Episode 4
Tulang
POV Ibu Hari
Aku terbangun karena terdengar samar-samar Kenia teriak. Aku berlari ke kamar Kenia di lantai dua. Sesampainya di depan kamar Kenia, kucoba memutar gagang pintunya, tapi terkunci dari dalam. Kenia masih teriak, namun suaranya makin pelan.
“Ken! Kamu kenapa ken?” Kugedor pintunya.
“Buuuuu!!! Toloooong Keniaaa!!!” Teriaknya lirih.
“Harus ibu dobrak kah??”
“Dobraaa....kkkhh.”
Terpaksa keluar juga kekuatanku ini. Kukepalkan kedua tanganku...
---
POV Eda
Hari ini gue kembali memeriksa dan mengembangkan power point untuk presentasi penelitian di sidang Senin besok. Di bawah meja, Dani masih gak bosen menghisap penis gue.
“Gak bosen, Dan? Udah satu jam loh.”
“Biar lu semangat bikin PPTnya.”
“Biar gue semangat atau lu yang semangat?”
“Dua-duanya.”
Dua hari lagi menuju hari H. gue makin deg-degan dengan sidang nanti.
“Da, nanti gue balik dulu ya. Baju udah pada kotor tuh.”
“Kenapa gak laundry di sini aja?”
“Gue kangen juga sama anak kostan. Udah dua minggu gak ke sana.”
“Oh, yaudah. Ntar sekalian gue anterin deh.”
Gue lanjut mengerjakan tugasku. Dani sesekali meneguk air minum yang dia taruh sendiri di sampingnya. Dani itu lugu, tapi kalau sama gue sisi liarnya selalu dikeluarkan. Kelakukannya bikin gue gak bisa lepas untuk bisa bareng terus sama dia.
---
POV Ibu Hari
Aku berusaha menghancurkan pintu kamar Kenia dengan tangan kosong. Kedua tangan ini sudah berubah menjadi putih dari jari hingga siku, kulitku dilapisi struktur tulang luar seperti kura-kura. Keras. Kuat.
Cukup dua kali tinju untuk merobohkan pintu kamar Kenia. Aku terkejut dengan apa yang ada di ujung kamar Kenia. Ada sebuah lingkaran kembang api besar yang terbentuk. Di dalam lingkaran itu tampak bukan jendela kamar, tetapi seperti sebuah ruangan lain yang agak gelap. Aku juga melihat ada seorang berjaket kulit dan helm bergerak memutar-mutar jarinya. Ada juga orang lain di belakangnya, tapi tidak jelas.
Posisi tak kalah mengejutkan juga ditunjukkan Kenia yang berposisi tengkurap namun melayang, serta perlahan bergerak ke arah lingkaran itu. Kulihat lagi dengan teliti, seperti ada bayangan dua orang yang sedang membopong Kenia dengan paksa. Otomatis aku berlari ke arah Kenia untuk menggapainya. Tapi baru dua langkah aku masuk, badanku terlempar keluar, rasanya seperti kena tonjok di ulu hati. Kenia seketika berhasil dibopong ke dalam lingkaran bersama dua bayangan itu. Lingkaran kembang apinya menghilang, terlihat lagi jendela kamar Kenia di sudut ruangan dengan normal.
“KENIA!!!”
Aku bangkit kembali meski ulu hatiku rasanya sakit sekali. Tapi lagi-lagi, aku kena pukul di bagian pipi kiri, rasanya persis seperti ditonjok. Aku tidak ada pilihan lain, kubuat tubuhku seluruhnya memutih, dasterku robek, berganti tulang yang membentuk baju zirah, kepalaku membentuk seperti helm berbentuk tengokrak. Bagian sendi kubiarkan beruas untuk memudahkan gerakan. Kupasang kuda-kuda berdiri, mataku waspada. Musuh tidak terlihat.
Kuingat lagi cerita Hari dan Lina kemarin, sepertinya makhluk ini yang disebut si setan itu. Masalahnya, sampai saat ini hanya Lina yang bisa dengan pasti menyentuh si setan.
---
POV Hari
Gue terbangun setelah terpejam sebentar. Sekarang jam tujuh kurang sedikit. Permainan tadi cukup gila. Walaupun hanya 69, tapi penisku sukses dibuat loyo dua kali. Sekarang perut gue keroncongan.
“Lin, bangun, sarapan yuk.” Gue menggoyang badan Lina
“Hoaaam.” Lina ogah-ogahan.
“Laper gue nih.”
“Oke, oke. Gue cuci muka dulu.”
Kemudian kami berdua turun ke bawah, berjalan menyusuri jalan Margonda. Kami mencari tukang ketoprak, bubur ayam, atau apapun yang biasa berjualan di pagi hari.
“Aduh, handphone gue ketinggalan.” Gue merogoh saku
“Mau diambil dulu?” Tanya Lina
“Tanggung ah. Ntar aja sekalian balik ke kamar.”
Tidak lama kemudian, kami menemukan tukang bubur ayam yang ramai pembeli. Kami memutuskan untuk lanjut berjalan agak jauh hingga akhirnya menemukan satu lagi tukang bubur ayam yang tidak terlalu ramai. Dengan pertimbangan sudah terlalu jauh dari apartemen, kami membeli bubur ayam disitu sekaligus makan di tempat.
---
POV Ibu Hari
Cukup lama kami kejar-kejaran di dalam rumah. Si setan ini tidak berani mendekat kepadaku. Dia hanya sesekali melempar pisau dapur, sapu, jam dinding, dan benda apapun yang bisa dia raih. Setelah melempar benda-benda itu, dia kembali menghilang. Polanya tidak berubah, lempar, lempar, kabur, muncul, lempar, kabur. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Suatu ketika kulihat dia masuk ke kamarku di lantai bawah. Ku ikuti dia dengan cepat, namun usiaku tidak bisa bohong. Walaupun aku bisa memanipulasi tulang dan minyak sendi, tapi stamina tetap saja tidak sekuat anak muda.
Ketika aku masuk kamar, sebuah benda terlempar, itu handphoneku. Kutangkap benda itu dengan pelan supaya tidak hancur. Dengan tenang namun waspada, kucoba menelepon Hari. Sekali, dua kali, hingga delapan kali kutelepon, tadi tidak diangkat. Kamarku sudah berantakan diacak-acak si setan. Lipstik, sisir, apapun dilemparnya hingga kemudian menghilang lagi.
“Hari, kamu dimana, sih?” Gumamku.
Aku pergi keluar kamar, tiba-tiba sebuah balok menghantam mukaku dari depan. Tidak terasa apa-apa karena terlindung helm dari tulangku. Selanjutnya, sebuah kursi kembali menghantam, juga tidak terasa apa-apa. Aku hanya menyayangkan kejadian ini justru menghancurkan perabotan rumah. Emosiku naik dan berusaha memukul si setan yang saat ini berada dalam jarak dekat. Pukulanku hanya menembus badannya.
Dia pergi ke dapur mengambil pisau dapur yang sudah tergeletak di lantai. Sesaat kemudian dia berusaha menghampiriku, menebaskan pisaunya ke arah siku, leher, dan bagian lain yang merupakan sendi. Sepertinya dia mulai paham bagian itu tidak tertutup tulang.
Sambil memegang handphone, aku memilih menghindar daripada melakukan kontak fisik yang tidak mungkin terjadi. Tebasannya makin cepat, sementara aku mudah sekali kelelahan. Suatu ketika, dia menghilang setelah melemparkan pisau ke arahku secara asal. Aku kembali pasang kuda-kuda, posisi waspada, sambil masih berusaha menelepon Hari.
Tiba-tiba, dia muncul dari bawah, mengambil pisau yang jatuh tadi dan menebas siku kananku bagian belakang.
“AAAAAAHHH!!” Seketika aku berteriak. Tangan kananku lemas.
Handphoneku pun terjatuh, untung tidak sampai pecah. Aku kembali waspada karena si setan menghilang lagi dan pisau kembali tergeletak. Aku menjadi yakin kalau benda padat tidak bisa dibawanya menembus benda padat lainnya.
Si setan cepat belajar dan jadi berbahaya. Dia muncul lagi sambil mengambil pisau tadi, lalu berusaha mengincar kakiku. Dengan sigap aku menghindar. Namun, lama-lama aku terpojok dan terbentur tembok. Dia makin leluasa bergerak dan berhasil menebas lutut dan tulang keringku beberapa kali, namun beruntung karena yang terkena adalah bagian yang keras. Sontak aku bergerak menendang kepalanya. Si setan terpelanting menerima tendanganku sambil masih menggenggam pisau. Aku kembali menarik kesimpulan cepat bahwa dia bisa disentuh kalau sedang memegang suatu benda. Aku mulai merasa ada juga akhir dari perkelahian ini.
Kuhampiri dia dan kupegang tangannya. Dia tidak bergerak, mungkin sedang pingsan kalau dia manusia. Kuarahkan tangannya yang memegang pisau ke arah dadanya, bagian yang kukira-kira adalah jantungnya. Kuhujamkan dengan cepat beberapa kali hingga tiba-tiba bayangan itu berubah wujud menjadi cair. Wujudnya manusianya hilang, menyisakan cairan seperti air kotor.
Sekiranya keadaan telah kondusif, kucoba telepon lagi Hari. Kali ini diangkat.
---
Jam setengah 11, Hari dan Lina datang bersama beberapa agen S.H.I.E.L.D. dengan kostum penjinak hewan. Tetangga yang berdatangan harus kubohongi dengan alasan ada kobra masuk ke rumah. Air kotor yang tadinya berwujud si setan diambil sebagai sampel. Hari berkali-kali meminta maaf padaku, yang sebenarnya sudah kumaafkan dari awal. Kulihat di sudut ruangan Lina sedang dimarahi oleh agen bernama Melinda May.
Agen May (Melinda Qiaolian May)
“I’m sorry for this situation.” Kata agen May yang menghampiriku.
“No problem. When have to start looking for my daughter?” Tanyaku
“Soon, I promise. Lina will handle this.”
---
POV Hari
Gue udah minta maaf berkali-kali karena meninggalkan handphone jauh dari jangkauan. Padahal, nyokap udah bilang juga walaupun diangkat kan gak mungkin bisa cepat sampai ke sini. Katanya, situasi menang-kalah perkelahian yang terjadi tadi tergantung kemampuan nyokap sendiri.
Lina juga diomelin habis-habisan oleh atasannya. Alasannya, penculikan adik gue adalah hal konyol yang terjadi akibat kelalaian pengawasannya. Sebelum mereka pergi, Lina sepertinya kena teguran keras mengenai pekerjaannya, tentunya dalam bahasa asing.
“Lina, lu gapapa kan?” Tanya gue
“Gapapa kok. Gue dikasih beberapa barang nih.” Dia membuka koper.
“Yang ini, buat keperluan mata gue.” Dia menunjukkan sebuah lensa kontak. “ Kalau yang Ini, kita perlukan sekarang untuk mencari Kenia.”
Dia menunjukkan sebuah gadget yang lumayan besar dan satu kantung kamera super kecil seukuran lebah. Jumlahnya ribuan. Gue malah membayangkan kalau itu lebah asli karena bentuknya sangat mirip.
“Kita bisa scan satu wilayah yang luas dengan ini.” Jelas Lina. “Tapi butuh waktu lumayan lama. Bahkan bisa tertunda kalau cuaca buruk.”
“Oke, kayanya gue cukup ngerti sistem kerjanya.” Kata gue
Lina menjelaskan cara kerja alat itu dengan detail. Gue dan nyokap mendengarkan dengan seksama. Setelah penjelasan itu, gue cuma paham bagian yang 'kota Jakarta dan sekitarnya bisa discan sekitar 24 jam'. Lagipula DNA Kenia dari potongan rambut-rambutnya juga sudah terekam dalam gadget tersebut, jadi pencarian Kenia bisa lebih mudah.
Lina juga yakin Kenia masih berada di wilayah Jakarta karena si setan jelas mengincar keluarga gue. Maka, kemungkinan si setan masih orang yang kenal dengan gue. Dari sini gue malah mulai suudzon sama saudara, tetangga, sampai temen-temen. Gue mulai memilah siapa yang dulu pernah benci sama gue. Padahal gak ada bukti jelas juga sih.
Gue dan Lina memutuskan menginap di rumah sampai kami menemukan Kenia berdasarkan laporan gadget. Nyokap tampak lebih tenang daripada kejadian dulu waktu pertama kali melalui proses terrigenesis dan kejadian waktu Kenia jatuh dari motor temannya. Pelatihan S.H.I.E.L.D. tampaknya berhasil menenangkan emosi nyokap gue.
---
POV Dani
“Makasih ya, Da.” Kata gue di depan pagar kostan.
“Woles aja kali.” Jawab Eda
“Mampir dulu gak?”
“Besok-besok aja ya. Harus belajar buat sidang nih.”
“Oke deh. Bye.”
Eda menutup jendela mobilnya, kemudian beranjak pergi dari depan kostan gue. Sekarang gue berjalan masuk ke dalam ruang tengah kostan untuk menyapa anak-anak yang biasanya lagi nonton tivi. Mayoritas anak di sini masih satu fakultas sama gue dengan angkatan yang beragam. Kami sudah saling kenal satu sama lain dari zaman maba.
“Nah nih dia bocah satu udah balik. Ngewek mulu lo.” Sesil ngeledek.
“Bawel. Anak-anak pada kemana?”
“Biasa, kalo weekend pada pulang.”
Cecilia Dyna Pelengkahu
Cecilia Dyna Pelengkahu, dia anak sastra yang tinggal satu kostan bareng gue. Dulu, Sesil seangkatan sama gue dari SMA. Sesil ini orang keturunan Manado asli, tapi dari bentuk muka menunjukkan masih adanya sisa ras campuran Portugis. Dia juga punya pekerjaan sampingan sebagai DJ. Tipe anak kalangan atas yang suka hura-hura.
Tahun lalu, dia bikin tato jangkar berukuran kecil di bagian belakang bahu kirinya. Rambutnya yang agak dicat merah digerai panjang membuat tato tersebut terlihat seperti mengintip malu-malu. Kalau sedang di kampus, tatonya ditutupi dengan memakai baju model turtleneck.
“Lu doang sendirian di sini?” Tanya gue.
“Kak Rivin ada di kamar tuh. Sibuk ngaudit kayanya.” Jawabnya sambil makan cemilan.
“Oke deh. Gue mandi dulu ya, sekalian mau nyuci baju nih banyak.”
“Bekas pejunya Eda semua pasti.”
“Bawel.”
Gue masuk kamar, lalu tiduran sebentar sambil laporan ke Eda. Setengah jam kemudian, gue melanjutkan kegiatan mencuci, mandi, dan bersih-bersih kamar. Kegiatan tersebut tak terasa menghabiskan banyak waktu hingga sore sehingga membuatku langsung terlelap.
Gue terbangun saat hari sudah gelap, mungkin dini hari. Gue lihat handphone, banyak pesan dari Eda yang langsung gue balas singkat. Gue bangun dari kasur dan berjalan menuju sakelar lampu kamar. Tapi ketika hendak menekan sakelar, tangan gue seperti ditahan seseorang. Sejenak gue merasa tubuh ini melayang, lalu munculah sebuah kembang api yang bergerak melingkar di dekat jendela.
Dari dalam lingkaran kembang api itu, keluar tiga bayangan hitam tanpa muka.
BERSAMBUNG