Episode 5
Eda Galau
POV Sesil
Sekarang udah hari Senin, tapi Dani gak pernah keluar kamar dari kemarin. Gue yang udah mau berangkat ke kampus jadi gak penasaran. Gue coba ketuk kamar Kak Rivin.
“Kak Rivin? Kak?” Panggil gue
“Yaaa, kenapa, Sil?” Jawab kak Rivin
Kak Rivin keluar dari kamarnya dengan keadaan rapi, memakai tas ransel, dan helm di tangannya. Rambutnya lurus sebahu, agak bergelombang sedikit sih, dibiarkan tergerai namun rapi.
Kak Rivin
“Udah mau berangkat kerja ya, kak?”
“Iya nih. Keburu macet ntar.”
“Lihat Dani gak, kak?”
“Eh, Dani datang ke sini?” Kak Rivin malah tanya balik
Gue lupa kalau kak Rivin gak sempat ketemu Dani hari sabtu kemarin. Kak Rivin kayanya emang lagi sibuk banget mengurus audit akhir tahunnya.
“Iya kak. Sabtu kemarin Dani ke sini. Langsung nyuci. Tapi hari Minggu kemarin gak kelihatan keluar kamar.” Papar gue.
“Anak-anak yang lain belum dateng?”
“Belum.”
“Yaudah kita cek yuk.”
Kami berdua menuju kamar Dani yang ada di dekat ujung lorong. Kami ketuk pintunya berkali-kali, namun tidak ada sahutan dari dalam. Lampu kamarnya mati. Gue coba gerakkan gagang pintunya, ternyata tidak dikunci. Kami buka pintunya pelan-pelan. Gue deg-degan apa yang akan gue lihat di dalam.
---
POV Eda
Gue baca pesan singkat dari Dani di aplikasi whatsapp. Last seennya 01.32. Mungkin terbangun tengah malam. Gue coba telepon, tapi gak diangkat. Mungkin masih tidur atau sedang mandi. Kemudian, gue kirimkan pesan supaya cepat datang ke kampus.
Peralatan presentasi nanti, mulai dari laptop, buku catatan kecil, alat tulis, dan laser pointer sudah siap sedia. Beberapa buku referensi juga gue bawa untuk berjaga-jaga kalau ada yang harus dibaca dadakan. Gue keluar dari apartemen, menuju tempat parkir.
Sesampainya di kampus, ternyata Dani belum datang. Justru Jamet yang menyambut gue dengan sumringah. Dia sudah kembali dari Malang.
“Gimana Malang, bro?”
“Mantap lah!”
“Ketemu Janiar gak di sana? Hahaha.”
“Ada deeeeh.”
Beberapa kali Jamet pernah cerita soal Janiar, mantannya, saat kami berempat sedang ceng-cengan soal mantan.
“Dani belum datang, Met?” Tanya gue
“Belum kelihatan tuh. Kamu lah coba hubungin.” Jawab Jamet
“Udah dari tadi, tapi belum dibales. Telepon juga gak diangkat.”
---
POV Hari
Hari ini seharusnya gue nonton sidangnya Eda. Tapi sekarang ada hal yang lebih penting untuk gue lakukan, yaitu menunggu hasil scan wilayah Jabodetabek untuk mencari keberadaan adik gue. Sebenarnya berat untuk melewatkan sidangnya Eda, tapi mau bagaimana lagi.
Gue lihat nyokap masih tertidur di sofa panjang. Lina dengan mata celepuknya masih fokus menatap layar hologram hasil scan terkini. Layar menunjukkan angka 73%, tapi belum ada tanda-tanda keberadaan Kenia. Lina terus berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu cuaca menjadi buruk atau ada kejadian lainnya yang diluar dugaan.
“Lin, lu tidur dulu deh. Gantian.” Kata gue
“Eh, udah bangun, Har. Gak usah, ini kan kerjaan gue.” Sahut Lina.
“Lu belum tidur kan dari kemarin?”
“Gampang lah itu. Adik lu lebih penting.”
Beberapa saat kami berdebat untuk berganti giliran berjaga. Suara kami sampai membangunkan nyokap yang langsung ikut berbicara.
“Lin, tidur aja dulu. Nanti kalau ada perkelahian lagi kamu malah gampang kalah.”
Lina mengalah. Kini giliran gue yang berjaga di depan layar. Lina berjalan mengambil kasur lipat, lalu tidur di dekat layar.
“Tidur ye, gak usah kepikiran ini dulu.” Ledek gue sambil memijit kepalanya.
“Iyeeee.”
Sekarang gue yang kepikiran sidangnya Eda. Gue buka WA untuk mengabarkan ke Eda kalau ada keadaan darurat yang menimpa adik gue sehingga gak bisa datang. Gue juga sekaligus memberi semangat ke Eda untuk melalui sidangnya dengan lancar.
---
POV Eda
“Hari gak bisa datang nih. Adeknya kena musibah,” Kata gue
“Astaga, Musibah apaa?”
“Entah lah. Gak bilang.”
Waktu sudah menunjukkan jam 10 sehingga gue harus mengakhiri obrolan gue dengan Hari. Ketua sidang memulai kalimat pembukaan dan saat itulah sidang dimulai. Dani sampai sekarang belum datang juga.
Setelah lima belas menit, sesi presentasi gue sudah selesai. Seorang cewek masuk ke ruangan melalui pintu di bagian belakang. Gue memperhatikan dengan teliti dan berharap itu adalah Dani.
“Jadi, Eda, apakah jumlah sampel kamu apakah telah merepresentasikan keadaan dalam populasi?” Tanya dosen penguji I.
“Eh iya, bagaimana bu? Mohon maaf, apakah bisa diulang?” Konsentrasi gue pecah.
Setelah beberapa kali gak fokus, akhirnya gue memutuskan untuk gak peduli lagi keadaan sekitar. Jamet terus-menerus mengepalkan tangan kanannya di depan dada untuk memberi kode semangat ke gue. Matanya tampak serius memperhatikan gue yang menjawab setiap pertanyaan.
Sidang selesai satu setengah jam kemudian. Gue dan seluruh penonton sidang diminta keluar agar dosen penguji dan pembimbing dapat berunding menentukan kelayakan gue untuk lulus. Di luar, gue disemangati oleh seluruh teman seangkatan yang hadir, khususnya Jamet. Tapi, fokus gue sekarang adalah mencari-cari cewek yang tadi masuk ruangan di tengah sidang. Gue harap tadi adalah Dani.
Kemudian, seorang cewek dateng ke arah gue. Dia ternyata Sesil, temen satu kostnya Dani.
“Eda, selamat yaa udah lewat ujiannya.” Kata Sesil sambil memeluk lengan gue
“Thanks, Sil. Eh, Lihat Dani gak, Sil?”
“Nah, itu dia....” Dia melepaskan pelukannya
Sesil menjelaskan perlahan. Semakin penjelasannya detail, semakin gue panik. Dia juga ngasih handphonenya Dani ke gue sebagai bukti dia menghilang tanpa persiapan dan alat komunikasi.
“Gue bahkan udah ngecek warung depan, siapa tau lihat cewek keluar kostan tengah malem. Ternyata gak ada juga.” Jelasnya.
Tidak lama kemudian gue dipanggil kembali masuk ruangan untuk penentuan kelulusan. Sesil izin pamit. Di dalam ruangan, ketua sidang membicarakan hasil sidang dan gue dinyatakan lulus. Kelulusan yang gue rasakan sangat datar. Tidak ada senyuman yang tersungging. Hanya ada rasa panik.
Sesi foto terasa hambar. Ucapan selamat terasa hambar. Di saat seperti ini hanya Jamet yang mengerti keadaan. Dia ngasih gue minum, lalu menyarankan menghubungi orang tuanya di Semarang. Gue kalut, gak tau langkah apa yang harus gue ambil.
Gue dan Jamet sekarang duduk di kantin fakultas. Ruang biasa tempat duduk-duduk itu sedang dikunci karena Hari hari ini gak datang, sementara kunci lainnya dipegang dosen yang sekarang sedang menguji sidang Anwar. Mau lapor polisi, tapi kejadian hilangnya Dani baru diketahui pagi ini. Belum ada 24 jam untuk wajib lapor.
Gue coba telepon Hari untuk ngasih kabar.
“Halo, Har.” Sapa gue
“Halo, Da. Gimana sidang? Lancar?” Tanyanya
“Alhamduillah. Tapi ada kabar buruk, Har.”
“Jangan bilang lu gak lulus?”
“Bukan itu. Dani hilang. Tadi temen kostnya bilang ke gue.”
---
POV Hari.
Gue langsung kaget begitu dengar kabar Dani hilang. Waktunya sangat kebetulan sehari setelah Kenia diculik si setan. Gue mulai menduga-duga bisa jadi penculiknya juga si setan. apalagi, dari ceritanya Eda, cara hilangnya Dani gak masuk akal. Gue bingung mau menyarankan apa sampai tiba-tiba gue punya ide ketika melihat layar scanning yang mencapai 80%.
“Bentar ya, Da. Gue mungkin punya solusi. Tapi tunggu bentar, gue mau matiin teleponnya dulu.” Kata gue supaya obrolan setelah ini gak terdengar.
Gue membangunkan Lina dan menceritakan keadaan Dani yang hilang. Lina juga setuju untuk membantu Eda. Lina berpesam langkah kami harus berhati-hati agar identitas sebagai Inhuman gak ketahuan. Lina juga memberitahu kalau ingin mencari satu orang lagi, maka jumlah kamera lebah harus dibagi dua. Resikonya, pencarian Kenia terhambat dan pencarian Dani juga sangat lama. DNA Dani juga dibutuhkan untuk scanning.
Gue kembali menelepon Eda.
“Halo, Da. Lu ke Tanah Abang sekarang deh. Bawa rambut Dani juga sekalian.”
“Hah? Buat apaan?”
“Udah, bawa aja. Di lantai kamar lu banyak rambut Dani kan.”
“Yaudah. Tunggu gue ya di situ.”
---
Jam dua siang lebih sedikit, klakson mobil Eda berbunyi di depan rumah gue. Suara mobil berhenti menandakan mobil sudah parkir. Lalu, Eda menelepon.
“Har, gue masuk ya. Ada Jamet juga.” Kata Eda.
“Eh, bentar.....” Telepon ditutup duluan sama Eda
Mereka memang sudah biasa langsung masuk ke rumah gue dan membuka pagar sendiri. Kami semua di dalam rumah jadi panik. Lina yang paling utama panik karena mata celepuknya tidak bisa kembali berubah normal. Nyokap cepat tanggap dengan langsung menyuruh Lina masuk kamar mandi.
“Assalamualaikum, tante.” Sapa Eda sambil masuk ke dalam rumah
“Waalaikumsalam.” Nyokap menjawab
BUG! Suara pintu kamar mandi ditutup.
“Wih barang apaan nih?” Jamet takjub melihat gadget sebesar 14 inchi di tangan gue serta beberapa perangkat lainnya yang tergeletak di lantai.
“Eh, itu, hmmm, apa sih namanya, gue lupa.....” Gue kebingungan sambil ngelirik nyokap.
Nyokap ngerti kode dari gue, lalu pergi ke belakang sambil membawa kontak lensa punya Lina.
“Bentar ya, nunggu temen gue balik dari belakang.” Kata gue gugup
“Tapi beneran lu bisa bantu kan, Har?” Tanya Eda
“Tunggu bentar ya, Da.”
Munculah Lina dari belakang dan langsung duduk di samping gue. Nyokap gak tau kemana. Eda dan Jamet sekarang saling lihat-lihatan.
“Kenapa? Baru lihat cewek cantik ya?” Ledek gue.
“Cewek cantik kaya yang ini yoo?” Jamet meledek balik sambil memperlihatkan foto gue sama Lina lagi di kampus.
“Kampret, siapa yang fotoin nih?” Gue merebut hape Jamet.
Candaan tadi membuat Eda agak tertawa sedikit walau tampak dipaksa. Sekarang saatnya gue menjelaskan kasus ini dengan hati-hati.
“Oke, gini, Da, Met. Kenalin, ini Lina. Intel S.H.I.E.L.D. di Indonesia.”
“HAH!!!” Mereka berdua menjerit
“Baru pembukaan, coy.” Gue ketus. “Dengerin. Tau kan, inhuman sekarang jumlahnya makin banyak? Nah kasus Dani yang hilang dan Kenia yang diculik bisa jadi akibat ulah inhuman.”
“KENIA DICULIK???” mereka berdua menjerit lagi.
“Iya. Gue ceritain ya dari awal, tapi jangan kaget lagi. Kaya alay lu berdua.”
Gue dan Lina bergantian menjelaskan kasus penculikan Kenia, munculnya wujud inhuman berbentuk setan, dan motifnya yang belum diketahui. Tentunya dengan tetap menyembunyikan identitas gue, Lina, dan nyokap yang sebagai inhuman juga.
“Jadi, yang aku lihat di kafe lantai dua itu benar ada orang?” Tanya Jamet
“Iya. Itu si setan yang kita cari.” Jawab Lina.
Scanning dimulai oleh Lina dengan cara merekam DNA Dani melalui rambut-rambut yang dibawa Eda. Kemudian, program kamera lebah dibagi dua. Sebagian kamera masih mencari Kenia dan sebagian lagi beralih mencari Dani. Kami sekarang hanya bisa menunggu.
Di tengah kebosanan menunggu, nyokap datang dari belakang membawa beberapa makanan. Ternyata nyokap masak dari tadi di dapur.
“Ayo, pada makan dulu. Maaf nih suguhannya lama.” Nyokap memanggil kami.
“Yo gapapa tante. Maaf jadi ngerepotin nih.” Jamet basa-basi dengan logat medoknya.
“Lina bantu ya tante.” Lina ikut ke dapur untuk mebawa makanan lainnya.
Di ruang tamu kami berusaha menghilangkan kebosanan, kecuali Eda yang masih terus menatap layar scanning pencarian Dani.
“Tenang aja, Da. Ini alat udah paling canggih. Jakarta luas loh.” Kata gue mencoba mengajak santai
“Iya, iya. Huuuuft.” Eda menghela nafas.
“Ayo makan semuaaaa.” Teriak Lina sambil kembali dari dapur
“Menantu yang baik yo.” Ledek Jamet
“Biar kita bisa lihat semua, tampilan gue pindahin ke 3 dimensi ya.” Kata Lina sambil menggelar kertas biru di lantai.
Layar scanning jadi terpampang lebar dan melayang-layang. Jamet jadi bengong. Eda jadi bengong. Hasil scanning menunjukkan pencarian Kenia melambat di 82%. Scanning Dani 1%.
Lapor polisi? No Way.
---
Malam hari, selepas Isya. Eda dan Lina izin pergi untuk menyelidiki kamar kost Dani. Siapa tau ada petunjuk pernah adanya keberadaan si setan. Tadinya yang ingin pergi adalah Jamet, tapi Lina bilang bahaya pergi ke TKP tanpa ada yang bisa berjaga-jaga melawan si setan. Sementara Jamet, gue, dan nyokap tetap di rumah hingga hasil scanning selesai.
Pesan nyokap cuma satu. Hindari lingkaran kembang api yang selalu ada bersama si setan.
Setelah mereka pergi, nyokap pergi tidur ke kamarnya. Tinggalah gue dan Jamet di ruang tamu.
“Har. Inhuman jahat ya.” Jamet membuka obrolan.
“Maksudnya?” Gue bingung mau ngerespon apa
“Iya. Mereka bisa-bisanya nyulik Kenia. Dani juga kemungkinan satu kasus, kan?”
“Yah, kita kan belum tahu motifnya.”
“Eh iya, Har. Ngomong-ngomong tadi siang aku kayanya liat kak Puri, pas mau jalan ke sini.”
Jamet menjelaskan dengan logat medoknya kalau di sempat melihat Puri di lampu merah dekat Kementerian Pertanian, Ragunan. Puri ada di mobil sebelah mereka bersama seorang cowok.
“Mungkin lagi berantem sama cowoknya, tuh. Soalnya mereka diem-dieman.” Kata Jamet
“Cowoknya?” Selidik gue
“Iya, kak Puri udah punya cowok lagi. Aku mau cerita waktu di kafe, tapi disuruh diam sama Eda.”
“Ooooh.”
Gue kepikiran. Fix.
“Har..” panggil Jamet
“Apa?”
“Aduh, aku mau pipis dulu ya.”
“Kampret.”
Jamet pergi ke kamar mandi. Fix banget, gue kepikiran lagi dengan Puri, secepat itu kah dia mendapatkan pacar baru?
---
Jam satu pagi, hari Selasa. Jamet sudah tertidur di kasur lipat. Gue masih terjaga menatap hasil scanning. Mata gue menatap sambil menahan kantuk serta penuh harap karena hasil scanning Kenia menunjukkan angka 99%, sementara itu scanning Dani masih 34%.
Saat hasil scanning Kenia mencapai 100%, separuh layar berubah menjadi sebuah peta sensor panas. Lokasinya Kenia terbaca, dia di Jatiasih, Bekasi. Kenia bahkan tidak disembunyikan. Dia terlihat berjalan kaki di jalan raya dan di belakangnya tergeletak orang-orang dan motor berserakan. Sepertinya mereka adalah kelompok geng motor atau begal.
“Halo, Da! Posisi di mana?” Gue telepon Eda
“Lagi makan di angkringan, Har. Gue laper banget.”
“Lina masih sama lu kan? Kenia Ketemu di Jatiasih!”
BERSAMBUNG