Episode 8:
Gue Makin Paham
POV Lina
“Shit! Terus aja begini!”
Kembang api itu muncul lagi. Dua setan tanpa wujud keluar dari balik lingkaran. Gue terpaksa harus menghadapi mereka sambil melindungi dua perempuan ini. Dua lawan satu.
Tapi, tampaknya si setan tidak berniat melawan gue. Mereka sepertinta kembali hanya mengincar Dani dan Kenia untuk dibawa. Cukup sulit menahan gerakan mereka yang bisa tiba-tiba menghilang menembus dinding dan muncul lagi entah dari sudut sebelah mana.
“Dani! Kenia! Tetep pegangan sama gue!”
Kami tidak bisa bergerak ke mana-mana kecuali bertahan. Gue menyuruh mereka berpegangan supaya bisa tahu siapa yang tiba-tiba lepas ditarik si setan. Setidaknya jangkauan gue ke mereka gak jauh.
Perkelahian ini tampaknya dengan cepat menjadi milik gue. Kekuatan mata gue ternyata sudah permanen dan bisa digunakan melawan makhluk tak kasat mata seperti dia. Dengan hanya beberapa pukulan di posisi wajah dan ulu hati, gerakannya langsung melambat, ditambah kali ini ada linggis yang gue jadikan senjata.
Kejadian berulang sampai beberapa kali, sehingga membuat gue makin berada di atas angin. Bahkan, satu setan lari kembali ke dalam lingkaran kembang api. Kini tinggal satu lawan satu. Gue pasang kuda-kuda menyerang, dan si setan tampak akan meladeni tantangan ini.
“C’mon, pussy!”
Si setan gak sekuat waktu pertama kali gue lawan, pikir gue. Padahal, gue juga lagi gak fit.
Gue mulai mengayunkan linggis di tangan kanan untuk menghajar kepalanya. Si setan menepis, tapi langsung gue lanjutkan dengan pukulan telak di wajahnya dengan tangan kiri. Hal itu membuatnya mundur beberapa langkah. Gue lepaskan Dani dan Kenia sebentar supaya tidak kehilangan momentum.
Tanpa memberi jeda, gue kembali memberi serangan tanpa henti. Si setan hanya bisa bertahan dan menangkis. Tapi lebih banyak pukulan gue yang mengenainya secara telak. Si setan terus bergerak mundur hingga terbentuk tembok.
“Lu udah gak bisa lari lagi, kan? Hah?!” Gue meninjunya dengan tangan kiri ke arah ulu hati.
“JANGAN. MAIN-MAIN. SAMA. GUE!!!” berkali-kali gue memukulnya di wajah, hingga pukulan terakhir tangan kiri gue ditangkap dengan telapak tangan kanannya.
“Masih ada nafas, hah?!”
Dengan penuh amarah, gue hunus linggis ke arah perutnya hingga terasa tertancap ke dalam sesuatu. Gue harap benar tertancap ke perutnya.
Tapi bukannya langsung hancur menjadi cairan seperti yang diharapkan, tangannya yang satu lagi justru menarik tangan kanan gue. Genggamannya kuat sekali. Sekarang, posisi tangan gue yang terkunci olehnya.
Tiba-tiba, dari dalam lingkaran kembang api muncul si setan yang satu lagi. Dia berusaha menarik Dani dan Kenia masuk ke dalam lingkaran itu.
“ANJING!” Terlepaslah kata-kata kotor lagi dari mulut gue.
Gue berusaha sekuat tenaga melepaskan kuncian tangan dari si setan. Gue tendang perutnya, sekaligus supaya badan gue bisa menjauh. Ketika berhasil terlepas, gue hantam lagi mukanya satu kali. Si setan langsung hancur menjadi cairan.
“Kak Linaaa! Tolooong!” Lirih Kenia
Gue berlari kembali ke arah Dani dan Kenia. Tapi, jangkauan tangan gue ternyata gak cukup sampai untuk menarik Kenia masuk ke dalam lubang itu. Tiba-tiba, Hari berlari dari jauh dan melompat ke dalam lubang bersama si setan. Lubang itu pun menghilang, menyisakan kesunyian antara gue dan Dani.
Gue tekan tombol HELP di jam tangan S.H.I.E.L.D. dengan terpaksa.
---
POV Jamet
Aku tersentak dengan apa yang terjadi di layar kamera lebah. Hari dan Kenia masuk ke dalam lubang kembang api dan menghilang. Tidak lama kemudian, Lina dan Dani keluar dari dalam sebuah villa. Aku keluar dari mobil pinjaman Eda dan membukakan pintu untuk mereka.
“Gimana sekarang?” Tanyaku ke Lina
“Tunggu di sini sampai S.H.I.E.L.D. datang.” Jawabnya lemah
Lina meminta gadget kamera lebahnya. Dia mengutak-atik benda itu, lalu berkata kepada gue bahwa siapa tahu ada satu atau beberapa lebah yang mengikuti pergerakan Hari saat lompat ke dalam lubang. Tampaknya dia sangat gelisah.
Aku langsung menghubungi Eda.
“Halo, Da.”
“Halo, Met. Gimana Kondisi?”
“Gini...”
“Bentar, bentar. Gue loud speaker dulu biar ibunya hari kedengeran.”
Aduh, loud speaker. Aku harus ngomong kaya gimana ke nyokapnya Hari.
“Halo, halo. Met?” Panggil Eda
“Eh, Iya... Oke, jadi gini....”
Aku jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi, mulai dari Hari dan Lina yang menyelinap masuk ke villa, menemukan ruang monitor, Lalu, Lina yang menjemput Dani dan Kenia, hingga sampai pada penjelasan Hari dan Kenia yang masuk ke lubang kembang api.
“....”
“Halo, Da? Eda?”
“Eh, yaudah, Met. Jagain si Dani ya di sana.”
“Ibunya Hari?”
“Kayanya lumayan shock. Ibunya Hari langsung pergi ke kamarnya.”
Perbincangan kami diselesaikan dengan salam. Tidak lama kemudian, sebuah kotak besi besar berwarna putih terbang menurun secara vertikal. Kotak tersebut tepat mendarat di depan mobil.
Dari kotak yang ternyata punya jendela kaca tersebut, keluar empat orang berpakaian densus, lengkap dengan senjata. Seorang perempuan berwajah Chinese menghampiri Lina dan berbincang menggunakan bahasa inggris. Untungnya keadaan lumayan berisik di tengah malam ini tidak sampai membangunkan warga sekitar, walaupun sebenarnya jarak setiap rumah agak jauh.
“Are you fine?” Tanya wanita Chinese itu kepadaku
“Uhm, ya, I’m fine.”
“My name is May. Let me clear that area first. If you need something, don’t bother to ask Lina.” Dia ngomong dengan judes.
Wanita yang bernama May itu kemudian memimpin pasukan masuk ke dalam villa. Lina masih sibuk mengutak-atik gadget. Di dalam mang giobil, Dani sudah tertidur berselimut jaketnya Eda yang selalu disimpannya di tempat duduk belakang.
“Judes amat ya ngomongnya” bisikku ke Lina
“Emang gitu orangnya.” Jawabnya ketus sambil masih mengutak-atik gadget. Lebih seperti mengetuk keras-keras sebentarnya
“Ngomong-ngomong, itu namanya kotak apaan?” Aku menunjuk ke kotak besi putih.
“Namanya, modul penahanan.” Dia gak melihatku
Lina jelas sekali masih gelisah. Aku jadi gak enak ngajak ngomong dia lama-lama, akhirnya aku bengong gak tau mau ngapain. Aku hanya memperhatikan keadaan sekitar, jalanan gelap dan hanya diterangi lampu-lampu jalan berwarna orange. Di beberapa bagian jalan terkadang cahayanya bercampur warna putih dari lampu-lampu teras rumah warga.
Kurang lebih sepuluh menit kemudian para agen keluar dari villa. Agen May tampak membawa sebuah hard disk yang dia angkat dan goyangkan tinggi-tinggi. Lina menoleh dan mengeluarkan kabel data dari tasnya. Hard disk tersebut dicolokkan ke gadget. Tampil lah sebuah video rekaman dari CCTV.
“There were people here for few hours ago.” Kata May
“That’s.. not people. That’s ghosts, right?” Kata Lina
Aku ikut memperhatikan video tersebut. Tampak dua sosok berwarna hitam mondar-mandir ke berbagai ruangan. Gambar tersebut sesuai seperti deskripsi setan yang pernah diceritakan Hari dan Lina.
“Not this. That.” Tunjuk agen May ke sudut kiri atas layar video.
Di sudut yang jauh dari CCTV tersebut aku melihat memang ada dua orang, tapi tidak jelas. Satu orang memakai jaket kulit dan helm, sedangkan satu orang lagi memakai topi dan tidak pernah menghadap kamera.
Tiba-tiba lampu indikator gadget menyala.
“Okay. Here we go.” Kata Lina
“Apaan?” tanya gue
---
POV Hari
Di sini gelap sekali, namun untungnya tidak dingin seperti villa di puncak tadi. Gue bahkan tidak tahu ini di mana, tapi setidaknya gue masih bisa bernafas normal. Gue berharap semoga aja ini masih di bumi. Selain itu, kayanya gue tadi menabrak sesuatu saat melompat. Gue membuka tas dan mengambil senter kecil untuk melihat apa yang gue tabrak tadi.
Gue sorot ke depan, tampak seseorang tergeletak pingsan. Dia memakai jaket dan helm yang sama dengan waktu kejadian Kenia berada di Jatiasih. Tiba-tiba, terdengar suara seperti mesin menyala, kemudian sebuah kotak di jaket bagian punggung orang itu menyala.
Orang itu hanya memandangi gue tanpa berkata apapun sambil bergerak bangun.
“Oke, gue tahu lu pasti ngajak berantem. Tapi gue gak punya waktu. Bye.”
Gue pergi menjauh dari orang itu, lalu menyorot seluruh ruangan untuk mencari jalan. Tapi tiba-tiba kepala gue dihantam dari belakang hingga tersungkur.
“Agghh. Sial.”
Dia menarik gue untuk bangun, lalu gue dipukul lagi hingga terpelanting cukup jauh. Senter gue terlepas dari genggaman. Untungnya, gue cukup bisa melihat gerakannya karena helm dan kotak di jaket bagian belakangnya terdapat lampu yang menyala berwarna kuning.
Dia menghampiri gue, lalu mencoba meraih gue. Dengan cekatan gue berguling ke kiri. Tiba-tiba badan gue terpentok sesuatu. Gue meraba benda itu, ternyata kaki sebuah meja. Kemudian, dengan cepat gue berpegangan pada meja tersebut untuk berdiri.
Terdengar suara seperti mesin di belakang jaketnya menyala lebih kencang.
“Kalau bajunya mirip kaya yang Kenia pakai, berarti helmnya harus dihancurin.” Gue ngomong sendiri, teringat analisis bareng agen Mack.
Gue berlari untuk mengambil senter yang tadi terlepas, tapi tersandung sesuatu. Gue raba kembali, sepertinya sebuah kursi. Belum sempat gue berlari lagi, tiba-tiba badan gue dilempar ke belakang sehingga posisi gue dengan senter semakin jauh.
Oke, lupakan senter.
Sekarang posisi dia membelakangi gue. Dengan cepat gue bangun dan menangkapnya dari belakang, sehingga membuatnya meronta-ronta. Gue pukul helmnya berkali-kali, tapi tidak berdampak apa-apa. Mesin itu kembali bersuara lebih kencang, kemudian dia menangkap badan gue, memutarnya 180 derajat ke atas, kemudian membanting sekeras-kerasnya.
“AAAAGGHH!!!”
Badan gue dibanting dari kaya orang-orang di acara smackdown. Rasanya sakit banget, dada gue nyesek, dan nafas gue tersendat-sendat. Gue gak sebanding lawan dia.
“Kampret! Kuat banget.”
Suara mesin itu terdengar lagi, dan dia sekarang melakukan ancang-ancang untuk menginjak gue. Gue berguling lemah ke kanan, berpegangan pada sesuatu yang sepertinya meja untuk mencoba berdiri lagi. Baru sebentar berdiri, dia sudah menarik baju gue dan terlihat memundurkan tangannya untuk kembali memukul gue.
Dengan putus asa, gue membuka tangan tepat untuk melindungi muka gue. Seketika, ayunan tangannya berhenti, lalu terkulai lemah sesaat.
Kemudian, mesin itu berbunyi lagi dan tangannya terangkat lagi untuk bergerak memukul. Gue kembali membuka tangan untuk bertahan. Lalu, kejadian sama terulang lagi.
Tangannya lemes! Sama kaya penis gue kemarin waktu digoda Lina!
Waktunya melawan balik. Dia berkali-kali mencoba memukul, tapi selalu menjadi lemas setelah gue membuka telapak tangan. Mesinnya kembali berbunyi makin kencang. Sekarang suaranya sangat bising seperti generator.
“Generator! Itu dia!!”
Gue bergerak memutari dia sambil dengan mudah menahan seluruh serangannya. Sesampainya di belakang orang itu, gue peluk dia dari belakang supaya posisi gue tidak berubah lagi. Kemudian, gue tempelkan tangan kanan di mesin itu. Gue mengontraksikan tangan sangat lama, sampai kemudian suara mesin itu berkurang, semakn berkurang, sampai akhirnya mati total.
Gue dan dia tersungkur. Dengan sigap gue lepas helmnya dan melemparnya jauh-jauh. Gue berdiri kembali, memastikan orang itu tidak bangun lagi dalam waktu cepat.
Setelah terasa aman, gue ambil senter dan pergi menuju satu-satunya pintu di ruangan itu. Sebelumnya, gue menoleh ke orang itu sebentar. Dia masih pingsan.
“Thank’s bro, gue jadi paham kekuatan ini bisa dipake buat makhluk hidup.” Gue memberi salam kepadanya sembari pergi meninggalkan ruangan itu.
Di luar ruangan. Gue kaget. Beneran kaget setengah mampus. Gue melihat ke luar jendela. Tampak dengan jelas di bawah sana adalah jalan tol dan sebuah stasiun kereta. Gue perhatikan gedung-gedung sekitar untuk meyakinkan kembali di mana gue berada.
“Fix! Ini menara Saidah! Kampret!”
---
POV Lina
Kami sudah sampai di atas menara Saidah. Quinjet terbang rendah dalam mode siluman. Kami keluar dari pintu belakang quinjet, lalu meloncat ke arah jendela gedung yang kacanya sudah pecah. Agen May memerintahkan pasukannya menyisir lantai tersebut, lalu turun ke lantai bawah pelan-pelan. Gue pun mengikuti instruksi tersebut.
Jamet dan Dani? Mereka pulang naik mobilnya Eda ditemani satu agen untuk berjaga-jaga. Mungkin baru sampai Tanah Abang nanti pagi.
Ketika sudah turun sekitar 4 lantai, kami mendengar langkah kaki seseorang yang naik ke atas.
“One person.” Kata agen May
Kami semua bersiaga. Lampu senter orang tersebut semakin terang, menandakan orang tersebut semakin dekat. Begitu kakinya terlihat, kami semua menodongkan senjata ke orang itu.
“Woi! Woi!”.
Suaranya kaya gue kenal.
“Ampun, Ampun! It’s Hari! Hari!” Dia teriak sambil mengangkat tangan.
“Hariiii!” Teriak gue
“Kok bisa tau gue di sini?”
“Ada kamera lebah yang kebawa sama lu. Sinyal GPSnya kebaca, tapi kameranya udah rusak.”
Hari menjelaskan ada sesorang yang telah ia kalahkan di lantai bawah. Agen May memerintahkan dua agennya turun ke bawah untuk memeriksa orang tersebut. Sementara kami lanjut menyusuri lantai ini.
“Badan gue sakit semua nih, abis dibanting kaya smackdown.” Katanya
“Tapi lu menang.” Ledek gue.
“Guys..” Agen May memberi aba-aba berhenti
Dia menunjuk ke satu ruangan yang bercahaya, tidak terlalu terang.
Kami di sini sekarang tinggal berempat, dan sekarang berjalan masuk ke ruangan. Di dalam, ternyata terdapat listrik dan lantainya penuh kabel-kabel besar berbalut lapisan karet. Kabel tersebut terhubung dengan seperangkat komputer berlayar datar.
Di belakang komputer itu, terdapat seseorang. Di sana lah dia, duduk di sofanya dengan wajah pucat. Seorang dengan selang infus terhubung dengan kedua urat nadi lengannya. Seorang yang membuat Hari tidak bisa lebih kaget lagi dari ini.
“Akhirnya kita ketemu lagi, Hari sayang.” Kata dia di bangku sana
“Did you know her?” Tanya agen May
“Ya, my ex.” Hari menjawab singkat
BERSAMBUNG