Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Taiyou no Uta ~Sebuah Lagu untuk Matahari~

Taiyou no Uta~Sebuah Lagu untuk Matahari: Bab 8 ( Goodbye Days )

Terakhir


Sekitar satu setengah bulan kemudian, hari besarku akhirnya tiba juga. Ya, hari ini adalah hari ketika aku akan pergi ke studio rekaman untuk membuat CD debutku. Aku sudah berlatih secara intensif akhir-akhir ini, jadi aku yakin sekali dengan kemampuan menyanyiku. Namun, tetap saja aku merasa sedikit gugup. Bagaimana kalau ketika rekaman nanti, suaraku tidak keluar? Ah, tidak mungkin. Sampai sekarang pun aku masih berbicara, kok. Tapi, bagaimana kalau orang di perusahaan rekaman memintaku untuk bermain gitar? Atau bagaimana kalau tiba-tiba aku ambruk ketika bernyanyi? Atau bagaimana kalau... ah, sudahlah, Kaoru! Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi, ujarku berusaha menenangkan diri. Setelah agak tenang, aku lalu beranjak ke bawah untuk menemui Otousan yang tengah memanaskan mobil. Untunglah perusahaan rekaman itu buka hingga larut malam sehingga kami bisa berangkat setelah petang.

Setelah merasa siap dengan semuanya, kami lantas berangkat ke Tokyo tempat di mana perusahaaan rekaman itu berada. Yang kumaksud dengan kami di sini bukan hanya aku dan Otousan saja, melainkan juga Okaasan, Kouji, dan bahkan Misaki. Mobil Otousan yang tidak begitu besar sampai penuh karena harus menampung lima orang sekaligus. Misaki sendiri selama perjalanan tidak henti-hentinya bercerita banyak hal mengenai Tokyo. Menurutnya, Tokyo adalah kota besar yang sibuk, dan ketika malam tiba, kota itu akan diterangi oleh berbagai lampu yang bahkan lebih banyak daripada Yokohama. Cerita Misaki itu membuatku penasaran. Apalagi Kouji juga bercerita sedikit mengenai Tokyo Tower yang terkenal itu. Ah, aku jadi ingin cepat-cepat sampai di sana!

Kami sampai di Tokyo beberapa jam kemudian (akhirnya!), dan aku langsung membuktikan kebenaran kata-kata Misaki dan Kouji. Tokyo benar-benar cantik, lebih cantik dari Yokohama. Banyak gedung-gedung besar dan berbagai lampu neon berwarna-warni di sekeliling jalanan. Namun, yang membuatku terkagum adalah Tokyo Tower yang tadi sempat disinggung-singgung Kouji. Menara itu benar-benar cantik, apalagi saat badannya bermandikan cahaya lampu berwarna merah dan kuning seperti sekarang ini! “Wah, indah sekali!” Spontan, aku berseru terkagum ketika melihat menara itu.

“Kamu tidak perlu kaget begitu, kan?” kata Otousan sambil tertawa kecil. Aku sendiri hanya mengulum senyum mendengar kata-kata Otousan. Biar saja! ujaku dalam hati. Toh ini pertama kalinya aku melihat Tokyo Tower. Cewek Jepang berumur enam belas tahun lain mungkin sudah sering melihat atau bahkan mengunjungi menara itu, tapi karena aku baru kali ini melihat Tokyo Tower secara langsung, jadi apa salahnya mengaguminya?
Karena ini merupakan kunjungan pertamaku di Tokyo, Otousan memutuskan untuk terlebih dahulu berputar-putar mengelilingi kota itu. Misaki dan Okaasan menerangkan berbagai macam hal setiap kali aku menanyakan sesuatu yang menarik perhatianku, meskipun Misaki sebenarnya lebih banyak bercerita tanpa kuminta. Namun, pengenalan terhadap kota Tokyo itu tidak bisa berlangsung lama karena aku masih harus pergi ke perusahaan rekaman untuk membuat CD debutku. Bukankah tujuan awal kami datang ke Tokyo memang untuk itu? Itulah sebabnya aku lantas meminta Otousan untuk mengarahkan mobil menuju studio rekaman itu. Aku tidak ingin perusahaan itu sudah keburu tutup saat kami tiba di sana hanya karena kami keasyikan melihat-melihat kota ini!

Begitu kami menjejakkan kaki di perusahaan rekaman itu, aku langsung terkesan dengan interiornya. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu mahoni coklat muda, memberikan kesan hangat dan homy bagi siapa pun yang memandangnya. Namun, itu belum seberapa jika dibandingkan dengan studio rekaman yang dimiliki perusahaan tersebut. Berbagai peralatan rekaman yang terlihat canggih dan mahal tertampang di ruangan itu. Sekumpulan orang yang menjadi band pengiringku terlihat tengah berlatih di dalam ruang rekaman tempat aku akan bernyanyi sebenatar lagi. Dan di sana, di tengah-tengah ruang rekaman, sebuah mikrofon berdiri tegak—seakan-akan menyambutku untuk mulai berjalan menuju impianku.

“Wow, seperti album perdana saja,” komentar Misaki setelah menelusuri studio rekaman tempat kami berada sekarang. Di tangannya, terdapat handycam yang sengaja ia bawa dari rumah. Handycam itu tadinya akan ia pakai untuk mengambil gambarku ketika sedang rekaman, tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku jadi tidak setuju. Rasanya, aku akan menjadi gugup kalau dia mensyutingku, dan tentu saja itu akan memengaruhi performaku! Sekarang pun sebenarnya aku mulai disergap rasa gugup. Ini adalah batu loncatan menuju impianku, jadi merupakan suatu hal yang wajar kalau aku merasa seperti itu, kan?

“Semuanya akan baik-baik saja,” ucap Kouji menenangkanku. Aku menelan ludahku sejenak setelah mendengar kata-kata Kouji. Setelah itu, aku mengangguk perlahan. Aku berusaha meyakinkan diriku untuk meyakini kata-kata Kouji, yakni semua ini akan berjalan lancar. Ya, aku hanya perlu percaya akan hal itu, dan semuanya pasti akan baik-baik saja!

Lima menit kemudian, seorang staf dari perusahaan rekaman masuk ke studio dan memberi tahu kami agar bersiap karena proses perekaman akan segera dimulai. Hatiku semakin berdebar dan perasaanku semakin tak karuan. Tenang, Kaoru, tenanglah. Kalau kamu gugup seperti ini, bisa-bisa kamu mengacaukan semuanya. Karena itu, bertenanglah....

“Semoga berhasil,” Otousan turut memberikan dukungan kepadaku. Kemudian, ia berjalan menjauhiku untuk duduk di sofa yang memang tersedia di ruang studio rekaman. Otousan mengangkat tangan kanannya untuk membetulkan rambut, setelah itu melanjutkan berkata, “Kami akan melihatnya dari sini, jadi....”

“Aku mulai gugup, jadi tolong pergilah,” selaku. Jujur saja, perbuatan Otousan itu sama sekali tidak membantuku meredakan ketegangan. Justru sebaliknya; kalau ia menontonku bernyanyi, aku malah akan semakin gugup!

“Apa?”

“Tolonglah,” pintaku.

Otousan terlihat tidak rela dengan pengusiranku barusan.

“Kamu...,” ujarnya sambil mengarahkan telunjuknya kepadaku, “bahkan hingga sekarang, kamu tidak membiarkan kami mendengarnya?”

“Tolong dengarkan kata-katanya, Ojisan,” sergah Kouji. Ia mengambil tempat duduk di samping Otousan, lalu setelah itu berkata kepadanya, “Aku yang akan menontonnya, jadi...”

“Kamu juga, Kouji, pergilah,” kataku sambil tersenyum kecil.

“Heh? Aku juga?” seru Kouji. Dapat kulihat tangannya kini menunjuk pada dirinya sendiri.

“Akan lebih baik kalau kau mendengarnya setelah CD-nya dirilis,” balasku, masih sambil memasang tampang tersenyum.

“Tapi kenapa...?”

“Baik, baik, ayo kita semua pegi,” tiba-tiba Okaasan mengambil tindakan dengan mengajak baik Otousan maupun Kouji berdiri. Ia menggiring keduanya menuju pinu keluar dengan tangan kanan sementara tangan kirinya merengkuh pundak Misaki.

“Aku juga?” tanya Misaki

“Tidak apa-apa, ayo kita pergi,” kata Okaasan lagi. Sebentar kemudian, mereka bertiga sudah keluar dari studio rekaman, meninggalkanku berdua dengan staf perusahaan rekaman. Baguslah. Aku jadi bisa fokus pada rekamanku.

“Kalau begitu, bisa kita mulai sekarang?” tanya staf itu kepadaku. Aku mengangguk sebagai jawaban, dan ia lantas mengantarkanku masuk ke dalam ruang rekaman. Dadaku berdebar semakin keras seiring dengan langkahku. Aku menarik nafas panjang supaya dapat mengontrol diri. Tenang, Kaoru. Yang perlu kamu lakukam hanyalah menyanyi seperti biasa, itu saja! Kamu tidak perlu mengkhawatirkan instrumen, semua itu sudah diurus oleh band pengiring. Kamu sudah sampai hingga sejauh ini, jadi jangan kecewakan semua orang!

“Kamu yang menulis lagu ini?” tanya seorang cowok berbadan kekar dan berkaos merah sembari menghampiriku.
“Judulnya...Goodbye Days?”

“Iya,” jawabku.

Cowok itu mengamat-amati sebuah kertas yang berisikan partitur laguku, kemudian ia lantas berkomentar, “Lagumu bagus.”

“Benarkah?” aku berseru kegirangan. “Terima kasih!”

Cowok itu mengangguk kecil, lalu beralih ke anggota band yang lain. “Kalau begitu, mari kita lakukan,” serunya. Kalimat cowok itu juga sekaligus menjadi pertanda bagiku untuk bersiap-siap memulai rekaman. Aku lantas mendekati mikrofon berpenyaring nafas yang berada di tengah-tengah ruangan. Kuhembaskan nafas panjang sejenak, setelah itu, aku mengenakan headset yang tersambung dengan kolaborasi instrumen band yang tengah memainkan bagian pembuka lagu. Ini dia, Kaoru; dari titik ini, semuanya akan bermula. Aku menarik nafas sekali lagi, dan setelah itu mulai melepaskan suaraku.

***

Satu bulan sudah berlalu sejak aku menyambangi perusahaan rekaman itu, dan hingga saat ini, aku belum menerima satu pemberitahuan pun mengenai CD debutku. Hal itu sebenarnya wajar kalau mengingat ada puluhan—bahkan ratusan—lagu lain yang mengantre untuk dijadikan CD. Bukan, aku bukannya tidak sabaran karena ingin cepat-cepat melihat CD-ku dilepas di pasaran. Aku hanya ingin melihatnya sebelum aku pergi. Ya, selepas kunjunganku ke perusahaan rekaman sebulan silam, perlahan tapi pasti kondisiku semakin memburuk. Dokterku berkata kalau ia tengah mengusahakan yang terbaik agar aku bisa tetap beraktivitas sebagaimana biasanya, tapi aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Dibandingkan dengan dokterku yang notabenenya merupakan orang lain, aku tentu saja jauh lebih mengenal diriku sendiri. Dan aku merasa kalau waktuku sudah semakin dekat.

Pada suatu hari, Kouji memberitahuku kalau sebuah perusahaan pembuat alat-alat selancar kecil telah setuju untuk menjalin kerja sama dengannya setelah ia memenangi sebuah lomba selancar lokal. Dia berkata di telepon kalau perusahaan itu akan menjadi sponsor uji cobanya selama satu tahun ke depan. Selain itu, ia juga berkata kalau ia sekarang telah memiliki sebuah baju selancar keren dari sponsornya itu. Kukatakan kalau aku mau melihatnya mengenakan baju itu, jadi ia menjanjikanku akan datang pada suatu malam sambil membawanya. Namun, aku tidak ingin melihat Kouji hanya memakai baju itu di rumahku; aku ingin melihat ia memakai baju itu di atas ombak. Itulah sebabnya, pada suatu siang, aku memutuskan untuk memakai baju pelindungku dan meminta Okaasan dan Otousan untuk membawaku ke pantai. Pada awalnya, mereka sempat kaget dengan permintaanku itu, tapi setelah aku berkata kalau ini mungkin menjadi kesempatan terakhirku melihat Kouji beraksi di atas papan selancarnya, mereka akhirnya setuju.

Jadi di sinilah aku dengan baju antimatahariku, terduduk di atas kursi roda yang diletakkan di atas pasir pantai.

Okaasan dan Otousan menungguiku di belakang kursi roda, sementara aku memperhatikan Kouji berselancar dengan pakaian khusus selancar barunya. Namun, aku tidak hanya memperhatikan Kouji. Aku hampir tidak pernah berada di luar pada siang hari, jadi aku menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin untuk mengamati suasana siang hari. Aku ingin dapat merasakan siang hari dengan mata kepalaku sendiri, bukan hanya sekadar dari video Misaki. Aku ingin dapat melihat laut di siang hari. Aku ingin dapat melihat awan di siang hari. Dan aku ingin dapat melihat matahari di siang hari. Melalui plastik pelinding wajahku, aku mendongakkan kepalaku ke arah lingkaran besar bercahaya yang selama ini kuanggap musuh itu. Sudah terlalu lama aku menghindari matahari, dan kupikir, ini kesempatan yang tepat untuk menyapanya.....

“Akh!”

Seruan Kouji dari tengah ombak membuatku kembali mengalihkan perhatianku kepadanya. Ia sepertinya terpeleset ketika hendak berdiri di atas papan selancarnya, dan akibatnya, ia terjatuh ke dalam air. Tidak butuh waktu lama hingga kepala Kouji kembali menyembul dari air, dan karena Kouji melambaikan tangannya kepadaku sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja, aku lantas membalas lambaian tangannya pula.

Tiba-tiba, aku mulai merasakan kegerahan menyergapku. Baju ini memang terasa sedikit tidak nyaman ketika dipakai, tapi berkat tiga buah kipas yang berada di punggung, setidaknya aku menjadi tidak kepanasan. Namun, entah kenapa aku merasa sebaliknya. Aku lantas mengibar-ngibarkan bagian depan bajuku untuk menghasilkan sebuah angin, yang tentu saja memancaing perhatian Okaasan dan Otousan.

“Kenapa?” tanya Otousan kepadaku.

“Aku merasa sedikit kepanasan,” jawabku.

Okaasan langsung berdiri menghampiriku. “Apakah kipasnya bekerja?” tanyanya sambil mengecek bagian ventilasi bajuku. Ia melakukan sesuatu pada kipas itu, dan sebentar kemudian, rasa panas itu mulai menghilang. Tampaknya kipasnya memang tersendat.

“Kalau kamu merasa tidak nyaman dengan baju itu,” ucap Otousan, “lebih baik dilepaskan saja.”

“Apa?” tanyaku dan Okaasan hampir berbarengan. Kenapa Otousan berkata seperti itu?

“Lepaskan saja, lepaskan,” lanjut Otousan. “Kalau kamu melepasnya, kamu tidak akan merasa kepansan lagi. Kamu juga bisa berlari dengan bebas.”

Aku terdiam sejenak mendengar kalimat Otousan yang kurasa ganjil itu. Aku tidak tahu mengapa Otousan mengatakan hal semacam itu—dan aku juga tidak peduli—tapi aku kemudian menanggapinya dengan menggeleng. “Tidak,” balasku. “Kalau aku melakukan itu, maka aku pasti mati,” aku melanjutkan. Pada awal-awal masa remajaku, aku memang sering berpikir kalau hidupku ini tak berarti, dan terkadang merasa lebih untuk mati. Namun itu dulu, sebelum aku mengenal gitar. Semenjak itu, aku merasa memperoleh arti baru dalam hidupku, dan bahkan harapan dan impian baru. Lebih-lebih setelah aku bertemu Kouji, aku dengan segera melupakan keinginan masa laluku itu. “Aku...aku telah memutuskan untuk terus menjalani hidupku hingga aku mati,” ujarku. “Sebab, aku ingin mempertahankan hidup ini dengan segala hal yang aku bisa.”

Otousan langsung melihatku begitu aku selesai mengucapkan kata terakhir. Begitu pula Okaasan, pandangannya dengan segera langsung tertuju ke arahku.“Itu benar,” komentar Okaasan. Aku dapat melihat sebuah senyuman kecil terkembang di wajahnya. “Okaasan tidak tahu kenapa, tapi Otousan menjadi bodoh.”

“Benar,” imbuh Otousan kepadaku. Ia tampak menyesal sendiri setelah melontarkan pernyataan seperti itu. Tentu saja, kalau aku benar-benar melakukan apa yang ia utarakan, maka Otousan pasti akan menyesal seumur hidup! “Maafkan Otousan....”

Sesaat setelah Otousan meminta maaf, aku melihat Kouji sudah keluar dari laut dan kini tengah berjalan ke arahku. Aku lantas beringsut dari kursi roda supaya dapat menghampirinya. Okaasan dengan sigap membantuku, dan dalam waktu sebentar saja, aku sudah melangkahkan kakiku menuju Kouji. Kouji sendiri menatapku dengan pandangan khawatir saat aku berjalan dengan tertatih-tatih ke arahnya.

“Oh,” seruku. Aku tersandung ketika melangkah, dan Kouji dengan sigap langsung menjatuhkan papannya untuk menangkapku sebelum terjatuh. Namun, aku tidaklah terjatuh karena yang kulakukan hanyalah pura-pura tersandung. Aku hanya ingin melihat reaksi Kouji saja. “Bagaimana? Aku datang, kan?” sambil meunduk, aku bertanya kepada Kouji yang kini tengah bersiap menagkapku. Menyadari kalau aku hanya berpura-pura, ekspresi Kouji langsung berubah menjadi aneh. Is seperti kaget dengan gerakanku barusan dan sekaligus lega karena aku tidak jadi jatuh. Aku tersenyum lebar melihatnya. Kuulurkan tangan kananku untuk mencubit pipi Kouji, dan sambil menertawainya, aku lantas berkata, “Wajah yang aneh!”

Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
Taiyou no Uta~Sebuah Lagu untuk Matahari Epilog


Namaku Fujishiro Kouji. Tujuh belas tahun. Belum lama ini, aku bertemu dengan seorang cewek bernama Amane Kaoru. Pertemuan kami tidak bisa dibilang menyenangkan. Pada saat itu, cewek itu menabrakku sehingga lenganku membentur bantalan rel kereta api, dan ia lantas mulai berceloteh mengenai dirinya sendiri—mulai dari temperamennya sampai makanan kesukaannya, pisang.

Saat itu, aku tidak begitu memedulikan cewek itu. Sungguh! Aku menganggap cewek itu hanya sebagai angin lalu saja. Namun, pada suatu malam menjelang musim panas, aku bertemu kembali dengan cewek itu. Kuperhatikan ia tengah bersenandung sembari memainkan gitar, dan aku langsung tertarik mendengarnya. Ternyata, ia cukup jago bermusik juga! Kami akhirnya menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang malam itu, dan dari situlah aku tahu kalau ia ternyata selama ini memperhatikanku dari kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya. Aku lantas berjanji untuk datang ke street performance-nya ketika libur musim panas telah tiba.
Hari pertama liburan, aku langsung membawa motorku ke depan stasiun tempat Kaoru tampil. Namun, aku tidak melihatnya memainkan gitar dan justru duduk di atas trotoar. Katika aku bertanya ada apa, ia menjawab kalau tempatnya biasa tampil telah diambil alih oleh seseorang. Aku lantas mengajaknya untuk tampil lain, dan pilihanku jatuh pada Yokohama. Kaoru tampak menikmati saat-saat berdua kami. Begitu pula aku. Aku baru sadar kalau ia ternyata adalah sosok cewek yang menyenangkan setelah menghabikan banyak waktu bersamanya. Sepulangnya dari Yokohama, ketika kami berada di atas motor, Kaoru menyandarkan kepalanya di punggungku, dan suatu perasaan aneh langsung membuatku berdegup.

Aku ingin menunjukkan keindahan panorama matahari terbit yang biasa kulihat sebelum berselancar, karena itu aku mampir di pantai sebelum mengantarkan Kaoru pulang ke rumahnya. Namun, entah kenapa ia bertingkah aneh dan justru minta pulang begitu aku memintanya tinggal. Maksudku, apa salahnya melihat matahari terbit bersama? Karena Kaoru bersikeras, aku lalu memboncengkanya dengan skuterku. Ia langsung berlari menuju rumahnya sesaat setelah kami tiba, dan ia bahkan meninggalkan kotak gitarnya! Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya ia sangat terburu-buru. Ketika aku mengejar Kaoru untuk mengembalikan kotak gitarnya, ia justru membanting pintu di hadapanku. Aku lalu menaruh kota gitar Kaoru di samping pintu, kemudian, masih dengan pikiran dipenuhi tanda tanya, berjalan turun. Ketika aku hendak menaiki skuterku, aku bertemu dengan seorang cewek berkaca mata yang kukenali sebagai adik kelasku. Ia bertanya apakah aku melihat Kaoru, jadi kujawab saja aku barusan mengantarkannya pulang. Respons adik kelasku itu—Misaki—jauh di luar bayanganku; ia terlihat kaget sekaligus murka. Misaki lalu berkata kalau Kaoru mengidap penyakit, dan dia dengan berang bertanya padaku bagaimana aku akan bertanggung jawab seandainya ia mati.

Pada awalnya, aku tidak begitu mengerti. Namun, aku lantas mulai mencari-cari penyakit macam apa yang membuat penderitanya harus menjauhi sinar matahari. Kesimpulan itu kudapat setelah aku melihat tiga hal: kebiasaan Kaoru keluar malam, reaksi cemasnya ketika aku berkata ingin melihat matahari terbit bersamanya, dan kemarahan Misaki setelah aku mengantarkan Kaoru pulang ketika matahari sudah terbit. Dari situlah aku mengetahui kalau ia menderita penyakit kulit bernama XP, yang kemudian dibenarkan oleh Misaki.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihat Kaoru bermain gitar di depan stasiun sebagaimana biasanya. Itulah sebabnya aku mampir ke rumahnya pada suatu malam, tapi ia justru membentakku dan menyuruhku pulang. Setelah itu, berdasar yang kudengar dari Misaki, ia mengurung diri di kamarnya dan hanya keluar ketika makan malam saja. Aku jadi merasa bersalah melihat keadaan Kaoru yang seperti itu. Itulah sebabnya aku lantas mencari cara supaya ia dapat kembali bersemangat dan—terutama—mau menemuiku lagi. Pada akhirnya, aku menemukan sebuah solusi ketika melihat iklan tawaran rekaman. Namun, karena biaya pendaftarannya yang mencapai 200.000 yen, aku mulai berpikir untuk memperoleh uang tambahan. Hal pertama yang kulakukan adalah menjual papan luncurku. Agak sayang juga, tapi ketika aku ingat aku melakukan ini demi Kaoru, hatiku langsung merelakan papan itu. Selain itu, aku juga bekerja paruh-waktu. Pekerjaan pertamaku adalah mencuci sejumlah kapal feri milik perusahaan penyeberangan. Aku memperoleh 20.000 yen dari situ. Lumayan.

Suatu ketika, aku mengalami kejadian yang tak diduga-diduga; ayah Kaoru mengajakku makan malam di rumah mereka! Aku lalu menyampaikan rencanaku kepada Ojisan, dan dia setuju. Malam harinya, aku memberi tahu Kaoru mengenai brosur yang berisikan tawaran rekaman itu. Kaoru sempat ragu pada mulanya, tapi ia kemudian menyanggupinya.

Setelah makan malam, kami berdua lalu berjalan-jalan keluar. Merupakan suatu hal yang melegakan bagiku saat melihat Kaoru mau berbicara lagi denganku. Kami terlibat dalam pembicaraan kecil kala itu, dan begitu aku bilang aku menyukainya dan akan menemuinya pada malam hari, aku melihat ia menangis. Aku lalu mencubit kedua pipinya supaya wajahnya menampakkan eksprsi tersenyum. Pada saat itu, aku baru menyadari kalau wajah Kaoru ternyata lucu—dan juga manis. Tanpa kusadari, beberapa detik kemudian bibirku sudah mendarat di atas bibirnya.

Aku jadi semakin sering mengunjungi Kaoru pada malam hari, seperti kata-kataku. Namun, aku juga tahu kalau ia tengah mempersiapkan diri untuk CD debutnya. Itulah sebabnya beberapa minggu menjelang rekaman, aku memutuskan untuk tidak berkunjung supaya ia bisa konsentrasi berlatih. Namun, setelah berhari-hari aku tidak mendegar kabar apa pun dari Kaoru, Misaki membawa kabar yang tidak mengenakkan mengenai dirinya pada suatu ketika. Kata Misaki, kondisi Kaoru memburuk. Ia kini tidak bisa menggerakkan tangan kirinya. Aku langsung pergi untuk membesuk Kaoru di rumah pada malam harinya, dan tiba-tiba saja ia lantas bercerita mengenai pertama kali ia melihat diriku, yakni ketika aku mengagumi sebua papan seluncur yang tersandar di dekat halte bus. Aku jadi malu sendiri kalau mengingat kejadian itu karena dimarahi oleh pemilik papan seluncur itu. Lebih-lebih, Kaoru ternyata juga melihatku, rasa maluku jadi berlipat ganda!

Beberapa hari setelah kedatanganku itu, hari besar Kaoru tiba. Aku, Ojisan, Obasan, dan Misaki berbondong-bondong mengantarkannya menuju perusahaan rekaman yang berada di Tokyo. Sesampainya di sana, Kaoru lantas meminta baik aku mapun Ojisan untuk tidak melihatnya rekaman karena merasa gugup. Aku sedikit tidak rela pada awalnya, tapi karena Obasan memaksa, kami akhirnya keluar juga. Selama rekaman, Ojisan terlihat gelisah. Menurutnya, Kaoru bukanlah seorang profesional, jadi ia takut kalau-kalau putrinya itu berulang kali melakukan kesalahan. Namun, aku tahu pasti kalau Kaoru adalah seorang musisi profesional. Buktinya, waktu di Yokohama ia justru semakin bersemangat ketika orang lain mengerumuninya. Kalau orang biasa pasti sudah gemetar, kataku kepada Ojisan saat itu. Aku sendiri sangat yakin dengan kemampuan menyanyi Kaoru. Suatu saat kelak, ia pasti akan menjadi seorang bintang besar, dan baik stasiun radio, stasiun televisi, maupun orang-orang pasti akan berebut untuk memperoleh CD-nya.

Sekitar tiga bulan kemudian, CD Kaoru akhirnya dirilis. Aku dan Misaki menjadi orang pertama yang membeli CD itu, baru kemudian diikuti oleh Ojisan dan Obasan. Seperti perkiraanku, lagu Kaoru menjadi hits, dan berbagai stasiun radio memutarnya berulang kali. Namun, sayang sekali Kaoru tidak bisa melihat mimpinya menjadi kenyataan. Ia meninggal dua bulan silam, meninggalkan kenangan yang tak ada habisnya dan lagu yang amat ia sukai.

♪ Dakara ima ai ni yuku sou kimetanda
Pocket no kono kyoku wo kimi ni kikasetai
Sotto volume wo agete tashikamete mita yo
Oh Good-bye days, ima
kawaru ki ga suru kinou made ni so long
Kakkoyokunai yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you
Katahou no earphone wo kimi ni watasu
Yukkuri to nagarekomu kono shunkan
Umaku aisete imasu ka?
Tama ni mayou kedo
Oh Good-bye days, ima
kawari hajimeta mune no oku alright....
Kakkoyokunai yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you
Dekireba kanashii omoi nante shitakunai
Demo yatte kuru desho?
Sono toki egao de “Yeah hello! my friend” nantesa
Ieta nara ii no ni...
Onaji uta wo kuchizusamu toki soba ni ite I wish
Kakkoyokunai yasashi sa ni aete yokatta yo

La la la la Good-bye days....

(Karena itu, aku akan menemuimu sekarang. Itulah yang kuputuskan.
Aku ingin kamu mendengarkan nada yang kubawa dalam kantungku ini
Perlahan, aku menaikkan volume, memastikan bahwa nada itu kubawa
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang, aku merasakan berbagai hal mulai berubah, aku mengucapkan sampai jumpa hingga kemarin
Karena sebuah kebaikan yang tidak keren sudah berada di sisku
La la la la la denganmu
Aku memberikan satu sisi earphone-ku kepadamu
Perlahan, momen ini mengalir melewatimu.
Dapatkah kamu benar-benar mencintaiku?
Meskipun terkadang aku tersesat.
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang berbagai dalam hatiku mulai berubah. Baiklah...
Karena sebuah kebaikan yang tidak keren sudah berada di sisiku.
La la la la la denganmu.
Kalau bisa, sebenarnya aku tidak ingin merasakan kesedihan.
Tapi mereka akan terus mendatangiku, kan?
Pada saat seperti itu, kalau aku hanya mengucapkan, “Yeah,halo, Temanku sambil tersenyum,
Kelihatannya akan lebih bagus kalau begitu.
Pada saat kita mendengungkan lagu yang sama, aku ingin kau berada di sisiku.
Aku senang kita dapat saling bertemu, meskipun dengan sebuah kebaikan yang tidak keren.
La la la la, Selamat tinggal hari-hari....) ♪

Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura. [/QUOTE]
 
Taiyou no Uta~Sebuah Lagu untuk Matahari After Story


Kamakura, 2 Desember 2006

Untuk Kaoru,
Hai, Kaoru. Apa kabar? Tanpa terasa, satu tahun sudah berlalu sejak kamu meninggalkan kami. Aku sendiri kini sudah lulus dari SMA, dan—tidak seperti kedua sahabatku—aku memutuskan untuk tidak kuliah. Alasanku ada tiga: aku tidak cukup pandai, aku tidak memiliki biaya, dan terakhir, aku ingin mengejar impianku menjadi peselencar profesional. Ya, Kaoru, aku kini sadar kalau kata-katamu benar sepenuhnya. Itu, loh, yang waktu di pantai itu. Waktu itu, kamu pernah bilang ke aku kalau aku dapat melakukan apa pun dan bahwa aku pasti bisa menemukan apa yang ingin kulakukan, kan? Sekarang, aku sudah menemukannya, Kaoru. Aku telah menemukan apa yang selama ini menjadi impianku: dibayar hanya untuk mengendarai papan selancar di atas ombak! Perusahaan selancar itu telah mengukuhkan kontraknya padaku, dan kini, mereka menjadi sponsor penuhku. Kalau tetap seperti ini, tidak menutup kemungkinan aku akan memperoleh sponsor-sponsor baru lagi!

Impian, ya...?

Kaoru, ada satu hal yang ingin kuberi tahu padamu. Tidak lama setelah kau pergi, lagumu menjadi hits dan berada di puncak tangga lagu selama beberapa pekan. Mereka memutar lagumu itu di mana-mana—di radio, pusat perbelanjaan, restoran, dan bahkan kereta api. Seandainya saja kamu masih di sini, Kaoru, aku yakin kamu pasti akan meloncat-loncat kegirangan. Kedua orang tuamu juga selalu memutar lagu ciptaanmu itu di restoran mereka. Kalau aku mampir ke sana, suara yang pertama kali kudengar pasti adalah suaramu yang tengah bernyanyi. Selain itu, ketika aku masih di sekolah, lagumu juga terkadang diputar pada saat makan siang. Aku tidak tahu kalau sekarang, tapi kata Misaki, mereka masih sering memutarnya, kok!

Kaoru...aku merindukanmu....

Sudah setahun, Kaoru. Satu tahun sudah aku tidak melihat wajahmu (haha, aku jadi ingat waktu mencubit pipimu dan mengatakan wajahmu aneh). Satu tahun sudah aku tidak mendengar suaramu. Tahukah kau, Kaoru, apabila aku mendengar lagumu, aku merasakan perasaan senang dan sedih mengalir dalam hatiku. Senang karena kamu pada akhirnya dapat mewujudkan impianmu untuk merilis CD debutmu sendiri dan menjadi terkenal (bahkan kabarnya, ada sebuah situs penggemarmu di internet!). Sedangkan sedih karena lagu ini mengingatkanku padamu. Ya, Kaoru, jika aku mendengarkan lagu ini, wajahmu yang lucu itu pasti langsung terbayang di benakku. Begitu pula suaramu yang merdu dan enak didengar. Kaoru, hatiku rasanya perih saat menyadari bahwa aku tidak dapat lagi bertemu dengan pemilik wajah dan suara itu. Kamu.

Ah, Kaoru... Aku mencintaimu. Sampai kapan pun, perasaan ini tetap tak akan berubah. Sampai kapan pun, Kaoru, kamu tetap akan menempati ruang istimewa di dalam relung hatiku. Aku masih akan selalu mengingat saat-saat kita makan bakpau panas bersama atau main air hockey di Yokohama. Begitu pula saat di rel kereta api itu; merupakan suatu hal yang mustahil bagiku untuk melupakannya!

Beristirahatlah dengan tenang, Amane Kaoru. Ah, bukan. Beristirahatlah dengan tenang, kekasihku.

Kouji

***

Kamakura, 2 Desember 2006

Untuk Kaoru,
Osh, Kaoru! Baik-baik saja, kan? Wah, tiba-tiba saja sudah satu tahun, ya? Terakhir kali aku melihatmu, kamu tengah terbaring di dalam peti yang dipenuhi oleh bunga matahari. Waktu itu kamu kelihatannya cantiiiiik sekali! Matamu yang terpejam itu juga terkesan damai. Kaoru, kuharap engkau tenang di sana!

Kaoru, sekarang aku sudah kelas tiga. Itu berarti, sebentar lagi aku akan menghadapi ujian kelulusan. Benar-benar bikin frustrasi! Aku harus masuk sekolah setiap hari, dan baik Ojisan maupun Obasan akan menasihatiku kalau tahu aku bolos. Pada awalnya memang berat, sih. Kalau sudah capek belajar, aku sering menghempaskan diriku di kasur dan menyetel lagumu untuk refreshing. Dan Kaoru, begitu aku mendengar suaramu, entah mengapa tiba-tiba saja semangatku kembali lagi. Mungkin karena aku termotivasi oleh semangatmu, ya? Kau tahu, kan, semangat untuk tetap melangkah dan meraih impian. Pada akhirnya, semangatmu itu mengantarkanmu menuju kesuksesan! Ya, Kaoru, lagumu menjadi hits dan diputar di berbagai tempat. Sayang sekali kamu sudah harus pergi sebelum melihat lagumu melejit.

Oh ya, Kaoru, aku masih sering mampir ke rumahmu sepulang sekolah, loh. Biasanya aku ke sana untuk numpang makan malam (kau kan tahu bagaimana rasanya masakan Ojisan?). Seusai makan, aku biasanya akan melihat kamarmu. Kamar itu, Kaoru...banyak kenangan manis tercipta di sana. Kau ingat waktu kamu mengajakku melihat Kouji untuk pertama kalinya dari balik tirai beralumunium? Begitu pula waktu aku menunjukkan video Kouji kepadamu, kau ingat kan? Perlu usaha keras bagiku untuk merekamnya, loh! Dan kalau kuedarkan pandanganku, Kaoru, maka aku akan menemukan kotak gitarmu berdiri di samping tempat tidur.

Kotak gitar itu....

Benda itu dulu selalu kautenteng setiap malam ke depan stasiun, kan? Terkadang, kamu mengajakku ikut ke stasiun untuk mendengarkan nyanyianmu. Aku sampai hafal kebiasaanmu sebelum mulai bermain: menyalakan sebatang lilin terlebih dahulu! Setelah itu, kamu akan mulai memetik gitarmu sambil memainkan lagu yang kamu buat.

Tapi itu dulu, ya kan?

Sekarang, gitar dalam kotak itu tidak ada lagi yang memainkannya. Terkadang, Kaoru, aku kangen mendengar suaramu secara langsung, bukan suaramu dari CD ini. Kalau bertemu scara langsung, kita bisa bercakap-cakap tentang banyak hal; mulai dari Kouji sampai cowok yang kusukai di sekolah. Tapi biarlah. Apa yang berlalu biarlah berlalu, yang penting, kini kamu sudah tenar, Kaoru!

Selamat, ya, dan semoga kamu senang di atas sana.

Misaki

***

Kamakura, 2 Desember 2006

Untuk Kaoru,
Hai, Kaoru. Bagaimana kabarmu di sana? Okaasan dan Otousan di sini baik-baik saja, jadi kami harap kamu juga sehat. Sudah setahun sejak kepergianmu, dan suasana rumah rasanya menjadi sepi sekali. Tidak ada lagi suara permainan gitar dari lantai atas sebagaimana biasanya. Tidak ada lagi suaramu menuruni tangga atau membuka pintu gerbang seperti yang dulu selalu kaulakukan setiap malam. Sungguh, rasanya berbeda sekali!
Kaoru, mungkin kamu sudah tahu dari Kouji dan Misaki, tapi kami tetap akan memberitahumu ini. Tidak lama setelah kau pergi, CD-mu dirilis, dan—coba tebak. Kini, lagumu populer di mana-mana! Otousan dan Okaasan sangat bangga padamu. Kami memutar lagu ciptaanmu di restoran sehingga semua orang yang datang selalu dapat mendengarnya. Menakjubkan, kan? Kini semuanya tahu kalau kami adalah orang tua dari penyanyi terkenal itu!

Kaoru, kami hanya ingin kau tahu kalau kami di sini baik-baik saja. Pada awalnya, rasanya memang berat untuk melepasmu. Kami sering duduk-duduk di ruang makan sambil membicarakan banyak hal tentang kamu. Bagaimana dulu kamu merengek ingin keluar waktu kecil. Bagaimana dulu kamu menunjukkan kepada kami lagu ciptaanmu yang pertama. Sejak saat itu, kamu mulai sering keluar malam, ya kan? Dan bagaimana kita bersama-sama pergi ke studio rekaman untuk membuat CD debutmu setahun lalu. Ah, ya, Kaoru, semua itu adalah ingatan yang menyenangkan tentang dirimu. Namun, kehidupan harus terus berjalan. Kami pada akhirnya harus rela membiarkanmu pergi, dan itulah yang kini tengah berusaha kami lakukan.

Satu hal lagi, Kaoru, Otousan dan Okaasan tidak akan pernah melupakanmu. Kamu akan selalu menjadi gadis kecil kami hingga kapan pun. Ya, Kaoru, kamu adalah gadis kecil yang kini sudah beranjak remaja dan memperoleh impiannya lewat usahanya sendiri. Gadis remaja itu telah membuat kami, orang tuanya, bangga dengan apa yang telah dicapainya.

Selamat tinggal, Kaoru. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu saat kelak.

Otousan dan Okaasan
***

Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
tamat ceritanya
 
Up lagi Up lagi :haha: ayo yang blom baca...! :jempol:
 
tau ini awalnya dari movie (YUI) + serial film (Erika Sawajiri)

salah satu film favorit ane
 
ijin baca, penasaran juga.. jadi inget waktu pertama nonton filmnya mata ini sampai berkaca-kaca. semoga aku bacanya bisa kuat :kuat:
ngemeng ngemeng thanks ya mas :suhu:
 
Baca ceritanya bikin baper suhu. Ane bacanya malem hemm keren abis pokoknya.
 
Bimabet
Taiyou no uta, nostalgia banget. Keren banget karyanya suhu.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd