Episode 8
Kuliah Tambahan
POV Hari
Dani bilang, di dalam mall ada 21 orang. Kalau dibandingkan, jumlah kami dan mereka seimbang. Begitu juga dengan peluang kemenangannya. Kompi lain masih dalam perjalanan ke TKP.
“Tangkap!” Si pemimpin operasi berseru.
Satu persatu anggota musuh telah kami sergap dari belakang, menyelinap di antara lorong-lorong kios yang masih tutup. Kami sumpal mulut mereka dengan kain yang basah terendam eter. Sejauh ini ide menggunakan larutan kimia eter memang gila, tapi efisien. Eter bisa membuat pingsan, bahkan mati.
Harusnya eter juga gak dipakai sembarangan. Harus ditangani dalam lemari asam. Bahkan kalo di tempat gue kuliah, eter itu umum untuk praktikum bedah hewan, digunakan dalam langkah pertama supaya si hewan pingsan. Baru kali ini gue melihat larutan itu digunakan buat manusia dengan niat sengaja.
Kloroform aja udah dilarang, apalagi eter.
Tapi eter lebih baik daripada gue. Gue jadi gak harus bertindak sebagai inhuman, cukup sebagai pasukan yang bergerak paling belakang. Gue gak perlu yang namanya melumpuhkan musuh dengan menyerap energi mereka satu per satu. Aman.
“Naik.” Perintah pimpinan.
Kami naik ke lantai dua diam-diam melalui tangga darurat.
“Ada satu orang di depan tangga.” Kata Dani melalui earphone.
Dia sangat lihai menjadi mata buat kami. Instruksinya jelas dan terarah. Dua bulan menempa diri sendiri rasanya udah membuat dia berkembang jauh. Karena Dani, sekali lagi kami mampu melumpuhkan seorang musuh dengan mudah. CCTV bukanlah masalah karena juga udah diretas.
Beberapa belas menit kemudian, sampailah kami ke lantai atas dengan bekal informasi tambahan dari tawanan-tawanan kami. Bos mereka memang ada di atas sini, dikelilingi oleh anak buah yang lebih banyak. Mudah sekali.
Sayangnya, kami pun kini bertahan lebih lama di tangga darurat sebelum melakukan penyergapan. Pimpinan kami melakukan kalkulasi kemungkinan yang akan terjadi dengan sangat lama. Beberapa anggota udah mulai mandi keringat.
“Kita langsung ke kiri.” Instruksi pimpinan.
Si pimpinan membuka pintu. Saat itulah, kami menerima kenyataan kalau kami udah ditunggu oleh beberapa orang musuh. Waktu yang tersedia terlalu singkat untuk menghitung jumlah mereka. Senjata mereka udah teracung. Senjata kami belum.
DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!! DORR!!
Rentetan tembakan menghujani kami. Orang-orang yang berbaris di depan gue tumbang bersimbah darah dalam waktu singkat. Gue refleks menjatuhkan senjata gue, lalu mengacungkan kedua tangan dan melebarkan telapaknya ke sisi depan.
Semua peluru langsung jatuh berdentingan di lantai. Benda-benda itu kehilangan energi kinetiknya.
“Tunggu apa? Tembak balik!” Bentak gue.
Gue menyuruh sisa anggota yang berlindung di belakang gue untuk menyerang balik. Rentetan tembakan menyerang balik para penembak. Mereka langsung jatuh juga bersimbah darah. Kecuali ada satu orang yang berhasil kabur.
Kami langsung naik dengan penyerangan terbuka atas perintah tangan kanannya pimpinan. Gue pun dipaksa menjadi perisai dan berdiri paling depan.
“Hari! Jangan gila!” Dani teriak dari earphonenya.
“Gak ada pilihan.” Balas gue.
“Mundur! Mundur!” Perintahnya.
“Pimpinan jatuh. Sekarang yang mimpin wakilnya.” Gue menjelaskan kondisi sekarang.
Beberapa musuh muncul satu-satu di antara lorong-lorong kios. Untungnya, kami berhasil melumpuhkan mereka dengan baik. Strateginya, gue selalu paling depan. Gue bukannya gak deg-degan, bulukuduk gue bahkan udah berdiri sejak masuk mall, tapi hanya ini opsi terbaiknya kalau kami ingin selamat.
“GAAGGHH!!” Orang di barisan paling belakang tumbang tanpa peringatan.
Kami semua menoleh ke belakang. Gak ada musuh sama sekali. Gak ada darah tergenang di lantai.
“Brontok jatuh.” Kata rekan di dekatnya.
“Dia kenapa?” Tanya gue.
“Atas!” Seorang yang lain menyuruh kami menyingkir.
Pancaran sinar berwarna kombinasi ungu dan merah muda mengejutkan kami. Untungnya kami berhasil menghindar. Gue memastikan sinar tersebut bersumber dari AC sentral di langit-langit gedung. Kami menjadi saksi mata bahwa sinar tersebut terasa seperti gelombang panas, membuat hawa udara bergelombang layaknya rel kereta di siang hari.
Dan sekarang gelombang tersebut mengenai jasad si brontok, nama kode rekan kami itu hingga berkedut-kedut.
"Gimana?" Kata si Dory.
"Waspada." Kata wakil pimpinan.
Semakin lama, sinar tersebut terpancar dari setiap AC sentral setiap dalam selang waktu tertentu. Sekarang kami semua seperti berada dalam zona bobby trap.
“Itu bisa jadi gelombang elektromagnet. Senjata alien.” Itu hipotesis gue.
“Kita ngelawan alien?” Tanya si Alap.
“Lawan kita manusia, senjatanya yang alien.” Lagi-lagi gue berhipotesis.
Kami terpaku dengan serangan balik musuh. Kondisi senyap, Dani pun juga tiba-tiba senyap. Gak ada perintah atau instruksi apa-apa lagi darinya sedari tadi. Bisa jadi kamera lebahnya telah dirusak habis. Kami saat ini terpaksa berjalan dengan buta dengan strategi dadakan. Hndari berjalan di bawah AC sentral.
Lawan kami sekarang adalah benda mati. AC central. Pimpinan kami lambat laun ciut nyalinya setelah mengetahui lawan kami gak seimbang. Apalagi setelah kami berjalan tak tentu arah. Akhirnya, dia memerintahkan kami mundur kembali ke luar gedung. Melalui tangga darurat adalah jalan yang paling aman karena gak ada lubang-lubang AC sentral di sana.
Penyergapan ini terancam gagal.
“Stop!” Seseorang bertopeng mencegat kami.
Orang yang mencegat kami membawa sandera. Seorang perempuan yang mukanya ditutupi kain hitam. Si penyandera mengancam akan membunuh sandera itu kalau kami melawan ataupun melarikan diri.
Sesaat setelah itu, oarang-orang lain bermunculan. Jumlah mereka kurang lebih tersisa sembilan orang termasuk si penyandera, sedangkan jumlah kami 14 orang termasuk gue. Secara perbandingan kami bisa menang, tapi kalau melihat situasi dan kondisi alamiah, kami lah yang tersudut.
Si penyandera bertindak layaknya bos. Bisa jadi memang dialah bosnya.
"Kalian tikus berkualitas." Dia terkekeh.
Dia ingin menjadikan kami manusia percobaan alat-alat alien mereka. Kami akan dipajang di lantai parkir paling atas, menghadap kerumunan manusia, lalu dibunuh dengan biadab. Begitu katanya.
“Kalian yang bakal mati.” SI wakil pimpinan mengancam balik.
“Kalian gak tau apa-apa, organisasi kami layaknya gunung es.” Kata si penyandera.
Wakil pimpinan kami mulai mengulur waktu, meminta bernegosiasi agar membebaskan sandera terlebih dulu. Tapi yang diterimanya hanya gertakan balik. Lawan kami itu mencaci hingga mengatakan kalau kami pengecut ketimbang penyelamat. Di akhir kalimatnya, dia membuka kain penutup si sandera.
Reflekslah gue mengatakan kekagetan gue.
”Kenia?”
---
POV Erna
Kami sampai di rumah sakit sekitar jam 10 kurang. Sebuah tayangan televisi di dekat meja resepsionis mencuri perhatian banyak orang. Tayangan tersebut menayangkan berita tentang upaya terorisme di mall Mangga Dua Square.
Sambil berjalan menuju tempat nyokap, Pur terus berisik.
“Kenapa harus Mangga Dua Square coba? Itu bukan simbol negara, bukan apa-apa, gedungnya juga masih tutup. Mereka mau apa?” Katanya.
Gue juga sejujurnya gak tau apa maunya Hammer Tech, sang organisasi yang kami duga adalah dalang dibalik kejadian pagi ini. Gue hanya bisa berspekulasi saat ini.
“Pamer mungkin. Di sana kan banyak penduduk.” Kata gue.
“Nah, bisa jadi begitu.” Balas Pur.
Pur berceloteh tentang sebuah suku dari dunia Alfheim. Dunia para peri katanya. Pur turut mengoreksi dongeng-dongeng di Midgard yang dia baca tentang peri. Peri gak seperti yang manusia duga, bertingkah baik hati. Mereka bukan seperti peri gigi, tinkerbell, atau ibu peri yang ada di sinetron bidadari.
Salah satu suku yang pengejaan namanya seperti orang kumur-kumur di sana itu paling suka pamer. Pur pernah dibuatkan roti manis yang rasanya asin setengah mati. Katanya, mantera gula tertukar dengan mantera garam, bentuknya rotinya juga gak karuan, gak ada unsur seni sama sekali, dan coklatnya pahit.
“Abis itu, dia bangga, loncat-loncat, pamer ke temen-temennya. Padahal nyicipin sendiri aja belom.” Cerita Pur.
“Tapi lu tetep makan.” Laras nyolot.
“Iya, tapi kan...” Pur mau mengoreksi.
“Lu makan karena lu mau nyicipin memeknya juga.” Laras kesel sendiri.
Laras langsung berjalan paling cepat diantara kami bertiga. Dia marah sama Pur. Mungkin cemburu. Tapi Pur gak merasa salah.
Akhirnya kami sampai di tempat nyokap menunggu. Gue kenalkan Pur dan Laras kepada nyokap. Tanpa rahasia, gue menjelaskan singkat kalau mereka makhluk dunia lain. Mereka makhluk Asgard yang mencari Rosi, karena dia juga makhluk dunia lain.
Nyokap gue lumayan tersentak mendengar itu. Anak perempuannya adalah inhuman itu masih wajar. Kalau anak lak-lakinya ternyata pacaran sama makhluk asing, ditambah lagi statusnya buronan, itu pasti bikin orang jadi gila.
"Tenang dulu, tenang dulu." Gue mengelus punggung nyokap.
Gue pun menjamin kalau kakak gue sama sekali gak tau tentang ini. Karena kalau tau, dia pasti kabur duluan. Kakak gue takut sama alien dari kecil karena dia pikir alien sama kaya setan.
Kami menunggu selama beberapa menit sampai kakak gue datang. Nyokap gue sampe gak jadi pulang untuk menerima penjelasan dari kakak gue. Kakak gue biasanya dia dateng agak siang cuma untuk bermain cinta di ruang dokter ketika dokternya istirahat.
“Nah, itu dia dateng.” Kata nyokap.
Kakak gue dan pacarnya, Rosi, datang dari ujung lorong sambil bergandengan tangan. Begitu kami semua menoleh ke arahnya, pacar kakak gue berbalik badan dan lari sekencang-kencangnya.
“Kejar!” Pur memulai pengejaran duluan.
Gue dan Laras ikut mengejar. Kami melewati kakak gue dengan tampangnya yang bengong tanpa ekspresi.
“Nanti gue jelasin!” Gue sempat-sempatnya bilang begitu sambil lari-larian.
Instruksi Pur dilantangkan dengan keras. Kami harus belok kiri, harus belok kanan, menyingkir, atau menyuruh orang di depan kami untuk menyingkir, bahkan pasien sekali pun diperintahkannya menyingkir. Akibat kelakuan Pur, kami sekarang ikut dikejar satpam.
Beberapa belas menit saling kejar mengejar, kami udah pindah gedung dan pindah lantai beberapa kali. Jejak Rosi terus menghilang segera setelah kami hampir berhasil menyamai jarak langkahnya. Akhirnya kami duluan yang tertangkap satpam.
"Lu sih!" Laras kesal sendiri.
"Lah kok gue? Lu aja yang kurang cepet." Pur merasa gak salah
Di ruang satpam, kami bertiga diinterogasi layaknya tersangka curanmor. Berbagai cara kami lakukan untuk membantah dugaan tersebut, tapi selalu dibantah balik.
Kabar kami tertangkap rupanya sampai ke telinga nyokap. Itu terbukti karena nyokap sendiri yang menjemput kami ke kantor satpam. Nyokap juga berbohong kalau kami menemukan pencopet di rumah sakit. Beberapa menit dan beberapa lembar lima puluh ribuan kemudian, kami bebas.
“Kenapa harus ngasih duit dah?” Gue sewot.
“Biar cepet.” Kata nyokap singkat.
“Mereka bibit korupsi, pencopetnya pasti gak bakal dikejar.” Laras bergumam.
Selanjutnya, nyokap bercerita hal yang gak diduga-duga. Sebelum menjemput kami, dia melewati ruang periksa kandungan. Nyokap yakin Rosi ada di sana, berbuat hal gak senonoh dengan seorang dokter. Nyokap bisa bilang begitu karena tadi benar-benar mengintip dari jendela yang gak ditutup rapat.
Nyokap juga meyakinkan kami kalau itu bukan kakak gue yang bercosplay baju dokter. Kakak gue dari tadi masih disuruh jaga di ruang tunggu. Gue bahkan bisa ngebayangin kakak gue kebingungan sendirian sampe kepalanya vertigo.
“Cepet kalian ke sana. Tapi jangan heboh kaya tadi.” Kata nyokap.
Nyokap gue berbelok ke lorong yang berbeda untuk kembali ke ruang tunggu. Kami bertiga berdiri terpaku dengan banyak ide di kepala. Dari sekian banyak ide yang beterbangan dalam imajinasi masing-masing, Pur duluan lah yang berani angkat bicara.
“Gue ada ide. Pasti manjur.” Dia mengengkat telunjuknya setinggi dada.
“Jangan sampe heboh kaya tadi.” Gue meminta.
“Suer.” Kata Pur lagi.
Pur hanya berbicara dengan satu kalimat penuh teka-teki. "Kuliah Tambahan" katanya. Laras diam sebentar, dia melotot, Pur ikut melotot. Lalu, laras cuma mengangguk tanpa menjelaskan apa-apa lagi.
Sekarang, tugas gue hanya disuruh duduk di salah satu bangku yang menghadap ke ruang periksa kandungan itu sambil baca majalah anak dan ibu hamil. Pur dan Laras udah pergi entah ke mana.
Banyak orang yang melintas di depan gue, melewati lorong di depan ruang dokter kandungan. Dari semua orang, gak satu pun yang menyadari kegiatan mesum di dalam ruangan sana. Beberapa orang karyawan juga mencoba membuka pintu, tapi selalu kembali beranjak pergi karena mereka merasa lupa akan suatu hal.
"Huuuft..." Baru kali ini gue dibuat penasaran dan bosan.
Suatu saat, ada perawat yang mengetuk pintu. Dia membuka pintu tersebut tanpa mengalami kejadian lupa diri. Dia mengatakan sesuatu yang bernada perintah pada orang di dalam sana. Sejenak tanpa suara, lalu dokter tersebut keluar sambil mengencangkan ikat pinggangnya.
Ruangan itu sepi lagi selama beberapa waktu. Ingin rasanya gue langsung menerobos ke dalam. Menyergap Rosi seorang diri rasanya bukan hal sulit. Kecuali dia punya batu-batu rune lain dan jumlahnya banyak.
“Jangan macem-macem.” Seseorang berbisik kepada gue dari sebelah kiri.
Dokter yang tadi! Sejak kapan? Bahkan gue gak pernah menyadari kehadirannya. Mendadak nyali gue ciut menghadapi situasi sekarang. Jantung gue berdetak keras. Ditambah lagi, Pur sama Laras lama sekali datang bersama strategi cemerlangnya. Gue udah gak tahan, antara pengen nerobos atau kabur.
Dokter itu beranjak dari sebelah gue. Dia kembali masuk ke ruangannya sambil tersenyum nakal. Gue tahu apa yang akan terjadi lagi di sana. Kegiatan yang sama seperti yang dilihat nyokap. Kegiatan sama yang dilakukan Dani dan Hari tadi malam. Ngebayanginnya aja udah bikin gue kejijikan sendiri.
Udah setengah jam lebih sejak dokter itu kembali ke ruangan. Ditambah lagi dengan setengah jam sebelumnya gue disuruh duduk untuk mengikuti rencana Pur dan Laras. Pantat gue keram, baterai hape udah lowbat cuma buat bolak balik buka instagram, dan 5 majalah udah abis dibaca. Gue super bosan.
Tiba-tiba Laras datang dari arah lain.
“Ayo, waktunya kita ngegrebek.” Katanya ringan.
“Hah? Udah?” Gue gak tau apa-apa.
Kami berjalan bersama menuju ruang dokter kandungan itu. Langkah Laras tegas dan yakin, sementara langkah gue ragu-ragu. Gue yakin dari tadi kalau gue gak melakukan apa-apa. Sekarang tiba-tiba kami bisa ngegerebek tanpa persiapan.
Laras membuka pintu dengan lancar tanpa mengalami lupa diri. Di dalam sana, dibalik tirai, di atas tempat tidur pemeriksaan, Rosi sedang tidur telentang tanpa pakaian. Sang Dokter juga. Dia menyodorkan penisnya yang mengacung tegak untuk dihisap-hisap oleh Rosi.
Gue mencoba untuk tetap hening meski mau muntah.
“Ngghh... I’m coming...” Kata dokter itu.
“Lihat mukaku, sayang.” Kata Rosi.
Beberapa kali hisapan dan jilatan dia lakukan. Laras melihatnya dengan tatapan lurus, sedangkan gue memalingkan muka. Gara-gara memalingkan muka itu, gue melihat tas tenteng Rosi di kursi dokter, di dalamnya berpendar banyak warna.
Gue hendak bergerak dari tempat gue berdiri, menuju tasnya Rosi.
"AAHHH...." Si dokter menggeram.
Gue refleks menoleh.
Tanpa aba-aba, cairan putih terpancar dari penis si dokter tepat ke wajah Rosi, bahkan ada yang sampai mengenai rambutnya. Sisanya, dia telan mentah-mentah sambil tersenyum binal. Nakal. Gue makin mau muntah.
“Bravo, bravo.” Laras bertepuk tangan.
Suara tepukan tangan Laras mampu menyadarkan Rosi dan si Dokter bahwa kami mengamati mereka sejak tadi. Bedanya, Rosi panik sepanik-paniknya, sedangan si dokter tertawa. Gue sendiri ragu apakah harus bertepuk tangan juga. Di mana serunya pertunjukan tadi.
Dokter itu pelan-pelan berpendar emas dan menyilaukan. Dari kepalanya meluruh bubuk-bubuk emas, terus turun ke badan, hingga kakinya. Dokter itu berubah jadi Pur.
"Pur???" Gue melongo.
"Anjing! Anjing!” Rosi mencaci maki.
Rosi mencoba kabur. Dia beranjak dari atas kasur, tapi langsung roboh ke lantai tanpa bisa berpijak di atas kedua kakinya. Badannya mendadak lemas dan berkeringat.
Pur berjalan ke arah komputer di atas meja dokter. Dia mengenakan pakaiannya kembali dengan santai. Setelah kancing terakhir baju Pur dikenakan, dia menunjukkan botol kecil kosong seukuran tempat kutek. Sementara itu, Laras mengambil sebuah choker berlonceng dari tasnya, lalu dipakaikan ke leher Rosi.
“Vavor, Rosi. Vavor.” Pur memamerkan botol kosongnya ke Rosi.
“Vavor apaan? Artinya apaan?” Cuma gue yang gak tahu apa-apa di sini.
“Anak-anak Loki bangsat!” Rosi mencaci lagi.
Laras menjelaskan secara sederhana kalau Vavor merupakan sebuah obat bius. Obat itu harus butuh perantara biologis. Diminumlah obat itu oleh Pur, dan Rosilah yang terkena efeknya karena barusan menelan sperma Pur.
“Ih, sumpah jorok.” Gue muntah sedikit, lalu buru-buru mencari tisu di ruangan itu.
Pur menggeledah tas tenteng Rosi. Seperti dugaan, ada banyak batu rune dengan bermacam-macam bentuk ukiran ada di sana. Pur dengan senang hati menyita semuanya.
"Cuma 6? Mana rune yang lain?" Laras gak puas.
"Apanya?" Gue mengelap mulut dengan tisu.
"Batu rune ada 26. Tapi ditambah yang gue pegang, ini cuma 7." Kata Laras.
Rosi diam dan juga gak bisa bergerak.
Laras memakaikan baju Rosi sambil beberapa kali menampar beberapa kali. Mereka kemudian hendak menggeret Rosi. Tapi, tiba-tiba di depan pintu udah ada nyokap dan kakak gue yang mukanya kaya kertas daur ulang ditekuk-tekuk.
“Rosi, kamu gapapa?” Kakak gue khawatir.
“Jauh-jauh, bos.” Pur menghalangi.
Sebelum suasana keruh, Laras menengahi. Dia mengajak kenalan kakak gue terlebih dulu. Kemudian, dia menjelaskan dengan hati-hati kalau mereka bertiga adalah semacam alien. Laras juga sempat menyebut gue setengah alien. Kakak gue tertegun, ketidakpercayaan adalah hal pertama yang menjadi responnya. Wajar.
Sisanya, gue harus menjelaskan sendiri nanti. Pur dan Laras harus segera pamit membawa Rosi ke Asgard. Sebagai bukti kalau mereka alien, nyokap dan kakak gue boleh melihat mereka pindah dunia di ruang dokter kandungan ini. Tempat ini lebih aman daripada harus dilakukan di parkiran mobil katanya.
“Erna, kita pamit dulu. Nanti kita balik lagi ya.” Kata Laras.
“Hati-Hati.” Balas gue seadanya.
“Bangsat!” Rosi mencaci.
“Santai dong, ada orang tua di sini.” Pur berpura-pura membisiki Rosi, tapi tetap kedengeran.
Kakak gue diam seribu bahasa begitu laras memunculkan pedang besar dari kehampaan. Sebuah batu rune berukir gapura hasil sitaan Laras digosokkan ke pedangnya. Selanjutnya, pedang itu dihunuskan sekali ke depan.
Sebuah portal berpercik api mirip yang dibuat oleh Sigit terbuka di depan kami. Bedanya, Sigit membuatnya rapi dengan bentuk melingkar, sedangkan portal yang dibuat Laras sekarang bentuknya lebih berantakan dan terlalu besar. Kami semua bisa melihat ke seberang portal. Sebuah istana sebesar gunung berwarna emas dan berkilauan.
“Itu rumahnya Thor.” Tunjuk Laras sambil tersenyum pada kami.
“Apa?” Kakak gue linglung.
“Oh iya, dokter yang asli masih gue iket di toilet. Tolong lepasin ya.” Pur nyengir.
Beberapa saat kemudian, berpindahlah mereka ke balik portal. Selepas itu, kami bergegas pergi dari ruangan karena berasumsi efek sihir pembuat lupa udah ilang. Semua yang kami alami tadi rasanya hanya singkat seperti kilat di langit, tapi sangat berkesan. Apalagi buat kakak gue.
Selanjutya sesuai dugaan, kakak gue meminta penjelasan sedetail-detailnya tentang apa yang barusan terjadi. Gue cuma menjawab singkat kalau Rosi itu orang jahat. Selebihnya, gue memilih mengelak.
“Mending lu gak tau apa-apa, Kak.” Gue terus berjalan ke depan tanpa ekspresi.
BERSAMBUNG