Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 7
Akhirnya Tugas Datang


POV Dani

Matahari udah terbit sejak sejam yang lalu, hingga menerobos melalui jendela kamar Hari. Terangnya memantul dari lantai keramik putih. Si pemilik kamar masih tidur. Beberapa saat setelah mengerjapkan mata, barulah alam logika gue kembali ke dalam kepala.

Tadi malam gue dan Hari ketahuan bercinta ria di samping sofa, di lantai yang dingin. Erna dan Kenia sama-sama ngelihat dengan mata kepalanya sendiri. Setelah itu, kami berdua kabur tanpa suara dan masuk kamarnya Hari. Kami buru-buru tidur untuk mengurangi rasa malu akibat ketahuan.

Pagi ini, gue harus ngejelasin semuanya kepada mereka berdua. Gue pun pergi ke kamar mandi lebih dulu. Disana, gue melewati Erna dan Kenia yang lagi sarapan bubur ayam sambil nonton tivi.

“E-Ehm..” Gue berdehem.

Gue mencari-cari perhatian sekembalinya dari kamar mandi.

“Ken, cuci mangkoknya gih.” Erna bertitah pelan.

Kenia mengangguk. Situasi super canggung langsung tersebar seantero rumah. Gue harus membuka pembicaraan supaya kejadian semalam bisa diselesaikan dan muncul solusi untuk bersama.

“Semalem...” Kata gue.
“Kenapa sih?? Kenapa bisa??” Erna langsung memotong.

Gue menarik nafas panjang, dari hati lepaslah rasa syukur karena Erna masih mau bicara sama gue. Dulu, waktu SMA, gue pernah punya temen yang kalo marah gak pernah mau ngomong. Semuanya seakan harus bisa berkomunikasi lewat telepati. Siapa yang bisa bertelepati dengan frekuensi yang sama, maka dia bisa berbaikan. Kalau nggak, temen gue itu gak akan ngajak bicara lagi sampe lulus.

Jadi, pagi ini seenggaknya langkah pertama penyelesaian masalah terlewati dengan lancar.

“Ceritanya panjang.” Gue penuh percaya diri memulai penjelasan.

Gue menceritakan semuanya, sejak bagaimana Hari kehilangan Puri sebegitu sengsaranya. Lalu, kami melampiaskannya satu malam penuh bergumul berdua untuk melupakan kejadian di Tonga. Sejujurnya, setelah itu Hari gak mau mengulangi kejadian yang sama. Katanya itu salah, apalagi gue secara tersirat juga memiliki peran sebagai mantannya Eda.

Pertanyaan selanjutnyalah yang gue gak bisa jawab.

“Gue nanya, tadi malem kenapa bisa?” Erna jadi detektif.

Gue gak ngerti harus jawab bagian mananya. Kalau bagian yang gue meladeni maunya Hari, jelas gue masih pengen menikmati selangkangan. Gue cewek, pernah dibelai, dan masih haus belaian. Kali pertama gue dan Hari bergumul di kasur itu sangat berkesan. Dengan sangat jujur gue bilang kalau gue pengen lagi.

Tapi gak mungkin gue jawab begitu ke Erna. Bisa berabe. Jadi, gue mengambil sudut pandang yang lain. Sudut pandang Hari yang kenapa tiba-tiba bisa binal. Apalagi dia mampu bernafsu tinggi sama Erna yang hijaber. Padahal, Erna anak baik-baik, kami semua tau itu.

“Gue gak tau Hari kenapa bisa begitu.” Itulah jawaban pendek gue.
“Gue gak nanya Hari. Gue nanya elu, kenapa mau?” Erna belum puas.
“You know that reason.” Gue mengangkat bahu.

Yes, gue akhirnya berhasil ditelanjangi. Gue harap Erna bisa tau kalo gue memang lagi pengen bermain cinta. Pengen banget. Tapi bukan berarti gue jatuh cinta sama hari. Nggak. Kapal jet gue belum pernah lepas landas lagi hanya untuk menjatuhkan diri ke lembah terdalam bernama cinta.

Erna menghela nafas..

“Tetep ya, gue sumpah jijik sama yang begituan. Lain kali langsung cari kamar. Kunci!”

Erna berceramah layaknya orang sekuler. Gak cocok. Gue mengangguk, mengiyakan sesuatu hal bisa lebih baik untuk membuat situasi kembali cair.

“Soal Hari, gue udah tau penyebabnya.” Erna beralih topik.

Erna menoleh meja kecil di pojokan dinding. Gue melihat batu seukuran biji salak tergeletak bebas. Sebuah batu biasa, mirip batu kali yang ujung-ujungnya tumpul berwarna abu-abu kehitaman. Ukuran batunya pas dalam genggaman, apalagi buat orang-orang yang percaya sebuah batu bisa menahan rasa berak.

Itulah batu yang dilempar Erna jauh-jauh semalam.

“Menurut lu itu apa?” Erna menggedikkan kepalanya ke depan, matanya masih terpaku ke batu tersebut.
“Batu?” Gue bertanya balik.
“Liat lagi.” Balasnya.

Memang ada yang unik. Batu itu berukir huruf ‘Fy’. Sebuah ‘F’ huruf besar dan ‘y’ huruf kecil. Huruf-hurufnya berbelok halus tanpa sudut, tapi gak bersambung satu sama lain. Tanpa ditanya, gue langsung mencari ide tentang huruf itu. Tapi, huruf Fy yang gue ingat dari dulu sampe sekarang cuma ada satu, sebuah simbol persamaan kalkulus.

“Fungsi Y?” Gue bergumam heran.
“Entahlah. Ada lagi yang lu liat?” Jawab Erna.

Gue menggeleng.

“Kalo gue ngeliatnya benda itu berpendar sepanjang waktu.” Jelas Erna.

Erna mengatakan benda itu berpendar dan hanya bisa dilihat olehnya. Kami berdua sepakat bahwa memang kemampuan Erna sebagai perasa frekuensi-frekuensi yang gak kasat mata, dan itulah pembeda kami. Selain itu, batu itu bisa membuat Erna pusing, mual, dan lemas perlahan-lahan bila terlalu dekat. Batu itu juga yang diduga menyebabkan Hari menjadi binal semalaman.

“Kok bisa gitu?” Gue berbalik menjadi detektifnya sekarang.
“Gue mikir semaleman sampe gak tidur. Mungkin ada hubungannya sama pemilik batu ini dan kakak gue.”

Gue belum menangkap analisisnya Erna.

“Kita gak bisa jawab ini sendiri. Sebentar lagi Pur sama Laras sampe kemari.” Erna meneruskan.
“Pur sama Laras mau ke sini?”
“Mereka pasti lebih tau daripada kita.” Jelas Erna.

Usai diskusi yang penuh kemisteriusan ini, gue membeli sarapan sendirian buat diri gue dan Hari juga. Semalaman berpikir keras ternyata bisa membuat Erna lupa juga buat sekalian beliin kami berdua sarapan tadi.

Sepulangnya gue dari tukang bubur, Hari udah bangun. Dia juga udah dijelaskan baik-baik oleh Erna. Sebaliknya, Hari sungguh minta maaf soal apa yang semalam diperbuatnya sama Erna. Kalau gak dicegah lebih lanjut, Hari bisa beneran sembah sujud di kaki Erna.

Waktu gue tanya apa dia ingat semua kejadian, ya, dia lumayan ingat semuanya. Semuanya terekam jelas semalam, kata Hari. Dia bukan mabuk, bukan celeng, bukan juga khilaf. Dia bener-bener merasa seperti dalam masa birahi tertingginya sebagai manusia.

Satu setengah jam kemudian, Pur dan Laras muncul di depan rumah.

“ASTAGA!!” Pur memegang kepala dengan kedua tangannya.

Berbalik keadaan dengan Pur yang berisik, Laras gak bisa berkata-kata. Mulutnya hanya terbuka selebar-lebarnya.

“Kenapa sih?” Tanya gue.
“Iya, ada apa sih?” Kenia ikutan penasaran.

Gak ada jawaban selama lima menit gue dan Kenia bertanya. Pur dan Laras terus memandangi batu itu dari berbagai sudut dan posisi. Berkali-kali mereka mengagumi sebuah batu seukuran biji salak itu. Pur berkali-kali pula berganti posisi dari berdiri, duduk, berlutut, sampai jongkok.

“KALIAN NEMU DIMANAAA?!” Laras akhirnya mengeluarkan kalimat.
“Bukan nemu. Gue nyolong.” Erna menjawab lugas.
“DARI SIAPAAA????!” Laras menuju muka Erna.
“AAAAAAAAAK!!” Erna menjerit.

Laras sekejap meremas kedua bahu Erna. Dia juga mengguncang badan Erna sepenuh hati, seolah beribu jawaban bisa rontok dari kepala Erna semacam biji-biji kapuk. Laras lupa kalo dia makhluk yang kuat, sedangkan Erna inhuman kelas rendahan. Fisiknya Erna masih sama seperti cewek-cewek umum. Begitu diremas dan diguncang seorang alien, rasa sakitnya pasti setengah mampus.

Kami butuh waktu sebentar untuk menenangkan diri masing-masing. Selain itu, yang paling penting adalah bicara jauh-jauh dari batu satu itu. Kalau dekat-dekat, Erna bisa teler dan Hari bisa birahi lagi.

“Oke oke, pelan-pelan, tarik nafas...” Gue membimbing mereka.

Pur dan Laras masih tampak gak sabaran, tapi mereka mulai bisa meredam semangatnya yang membara. Erna dan Hari masih untungnya aman-aman aja. Kenia juga aman. Dia gak diguncang apa-apa selain mentalnya yang masih rapuh karena ditinggal orang tua.

“Sekarang coba jelasin.” Gue mendadak jadi semacam guru meditasi.
“Itu salah satu batu yang kami cari.” Kata Pur.
“Orangnya yang kami cari.” Balas Laras.
“Orangnya cantik.” Timpal Pur.
“Berbahaya.” Timpal Laras.
“Seksi.” Timpal Pur lagi.

Gue buru-buru menghentikan upaya tumpang tindih ucapan-ucapan mereka sebelum kalimat yang lebih ekstrim keluar. Ada bocah di sini. Kenia.

“Batu itu punya pacarnya kakak gue.” Erna menjelaskan.
“Batu itu bukan dari bumi.” Laras memotong.
“Pacar kakak lu seksi gak?” Tanya Pur.

Sebelum Pur mulai bertambah parah, gue melotot. Laras langsung mengerti. Dia mengeluarkan sapu tangan berwarna emas dari sakunya, lalu meyumpal rongga mulut Pur dalam-dalam sampai dia tahu kalau sekarang bukan waktunya bercanda.

Pur seketika juga mengeluarkan sumpalan sapu tangan dari mulutnya. Dia mau meludah, tapi malu sama tuan rumah.

“Gue gak bercanda. Kalo orangnya cantik, seksi, hidungnya mancung, dadanya agak rata...” Pur membelas diri
“Pur!” Laras menggertak.

Pur diam sebentar, lalu bicara lagi.

“Cewek itu namanya Rosi!” Pur akhirnya selesai dengan menggebu-gebu.
“ROSI? KOK TAU?” Erna mendadak meninggi.
“Rosi bukan manusia, bukan inhuman, dia makhluk bangsa Vanir.” Laras gantian menjelaskan.

Sebuah telepon dari hape Erna memotong diskusi kami sehingga mengharuskannya menyingkir sebentar untuk menerima telepon. Di sini, Laras menjelaskan siapa itu Rosi, atau lebih tepatnya apa itu Rosi dan bangsa Vanir. Laras menceritakan kalau bangsa Vanir hidup di Vanaheim, salah satu alam dunia lain selain Midgard dan Asgard.

Kami mendadak dijejali info soal mitologi bangsa Nordik. Sebelumnya, gue udah tau apa itu Asgard karena mereka udah ngejelasin beberapa hari lalu. Begitu pula konsep einherjar, meskipun kedua einherjar di depan kami ini masih misterius, menurut gue. Selebihnya, gue gak pernah baca soal mitologi dan belum sempat browsing. Gue masih buta mitos.

Akibatnya, begitu masuk kata-kata yang asing seperti Vanir, Vanaheim, dan semacamnya, mata gue langsung berputar menatap langit-langit rumah untuk membayangkan seperti apa konsep mitologi mereka.

“Yang perlu kalian inget, ada sembilan dunia di mitologi nordik, Asgard, Midgard, Vanaheim, Alfheim, Jotunheim, Nidavellir, Niflheim, Muspellheim, sama Helheim. Gue sama Pur dari Asgard dan kalian tinggal di Midgrad alias bumi. Ngerti gak?” Jelas Laras.

Gue, Hari, dan Kenia masih mengangguk.

“Selain sembilan itu, masih banyak dunia lain yang gak bisa dijangkau Heimdall.” Pur memotong.
“Rosi, dia dari suku bangsa Vanir, dari dunia Vanaheim. Paham sampe sini?” Kata Laras lagi.

Kami mengangguk lagi.

“Rosi nyuri batu rune punya raja Odin. Jadi kami ditugasin cari dia.” Sambung Laras.

Laras terus menjelaskan tanpa henti apa hubungan mereka berdua dengan Rosi. Panjang dan lebar. Inti yang bisa gue cerna dengan otak seorang makhluk Midgard adalah batu yang kami temui merupakan batu milik Rosi yang dicuri dari raja Odin. Bapaknya Thor. Semua itu barang-barang penting yang sewaktu-waktu bisa memicu Ragnarok katanya.

“Barusan nyokap gue yang nelpon. Udah waktunya giliran gue jaga.” Enrna memotong cerita Laras.

Sesuai permintaan, kini Laras dan Pur akan ikut ke rumah sakit untuk mengejar Rosi. Gue bisa membantu dari jarak jauh, sedangkan Hari gak boleh ikut beraksi kali ini. Dia rentan diguna-diguna Rosi. Kenia sendiri tetap dalam perannya sebagai anak bawang. Di samping itu, batu berjuluk rune yang dieja ‘eR-U-eN’ itu tetap harus jauh-jauh dari Erna.

Kami pun sepakat batu itu akan diambil alih Laras.

“Kakak gue pasti dateng sama pacarnya buat.., ya, tau lah.” Erna memastikan untuk kami.
“Oke, berangkat. Waktunya berburu lagi.” Pur jalan duluan.

Tiba-tiba, di saat yang bersamaan sebelum mereka berangkat, Hari ditelepon orang penting. Petinggi kami di A.T.C.U. bilang ada kekacauan mendadak di Mangga Dua Square. Mall itu diserbu kelompok bersenjata canggih sebelum waktu bukanya. Polisi sudah di tempat, tapi belum diperintahkan masuk. Kata bos kami, ada sepasukan di dalam mall sana yang punya bom, diduga berteknologi alien.

“Hammer Tech.” Hari sejalan dengan pemikiran gue.

---

POV Hari

Dua tugas muncul bersamaan. Erna bingung.

“Lu tetap ke rumah sakit, anter Pur sama Laras.” Dani meyakinkan.
“Biar gue sama Dani yang ke Mangga Dua kalo gitu.” Gue ikut meyakinkan.
“Aku ikut!” Kenia bersuara.

Gue awalnya dengan tegas menolak permintaan itu mentah-mentah. Mangga Dua Square pagi ini rawan menjadi arena baku tembak dan baku hantam. Seorang berpotensi inhuman bisa jadi target empuk.

Tapi Kenia dengan pintarnya membantah. Pertama, mereka bukan Roxxon yang kerjanya menculik inhuman. Kedua, Kenia gak gak akan aman sendirian di rumah. Ikut salah satu dari kami jelas bisa lebih aman, dan gak ada yang lebih nyaman dibanding ikut abangnya sendiri. Sepakatlah kami kalau Kenia akan ikut ke Mangga Dua Square.

Kendaraan tunggangan juga disepakati. Erna berangkat dengan motornya sendiri, sedangkan Pur dan Laras dengan motor dinas A.T.C.U. Kemudian, Gue, Dani, dan Kenia akan naik kereta sampai stasiun Kampung Bandan. Dari sana, hanya butuh beberapa langkah untuk sampai ke TKP.

“Hati-hati.” Dani menepuk pundak Erna.
“Lu juga.” Balas Erna.

Begitu para pengendara motor berangkat, kami pun bersiap-siap. Usai mandi singkat dan segala barang-barang agensi terangkum di dalam tas, kami keluar rumah. Kami bertiga berjalan cepat menuju stasiun Tanah Abang, berhimpitan dengan para penumpang commuter yang lain, lalu sampailah di Kampung Bandan dengan sedikit keberuntungan cepatnya jadwal kereta hari ini.

Kami berjalan ke arah kumpulan polisi. Masyarakat sekitar bahkan udah berkerumun seperti semut di luar garis batas polisi. Menurut gue, mereka terlalu norak dengan adegan seperti di film-film ini. Aktifitas di jalan raya pun sampai terhambat karena kumpulan manusia-manusia ini. Padahal, nyawa mereka bisa aja terancam peluru nyasar.

Gue selalu ingat pesan bos besar untuk tetap menjadi inhuman tanpa nama. Gue gak boleh menggunakan kekuatan inhuman sembarangan. Maka, dengan bermodal lencana A.T.C.U. dan beberapa bekal senjata sendiri, gue dan Dani diizinkan ikut briefing. Itu pun setelah opsi negosiasi mereka dengan para teroris gak berhasil.

Kenia diamankan di samping sebuah mobil barakuda.

“Biar saya yang pantau keadaan di dalam.” Dani berinisiatif.

Dani langsung mempersiapkan perangkatnya. Kamera-kamera lebah nan kecil terbang masuk ke dalam mall dari berbagai penjuru. Dari layar laptopnya, tampaklah bagian dalam mall. Setiap lantai telah dijaga oleh orang-orang bertopeng dan berompi anti peluru. Tangan mereka masing-masing menenteng senjata laras panjang dengan tipe yang tak dikenali polisi.

“Itu. Senjata rakitan. Gak terdaftar di Indonesia.” Tunjuk pemimpin operasi ke layar.
“Kita bisa masuk?” Gue bertanya.

Si pemimpin operasi gak langsung menjawab pertanyaan gue. Dia berpikir keras sambil menginstruksikan Dani untuk mengoperasikan kamera lebahnya agar terbang ke sana dan ke mari. Lima menit kemudian, barulah dia mengumpulkan kami semua dalam lingkaran.

Instruksinya, kami diizinkan masuk dari satu pintu kecil sebelah utara. Kami sebisa mungkin harus langsung naik tangga ke lantai paling atas, kemudian menyergap sebanyak mungkin orang. Kalau dibutuhkan, tindakan tanggap boleh dilakukan. Itu artinya akan ada kemungkinan tembak menembak hari ini.

Kami berkumpul, berdoa. Gue sendiri berdoa lebih banyak dibanding orang lain. Gue gak mau mati segera setelah berkegiatan mesum malam tadi. Gue maunya mati nanti, setelah lewat usia 70 tahun.

Dengan langkah ringan dan sebisa mungkin tanpa suara, kami mulai bergerak menuju pintu utara. Dua puluh orang anggota densus 88 anti teror diturunkan dari pihak kepolisian. Dari pihak A.T.C.U., hanya gue. Dani beroperasi dari luar seperti sebelum-sebelumnya. Kami harus efektif.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Asgard, midgard.....
Apakah ada kemungkinan thor muncul sebagai sekutu?
 
Waaaah...update...thx suhu....
Nantinya akankah kemampuan Hari akan berkembang ya.. .gw berharap si iya....
Dan Dani bisa cinta ma hari...betiguhalnya dgn Erna...hehehe
 
Kayanya blow the mind ya episode yang ini. Ane mau nanggepin beberapa komentar nih.

Well, unofficially inhuman di sini udah bersekutu sama orang Asgard, tapi bukan dalam skala besar.

Thor bakal muncul apa nggak? No much promises. Nikmatin aja hahaha.

Kekuatan Hari berkembang? Inhuman didesain cuma punya satu kekuatan spesifik. Mungkin inovasi dari penggunaannya yg bisa muncul baru kaya bola gempanya Daisy Johnson. Kalo Hari? Again, nikmatin aja hahaha.

Please stop request about my character's sex scene. I am getting annoyed by that. Ane punya kerangka cerita sendiri, dan sejak cerita season 1 udah bilang gak akan melakukan fan service. As I ever said, write your own story to fulfill your fetish.

Makasih.
 
Kayanya blow the mind ya episode yang ini. Ane mau nanggepin beberapa komentar nih.

Well, unofficially inhuman di sini udah bersekutu sama orang Asgard, tapi bukan dalam skala besar.

Thor bakal muncul apa nggak? No much promises. Nikmatin aja hahaha.

Kekuatan Hari berkembang? Inhuman didesain cuma punya satu kekuatan spesifik. Mungkin inovasi dari penggunaannya yg bisa muncul baru kaya bola gempanya Daisy Johnson. Kalo Hari? Again, nikmatin aja hahaha.

Please stop request about my character's sex scene. I am getting annoyed by that. Ane punya kerangka cerita sendiri, dan sejak cerita season 1 udah bilang gak akan melakukan fan service. As I ever said, write your own story to fulfill your fetish.

Makasih.

Thor udah muncul di infotainment hu, Thor-ah Sudiro :haha:
 
Kayanya blow the mind ya episode yang ini. Ane mau nanggepin beberapa komentar nih.

Well, unofficially inhuman di sini udah bersekutu sama orang Asgard, tapi bukan dalam skala besar.

Thor bakal muncul apa nggak? No much promises. Nikmatin aja hahaha.

Kekuatan Hari berkembang? Inhuman didesain cuma punya satu kekuatan spesifik. Mungkin inovasi dari penggunaannya yg bisa muncul baru kaya bola gempanya Daisy Johnson. Kalo Hari? Again, nikmatin aja hahaha.

Please stop request about my character's sex scene. I am getting annoyed by that. Ane punya kerangka cerita sendiri, dan sejak cerita season 1 udah bilang gak akan melakukan fan service. As I ever said, write your own story to fulfill your fetish.

Makasih.

Begitu ya...soalnya musuh kedepannya bakal semakin kuat. Entah dari manusia sendiri atau bangsa2 alien lainny.

Sex scene mah ngalir aja. Gak usah dipaksain. Jangan sampai merusak jalannya cerita.
 
Kayanya blow the mind ya episode yang ini. Ane mau nanggepin beberapa komentar nih.


Kekuatan Hari berkembang? Inhuman didesain cuma punya satu kekuatan spesifik. Mungkin inovasi dari penggunaannya yg bisa muncul baru kaya bola gempanya Daisy Johnson. Kalo Hari? Again, nikmatin aja hahaha.


Makasih.

Owh i see..
Thx suhu udah menjelaskan yg mungkin saya lupa kalo udah dinjelaskan .....

Siaaaaap menikmati ...... Walo banyak pertanyaaan dan ke inginan ..... Tp itulah nikmatnya membaca ...... Boleh punya smua itu, tp ttp jalan crita keputusan mutlak sang penulis.....bagi saya malah itu nikmatnya...hehehehe....
Skali lagi thx suhu...
Keep on writing
 
Nice story suhu, biarkan mengalir saja sesuai plot yg sudah suhu buat, ga usah pusing dgn permintaan reader buat fan service..
 
Episode 8
Kuliah Tambahan


POV Hari

Dani bilang, di dalam mall ada 21 orang. Kalau dibandingkan, jumlah kami dan mereka seimbang. Begitu juga dengan peluang kemenangannya. Kompi lain masih dalam perjalanan ke TKP.

“Tangkap!” Si pemimpin operasi berseru.

Satu persatu anggota musuh telah kami sergap dari belakang, menyelinap di antara lorong-lorong kios yang masih tutup. Kami sumpal mulut mereka dengan kain yang basah terendam eter. Sejauh ini ide menggunakan larutan kimia eter memang gila, tapi efisien. Eter bisa membuat pingsan, bahkan mati.

Harusnya eter juga gak dipakai sembarangan. Harus ditangani dalam lemari asam. Bahkan kalo di tempat gue kuliah, eter itu umum untuk praktikum bedah hewan, digunakan dalam langkah pertama supaya si hewan pingsan. Baru kali ini gue melihat larutan itu digunakan buat manusia dengan niat sengaja.

Kloroform aja udah dilarang, apalagi eter.

Tapi eter lebih baik daripada gue. Gue jadi gak harus bertindak sebagai inhuman, cukup sebagai pasukan yang bergerak paling belakang. Gue gak perlu yang namanya melumpuhkan musuh dengan menyerap energi mereka satu per satu. Aman.

“Naik.” Perintah pimpinan.

Kami naik ke lantai dua diam-diam melalui tangga darurat.

“Ada satu orang di depan tangga.” Kata Dani melalui earphone.

Dia sangat lihai menjadi mata buat kami. Instruksinya jelas dan terarah. Dua bulan menempa diri sendiri rasanya udah membuat dia berkembang jauh. Karena Dani, sekali lagi kami mampu melumpuhkan seorang musuh dengan mudah. CCTV bukanlah masalah karena juga udah diretas.

Beberapa belas menit kemudian, sampailah kami ke lantai atas dengan bekal informasi tambahan dari tawanan-tawanan kami. Bos mereka memang ada di atas sini, dikelilingi oleh anak buah yang lebih banyak. Mudah sekali.

Sayangnya, kami pun kini bertahan lebih lama di tangga darurat sebelum melakukan penyergapan. Pimpinan kami melakukan kalkulasi kemungkinan yang akan terjadi dengan sangat lama. Beberapa anggota udah mulai mandi keringat.

“Kita langsung ke kiri.” Instruksi pimpinan.

Si pimpinan membuka pintu. Saat itulah, kami menerima kenyataan kalau kami udah ditunggu oleh beberapa orang musuh. Waktu yang tersedia terlalu singkat untuk menghitung jumlah mereka. Senjata mereka udah teracung. Senjata kami belum.

DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!!

Rentetan tembakan menghujani kami. Orang-orang yang berbaris di depan gue tumbang bersimbah darah dalam waktu singkat. Gue refleks menjatuhkan senjata gue, lalu mengacungkan kedua tangan dan melebarkan telapaknya ke sisi depan.

Semua peluru langsung jatuh berdentingan di lantai. Benda-benda itu kehilangan energi kinetiknya.

“Tunggu apa? Tembak balik!” Bentak gue.

Gue menyuruh sisa anggota yang berlindung di belakang gue untuk menyerang balik. Rentetan tembakan menyerang balik para penembak. Mereka langsung jatuh juga bersimbah darah. Kecuali ada satu orang yang berhasil kabur.

Kami langsung naik dengan penyerangan terbuka atas perintah tangan kanannya pimpinan. Gue pun dipaksa menjadi perisai dan berdiri paling depan.

“Hari! Jangan gila!” Dani teriak dari earphonenya.
“Gak ada pilihan.” Balas gue.
“Mundur! Mundur!” Perintahnya.
“Pimpinan jatuh. Sekarang yang mimpin wakilnya.” Gue menjelaskan kondisi sekarang.

Beberapa musuh muncul satu-satu di antara lorong-lorong kios. Untungnya, kami berhasil melumpuhkan mereka dengan baik. Strateginya, gue selalu paling depan. Gue bukannya gak deg-degan, bulukuduk gue bahkan udah berdiri sejak masuk mall, tapi hanya ini opsi terbaiknya kalau kami ingin selamat.

“GAAGGHH!!” Orang di barisan paling belakang tumbang tanpa peringatan.

Kami semua menoleh ke belakang. Gak ada musuh sama sekali. Gak ada darah tergenang di lantai.

“Brontok jatuh.” Kata rekan di dekatnya.
“Dia kenapa?” Tanya gue.
“Atas!” Seorang yang lain menyuruh kami menyingkir.

Pancaran sinar berwarna kombinasi ungu dan merah muda mengejutkan kami. Untungnya kami berhasil menghindar. Gue memastikan sinar tersebut bersumber dari AC sentral di langit-langit gedung. Kami menjadi saksi mata bahwa sinar tersebut terasa seperti gelombang panas, membuat hawa udara bergelombang layaknya rel kereta di siang hari.

Dan sekarang gelombang tersebut mengenai jasad si brontok, nama kode rekan kami itu hingga berkedut-kedut.

"Gimana?" Kata si Dory.
"Waspada." Kata wakil pimpinan.

Semakin lama, sinar tersebut terpancar dari setiap AC sentral setiap dalam selang waktu tertentu. Sekarang kami semua seperti berada dalam zona bobby trap.

“Itu bisa jadi gelombang elektromagnet. Senjata alien.” Itu hipotesis gue.
“Kita ngelawan alien?” Tanya si Alap.
“Lawan kita manusia, senjatanya yang alien.” Lagi-lagi gue berhipotesis.

Kami terpaku dengan serangan balik musuh. Kondisi senyap, Dani pun juga tiba-tiba senyap. Gak ada perintah atau instruksi apa-apa lagi darinya sedari tadi. Bisa jadi kamera lebahnya telah dirusak habis. Kami saat ini terpaksa berjalan dengan buta dengan strategi dadakan. Hndari berjalan di bawah AC sentral.

Lawan kami sekarang adalah benda mati. AC central. Pimpinan kami lambat laun ciut nyalinya setelah mengetahui lawan kami gak seimbang. Apalagi setelah kami berjalan tak tentu arah. Akhirnya, dia memerintahkan kami mundur kembali ke luar gedung. Melalui tangga darurat adalah jalan yang paling aman karena gak ada lubang-lubang AC sentral di sana.

Penyergapan ini terancam gagal.

“Stop!” Seseorang bertopeng mencegat kami.

Orang yang mencegat kami membawa sandera. Seorang perempuan yang mukanya ditutupi kain hitam. Si penyandera mengancam akan membunuh sandera itu kalau kami melawan ataupun melarikan diri.

Sesaat setelah itu, oarang-orang lain bermunculan. Jumlah mereka kurang lebih tersisa sembilan orang termasuk si penyandera, sedangkan jumlah kami 14 orang termasuk gue. Secara perbandingan kami bisa menang, tapi kalau melihat situasi dan kondisi alamiah, kami lah yang tersudut.

Si penyandera bertindak layaknya bos. Bisa jadi memang dialah bosnya.

"Kalian tikus berkualitas." Dia terkekeh.

Dia ingin menjadikan kami manusia percobaan alat-alat alien mereka. Kami akan dipajang di lantai parkir paling atas, menghadap kerumunan manusia, lalu dibunuh dengan biadab. Begitu katanya.

“Kalian yang bakal mati.” SI wakil pimpinan mengancam balik.
“Kalian gak tau apa-apa, organisasi kami layaknya gunung es.” Kata si penyandera.

Wakil pimpinan kami mulai mengulur waktu, meminta bernegosiasi agar membebaskan sandera terlebih dulu. Tapi yang diterimanya hanya gertakan balik. Lawan kami itu mencaci hingga mengatakan kalau kami pengecut ketimbang penyelamat. Di akhir kalimatnya, dia membuka kain penutup si sandera.

Reflekslah gue mengatakan kekagetan gue.

”Kenia?”

---

POV Erna

Kami sampai di rumah sakit sekitar jam 10 kurang. Sebuah tayangan televisi di dekat meja resepsionis mencuri perhatian banyak orang. Tayangan tersebut menayangkan berita tentang upaya terorisme di mall Mangga Dua Square.

Sambil berjalan menuju tempat nyokap, Pur terus berisik.

“Kenapa harus Mangga Dua Square coba? Itu bukan simbol negara, bukan apa-apa, gedungnya juga masih tutup. Mereka mau apa?” Katanya.

Gue juga sejujurnya gak tau apa maunya Hammer Tech, sang organisasi yang kami duga adalah dalang dibalik kejadian pagi ini. Gue hanya bisa berspekulasi saat ini.

“Pamer mungkin. Di sana kan banyak penduduk.” Kata gue.
“Nah, bisa jadi begitu.” Balas Pur.

Pur berceloteh tentang sebuah suku dari dunia Alfheim. Dunia para peri katanya. Pur turut mengoreksi dongeng-dongeng di Midgard yang dia baca tentang peri. Peri gak seperti yang manusia duga, bertingkah baik hati. Mereka bukan seperti peri gigi, tinkerbell, atau ibu peri yang ada di sinetron bidadari.

Salah satu suku yang pengejaan namanya seperti orang kumur-kumur di sana itu paling suka pamer. Pur pernah dibuatkan roti manis yang rasanya asin setengah mati. Katanya, mantera gula tertukar dengan mantera garam, bentuknya rotinya juga gak karuan, gak ada unsur seni sama sekali, dan coklatnya pahit.

“Abis itu, dia bangga, loncat-loncat, pamer ke temen-temennya. Padahal nyicipin sendiri aja belom.” Cerita Pur.
“Tapi lu tetep makan.” Laras nyolot.
“Iya, tapi kan...” Pur mau mengoreksi.
“Lu makan karena lu mau nyicipin memeknya juga.” Laras kesel sendiri.

Laras langsung berjalan paling cepat diantara kami bertiga. Dia marah sama Pur. Mungkin cemburu. Tapi Pur gak merasa salah.

Akhirnya kami sampai di tempat nyokap menunggu. Gue kenalkan Pur dan Laras kepada nyokap. Tanpa rahasia, gue menjelaskan singkat kalau mereka makhluk dunia lain. Mereka makhluk Asgard yang mencari Rosi, karena dia juga makhluk dunia lain.

Nyokap gue lumayan tersentak mendengar itu. Anak perempuannya adalah inhuman itu masih wajar. Kalau anak lak-lakinya ternyata pacaran sama makhluk asing, ditambah lagi statusnya buronan, itu pasti bikin orang jadi gila.

"Tenang dulu, tenang dulu." Gue mengelus punggung nyokap.

Gue pun menjamin kalau kakak gue sama sekali gak tau tentang ini. Karena kalau tau, dia pasti kabur duluan. Kakak gue takut sama alien dari kecil karena dia pikir alien sama kaya setan.

Kami menunggu selama beberapa menit sampai kakak gue datang. Nyokap gue sampe gak jadi pulang untuk menerima penjelasan dari kakak gue. Kakak gue biasanya dia dateng agak siang cuma untuk bermain cinta di ruang dokter ketika dokternya istirahat.

“Nah, itu dia dateng.” Kata nyokap.

Kakak gue dan pacarnya, Rosi, datang dari ujung lorong sambil bergandengan tangan. Begitu kami semua menoleh ke arahnya, pacar kakak gue berbalik badan dan lari sekencang-kencangnya.

“Kejar!” Pur memulai pengejaran duluan.

Gue dan Laras ikut mengejar. Kami melewati kakak gue dengan tampangnya yang bengong tanpa ekspresi.

“Nanti gue jelasin!” Gue sempat-sempatnya bilang begitu sambil lari-larian.

Instruksi Pur dilantangkan dengan keras. Kami harus belok kiri, harus belok kanan, menyingkir, atau menyuruh orang di depan kami untuk menyingkir, bahkan pasien sekali pun diperintahkannya menyingkir. Akibat kelakuan Pur, kami sekarang ikut dikejar satpam.

Beberapa belas menit saling kejar mengejar, kami udah pindah gedung dan pindah lantai beberapa kali. Jejak Rosi terus menghilang segera setelah kami hampir berhasil menyamai jarak langkahnya. Akhirnya kami duluan yang tertangkap satpam.

"Lu sih!" Laras kesal sendiri.
"Lah kok gue? Lu aja yang kurang cepet." Pur merasa gak salah

Di ruang satpam, kami bertiga diinterogasi layaknya tersangka curanmor. Berbagai cara kami lakukan untuk membantah dugaan tersebut, tapi selalu dibantah balik.

Kabar kami tertangkap rupanya sampai ke telinga nyokap. Itu terbukti karena nyokap sendiri yang menjemput kami ke kantor satpam. Nyokap juga berbohong kalau kami menemukan pencopet di rumah sakit. Beberapa menit dan beberapa lembar lima puluh ribuan kemudian, kami bebas.

“Kenapa harus ngasih duit dah?” Gue sewot.
“Biar cepet.” Kata nyokap singkat.
“Mereka bibit korupsi, pencopetnya pasti gak bakal dikejar.” Laras bergumam.

Selanjutnya, nyokap bercerita hal yang gak diduga-duga. Sebelum menjemput kami, dia melewati ruang periksa kandungan. Nyokap yakin Rosi ada di sana, berbuat hal gak senonoh dengan seorang dokter. Nyokap bisa bilang begitu karena tadi benar-benar mengintip dari jendela yang gak ditutup rapat.

Nyokap juga meyakinkan kami kalau itu bukan kakak gue yang bercosplay baju dokter. Kakak gue dari tadi masih disuruh jaga di ruang tunggu. Gue bahkan bisa ngebayangin kakak gue kebingungan sendirian sampe kepalanya vertigo.

“Cepet kalian ke sana. Tapi jangan heboh kaya tadi.” Kata nyokap.

Nyokap gue berbelok ke lorong yang berbeda untuk kembali ke ruang tunggu. Kami bertiga berdiri terpaku dengan banyak ide di kepala. Dari sekian banyak ide yang beterbangan dalam imajinasi masing-masing, Pur duluan lah yang berani angkat bicara.

“Gue ada ide. Pasti manjur.” Dia mengengkat telunjuknya setinggi dada.
“Jangan sampe heboh kaya tadi.” Gue meminta.
“Suer.” Kata Pur lagi.

Pur hanya berbicara dengan satu kalimat penuh teka-teki. "Kuliah Tambahan" katanya. Laras diam sebentar, dia melotot, Pur ikut melotot. Lalu, laras cuma mengangguk tanpa menjelaskan apa-apa lagi.

Sekarang, tugas gue hanya disuruh duduk di salah satu bangku yang menghadap ke ruang periksa kandungan itu sambil baca majalah anak dan ibu hamil. Pur dan Laras udah pergi entah ke mana.

Banyak orang yang melintas di depan gue, melewati lorong di depan ruang dokter kandungan. Dari semua orang, gak satu pun yang menyadari kegiatan mesum di dalam ruangan sana. Beberapa orang karyawan juga mencoba membuka pintu, tapi selalu kembali beranjak pergi karena mereka merasa lupa akan suatu hal.

"Huuuft..." Baru kali ini gue dibuat penasaran dan bosan.

Suatu saat, ada perawat yang mengetuk pintu. Dia membuka pintu tersebut tanpa mengalami kejadian lupa diri. Dia mengatakan sesuatu yang bernada perintah pada orang di dalam sana. Sejenak tanpa suara, lalu dokter tersebut keluar sambil mengencangkan ikat pinggangnya.

Ruangan itu sepi lagi selama beberapa waktu. Ingin rasanya gue langsung menerobos ke dalam. Menyergap Rosi seorang diri rasanya bukan hal sulit. Kecuali dia punya batu-batu rune lain dan jumlahnya banyak.

“Jangan macem-macem.” Seseorang berbisik kepada gue dari sebelah kiri.

Dokter yang tadi! Sejak kapan? Bahkan gue gak pernah menyadari kehadirannya. Mendadak nyali gue ciut menghadapi situasi sekarang. Jantung gue berdetak keras. Ditambah lagi, Pur sama Laras lama sekali datang bersama strategi cemerlangnya. Gue udah gak tahan, antara pengen nerobos atau kabur.

Dokter itu beranjak dari sebelah gue. Dia kembali masuk ke ruangannya sambil tersenyum nakal. Gue tahu apa yang akan terjadi lagi di sana. Kegiatan yang sama seperti yang dilihat nyokap. Kegiatan sama yang dilakukan Dani dan Hari tadi malam. Ngebayanginnya aja udah bikin gue kejijikan sendiri.

Udah setengah jam lebih sejak dokter itu kembali ke ruangan. Ditambah lagi dengan setengah jam sebelumnya gue disuruh duduk untuk mengikuti rencana Pur dan Laras. Pantat gue keram, baterai hape udah lowbat cuma buat bolak balik buka instagram, dan 5 majalah udah abis dibaca. Gue super bosan.

Tiba-tiba Laras datang dari arah lain.

“Ayo, waktunya kita ngegrebek.” Katanya ringan.
“Hah? Udah?” Gue gak tau apa-apa.

Kami berjalan bersama menuju ruang dokter kandungan itu. Langkah Laras tegas dan yakin, sementara langkah gue ragu-ragu. Gue yakin dari tadi kalau gue gak melakukan apa-apa. Sekarang tiba-tiba kami bisa ngegerebek tanpa persiapan.

Laras membuka pintu dengan lancar tanpa mengalami lupa diri. Di dalam sana, dibalik tirai, di atas tempat tidur pemeriksaan, Rosi sedang tidur telentang tanpa pakaian. Sang Dokter juga. Dia menyodorkan penisnya yang mengacung tegak untuk dihisap-hisap oleh Rosi.

Gue mencoba untuk tetap hening meski mau muntah.

“Ngghh... I’m coming...” Kata dokter itu.
“Lihat mukaku, sayang.” Kata Rosi.

Beberapa kali hisapan dan jilatan dia lakukan. Laras melihatnya dengan tatapan lurus, sedangkan gue memalingkan muka. Gara-gara memalingkan muka itu, gue melihat tas tenteng Rosi di kursi dokter, di dalamnya berpendar banyak warna.

Gue hendak bergerak dari tempat gue berdiri, menuju tasnya Rosi.

"AAHHH...." Si dokter menggeram.

Gue refleks menoleh.

Tanpa aba-aba, cairan putih terpancar dari penis si dokter tepat ke wajah Rosi, bahkan ada yang sampai mengenai rambutnya. Sisanya, dia telan mentah-mentah sambil tersenyum binal. Nakal. Gue makin mau muntah.

“Bravo, bravo.” Laras bertepuk tangan.

Suara tepukan tangan Laras mampu menyadarkan Rosi dan si Dokter bahwa kami mengamati mereka sejak tadi. Bedanya, Rosi panik sepanik-paniknya, sedangan si dokter tertawa. Gue sendiri ragu apakah harus bertepuk tangan juga. Di mana serunya pertunjukan tadi.

Dokter itu pelan-pelan berpendar emas dan menyilaukan. Dari kepalanya meluruh bubuk-bubuk emas, terus turun ke badan, hingga kakinya. Dokter itu berubah jadi Pur.

"Pur???" Gue melongo.
"Anjing! Anjing!” Rosi mencaci maki.

Rosi mencoba kabur. Dia beranjak dari atas kasur, tapi langsung roboh ke lantai tanpa bisa berpijak di atas kedua kakinya. Badannya mendadak lemas dan berkeringat.

Pur berjalan ke arah komputer di atas meja dokter. Dia mengenakan pakaiannya kembali dengan santai. Setelah kancing terakhir baju Pur dikenakan, dia menunjukkan botol kecil kosong seukuran tempat kutek. Sementara itu, Laras mengambil sebuah choker berlonceng dari tasnya, lalu dipakaikan ke leher Rosi.

“Vavor, Rosi. Vavor.” Pur memamerkan botol kosongnya ke Rosi.
“Vavor apaan? Artinya apaan?” Cuma gue yang gak tahu apa-apa di sini.
“Anak-anak Loki bangsat!” Rosi mencaci lagi.

Laras menjelaskan secara sederhana kalau Vavor merupakan sebuah obat bius. Obat itu harus butuh perantara biologis. Diminumlah obat itu oleh Pur, dan Rosilah yang terkena efeknya karena barusan menelan sperma Pur.

“Ih, sumpah jorok.” Gue muntah sedikit, lalu buru-buru mencari tisu di ruangan itu.

Pur menggeledah tas tenteng Rosi. Seperti dugaan, ada banyak batu rune dengan bermacam-macam bentuk ukiran ada di sana. Pur dengan senang hati menyita semuanya.

"Cuma 6? Mana rune yang lain?" Laras gak puas.
"Apanya?" Gue mengelap mulut dengan tisu.
"Batu rune ada 26. Tapi ditambah yang gue pegang, ini cuma 7." Kata Laras.

Rosi diam dan juga gak bisa bergerak.

Laras memakaikan baju Rosi sambil beberapa kali menampar beberapa kali. Mereka kemudian hendak menggeret Rosi. Tapi, tiba-tiba di depan pintu udah ada nyokap dan kakak gue yang mukanya kaya kertas daur ulang ditekuk-tekuk.

“Rosi, kamu gapapa?” Kakak gue khawatir.
“Jauh-jauh, bos.” Pur menghalangi.

Sebelum suasana keruh, Laras menengahi. Dia mengajak kenalan kakak gue terlebih dulu. Kemudian, dia menjelaskan dengan hati-hati kalau mereka bertiga adalah semacam alien. Laras juga sempat menyebut gue setengah alien. Kakak gue tertegun, ketidakpercayaan adalah hal pertama yang menjadi responnya. Wajar.

Sisanya, gue harus menjelaskan sendiri nanti. Pur dan Laras harus segera pamit membawa Rosi ke Asgard. Sebagai bukti kalau mereka alien, nyokap dan kakak gue boleh melihat mereka pindah dunia di ruang dokter kandungan ini. Tempat ini lebih aman daripada harus dilakukan di parkiran mobil katanya.

“Erna, kita pamit dulu. Nanti kita balik lagi ya.” Kata Laras.
“Hati-Hati.” Balas gue seadanya.
“Bangsat!” Rosi mencaci.
“Santai dong, ada orang tua di sini.” Pur berpura-pura membisiki Rosi, tapi tetap kedengeran.

Kakak gue diam seribu bahasa begitu laras memunculkan pedang besar dari kehampaan. Sebuah batu rune berukir gapura hasil sitaan Laras digosokkan ke pedangnya. Selanjutnya, pedang itu dihunuskan sekali ke depan.

Sebuah portal berpercik api mirip yang dibuat oleh Sigit terbuka di depan kami. Bedanya, Sigit membuatnya rapi dengan bentuk melingkar, sedangkan portal yang dibuat Laras sekarang bentuknya lebih berantakan dan terlalu besar. Kami semua bisa melihat ke seberang portal. Sebuah istana sebesar gunung berwarna emas dan berkilauan.

“Itu rumahnya Thor.” Tunjuk Laras sambil tersenyum pada kami.
“Apa?” Kakak gue linglung.
“Oh iya, dokter yang asli masih gue iket di toilet. Tolong lepasin ya.” Pur nyengir.

Beberapa saat kemudian, berpindahlah mereka ke balik portal. Selepas itu, kami bergegas pergi dari ruangan karena berasumsi efek sihir pembuat lupa udah ilang. Semua yang kami alami tadi rasanya hanya singkat seperti kilat di langit, tapi sangat berkesan. Apalagi buat kakak gue.

Selanjutya sesuai dugaan, kakak gue meminta penjelasan sedetail-detailnya tentang apa yang barusan terjadi. Gue cuma menjawab singkat kalau Rosi itu orang jahat. Selebihnya, gue memilih mengelak.

“Mending lu gak tau apa-apa, Kak.” Gue terus berjalan ke depan tanpa ekspresi.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd