Puuuur!!!” Aku melenguh keras.
“Nghhh...” Hanya terdengar suara dengusan dari Pur.

Pur terus bergerak maju dan mundur sampai membuatku mendesah tanpa bisa berbicara lagi. Pur bergerak sangat beringas, namun nikmat. Kemampuan fisik einherjarnya sangat membantu untuk momen-momen seperti ini, selain di peperangan tentunya.

Tangan Pur kembali menjamah dadaku. Tapi kali ini dia meremasnya sangat keras, semakin mempertegas kalau permainan ini dikendalikan Pur sendirian. Aku lagi-lagi pasrah akan tempo yang dimainkan olehnya.

“Purrr... Please.. ahh....” Aku mulai lemas.
“Keluarin aja, Ras... ahh...”

Pur sama sekali gak menghentikan atau memperlambat temponya. Aku pun hanya fokus demi mencapai puncak kenikmatanku sendiri. Pinggulku naik semakin tinggi lagi. Lendirku terciprat akibat benturan selangkangan kami berdua.

“Puuuurr.. Stooop... Ahh...” Aku menekan pinggul Pur lekat lekat.

Aku pipis. Cairan yang lepas itu menyembur hingga membasahi perut kami berdua, lalu turun ke sofa sampai basah kuyup. Begitu aku lemas, Pur sama sekali gak mau tau. Dia kembali menggoyang dengan tempo serupa seperti sebelumnya. Aku yang lemas hanya bisa menunggu Pur menyelesaikan apa yang harus dia selesaikan.

“Raass... Shhh... Keluarin di mana??” Tanya Pur dengan nafasnya yang memburu.

Tanpa menunggu, Pur melepas batang penisnya dengan tiba-tiba. Dia melangkah ke atas badanku dan menyodorkan penis kerasnya. Pur mengocoknya sendiri. Aku selalu tahu momen ini, lalu aku menunggu di bawah batang penis Pur dengan lidah menjulur.

“Raas... keluarhh... keluarhhh....” Nafas Pur masih memburu.

Satu, dua, empat semprotan sperma hangat memabasahi dagu, pipi, hingga rambut panjangku.

Begitu muncratannya selesai, aku segera membersihkan kepala penis Pur. Kuhisap sperma-sperma yang masih tersisa dari saluran urinnya. Kulumat batang penisnya jauh hingga ke pangkal beberapa kali. Pasti itu juga yang diinginkan Pur usai tiap kali spermanya memancar membasahi tubuhku.

Ratusan tahun kami melakukan ini sejak menjadi partner, dan tidak ada bosannya. Apalagi keesokan harinya keperawananku selalu kembali seperti semula. Hanya saja, pengalaman tak bisa membohongi kemampuanku yang terus berkembang.

Kami lanjut beristirahat setelah permainan yang seksi dan cepat tadi. Aku beranjak dari sofa untuk mencuci muka.

“Sekarang apa?” Tanya Pur.
“Sembunyi di sini sampai tiga hari, kan?” Aku mengonfirmasi.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Kenia Dwi Lasya


Kak Rivin


Putri Larasati
 
Terakhir diubah:
Mantap jaya.

Eh itu udah ratusan tahun dengan pasangan yang sama tapi gak pernah bosan. Top deh
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 6
Hari Kesurupan


POV Erna

Sudah lima hari gue mengikuti kegiatan kakak gue dan pacarnya yang aneh itu. Kegiatan gue selama tiga hari belakangan adalah jaga bokap di rumah sakit, di mana kakak gue juga pasti datang dengan pacarnya untuk ML di ruangan mana pun yang berbeda-beda. Gue menyangka salah satu dari mereka, atau dua-duanya, punya fetish yang luar biasa gila.

Setiap sore pula, ketimbang pulang untuk mandi atas suruhan nyokap, gue mengikuti kakak gue diam-diam.

Hari Senin adalah hari pertama gue menjadi mata-mata. Di hari pertama itu, gue mengikuti kakak gue sampai ke tempat makan mewah di sekitar Senayan. Setelah itu, mereka check in di hotel bintang empat. Hal itu memaksa gue menyudahi pengintaian karena CCTV ada di segala penjuru gedung hotel. Hari selasa, mereka pergi lagi ke hotel di Harmoni. Hari rabu, mereka pergi jauh ke Puncak, makan sate kambing, lalu menyewa villa dan gak pulang di hari berikutnya.

Naik motor pulang-pergi ke puncak membuat gue terpaksa jalan ngangkang setibanya di rumah sakit. Hari kamis ini, gue yakin pasti mereka gak datang ke rumah sakit.

“Uda kamu kok dateng ya hari ini?” Tanya nyokap polos.

Berkilah lah gue dengan jawaban menggeleng dan bahu terangkat. Padahal, gue tau banget kalau kakak gue pasti sedang beradu selangkangan di pinggir kolam renang di villa sana.

Selama pengintaian, gue pernah sekali penasaran. Bagaimana kakak gue masih bisa menjalankan bisnisnya meski seharian cuma bercinta di tempat yang berbeda-beda. Satu hal yang membuat gue bisa menduga-duga pertanyaan gue sendiri adalah tangan kakak gue yang aktif menelepon banyak orang.

Mudah-mudah pikiran positif gue benar.

Menjelang sore, gue bisa bernafas lega karena kegiatan mata-mata hari ini bisa libur dulu. Hari ini juga sekaligus hari ketiga tahlilan ibunya Hari. Toleransi menjaga bapak yang sakit memang hal yang lumrah untuk dimaafkan temannya yang sedang berduka. Sayangnya, buat gue itu bukanlah hal yang baik, karena sebenarnya gue punya pilihan setiap malamnya untuk datang ke Tanah Abang daripada jadi mata-mata.

Gue punya rencana mantap. Setelah gue pulang dan mandi, gue harus banget ke sana. Maka, pulanglah gue setelah berpamitan dengan nyokap.

“Woy, uhang ketek, tepat waktu banget pulangnya. Udah kaya kantoran aja.” Suara parau itu membuat banyak orang menoleh.

Kakak gue di sana, di depan pintu depan rumah sakit, sejajar dengan satpam jaga yang ikut menoleh dan menggosok-gosok kupingnya sendiri karena suara tadi sangat lantang. Dia, kakak gue, tetap bersama kekasihnya yang aneh itu. Si Inhuman misterius. Itu julukan gue, padahal belum terbukti juga.

Dengan begini, rencana pulang dibatalkan.

“Lho, Kak Rosi dateng lagi?” Gue bertanya diplomatis, dengan senyum palsu.

Senyum manisnya terkembang menjawab pertanyaan gue. Dia pun mengumbar kata-kata manis berbumbu lawakan garing untuk mendapatkan hati calon adik iparnya. Jelas gak akan menusuk sampai hati. Gue udah cepat-cepat mencoret dia dari daftar skuad keluarga Erna FC, bahkan sebelum dia resmi bergabung.

“Kok balik lagi?”

Nyokap terheran-heran dengan gue yang berjalan mengekor di belakang sang kakak dan pacarnya. Gue sendiri lebih memilih mengekor daripada berada di depan mereka, karena ada hal menarik yang bisa dilihat dari belakang.

Pantat Kak Rosi memang semok, tali g-stringnya juga sering mengintip, tapi gue bukan lesbian. Ada sesuatu yang berpendar hijau dari dalam tas jinjingnya, lalu tas itu ditenteng di bagian kanan tangan agak ke belakang. Sedikit-sedikit gue bisa mengintip apa yang ada di dalam sana.

Pertanyaan pertama selama 5 hari ini sepertinya mulai terjawab. Kekuatan aneh itu mungkin muncul dari sebuah batu sebesar biji salak yang berukir.

Usai Isya, kakak gue dan pacarnya menghilang lagi. Nyokap sendiri masih bingung kenapa gue balik lagi. Gue sendiri sibuk berkeliling rumah sakit, kebingungan mencari ruangan mana lagi yang dipakai bercinta oleh pasangan fetish itu.

"Geblek!" Gue kaget sendiri.

Lima belas menit kemudian, akhirnya gue menemukan gagang pintu yang gak tertutup rapat di ruang janitor, ditambah lagi gagang itu berpendar. Gue sempat terusik karena mereka memilih tempat yang berbeda hari ini. Ruangan janitor itu ruangan yang umum. Setiap kantor atau instansi apapun pasti punya ruang janitor, atau yang agak mirip, ya pantry. Alasan kuat apa sampai harus memilih ruangan begitu ketimbang ruangan-ruangan khas rumah sakit.

“Ahhh... sayang..” Kakak gue melenguh dengan suara ngebass.

Sebuah distraksi yang menjijikan.

Distraksi itu membuat pemikiran rumit gue gak berlangsung lama. Pemikiran lain yang lebih cerdas muncul sekonyong-konyong. Seharusnya ruangan janitor lebih aman di malam hari karena petugasnya gak terlalu banyak. Akhirnya, dengan sedikit perjudian, gue diam-diam menyungkil batu yang tertempel gak terlalu dalam di gagang pintu ruang itu.

Seketika kepala gue agak pusing dan perut gue mual. Tapi tanpa pikir panjang lagi, gue langsung melangkah pergi dari sana, pamit kepada nyokap, lalu langsung meluncur ke Tanah Abang tanpa pulang dulu.

Satu jam kemudian, gue sampai di Tanah Abang. Tapi, karena sadar diri gue bau karena belom mandi, gue menunggu di depan sampai acara tahlilan selesai dengan badan lunglai.

“Ini dia yang ditunggu-tunggu dateng.” Dani datang menepok jok motor gue.
“Kak, kenapa gak masuk dari tadi sih.” Kenia ikut keluar rumah.
“Eh, Erna... Kok, lu...?” Hari nongol belakangan.

Semua tamu sudah pulang, karpet udah digulung rapi, dan piring-piring udah disusun di rak piring dengan aroma jeruk nipis yang tercium jelas.

Setelah itu, Kenia mulai bicara dengan nada manjanya kepada Hari. Dia meminta diizinkan menenggak minyak ikan pemberian Lina. Kenia merengek ingin jadi inhuman. Dengan reaksi Hari yang menunjukkan kebosanannya menjawab, gue yakin Kenia sudah meminta berkali-kali.

“Kenia, itu tanggung jawabnya gede lho.” Dani menjadi jubirnya Hari.
“Tapi sekarang keadaan udah berubah kan, Kak.” Kenia manyun.

Hari menghela nafas, pertanda dia akan bicara panjang lebar.

“Kenia, jadi inhuman bukan solusi satu-satunya. Kakak dan Erna sejak pulang dari Tonga udah diwanti-wanti supaya gak muncul atau nunjukkin kekuatan. Buat Abang sama Kak Erna emang gampang, karena dia gak berubah wujud atau butuh alat apa-apa untuk ngendaliin kekuatan. Tapi liat kemarin, ibu pakai baju zirah, diliat orang-orang...”

Hari belum menunjukkan tanda-tanda selesai ceramah. Hanya saja, dia berhenti bicara setelah melihat gue. Gue sendiri paham, ini belum saatnya ganti topik. So, batu ini masih gue simpan erat di kantong celana.

Gue duduk bersandar di sofa. Pusing.

“... Kemarin abang kena teguran dari A.T.C.U. gara-gara tindakan di Karang Tengah itu beresiko ketahuan.” Hari menyelesaikan ceramahnya sambil melihat gue.

Hari benar-benar menyudahi ceramahnya. Kenia disuruh tidur cepat. Dani menemaninya untuk menetralisasi suasana yang menegang antara kakak-adik yatim piatu ini.

“Na, mau minum apa? Capek banget kayanya.” Hari duduk di sebelah gue.
“Gampang lah, gue ambil sendiri.” Gue cuek.

Sebenarnya, rasa mual dan pusing udah melanda kuat dari tadi. Badan gue juga rasanya makin lemas. Bisa jadi reaksi tubuh gue ada hubungannya dengan batu yang gue bawa ini. Gue gak mungkin maag karena tadi sore udah makan, dan gak mungkin juga masuk angin. Pokoknya gak mungkin sakit biasa.

“Har, lu ada obat sakit kepala gak?” Gue mengurut kening.

Hari mengambilkan satu kaplet obat generik sakit kepala dan segelas air putih. Dia dengan inisiatifnya pula langsung memijat kaki kiri gue. Bukan pijitan yang terenak, tapi lumayan membantu meredakan sakit yang gue derita secara tiba-tiba ini. Kaki gue dipangku di atas pahanya, dan gue hanya diam sambil merebahkan di atas bantal kecil.

“Kenia minta jadi inhuman.” Hari mulai cerita.

Hari bilang, sejak tahlilan hari pertama, Kenia ingin bisa menjaga diri sendiri supaya gak ada korban lagi akibat dirinya lemah. Hari udah menawarkan latihan pencak silat, tae kwon do, karate, bela diri praktis, dan sebagainya. Tapi, Kenia bersikeras bahwa solusi satu-satunya adalah menjadi inhuman.

Bukannya Hari gak menjelaskan opsi terjadinya terrigenesis 50-50. Menjadi inhuman memang sangat untung-untungan. Gak semua orang yang mewarisi DNA inhuman bisa berubah menjadi inhuman. Sebagian diantaranya hanya menjadi pembawa gen tanpa bisa terekspresi. Mau berapa kali pun makan ikan atau bahkan dilempari kristal terrigen, kalau gak terkespresi ya gak akan berubah.

“Hereditas.” Tanggapan gue singkat karena masih pusing.

“Gue juga udah ngejelasin prinsip meiosis sel berkali-kali. Kenia juga udah tau itu pelajaran SMA.” Lanjut Hari.

Gue mengerti kalau Kenia ingin menjadi mandiri. Kegagalan, kesedihan, kengerian, atau apapun yang udah terjadi beberapa waktu belakangan membuat Kenia menjadi orang yang berubah drastis. Gue memang gak begitu kenal Kenia seperti Dani, Eda, atau Jamet. Gue baru kenal dia sejak akhir tahun lalu setelah mengetahui kalau kakaknya adalah Inhuman. Tapi, gue bisa merasakan sesak batinnya sebagai sesama cewek.

“Gimana hari ini? Masih sibuk?” Hari mengubah topik pembicaraan.
“Ha? Eng...”

Gue terdistraksi lagi karena perubahan topik yang tiba-tiba. Gue kira Hari mau bercerita soal usahanya di Karang Tengah Kemarin, atau sesuatu yang mungkin berguna untuk misi kami. Nyatanya bukan.

Tangan Hari mulai menggeliat naik ke betis gue. Gue beruntung memakai celana panjang longgar model khaki, karena kadang pijitan Hari begitu kuatnya sampai gue mulai meringis. Kalau hari ini yang gue pakai adalah jeans, bisa jadi betis gue udah lecet.

“Celananya ngalangin, Na. Gue naikin ya?” Katanya.
“Eh? Eh?”

Tanpa izin yang disetujui, Hari udah mendorong naik celana panjang gue sebelah kanan hingga melewati batas dengkul. Sebelum gue sempat menegur, pijitan Hari udah menguasai titik lemah gue lagi. Begitu juga setelah dia berpindah ke kaki gue yang satunya. Gue agak curiga kalau kekuatan penyerapan energi Hari digunakan untuk memijit gue.

Rasa pusing dan mual ini belum juga hilang. Belum juga rasa kantuk datang. Mau pulang tapi gak cukup kuat. Dani pun belum muncul lagi dari kamar Kenia di lantai dua. Hanya gue dan Hari di ruangan ini dalam kondisi mencekam.

“Na..” Panggil Hari.

Hari berpindah, kaki gue turut dipindahkan dari pangkuannya. Kepala berangsur naik dengan tangan yang juga ikut meraba naik. Begitu tangannya menyentuh bagian payudara, gue berontak, tapi terlampau lemas.

Nafasnya yang menderu, hangat, menempel di telinga gue dari luar jilbab. Jangan salah, gue gak sama sekali terpancing, malah sebaliknya. Jijik. Gue berusaha meronta, tapi yang keluar dari mulut hanya erangan-erangan kecil. Hari benar-benar bekerja sama dengan sakit yang gue derita untuk membuat gue makin lemas.

Gue berguling ke samping hingga terjatuh dari sofa. Kaki gue gak punya kekuatan untuk menopang tubuh sendiri. Akibatnya, gue cuma bisa mendorong badan dengan tumpuan tangan, entah ke arah mana. Teriak pun tak mampu.

“Nghh.... Har.. Please...” Gue masih merangkak menjauh dari Hari.

Hari seolah kerasukan. Dia memeluk pinggang gue dengan kedua tangannya. Dia mencari tali pengikat, kancing, atau apapun benda yang membuat celana gue masih terpasang rapi. Sayangnya, pemberontakan gue gak ada-apanya. Tali pengikat celana gue dilonggarkannya dengan mudah.

“Jangan.. Hari...”

Ibarat volume televisi, suara gue sekarang mungkin hanya di poin 1 atau 2.

Hari mendengus. Dia menarik lolos celana gue terlepas langsung bersama dengan celana dalam. Dia seolah fasih bagaimana cara menelanjangi wanita. Mungkin begitu caranya dia bermain selama bersama Kak Puri dulu.

Gue masih berusaha merangkak menjauh. Pintu keluar seolah menjadi puluhan meter jaraknya. Kaki gue menendang ke belakang dengan percuma. Gue gak mau melihat Hari yang tiba-tiba kelakuannya menyerupai binatang. Posisi kami sekarang menyerupai monyet yang siap bersenggama.

Gue masih memberontak dengan sisa-sisa tenaga.

“Hari.. gue temen lu...” Ada sesuatu yang hangat tiba-tiba melekat di pantat gue. Gue gak mau melihat. Sedetik lagi, pertahanan terakhir gue rasanya bisa bobol.

CESS. CESS. Suara ICER menggema. Hari membeku biru.

Dani muncul tiba-tiba dengan ICERnya. Posisinya berdiri tegak dengan dua tangan berada di pelatuk pistol yang masih diacungkan dari jarak dekat kepada Hari. Kenia berada di belakangnya, menggulung-gulung baju Dani dalam ketakutan melihat kakaknya yang seperti orang kesurupan.

“Gimana sih? Kok bisa??” Dani melotot dan bertanya.
“Abang... Kenapa?” Kenia menggigil ketakutan.

Gue buru-buru memakai celana gue kembali. Di kantong celana, gue teringat ada sebuah batu yang berpendar hijau. Batu yang mendadak gue salahkan atas sakitnya gue secara tiba-tiba. Gue rogoh saku untuk mencari benda itu, lalu gue gelindingkan jauh-jauh. Batu itu masih berpendar.

“Itu apa?” Kenia bertanya.
“A-awas! Itu batu bahaya! Bisa nyala!” Jawab gue, masih shock.
“Apanya yang nyala?” Dani menanggapi heran.

Gue menghela nafas, teringat akan kejadian pertama soal gagang pintu di rumah sakit. Diantara orang-orang yang berlalu lalang, hanya gue yang bisa melihat gagang pintu itu berpendar hijau. Saat ini, pasti kondisinya sama.

Dani mengambil batu itu dengan hati-hati. Dia menggenggam, mengingat sesuatu yang ada hubungannya dengan kata batu. Mulutnya komat-kamit mengulang kata batu berkali-kali dengan mata melirik ke seantero langit-langit rumah.

“Ugh.. Kepala gue.” Hari bangun memegangi kepalanya.

Hari cukup kuat juga. Dua tembakan ICER harusnya bisa membuat orang biasa berhenti bergerak sekitar dua jam. Tapi Hari, dia bangkit lagi setelah dua menit. Batangan di selangkangannya kembali mengacung tegak.

Belum sepenuhnya Hari sadar, dia menunjukkan gelagat kesurupan lagi. Dia berjalan menuju Dani tanpa rasa malu soal ketelanjangannya. Kenia langsung kabur ke kamarnya, menutup pintunya rapat-rapat sambil menjerit.

“Abaaang!! Sereem!!” Begitu jeritannya.

Dani sontak kaget ketika bibirnya dilumat habis oleh Hari. Dia sempat melirik ke gue, memberi kode untuk lari ke atas mengikuti Kenia. Secepat kilat, Hari memojokkan Dani ke dinding, begitulah terakhir gue melihat mereka berdua.

Beberapa menit kemudian, hanya suara desahan yang gue dan Kenia dengar dari kamar atas.

“Alat-alatnya Kak Dani di mana, Ken?” Tanya gue.

Kenia menunjuk ke arah tas yang ada di dinding, di bawah jendela kamarnya. Gue mengobrak-abrik tas itu dengan buru-buru. Pistol ICER menjadi pilihan yang terbaik sekarang, karena itu satu-satunya yang gak melukai hari. Kalau pun masih berontak, TASER bisa jadi opsi kedua.

“Itu apa kak?” Kenia bertanya alat seperti remote yang gue pegang.
“Ini TASER, kejut listrik. Aman kok.” Jawab gue.

Kami berdua berjalan mengendap-endap dengan ICER di genggaman gue dan TASER di tangan Kenia. Kami menunduk, mengintip dari celah pegangan tangga ke arah ruang keluarga. Pandangan kami tertuju kepada Dani dan Hari yang masih terhalang sofa, tapi desahannya terdengar keras.

Begitu kami turun dan mendekat, jelaslah sudah. Kebetulan juga di saat yang benar-benar tepat. Hari telentang puas, penisnya masih menancap dalam ke liang vagina Dani yang juga sama-sama puas. Keduanya berkeringat, namun masih menggeliat pelan. Di antara kedua selangkangan Dani, mengalir turun lendir putih.

Dani menengok ke belakang, kepada kami.

“Gue bisa jelasin.” Katanya tanpa ragu.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Batu apakah itu?

Terimakasih updatenya suhu
 
Apa salah satu batu yg di cari Laras ya..??????

Waaaah bisa bikin orang horny...hehehe...jooos Dani dan Hari
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd