Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT VALKYRIE Management

Previously, on Valkyrie Management:

Veranda kini bangkit. Dia tidak mau membiarkan dirinya difitnah atas segala kekacauan yang terjadi. Tekadnya untuk mencari dalang kekacauan yang membuat dirinya dan teman-temannya di Valkyrie Management salah paham sudah bulat. Dan kini, awal perjuangan hidup mati Veranda untuk kembali ke Valkyrie Mangement sudah dimulai!


CHAPTER 47: KETAHUAN!


Setelah seorang staff terakhir berlalu meninggalkan ruang Make Up, Bianca berjalan perlahan untuk memastikan tidak ada orang lagi yang lalu lalang di sekitar koridor dekat tangga darurat. Bianca celingak-celinguk sambil pura-pura memainkan tab-nya. Aman. Segera dia berlari sambil mengetuk pintu Fitting Room.

Tok tok! “Neng, aman. Gerak sekarang!” sambil berbisik Bianca memberi komando.

Tak butuh waktu lama Veranda melesat dari dalam Fitting Room menuju koridor disusul Bianca di belakangnya. Jantungnya berdegup cepat. Belum pernah dirasakannya setegang ini saat berada di Valkyrie. Terhitung hanya beberapa kali Veranda menginjak lantai 6 yang dikhususkan untuk Talent. Lantai yang kurang familiar dengannya. Ditambah dengan kondisi sekarang, Veranda semakin tidak nyaman dengan lantai Talent ini.

“Oke aman, neng! Semuanya udah turun. Siap-siap ke a-“

“Tunggu!”

Bisikan Bianca terpotong oleh seruan seseorang. Suara yang sangat mereka kenal. Suara seseorang yang saat ini sangat ingin menerkam Veranda jika dia bisa.

Bulu halus di sekujur tubuh Veranda meremang. Perutnya mengejang. Mampus aku, batinnya.

“B-bu Melody!”

***

Ruang Santa Marta. Lantai 2 ujung lorong.

Si pria kini memusatkan perhatiannya ke pasien. Meski semalam si pasien kembali tidak sadarkan diri, namun hasil pemeriksaan dokter melegakan hati mereka. Bukan hanya pasien itu sudah melalui masa kritisnya, bahkan sekarang dokter memprediksi dalam beberapa hari pasien akan kembali sadar.

“Huh. Makanya aku ga pernah percaya dokter. Kau tau, seorang dokter juga pernah mengatakan ayahku terkena tumor. Tapi saat diperiksa lebih lanjut, ternyata hanya bisul saja haha!” Pria itu berbicara seakan pasien itu bisa mendengarnya.

Pria itu tentu tidak berharap si pasien akan sadar dengan cepat. Namun memang keajaiban masih betah bernaung dengan mereka.

“Ng.. ng.” Pasien itu mengerang pelan. Si pria sudah tahu hal ini akan terjadi, namun ini terlalu cepat baginya. Dia memutuskan untuk tidak memanggil perawat. Pria itu hanya mendekatkan dirinya ke pasien, mendengarkan apapun yang bisa ditangkap telinganya. Dan kali ini, si pria itu yakin dia tidak salah dengar. Dia yakin si pasien mengatakan satu kata walaupun terbata,

“..bu..n-nuuh..”

***


“L-lho kok Bu Mel disini? Pa-ra t-talent sudah berangkat Bu!” Bianca dengan cepat mengendalikan keadaan. Veranda yang sesaat terdiam di balik tembok menuju tangga darurat, didorongnya hingga hampir terjembab. Veranda pun dengan cepat menghilang di balik pintu ruang tunggu yang sebelumnya sudah terbuka.

“Saya perlu bicara dengan kamu! Hey, itu tadi siapa?” Melody dengan cepat mendekat dan melihat dari balik pintu. Namun dia tidak mendapati siapa-siapa.

“Oh, itu si Gondrong, Bu. Dia ngotot mau beresin ruang Make Up tapi saya bilang nanti dulu. Saya mau cek stok riasan. Ada apa ya Bu?” Tutur kata Bianca kali ini sangat sopan, mengingat Melody yang sekarang sangat serius dan sedikit pemarah, ditambah lagi untuk membuat Melody fokus kepadanya.

“Bian! Kamu tuh udah berapa kali aku peringatin! Untuk acara on-air yang hanya beberapa jam, jangan pernah merias talent di lokasi syuting! Saya dapat laporan kamu biarin tim Make Up merias talent di sana! Kamu mau saya skorsing ya baru ngerti?!”

Bianca tidak peduli dengan Melody yang marah-marah di depannya. Di benak Bianca kini hanya bagaimana agar Veranda tidak ketahuan. Maka dia mencoba memperpanjang waktunya dengan Melody.

“Maaf, Bu Mel. Kemaren itu memang dari pihak Talkshownya udah nanya terus, talent kapan sampainya. Katanya sih untuk me-reset rundownnya. Karena ada beberapa perubahan. Daripada ditelpon terus dan kami juga jadi ga fokus, makanya ka-“

“Yaudah yaudah! Saya ga mau lagi dengar alasan lain! Kalau ada pihak yang minta talent datangnya cepat atau gimana, hubungkan ke saya! Kamu juga jangan ambil keputusan seenaknya! Ngerti ya?!”

“Baik, Bu Mel.” Bianca menjawab patuh. Melody pun berlalu.

Sementara Veranda kini sudah menapak di anak tangga paling atas lantai 8. Lantai kamar para Pegawai Terpilih.

***

Melody baru saja sampai di lantai kantor ketika ponselnya bergetar. Dia melihat layar ponsel. Bos Titan.

“Ya, Bos?”

“Ke ruangan saya. Sekarang.”

“Baik, Bos.”

Sesampainya di ruangan Bos Titan, Melody mendapati dua orang sudah duduk di seberang mejanya. Dua orang lelaki berjaket kulit hitam dan jeans biru gelap.

“Perkenalkan bapak-bapak ini dari reserse kriminal yang saya mintai tolong untuk menyelidiki keberadaan Veranda. Dan saat ini mereka mau melaporkan perkembangan sejauh ini.” Melody pun ikut menyimak.

“Baik Pak, Bu. Dari hasil penyelidikan kami, Ibu Veranda ini terakhir dilihat di daerah Belantani. Dari situ kami masih melanjutkan penyelidikan. Namun, ada beberapa hal yang membuat penyelidikan kami terhambat.”

“Apa itu, Pak?”

“Keputusan sepihak dari Valkyrie Management untuk menutup akses Ibu Veranda ke rekening dan kartu kreditnya. Menurut kami, harusnya Bapak Ibu biarkan saja Ibu Veranda untuk menarik uang dari ATM atau memakai kartu kreditnya, karena dari situ kami bisa melakukan tracking guna mendapat lokasi terakhir yang lebih akurat.”

Bos Titan menoleh dan menatap wajah Melody. Melody sedikitpun tidak berani membalas tatapan Bos Titan.

Look what you have done…

***
 
CHAPTER 48: KAMAR NABILAH


Srek! Tit.

Lampu hijau berpendar tanda pintu kamar Nabilah sudah terbuka. Veranda perlahan membuka pintu kamar Nabilah sambil menyeret vacuum cleaner. Veranda berjalan agak menyamping untuk mencegah wajahnya terekam CCTV.

Gelap. Pendar cahaya hanya terlihat di sudut jauh kamar. Lampu kamar mandi yang lupa dimatikan. Sisa udara sejuk dari AC masih terasa saat Veranda masuk, namun sekujur tubuhnya berkeringat. Kejadian tadi hampir membuatnya ketahuan. Veranda tidak bisa membayangkan jika misinya selesai secepat itu. Namun Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Dia sangat berterima kasih kepada Bianca yang gesit dan cepat mengendalikan situasi.

Veranda menekan sakelar lampu. Tring! Terlihatlah kamar Nabilah yang seperti biasanya: rapi dan minimalis. Tidak banyak atribut-atribut memenuhi kamarnya, berbeda dengan kamar Naomi atau Gracia yang penuh dgn hiasan kamar. Di dekat ranjang terdapat tumpukan baju kotor yang belum dimasukkan ke keranjang. Sementara di lemari terdapat beberapa lingerie yang tergantung rapi. Pandangan Veranda menyapu seluruh kamar sampai matanya menangkap sesuatu. Laptop Nabilah yang terletak di meja. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu di dalam laptop itu.

Veranda langsung membuka laptop itu dan menyalakannya. Dia berharap cemas semoga Nabilah tidak memasang password. Begitu tampilan awal desktop terpampang, ketakutannya terbukti. Terdapat foto kelinci dengan isian password di bawahnya.

“Ergh! Kenapa harus ada password sih!” Veranda menggerutu. Namun tampilan ‘Hint’ di bawah isian password menarik perhatiannya. Veranda mengarahkan kursor dan menekan ‘Hint’. Tampaklah dua kata yang sedikit membuat Veranda mengernyitkan alis.

“The Chosen”

***


“Oke, Pak, Bu, kalau begitu kami permisi.”

Sepeninggal dua polisi tersebut, Bos Titan dan Melody diam dalam pikiran masing-masing. Beberapa menit mereka tidak membuka suara sampai akhirnya Bos Titan berujar, “Sudah berapa kali aku bilang, apapun yang terjadi di Valkyrie ini aku harus tau. Dari jadwal para talent, sampai petugas cleaning service yang ga masuk hari ini aku harus tau.”

“Hey, Mel.” Bos Titan meminta Melody menatapnya. Mau tak mau Melody mengangkat kepalanya yang menunduk dan menatap mata Bos-nya.

“Kamu ga inget ya kalo aku pemilik perusahaan ini?” Rahang Melody mengeras mendengar pertanyaan itu. Dari pertanyaan itu Melody sudah bisa mengira betapa marah Bos Titan kepadanya. Kemarahan yang datang dari akumulasi banyak kekesalan akan apa yang terjadi belakangan ini. Dan sialnya, apa yang dilakukan Melody mendidihkan semua luapan kemarahan itu. Dia sudah siap mendengar apa yang akan dikatakan Bos Titan selanjutnya, walaupun dia tahu itu akan menyakiti hatinya.

“Apa kamu merasa udah setara dengan pemilik perusahaan ini makanya kamu dengan seenaknya memutuskan sesuatu? Oke aku udah berikan kamu posisi General Manager, yang mana semua operasional kamu berhak mutusin. Tapi aku juga harus tahu, Mel.”

“Kamu kira kerjaanku tiap hari santai-santai sambil nikmatin mekinya kalian? Kamu tau kan kalo aku harus menghadiri rapat ini itu, studi banding dalam dan luar negeri, saat kamu enak tidur aku udah bangun ngereview laporan keuangan bulanan, kuartalan, tahunan? Masa yang sepenting ini kamu ga ngasitau aku? Menurut kamu Valkyrie tanpa aku bisa jalan dengan baik? Oh atau kamu udah ngerasa bisa mimpin Valkyrie ini ya?”

Nada perkataan Bos Titan tetap tenang dan datar, namun tiap katanya bagaikan menusuk setiap inci tubuh Melody. Dada Melody sesak. Tangisnya siap pecah. Namun Melody tetap kuat. Dia tidak mau terlihat lemah di depan Bos-nya. Dia tetap tegak mendengarkan semua omongan Bos Titan sampai selesai.

Sambil menghela nafas, Bos Titan berkata pelan, “Di antara semua ketrampilanmu yang saya akui hebat, kayaknya kamu perlu mengasah ketrampilanmu untuk menekan ego. Yaudah kamu kembali ke ruanganmu.”

Melody bangkit berdiri dan menunduk sopan, “Saya permisi, Bos.”

Melody keluar dari ruangan Bos Titan dan menuju toilet yang tak jauh dari situ. Sesampainya di toilet, barulah tangis Melody pecah. Air mata deras membasahi wajahnya. Melody sesunggukan ketika mengingat lagi setiap perkataan Bos Titan. Aku sudah mengabdikan 100% diriku untuk Valkyrie. Dan sekarang aku dijadikan kambing hitam? Ini tidak adil!

***


Saktia sedang santai memainkan ponsel di meja kerjanya saat satu notifikasi pesan baru muncul di bagian atas layarnya.

[PURNAMA] Lapor Bu, saya lihat ada dua orang baru saja keluar dari ruangan Pak Titan. Laki2 pakai jaket hitam. Saya baru lihat dua orang itu Bu. Kemaren2 tidak ada.

Saktia mengerutkan kening. Tristan benar-benar memanggil polisi untuk mencari Veranda.

Saktia langsung bangkit dari kursinya. Shania harus tahu ini. Apapun yang terjadi di Valkyrie sekarang, sekecil apapun itu, harus dilaporkan ke Shania. Agar mereka dapat mengantisipasi apapun yang akan dilakukan Tristan. Saktia setengah berlari menuju lift untuk mengambil ponsel pribadinya yang digunakan khusus untuk berhubungan dengan Shania.

Saktia pun naik ke lantai kamar.

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 49: KETAHUAN (2)


Tidak terasa hampir setengah jam Veranda mencoba membuka password laptop Nabilah. Percobaan itu memakan waktu lama karena tiap tiga kali kesalahan memasukkan password, laptop tersebut akan mengaktifkan mode pengamanan selama 10 menit. Yang artinya, laptop tidak bisa digunakan selama 10 menit. Selama 10 menit mode pengamanan, Veranda membongkar sampai sudut ruangan untuk mencari petunjuk apapun yang dapat menuntunnya mengungkapkan siapa sebenarnya Nabilah. Namun nihil.

Sebenarnya berbagai kemungkinan yang berhubungan dengan ’The Chosen’ sudah memenuhi pikiran Veranda. Namun dia mau memulai dengan nama-nama para Pegawai Terpilih. Dan kini tinggal dua nama yang belum dia coba. Maka ketika masa mode pengamanan berakhir, Veranda mengetikkan satu nama di isian itu. Sesaat dia patah semangat ketika berpikir password itu bisa saja memakai kombinasi angka dan simbol lain. Namun Veranda memilih untuk tetap mencoba.

Tet! Muncul warning kesalahan password. Veranda kembali mendesah. Berapa lama lagi dia akan menghabiskan waktu hanya untuk membuka password?

Kini tinggal satu nama. Satu nama yang Veranda sangat tidak yakin untuk dijadikan password. Veranda tertawa sendiri ketika pikiran itu masuk ke dalam otaknya. Namun tidak ada salahnya dicoba. Veranda pun mengetik nama itu sambil membatin. Betapa konyolnya kalau beneran bis-

Batinnya terhenti kala Veranda melihat tampilan password berubah dan kini menampilkan Home yang penuh dengan data-data dan shortcut software. Dirinya terdiam menatap layar laptop Nabilah yang kini sudah terbuka dan bisa diakses sepenuhnya.

***

Tring!

Veranda yang masih diam belum menyentuh laptop di depannya tersentak ketika mendengar sayup-sayup suara pintu lift terbuka. Siapa yang jam segini naik ke lantai kamar Pegawai Terpilih? Jangan-jangan Nabilah?

Veranda langsung menutup laptopnya dan melihat sekitar. Aduh dimana aku sembunyi? Ketika dia melihat di bawah meja laptop ada sela cukup untuk meringkuk, tanpa pikir panjang Veranda menunduk dan bersembunyi di sela belakang meja tersebut. Jantungnya yang baru saja berdetak normal setengah jam lalu, kini harus berdetak cepat lagi. Veranda berdoa semoga yang naik itu bukan Nabilah. Veranda memasang telinganya.

“..somasi tolol!..Tristan..brengsek..!”

Sayup-sayup suara yang Veranda kenal. Itu kan suara… Saktia? Tidak mungkin Veranda salah. Namun Veranda masih meragukan apa yang didengarnya. Saktia memanggil nama Bos Titan dengan nama aslinya? Dengan nada tinggi? Dan memakai kata… brengsek? Apa yang terjadi?

Veranda hanya meringkuk diam.

Di kamarnya, Saktia menyentak laci paling bawah meja sudut kamarnya hingga lepas kemudian membaliknya. Tampaklah sebuah ponsel kecil yang direkatkan dengan lakban dua sisi. Segera dia menghidupkan dan menekan tombol hijau. Tak lama ponsel tersebut sudah terhubung dengan nomor Shania.


“Ya?”

“Bos, lapor! Mata-mata tadi ngelaporin, tadi ada dua orang keluar ruangan Tristan yang saya curigai adalah polisi. Tristan benar-benar mencari Veranda. Menurut saya kita ga boleh membiarkan ini, Bos. Kalau Veranda sampai ditemukan, ada kemungkinan mereka akan mendapati Veranda tidak bersalah. Saya rasa perintah Bos kemaren untuk mencari Veranda sudah bisa dijalankan.”

Shania diam mendengarkan laporan Saktia. Matanya menerawang, menimbang-nimbang beberapa skenario yang melintas di pikirannya. Kenyamanan pagi di ranjang besarnya sedikit terusik oleh laporan Saktia barusan. Dari pagi Shania belum beranjak dari kamarnya. Jadwal kegiatan hari ini yang tidak terlalu padat membuatnya sedikit santai.

Sementara Tania Dara menggeliat bangun dari tidurnya. Tania sedikit heran melihat Shania bermimik serius sambil memegang ponsel.

“Siapa?”

“Sstt kamu lanjut tidur aja.”

Di seberang telepon Saktia mendengar suara itu. “Bos.. Itu.. “

“Iya.” Shania langsung menjawab.

Saktia diam. Ternyata Bos ga main-main waktu bilang mau bikin Tania jadi budak seksnya, batin Saktia.

“Oke, kamu standby tunggu perintah saya. Untuk sekarang kita jangan reaktif. Kita lihat saja dulu apa maunya Tristan. Yang penting kalo ada apa-apa langsung laporan ke saya. Ngerti?”

“Siap, Bos! Silahkan lanjut. Saya kembali ke kantor dulu.”

Telepon pun diputus. Saktia buru-buru memasukkan ponsel kecil itu ke saku blazernya dan keluar dari kamar. Ketika melewati kamar Nabilah, langkahnya terhenti. Saktia mendengar sesuatu. Suara bersin. Bersin seorang wanita. Tidak salah lagi. Dari kamar Nabilah. Maka perlahan Saktia mendekati kamar Nabilah dan meraih gagang pintunya. Nabilah, cleaning service, siapapun yang ada di dalam, pasti akan membuka pintunya.

***

Sial! Sekuat apapun Veranda menahan bersinnya, pasti tetap terdengar dari luar pada kondisi sunyi seperti ini. Dirinya tidak bisa menahan lagi karena debu di bawah meja Nabilah. Dia mencoba menahan rasa gatal di hidungnya namun sekali lagi semburan bersin keluar dari hidung dan mulutnya. Veranda menekan keras hidungnya. Aduh tolong jangan bersin lagi, batinnya memohon. Di luar masih ada Saktia dan dia tidak boleh ketahuan.

Ketakutannya terbukti ketika dia melihat gagang pintu mulai berputar. Saktia mencoba masuk!

***
 
CHAPTER 50: MONO’S ANGEL


“Selamat pagi, Bu, permisi.”

Melody menoleh ke arah pintu ruangannya. Kartika, pegawai Personalia, divisi Veranda, berdiri menunggu untuk diizinkan masuk.

“Ya, silahkan. Ada apa?”

Kartika melangkah pelan. Setelah saling lempar di divisi Personalia dan General Affair, akhirnya Kartika yang terkenal berani dan ceplas-ceplos menjadi korban untuk disuruh menanyakan kejelasan status Veranda. Mereka tidak yakin ketika diberitahu bahwa Veranda mengambil cuti dalam waktu yang tidak ditentukan. Veranda belum setahun menjadi pegawai Valkyrie Management. Tentu dia belum mendapatkan hak cuti walaupun setahu mereka Veranda adalah ‘pegawai istimewa’ seperti Melody dan kepala divisi yang lain.

“Maaf, Bu. Saya diminta teman-teman Persa dan GA untuk bertanya, mbak Veranda cutinya sampai kapan ya Bu? Soalnya begini Bu, ada beberapa data yang cuma ada di mbak Veranda. Dan juga user untuk beberapa pengadaan instrumen kan mbak Veranda. Jadi kami-“

“Kalau data yang di PC Veranda, kamu bisa minta sekarang ke Tim IT untuk buka password. Sekarang saya keluarkan surat izinnya. Untuk user pengadaan, kan bisa diwakilkan dengan yang lain, yang penting satu divisi.”

“Betul Bu, tapi-“

“Ga ada tapi-tapian. Kalo ga ada lagi yang penting dan perlu dibicarakan, kamu sudah bisa keluar sekarang. Saya sedang banyak kerjaan.”

Kartika tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mencoba berargumen dengan Melody yang saat ini tempramental bukan keputusan yang bijak. Dia pun berbalik untuk keluar. Saat sudah sampai di pintu Melody kembali memanggil,

“Eh Tika kamu lewat meja Saktia kan? Kalo ada orangnya tolong bilangin supaya ke ruangan saya. Kalo ga ada telpon dia. Makasih ya.”

“Baik, Bu.”

***


Veranda menyeruak dari bawah meja saat gagang pintu kamar Nabilah mulai berputar. Apa yang harus kulakukan? Kalau Saktia tidak mendapati siapa di kamar Nabilah, bukan tidak mungkin dia melaporkan hal ini ke sekuriti dan bahkan Melody. Veranda panik dan mulai melihat sekeliling.

Veranda tersadar pada benda di depannya, yang tadi dibawanya masuk ke kamar Nabilah. Vacuum cleaner. Sesaat pikirannya berputar. Dengan cepat dia menarik kabel vacuum cleaner, mencolok stekernya ke soket listrik dan menekan tombol Power.

Ngiiiiiingg. Bunyi bising vacuum cleaner mulai memenuhi kamar Nabilah. Veranda terduduk, menunggu apa reaksi Saktia yang berada di depan pintu kamar Nabilah. Sesaat putaran gagang pintu terhenti, diikuti suara dering ponsel Saktia.

“Iya, iya, saya kesitu. Hah apa lagi sih ini? Ini juga cleaning service bukannya langsung keluar!” Dari bisingnya vacuum cleaner, Veranda masih dapat mendengar ocehan Saktia. Dia pun mendengar langkah Saktia menjauh.

Tring! Pintu lift tertutup, dan turun kembali ke lantai kantor.

Veranda masih terduduk di posisinya. Kalau begini terus aku bisa mati berdiri. Tiga jam setelah kembali ke Valkyrie, jantungnya hampir copot dua kali.

***



“Ada apa, kak Mel?”

“Nah. Sini aku mau ngomong sama kamu. Tutup pintunya.”

Saktia pun menutup pintu ruangan Melody. Setelah memastikan tidak ada orang yang memperhatikan mereka lewat dinding kaca, Melody memajukan badannya mendekati meja kerja,

“Begini. Jadi Bos Titan sekarang kan nyuruh polisi untuk mencari Veranda. Dan dari hasil penyelidikan mereka, Veranda terakhir dilihat di daerah Belantani. Aku minta tolong kamu sekarang, untuk caritahu kira-kira kemana perginya anak kampung itu.”

“Hah? Saya sendiri, Kak Mel?”

Melody memelankan suaranya, “Aku sengaja ga ngasitau ini ke yang lain, karena cuma kamu yang bisa aku andalkan sekarang. Kalo Bos Titan punya rencana, aku juga punya caraku sendiri. Driver dan mobil udah siap di bawah.”

Mau tak mau Saktia menyanggupinya. Toh ini juga sejalan dengan rencana Bos Shania, pikirnya.

“Oke kalo gitu, kak Mel. Sekarang aku berangkat. Oh iya kak, kenapa mata kak Mel kayak sembab? Kak Mel… abis nangis?”

“Udah kamu cepetan sekarang berangkat. Kita lagi ngejar waktu.”

“Baik, Kak.”

***

“Lho, John, elo yang disuruh nganter gue?”

“Iya, Mbak Saktia. Saya disuruh standby.”

“Hahaha bagus dong kalo gitu. Oke kalo gitu kita berangkat.” Rencana berubah. Kalau mata-matanya yang mengantar, haluan berubah menjadi ke rumah Bos, Shania.

“Ke Belantani kan, Mbak?”

Saktia tidak menjawab. Dia berpikir sejenak. Pak John masih tergolong baru menjadi agennya di Valkyrie. Dan Shania selalu berpesan, untuk mengantar Saktia ke rumahnya harus memakai Gino yang sudah lama mengabdi ke Shania. Namun dengan kondisi sekarang ini dan Gino yang kebetulan sedang tidak shift kerja, membuatnya terpaksa memakai Pak John.

“Iya, Pak. Belantani.”

Sambil mobil bergerak keluar dari Valkyrie, Saktia mulai mengetik pesan singkat ke Gino.

[SAKTIA] Jemput sekarang di Belantani, saya mau ke tempat Bos.

***

“Hmmm.. Untuk TIK lumayan. Untuk Sejarah.. hah kok jurusan IPA ada sejarah? Nyambung emang? Matematika… Heh Beby, apa-apaan ini nilai Matematika kamu dapet 6 gini? Kamu ga belajar ya? He-“

Om Minmon yang sedaritadi mengoceh sendiri baru menyadari bahwa tiga dara di depannya, Beby, Yoriko dan Sevira, cekikikan sambil berbisik-bisik, seakan sedang membicarakannya. Om Minmon mengernyitkan dahinya.

“Kalian lagi ngomongin apa kok bisik-bisik gitu? Heh Beby kok Matematika kamu cuma dapet 6? Kamu bolos ya? Heh Iko Vira kok Beby dapet nilai jelek sementara kalian bisa dapet 8?” Omelan Om Minmon menyerocos keluar. Sementara tiga siswi yang baru menerima rapor ini tampak tidak terlalu peduli dengan omelan Om Minmon. Malah mereka meneruskan cekikikan mereka.


Beby - Sevira - Yoriko

“Ya aku kan udah bilang aku ga suka matematika, Om.”

“Iya, Om, kalo Beby ga suka matematika mau gimana lagi.”

“Betul, Om. Lagian nilai-nilai kami yang lain bagus-bagus kan? Gapapa doong, Om…”

Om Minmon menghela nafas panjang. Dia tak menyangka, setelah menahbiskan mereka menjadi tiga agen remajanya, Yoriko Beby dan Sevira menjadi bersikap enteng kepadanya. Beberapa kali mereka tanpa sungkan meminta ikut menginap di hotel tempat Om Minmon tinggal sementara karena kondisi kantor yang sedang tidak kondusif. Tak jarang pula mereka tiba-tiba memeluk atau menarik tangan Om Minmon untuk ikut mereka jalan-jalan. Dan kini, mereka tidak menunjukkan rasa sesal saat dimarahi soal nilai rapor yang jelek. Dasar milenial, batin Om Minmon sedikit kesal.

“Trus tadi ngapain bisik-bisik gitu? Becandain Om?”

Mereka bertiga saling berpandangan, kemudian tawa mereka pecah.

“Hahahaha. Kok Om tau sih?”

“Haha! Kedengeran ya Om? Maaf ya Om hahaha.”

“Heh kalian ngomongin apa?!” Om Minmon mengabaikan tawa mereka.

Mereka kembali saling berpandangan. Saling menyuruh untuk menjawab pertanyaan Om Minmon. Akhirnya Beby memberanikan diri menjawab.

“Om Minmon, kami tuh…” Dia berhenti, menoleh kembali ke kedua temannya. “penasaran, gimana sih bentuknya penis orang dewasa.” Yoriko dan Sevira cekikikan malu-malu.

“Astaga kalian ini kesambet apa sih sampe mikir ke situ!”

“Ya Om Minmon kan bilang, kami tuh harus lebih dewasa, harus lebih paham soal hubungan dewasa supaya kami ga gampang dibego-begoin. Nah kami sekarang minta diajari dong.”

“Iya betul. Ini kan untuk memperluas pemahaman kami.”

Om Minmon memejamkan matanya. Argumen lagi. Dalam waktu beberapa hari saja dia sudah melewati banyak argumen dengan tiga cewek remaja ini. Dan hasilnya kebanyakan sama. Mereka menang. Karena bertiga. Dan memaksa. Memaksa Om Minmon ikut jalan-jalan dengan mereka. Memaksa Om Minmon memakan masakan yang mereka bawa padahal dia baru saja makan malam. Memaksa ikut menginap di kamar Om Minmon dengan meminta extra bed. Dan lainnya.

Namun setelah Om Minmon pikir kembali, dia mendapati semua argumen itu berujung di satu hal: mereka meminta Om Minmon untuk selalu bersama mereka. Seingat Om Minmon sejauh ini Yoriko Beby dan Sevira sekalipun tidak pernah minta dibelikan ini itu. Atau meminta uang seperti yang dilihatnya pada kebanyakan ‘peliharaan om-om’.

Om Minmon tiba-tiba teringat dengan sepatunya yang di bawah tempat tidur. Sepatu coklat yang tidak sesuai dengan selera dan stylenya. Namun tetap dipakainya tiap bertemu dengan mereka. Karena sepatu itu adalah hadiah dari mereka. Justru Yoriko Beby dan Sevira yang memberinya sesuatu, selain kesetiaan mereka.

Tapi untuk yang satu ini. Oh come on, masa aku mesti pampangin penisku di hadapan mereka. Gimana cara keluar dari situasi kayak begini?

“Om balik kantor dulu kalo gitu. Om ada kerjaan tad-“

“Om. Ngga. Ngga ada kerjaan. Tadi Om udah bilang gitu. Jangan bohong deh. Masa ayah bohong sama anak-anaknya.” Yoriko melipat tangan. Bertiga mereka kompak menatap wajah salah tingkah Om Minmon.

Om Minmon akhirnya menyerah, “Ya ya ya terserah kalian. Kalian buka lah gesper ini dasar milenial kurang kerjaan!”

Wajah tanpa ekspresi mereka langsung berubah menjadi sumringah sambil dengan cepat mendekati Om Minmon. Yoriko, Beby dan Sevira sebenarnya tidak peduli seperti apa penis orang dewasa. Toh mereka tidak mungkin belum tahu bagaimana bentuk penis. Mereka hanya ingin Om Minmon tidak langsung pulang setelah selesai memeriksa rapor mereka. Tapi Yoriko Beby dan Sevira tidak sadar apa yang akan mereka hadapi.

“Cepetan, Ko.”

“Bentar ini susah amat deh buka gespernya Om Minmon.”

“Mamam! Makanya jangan kurang ajar sama orangtua.”

“Ih Om kok gitu sih.”

“Nah udah Beb.”

Setelah melepas ikat pinggang, mereka melepas kancing celana longgar Om Minmon.

“Om angkat pantatnya dikit deh hihihi.”

“Hihihi parah lo, Vir.”

“Ya kan ga bisa ditarik kalo ga diangkat hihihi apaan sih gue.”

Setelah menarik celana Om Minmon, Yoriko, Beby dan Sevira terperanjat dengan apa yang mereka lihat: penis gagah Om Minmon yang setengah tegang. Urat-urat besar kecil menghiasi sepanjang batang penisnya yang kokoh, ditambah kepala penis yang berwarna merah gelap mengkilap. Penis berukuran jauh lebih besar dari yang bisa dibayangkan tiga remaja bau kencur ini. Om Minmon tersenyum melihat ekspresi mereka. Makan nih! Makanya jangan sok pengen tahu! Om Minmon menyeringai.



“Gila gede banget, Beb…”

“Matek gak lu kalo dientot kontol Om Minmon.”

“Nyesel gue kemaren bilang jual keperawanan ke Om Minmon. Bisa mati gue…”

“Nah udah kan? Yaudah-“

“Lho tunggu dulu dong, Om. Kami kan belom pegang.”

“Heh kita ga ada bicarain pegang-pegang ya tadi!”

“Ah Om Minmon bawel banget sih. Masa ga mau yang enak-enak.” Yoriko meraih batang penis Om Minmon dan mulai mengocok pelan.

“Eh pegang deh Beb, Vir, seru nih hahaha!”

Om Minmon tahu kalau sudah begini, keinginan mereka tidak akan bisa ditolak. Reputasi Om Minmon dalam menaklukkan dan mengendalikan wanita, hancur di hadapan tiga siswi SMA ini. Maka Om Minmon pun mengubah sikapnya. Dia mengikuti permainan Yoriko, Beby dan Sevira.

“Oh kalian mau ngasi yang enak-enak? Coba bisa ga bikin penis Om ngecrot. Ngemeng doang lu bertiga. Kalo nakal jangan nanggung!”

Dibilang seperti itu membuat Yoriko, Beby dan Sevira tertantang. Sevira langsung berdiri sambil hendak membuka celananya.

Om Minmon tersentak, “Heh ngapain lo?!”

“Kan Om bilang mau dibikin ngecrot.”

“Nah trus?!”

“Ya pake meki lah.”

“Heh tolol! Ntar lu jadi ga perawan dong gimana sih! Emang gue bilang mau merawanin lu?! Vir lu mikir ga sih aduh!!”

“Ya manatau kan Om…”

Om Minmon menepuk dahinya. Segampang itu Sevira mau memberikan keperawanannya. Sementara Om Minmon sudah berkali-kali menasehati mereka untuk menjaga keperawanan.

“Ya kan udah kami bilang Om, kalo sama Om gapapa…” Yoriko menimpali.

“Gapapa kepalamu! Om bukan suamimu! Keperawananmu itu untuk suamimu, udah berapa kali Om bilang!”

Yoriko menggerutu pelan, “Enak amat suami gue dapet perawannya gue…”

Ternyata seperti ini cara menghadapi mereka. Mereka yang tidak sungkan lagi ke Om Minmon, harus dibalas dengan rasa tidak sungkan juga. Kini Om Minmon tidak lagi bersikap sebagai ayah kepada mereka, namun menempatkan diri sebagai teman seumuran mereka. Yang berkata dan bersikap seperti generasi milenial. Dan ternyata Yoriko, Beby dan Sevira menerima saja.

“Yaudah gimana nih caranya Om?”

“Nih,” Om Minmon mendekatkan jarinya ke kepala Beby dan mengetuk dahinya, “pakai otakmu.”

“Dibikin ngecrot tapi ga pake meki… Gimana nih Ko? Kan lu yang minta tadi.”

“Yaudah kita kocokin aja Beb.”

Maka mulailah mereka mengocok pelan penis Om Minmon. Rasa geli mulai menjalar di sepanjang penis Om Minmon. Tapi tentu tidak senikmat ketika dia menggenjot selangkangan. Om Minmon pun mengejek mereka.

“Sok mau nakal kok begini doang. Sampe besok juga ga akan keluar kalo gini nih pfftt.”

Beby memandang kesal. Bibirnya manyun. Kayaknya tadi kami deh yang candain Om Minmon, kok jadi kami yang dimainin gini sih, pikirnya.

“Oke aku isepin!” Sevira meraih penis Om Minmon dan mulai memasukkan kepala penis ke mulutnya. Sevira terpaksa membuka lebar mulutnya.

“Eh iya bener juga. Yaudah aku bantu deh.”

Tiba-tiba terlintas pikiran jahil Om Minmon. Dia berdehem.

“Ehem! Gini aja biar cepet: Kalo dalam waktu 10 menit ga keluar juga, kalian ga usah ketemu Om sebulan ini ya. Kalian bebas mau kemana aja. Kalo mau jalan-jalan ke mall ya terserah. Tapi Om ga mau ikut atau ketemu kalian. Sebulan ini. Kalo ada apa-apa dari chat aja.”

Yoriko, Beby dan Sevira kompak merengek. Mereka tidak mengira candaan mereka mengarah seperti ini.

“Lhooo ga bisa gitu dong, Om! Ga fair dong! Ntar kami curhat ke siapa?!”

“Ah Om udah mulai ga asik nih! Ini kan becanda Om yaelah.”

“Oh udah mulai maen ancam-ancam? Oh gitu ya Om sekarang…”

Tapi Om Minmon tidak lagi termakan permainan mereka. Dia tidak peduli apapun protes mereka. Dia kini memegang kendali. Om Minmon melihat arlojinya.

“Wah udah setengah menit berlalu nih wahh.”

Yoriko, Beby dan Sevira terdiam. Mereka bertatapan satu sama lain. Kali ini Om Minmon terlihat serius. Taruhannya sebulan tidak bertemu. Bisa stres kalau tidak bertemu dengan Om kesayangan mereka. Maka mau tak mau mereka mulai bergerak. Beby dan Sevira mulai menyedot sambil mengocok penis Om Minmon.

“Om?”

“Hmm.”

“Pake memek ya?” Yoriko mencoba lagi.

“Ngga.”

“Ngga lepas perawan kok.”

“Ngga.”

“Digesek-gesek aja boleh ya?”

“Satu menit!”

“Om ga asik ah!”

“Ko! Daripada lu ga jelas gitu mending bantu sini!” Beby melepas sepongannya. Sementara Sevira sibuk menjilati sambil mengocok batang penis Om Minmon.

“Yaudah bagian gue yang ini nih,” Yoriko menunjuk buah zakar Om Minmon.

“Nah yang kamu tunjuk itu namanya buah zakar, atau kata orang peler.” Sambil memejamkan mata Om Minmon menjelaskan kepada mereka.

“Nah lumayan nih usahanya. Tapi belum maksimal hehehe. Segini doang ternyata.”

Beby kembali melepas sedotannya, “Om udah deh! Ini kami juga usaha kok!”

Om Minmon terkekeh, “Selamat berjuang.” Namun memang Om Minmon mulai menikmati pelayanan mereka. Dia benar-benar merasakan kesegaran mulut dan lidah tiga anak perawan di selangkangannya. Dari kepala penis sampai buah zakar hampir dilumat trio siswi ini. Sesekali dia merasakan ngilu kala kepala penisnya terkena gigi Beby atau Sevira. Namun rasa geli nan nikmat menutup ngilu itu. Tak sadar Om Minmon mulai mendesah.

“Ah.. Wah.. Enak…”


Ruangan yang tadi agak gaduh, sekarang jadi senyap. Tiga gadis fokus merangsang penis seorang pria bangkotan yang buncit. Matahari siang kini akan mencapai puncaknya. Pendar cahayanya kini terik menyinari Jakarta.

Om Minmon sebenarnya khawatir mereka akan meminta lebih atau setidaknya seperti ini lagi ke depannya. Namun menghadapi generasi muda ini tidak lagi sama seperti menaklukkan wanita-wanita yang sebelumnya dia lakukan. Butuh pendekatan berbeda. Kini Om Minmon sudah paham caranya. Dia sudah tahu cara mengendalikan tiga agennya ini agar lebih patuh.

“Beb itu cuma mentok sampe situ aja ya?” ejek Om Minmon. Namun Beby tidak menjawab. Dia memilih untuk tetap menyedot kepala penis Om-nya. Mulutnya sebenarnya sudah agak nyeri tapi Beby tidak mau menyerah.

“Heh, Beb gantian dong. Sini lu ngisep peler aja.” Yoriko melepas isapannya di buah zakar Om Minmon.

Beby pun melepas sepongannya dan berganti posisi dengan Yoriko. Yoriko tanpa ancang-ancang langsung menekan bibir dan mulutnya, menelan batang penis Om Minmon sepanjang yang dia bisa. Sejenak Yoriko merasa tersedak dan akan muntah namun dia menahan. Sesekali dia mencoba memainkan lidahnya. Namun tidak bisa bergerak banyak karena mulutnya dipenuhi batang penis.

“Wah bagus Ko. Enak! Gini dong Beb hahaha!” Beby hanya bisa melotot kesal sambil bibirnya menyedot buah zakar Om Minmon.

Sementara Sevira tiba-tiba terpikir sesuatu. Dia pun menghentikan jilatannya dan mulai melepas kancing baju.

“Heh heh mau ngapain?!”

Sevira tidak menjawab. Dia membuka seragam SMA nya. Tak lupa juga melepas branya sehingga kini tampak buah dadanya yang segar dan berputing merah muda. Sevira mendekatkan dadanya ke wajah Om Minmon sambil tersenyum. Om Minmon mengernyit tidak paham.

“Jilat dong, Om.”

“Lho kok gini-“

“Tadi peraturannya yang penting tetap perawan aja kan? Ga bilang ga boleh pake susu kan?” Sevira tersenyum licik.

“Ya tapi kan-“

“Kalo Om ga mau jilat berarti Om melanggar peraturan yang Om bikin. Artinya kami menang. Ini kan usaha kami untuk bikin Om terangsang.”

Om Minmon kalah. Namun dia tersenyum, bahkan bertepuk tangan. Argumen yang bagus.

“Gila gila! Ga sia-sia aku jadiin kalian agen terpilih. Ini yang namanya pakai otak hahaha! Nice Vir! Really nice!”

“Heh enak di elu dong Vir!” Beby berseru.

“Diem deh! Lu pengen ga ketemu Om Minmon sebulan? Gue sih ngga.”

“Yaudah ntar gantian.”

“Ngga! Lu cari cara lain aja.” Cara lain? Satu ide lagi terbersit. Beby langsung beranjak berdiri dan membuka kemeja Om Minmon. Dengan penuh nafsu dia mulai menjilati satu puting Om Minmon, sambil jarinya mulai mengelus-elus puting lainnya.

Om Minmon semakin terhenyak. Dirinya tenggelam dalam kenikmatan yang diberikan tiga gadis yang belajar menjadi peliharaan. Tiga gadis yang kini siap untuk memuaskan Om-nya, walaupun tidak diperbolehkan memakai kelamin mereka. Namun mereka yakin hanyalah masalah waktu sampai nantinya Om Minmon mau menikmati perawan mereka. Yang Beby, Yoriko dan Sevira tidak tahu, prinsip Om Minmon tidak akan bisa diruntuhkan bahkan oleh tiga vagina segar mereka.

Yoriko tidak protes sedikitpun ketika ditinggal menyepong penis Om Minmon sendirian. Justru kini penis Om Minmon dalam kuasanya. Dengan membabi buta dia mulai mengocok penis Om Minmon menggunakan mulutnya. Dengan cepat dia mengeluar-masukkan kepala penis yang merah gelap. Sesekali pipinya mengempot, menyedot kencang hingga Om Minmon merasa agak ngilu. Dengan stabil dan berirama tangannya ikut mengocok bagian pangkal penis.

Kini Beby, Yoriko dan Sevira kesetanan dan penuh nafsu merangsang Om Minmon. Beby dan Yoriko kini ikut membuka seragamnya. Tiga gadis bertelanjang dada yang bisa dipilih Om Minmon untuk dinikmati putingnya. Tidak berukuran besar memang, namun terlalu nikmat untuk dilewatkan.

Om Minmon pun bergerilya. Saat mulutnya menyedot puting susu Sevira, tangannya kini perlahan memelintir puting Beby yang berhenti menjilat dada Om Minmon. Bulu halus Beby merinding. Tubuhnya kini meminta pertanggungjawaban. Menuntut kenikmatan dari Om Minmon. Mulutnya mendesah. Tangannya mencengkram lengan Om Minmon, meminta agar diberi lebih.

Sementara Sevira sudah sejak tadi terangsang hebat. Saat lidah dan mulut Om Minmon tidak berhenti menjilat puting susunya, jarinya sudah asyik menggesek klitorisnya dari balik rok yang disingkap. Rasa geli mulai terbit dari dalam vaginanya. Kini Sevira mengerti kenapa tokoh wanita dalam film porno yang ditontonnya terlihat keenakan. Diisep puting begini saja udah nikmat apalagi dientot kayak di film itu, batinnya.

Tak terasa arloji Om Minmon sudah mendetakkan 540 detik. Satu menit lagi, dan kini Om Minmon merasakan puncak kenikmatannya terlihat. Dia kagum dengan perjuangan tiga agen remajanya ini. Ketika dia merasakan air maninya mulai merambat pelan di pangkal batang penis, dia melepas segala rangsangannya pada Beby dan Sevira. Beby dan Sevira membuka mata ketika menyadari tidak ada gerayangan di tubuh mereka.

“Ehem!” Yoriko pun melepas sedotannya. Sambil memandang Beby, Yoriko dan Sevira yang bingung, Om Minmon akhirnya bersuara, “Oke! Kalian menang!”

Tidak ada ekspresi girang. Tidak ada lompatan kemenangan. Yang ada hanya ekspresi bingung. Dan wajah kesal karena rasa nikmat di tubuh mereka hilang.

“Lah kan belom ngecrot, Om.”

“Iya Om yuk lanjutin lagi dong Om.”

Om Minmon menjelaskan, “Justru ini mau keluar, tapi kalian mesti berlutut. Ayo cepat.”

Ketiga dara itu pun menurut. Mereka berbaris dan mengambil posisi berlutut.

“Oke, Beby, Yoriko dan Sevira, dari film bokep yang kalian tonton, endingnya gimana?”

“H-hah, ka-kami ngga ad-“

“Ah elah ga usah bohong. Makanya jangan simpen film bokep di hape! Om beliin hape bukan untuk nyimpen bokep!”

Beby, Yoriko dan Sevira salah tingkah. Mereka ketahuan. Ide Yoriko menyimpan film porno hanya untuk seru-seruan justru menjadi blunder.

“Nah itu urusan nanti. Sekarang, Om tanya lagi,” Om Minmon mulai mengocok penisnya, “endingnya gimana?”

“Cowoknya ngecrot, Om.”

“Dicrotinnya dimana?”

“Di… wajah ceweknya?”

“Nah. Kalo gitu,” Om Minmon mengarahkan kepala penisnya ke wajah tiga pemuas nafsunya hari itu, “kalian harus ngerasain kayak gitu.”

Bukannya takut, mereka malah tersenyum lebar. Beby, Yoriko dan Sevira cekikikan sambil menatap kepala penis Om Minmon.

“Hihihi berasa jadi pemain bokep gue.”

“Hihihi kalah tuh semua cewek di film bokep, penisnya ga ada yang segede ini.”

“Hahaha ada-ada aja lu Vir.”

“Nih terima!”

Beby, Yoriko dan Sevira mendekatkan wajahnya ke penis Om Minmon. Dan yang mereka inginkan terjadi. Semprotan air mani Om Minmon mulai menyembur deras ke wajah mereka. Cairan putih kental memenuhi wajah, rambut dan menetes-netes di dada mereka. Beby, Yoriko dan Sevira hanya bisa menutup mata mereka sambil tertawa.

“Hihihi gila banyak amat, Om.”

“Haha gue yakin nih ga ada kontol yang bisa ngecrot sebanyak Om Minmon. Ukurannya aja gede banget.”

Setelah memastikan tidak ada lagi tersisa, Om Minmon duduk di pinggir kasur. Jujur dia senang. Tidak disangka niat awalnya yang hanya ingin memeriksa nilai rapor ketiga peliharaannya, malah diberi ‘hadiah’ yang tak terlupakan. Om Minmon puas memandangi tiga wajah gadis yang belepotan dipenuhi spermanya.

Beby, Yoriko dan Sevira belum beranjak dari posisinya. Mereka mengusap pelan lelehan sperma di sekitar mata. Setelah dapat membuka mata, sambil mengendus sperma di jarinya Yoriko bertanya,

“Om ini bisa ditelan ga sih?”

“Yang kamu liat di film bokep gimana?”

“Ng-ngga ditelan sih.”

“Ya bisa aja sih sebenarnya.”

“Tapi?”

“Ga ada tapi. Itu kan terserah kalian.”

“Oh gitu.” Beby dengan enteng menjilati lelehan sperma di jarinya.

“Eh serius lu Beb?” Sevira mendelik kaget.

“Asin. Gurih. Enak juga, Vir hahaha.”

“Hahaha gila lu.”

“Cobain deh.”

“Ngga deh. Geli gue.”

“Kayak kata Om Minmon,” Yoriko tersenyum licik, “kalo nakal jangan nanggung!”

Yoriko menjejalkan dan memaksa masuk sperma Om Minmon ke dalam mulut Sevira.

“Aaaah gila ah ga mau gueee!”

“Rasain mampus!”

“Enak nih! Gue aja udah ludes hahaha!”

“Lu kan emang gila, Beb! Udah ah Ko! Jangan gini maennya ah ga asik ah Ko!”

“Hahaha!”

Melihat tiga gadis begitu enteng memainkan spermanya, Om Minmon berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. Tak lama Beby, Yoriko dan Sevira pun masuk kamar mandi juga untuk ikut membersihkan penis Om Minmon.

***​

Om Minmon menatap Beby, Yoriko dan Sevira dengan wajah serius.

“Oke, yang kalian minta udah Om kasih. Sekarang kita sepakati satu hal,” Beby, Yoriko dan Sevira diam mendengarkan.

“Saat kalian maksa Om ikut kalian jalan-jalan, makan masakan kalian, maksa beliin Om sesuatu, oke Om masih terima.”

Om Minmon diam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, “Tapi kalo kalian nuntut apa-apa yang berkaitan dengan seks kayak tadi, Om ga segan-segan ninggalin kalian, ga mau nemuin kalian lagi. Kontrak kita putus disitu. Itu bukan cara kita. Itu bukan yang Om cari dari kalian. Paham?”

“Paham, Om.” Mereka serempak menjawab.

“Tapi kalo kami… sange, gimana, Om?” Sevira menambahkan.

“Kamu sangenya ke siapa emang?”

“Ke Om Minmon.”

“Iya aku juga, Om.”

“Sama aku juga, Om.”

“Sange kok sama om-om bangkotan. Bego lu pada. Yaudah kalo lu sange, lu tidur, atau olahraga, atau nonton Youtube. Atau apa lah yang bisa ngalihin pikiranmu. Oke paham ya?”

“Iya, Bosku.”

“Oke, Om anggap yang ini udah beres. Berikutnya,” Om Minmon mengambil dompet dari tas kecilnya dan mengeluarkan kartu putih. Kartu nama Om Minmon dengan logo Valkyrie tersembul samar di belakangnya. Om Minmon kemudian mengambil pulpen dan menulis sesuatu di bagian belakang kartu. Setelah selesai menulis, dia menyodorkan kartu itu ke depan mereka.

“Kartu ini kalian simpan baik-baik. Suatu saat,” Om Minmon tersenyum penuh arti, “kalian akan menjalani misi pertama, dengan kartu ini.”

Mata ketiga agen Om Minmon berbinar-binar. Agen dan misi yang dijelaskan Om Minmon saat mereka ditetapkan sebagai peliharaannya bukan hal yang abstrak. Mereka siap menghadapi misi pertama!

***
 
Terakhir diubah:
Up dulu y gan, booking tempat. Thankss for update
 
Akankan penyelidikan ve berhasil atau saktia dan sania yang menang dalam permainan ini :bingung:
 
Welcome back gan, akhirnya ada update ny lagi, ijin baca dulu gan..
 
Mantap Hu update an nya.
Spy tetep virgin, di jos analnya aja Hu...
 
EPISODE 51: MELENYAPKAN VERANDA

Sebelumnya, di Valkyrie Management:
Veranda berhasil masuk ke kamar Nabilah dan mulai membongkar isi laptopnya. Namun dia hampir saja ketahuan oleh Saktia. Sementara Melody mengambil inisiatif dan rencana sendiri untuk menemukan Veranda. Dia pun meminta Saktia untuk membantunya menjalankan rencana pribadinya. Om Minmon? Jangan tanya deh. Dia lagi asik dengan trio agen SMA barunya.


Klak. Klik. Klak.

Dengan cepat jari Veranda bergerak dan menekan pada touchpad untuk membuka semua folder di dua drive laptop Nabilah. Kabel charger ponsel yang dari tadi sudah tertancap di soket USB masih belum menerima file apapun dari laptop. Sejauh ini dia hanya bisa menemukan file musik, film dan dokumen-dokumen terkait pekerjaan. Tidak ada yang istimewa atau setidaknya tidak biasa. Tubuh Veranda berkeringat oleh udara yang mulai memanas dan rasa buru-buru yang menghantuinya. Sepuluh menit lagi petugas cleaning service khusus lantai kamar Pegawai Terpilih akan naik untuk tugas rutinnya. Dan jika Veranda masih di kamar Nabilah, cepat atau lambat dia akan ketahuan.

Keringat mulai merambah ke telapak tangan dan sela-sela jarinya. Kursor mulai tidak terkendali akibat jejak keringat di touchpad. Ah! Jangan sekarang! Veranda membatin kesal. Kursor yang diarahkan untuk menutup folder Installer di salah satu Drive, malah tidak sengaja menekan logo Winrar yang berada di dalam folder tersebut.

Veranda terdiam melihat layar. Tunggu. Ini memang Winrar, namun bukan shortcut, melainkan file Winrar itu sendiri. File yang dibuat seolah-olah adalah program. File yang sengaja dinamakan ‘Winrar’ agar orang lain mengira file tersebut adalah program. Cukup cerdik. Veranda memperhatikan isi dari file tersebut. Hanya ada dua file disitu. File audio berukuran kecil dan file PDF berukuran mencapai 90 MB. Masing-masing dinamakan ‘data1’ dan ‘data2’. Sekilas seperti data biasa. Tapi mengapa disimpan dengan cara seperti itu?

Buru-buru Veranda meng-extract file tersebut dan mengirimnya ke ponsel. Baru saja pengiriman dilakukan, Veranda mendengar bunyi yang dikhawatirkannya.

Tring! Pintu lift terbuka. Seseorang sampai di lantai kamar Pegawai Terpilih.

***

Waktu belum menunjukkan jam makan siang. Namun Rio Hidayat sudah menghilang dari meja kerjanya. Dia mondar mandir tidak tenang di toilet. Sesekali dia masuk ke bilik kamar kecil ketika melihat seseorang akan masuk toilet.

Apa yang harus kulakukan? Apa aku bisa percaya Saktia? Setelah apa yang dia lakukan padaku? Setelah dia menjebak aku? Mati aku. Mati aku.

Rasa takut menghantui pikirannya. Tidak ada yang lebih buruk dari ketahuan bersalah membocorkan data penting perusahaan dan membuat pesaing memanfaatkan data itu. Mungkin aku akan masuk penjara, atau yang lebih buruk… Pak Mino akan mengirim orang untuk membunuhku.

Rio menggaruk kasar rambutnya. Dia meringis. Ngga begini. Ngga begini seharusnya. Kenikmatan senggama dengan Saktia rela aku kembalikan jika itu bisa mengganti waktu yang lalu.

Setelah diam sambil menatap kosong pintu bilik, akhirnya Rio memutuskan untuk menghubungi Saktia. Menanyakan kepastian nasibnya. Karena hanya dia dan Saktia yang tahu apa yang terjadi. Segera diambilnya ponsel di kantong celananya.

Beberapa saat terdengar nada panggil. Rio menggigit ujung kukunya tidak sabar. Ayo angkat ayo...

Tit. ‘Halo.’ Akhirnya.

‘Ha-halo Sak! Tolong aku! Jangan matikan dulu! Aku mau pastiin kalo kamu emang bisa jamin aku aman! Tolong Sak! Kasi aku bukti! Kasi-‘

Tit. Telepon diputus.

‘Brengsek!’ tanpa sadar Rio berteriak. Namun dia tidak peduli.

Rio hanya bisa menatap geram layar ponselnya. Saktia tidak memperdulikannya. Saktia bahkan tidak mengatakan satu patah kata selain halo.

Namun tak berapa lama satu pesan masuk. Rio langsung membukanya. Perutnya mengejang saat melihat nama pengirim pesan. Saktia.

[SAKTIA] Besok datang ke tempat ini. Setelah kamu lihat lokasinya, langsung hapus pesan ini. Ikuti kata-kataku dan nyawamu bisa aku jamin aman.

[SAKTIA] *Location shared*


***


Veranda diam menunggu. Sesuai waktunya, Veranda yakin yang baru saja naik adalah cleaning service. Dan sesuai rutinitasnya, petugas itu akan terlebih dahulu mengumpulkan pakaian kotor untuk laundry.

Dia kembali melihat layar laptop. Masih 25%. Sementara dari luar, Veranda mendengar pintu kamar Naomi dibuka. Setelah ini giliran kamar Nabilah yang akan dibuka. Beberapa saat hening, jantungnya berdegup kencang melihat proses pengiriman file yang terasa sangat lambat.

30%.

45%.

57%.

69%...

Blam! Veranda tersentak oleh suara pintu ditutup. Petugas cleaning service itu baru saja selesai dari kamar Naomi. Ayo cepatlah cepat! Veranda berdoa.

77%.

83%...





Pintu terbuka.

***


‘Siapa itu?’ Shania penasaran saat melihat Saktia tersenyum sendiri sambil menatap layar ponselnya.

‘Biasa, Bos. Si anak cupu. Oh iya Bos, besok aku mau keluar dulu ya? Aku mau bersenang-senang dengan budak baruku ini.’

‘Hmm oke. Untuk hal itu kau tidak perlu minta izinku.’

‘Hehehe oke, Bos.’

‘Nah, untuk hal yang baru saja kita bicarakan, aku sudah pikirkan sesuatu. Jujur aku akuin kita kecolongan disini. Karena dari cerita kamu dia waktu itu tugas keluar, kita jadi tidak bisa mengamankannya. Anak kampung bernama Veranda itu sekarang menjadi ancaman serius bagi kita jika dia ditemukan duluan oleh polisi. Dia akan membeberkan semua yang dia tahu. Dan tuduhan akan mengarah ke kita. Kita tidak bisa biarkan itu terjadi. Karena itu,’ Shania berhenti. Senyumnya tersungging ketika skenario itu muncul di kepalanya. Saktia diam menunggu kelanjutannya.

‘Kita harus melenyapkan Veranda.’

‘Maksudnya, Bos?’

You hear me. Kita harus membunuhnya.’

***


Nabilah yang berjalan menuju toilet sambil memeriksa perlengkapan make up-nya, menyadari sesuatu hilang dari dalam tasnya.

“Eh? Lockcard kamarku mana?”

Sambil mengaduk isi tasnya, Nabilah tidak sadar seseorang mendekatinya dari belakang.

“Mbak Jaenab!”

Nabilah tersentak dan refleks menoleh ke belakang. Bianca berdiri sambil tersenyum.

“Heh kamu lagi. Ada apa lagi?”

“Ini lho Mbak, pas tadi pagi kita jatuh di depan lift, kartu kamarmu tercecer. Untung ada pegawai yang nemuin dan pas pula papasan dengan saya. Nih, Mbak,’ Bianca menyodorkan kartu putih ke Nabilah.

Nabilah menerima sambil menatap heran. Suatu kebetulan. Beberapa saat dia diam seperti memikirkan sesuatu.

“Oh yaudah makasih deh kalo gitu.” Nabilah tidak mau ambil pusing. Dia berlalu meninggalkan Bianca yang tersenyum penuh arti.

***


Malam hari.

Veranda sekali lagi mengintip untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang naik ke Ruang Karaoke. Untuk sekarang ini hanya lantai Entertainment yang Veranda anggap paling aman karena sejak kekacauan ini terjadi, para Pegawai Terpilih tidak pernah lagi memakai fasilitas di lantai Entertainment. Setelah menunggu jam kerja tadi sore selesai dan memastikan para pegawai sudah pulang, Veranda yang bersembunyi di gudang alat kebersihan perlahan naik ke lantai Entertainment melalui tangga darurat.

Veranda rebah di lantai balik sofa panjang. Setelah seharian tidak makan dan belum mandi, dirinya merasa lebih baik sekarang. Makanan dan keperluan lain yang tadi sore diberikan Bianca sudah cukup untuk malam ini. Sambil memejamkan mata pikiran Veranda kembali ke kejadian tadi siang. Kejadian yang, sekali lagi, hampir membuatnya ketahuan. Beruntung pengiriman data ke ponselnya sudah selesai dan dia sempat bersembunyi terlebih dahulu ke kamar mandi sebelum akhirnya keluar saat petugas cleaning service masuk ke kamar Ayana di ujung koridor. Veranda pun dapat memberikan lockcard kamar Nabilah ke Bianca tepat waktu.

Saat Veranda diam melamun, ponselnya bergetar. Ini pasti Bianca. Veranda pun membuka ponselnya.

[BIANCA] Neng gmn sejauh ini? Aman?

Veranda pun langsung membalas pesan itu.

[VERANDA] Aman. Aku punya sesuatu. Nanti aku kabari.

[BIANCA] ok.


Veranda lalu membuka Directory File di ponselnya dan membuka satu file berjenis audio. Sembari menarik nafas, Veranda pun menekan tombol Play.

“…ga tau Tristan ternyata udah nyampe Jakarta! …iya oke Bos siap! Kondisi tetap terjaga. Yang penting tadi itu media udah liput kok. …Oke deh Bos, nanti aku kabari lagi..”

Veranda terkesiap. Dia langsung bangun dari posisinya. Setelah tadi pagi saat di kamar Nabilah, sekali lagi dia mendengar suara Saktia. Dan sekali lagi, dia mendengar Saktia memanggil nama Bos Titan dengan nama aslinya, seolah Bos Titan bukan siapa-siapa. Veranda pun berpikir. Otaknya mencoba mencerna kejadian-kejadian dan data yang dia dapatkan dan pada akhirnya berujung pada satu kesimpulan.

Saktia… adalah dalang dari semua ini? Lalu siapa Bos yang disebutnya di rekaman ini? Mungkinkah… Shania? Lalu kenapa Nabilah bisa punya rekaman ini? Apakah Nabilah juga satu komplotan dengan Saktia?

Instingnya mengatakan bahwa dia harus cepat mencari siapa ‘Bos’ yang dimaksud. Veranda kemudian membuka satu file lagi. Satu file berukuran besar berjenis .pdf. Ketika Veranda membukanya,

Please insert password.

Oh, jangan lagi. Veranda langsung menutup ponselnya dan memejamkan mata. Walaupun penasaran dengan isi file itu, namun dia memilih untuk tidur. Setelah tiga kali ‘hampir mati’, malam ini Veranda sangat membutuhkan istirahat.

***
 
EPISODE 52: SAKTIA OKTAPYANI


Pagi itu dimulai dengan briefing divisi keamanan gedung Valkyrie yang dipimpin langsung oleh Bang Simon. Semua anggota keamanan berbaris rapi berhadapan dan mengapit Bang Simon yang berdiri di ujung barisan. Sambil memastikan semua anggota sudah dalam posisi istirahat, Bang Simon memulai briefing.

“Seperti yang kita tahu, belakangan ini Valkyrie Management sedang dilanda masalah yang agak pelik. Dan masalah itu, sedang ditangani oleh orang-orang profesional dan mumpuni di bidangnya. Oleh karena itu, kita juga harus bertanggungjawab dalam bagian kita. Kita harus bisa diandalkan dalam pengamanan luar dalam Valkyrie Management. Semuanya paham?”

“Siap, paham Komandan!”

“Seperti yang sudah-sudah, saya selalu tekankan, perhatikan sekitar. Awasi. Jangan biarkan orang tak dikenal masuk. Periksa setiap identitas. Jangan teledor. Itu bukan hal yang bisa dikompromikan. Sekali lagi, semuanya paham?”

“Siap, paham Komandan!”

Setelah Bang Simon melanjutkan beberapa hal lain, akhirnya briefing pagi itu pun selesai dan semua anggota keamanan kembali ke pos masing-masing. Tak terkecuali Birowo dan Gino yang kebetulan bertugas di pos yang sama hari itu. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka, Birowo bertanya,

“Nok, kemaren gue denger lu nganter Bos ya?”

“Iya, Bos Besar kan selalu bilang, ga boleh nganter Bos Saktia kalo bukan gue.”

“Eh kecilin suara lo bego! Lagian ga usah sebut nama juga! Kalo kedengeran gimana?”

“Selow. Ini masih sepi juga hahah-“

Tawa Gino langsung terhenti kala dari pintu toilet samping mereka keluar tiga pria berbusana agak feminim dan semarak.

“Hahaha iya lho jeng akika kesel begindang, ndak ada lho yang liat ih amit-amit.”

“Heh Banci! Bikin kaget gue aja lo! Sialan!”

Tiga pria yang berprofesi sebagai perias talent itu, Bianca dan si kembar Dian Dion, berhenti dan menoleh ke dua satpam di samping mereka. Bianca lalu mendekati Gino sampai Gino mundur selangkah.

“Heh cupu, lo ada masalah apa ama gue?” Bianca menantang.

“E-elo bikin kaget njir! Lagian lo kapan masukny-“

“Gue udah di sini sebelom lo datang biar lo tau! Dan yang meriksa dan ngizinin kami masuk langsung dari Pak Simon! Ape lu! Tanya noh ke Pak Simon kalo lo ga percaya!”

“Ye sante dong Bos! Gue kan cuma nanya lo-“

“Elo yang santai! Dan gini ya, sekali lagi gue denger lo nyebut gue atau temen gue ‘banci’, gue bikin peler lo kebelah dua ye! Cobain aja kalo berani lu!”

Gino sedikit bergidik melihat keseriusan Bianca. Namun Birowo dengan tenang melerai mereka.

“Hey, Bian. Kami cuma kaget kok kalian udah di gedung, ga kayak biasanya. Ga usah dipersoalkan. Masalah Gino ngomong ga enak, itu karena dia latah. Dimaafin aja.”

Bianca diam tapi masih menatap tajam Gino.

“Oke Wo. Untuk info aja ya, hari ini tuh ada acara live pagi makanya kami mesti standby. Yaudah kalo gitu kami pergi.” Tanpa menunggu respon Gino dan Birowo, tiga perias itu meninggalkan mereka.

Sembari berjalan menuju lift, Bianca masih mengingat jelas apa yang didengarnya dari balik pintu. Obrolan yang jelas terdengar dari celah tipis pintu toilet.

Mereka kan satpam? Ngapain nyetirin Saktia? Dan mereka memanggilnya dengan sebutan Bos? Lalu siapa ‘Bos Besar’ yang dimaksud?

Bianca merasa hal ini harus diceritakan ke Veranda.

***


Tisu basah terakhir dimasukkan ke dalam plastik hitam. Veranda kembali menatap dirinya di cermin besar ruang Karaoke setelah membersihkan diri seadanya. Rambutnya yang sekadar terikat, tubuh yang masih kucel dan seragam cleaning service yang masih menempel membuatnya hampir tidak mengenali dirinya sejenak. Kehidupannya di desa dulu pun tidak pernah membuatnya seberantakan ini.

Sekarang Veranda siap untuk melanjutkan misinya. Dia pun mengambil ponselnya untuk menghubungi Bianca. Pucuk dicinta ulam tiba. Belum sempat dia membuka kunci ponselnya, satu notifikasi pesan masuk. Dari Bianca.

[BIANCA] Neng kamu hrus tau ini. Tadi gino dan birowo ngobrolin ssuatu pas kami lg di toilet. Mrka nyebut2 ‘bos saktia’ dan ‘bos besar’. Aku ga tau siapa bos besar yg mrka mksud. Tpi aku ykin bukan pak Tristan atw pak Mino. Waspada. Aku g yakin mereka ini bukan pgawai stia Vlkrie.

Buku kuduk Veranda meremang saat dia membaca pesan Bianca. Terlebih lagi saat dia membaca pesan lanjutannya.

[BIANCA] Dari prcakapan mreka tadi, Aku ykin kantor kita skrng ini disusupi oleh pngkhianat2. Mngkin dari Dtourne. Kmu hrus benar2 WASPADA.

Pikiran Veranda berputar. Apa yang dikatakan Bianca masuk akal. Kenapa baru terpikirkan sekarang. Bocornya data sepenting data master talent tentu bukan ulah satu dua orang. Perlu koordinasi tim agar pergerakan data itu bisa keluar kantor dan baru ketahuan lama setelahnya. Tubuh Veranda bergetar. Sesaat dia takut. Ini bukan saja tentang dia melawan dalang masalah. Sekarang, dia harus melawan para pengkhianat yang berkedok pegawai Valkyrie Management. Para serigala berbulu domba.

Namun karena pesan Bianca dia jadi tahu dan memantapkan diri untuk misi hari ini: membuka kedok Saktia Oktapyani. Walaupun hati kecilnya masih ingin menyelidiki lebih lanjut keterlibatan Nabilah, namun orang yang saat ini sudah jelas statusnya pengkhianat adalah Saktia.

Veranda dengan cepat mengetik pesan balasan ke Bianca.

[VERANDA] Bian temui aku di ruang Karaoke.

***


Hachih!

Saktia bersin ketika dia sudah siap untuk turun sarapan. Blazer coklat tua yang dipadu dengan blus dalam berwarna coklat muda membungkus ketat tubuh rampingnya yang kini keluar dari kamar. Di saat yang sama dari sampingnya terdengar suara pintu juga terbuka.

“Sst! Via!”

Saktia menoleh. Melody memunculkan kepalanya sambil memberi kode untuk Saktia masuk ke kamarnya. Saktia pun menurut. Setelah masuk kamar Melody, Saktia langsung ditarik duduk di pinggir kasur.


“Eh gimana hasilnya yang aku suruh?”

“Eh ng-jadi gini kak Mel, aku udah tanya beberapa warga disitu sambil nunjukin foto Ve, ga ada yang pernah liat. Aku juga udah kasi duit ke beberapa warga sama tukang parkir, supaya mereka langsung ngelaporin ke aku kalo liat Ve, kak Mel.”

Melody terdiam. Dirinya sedikit kecewa. Namun dia tahu Saktia sudah berusaha.

“Yaudah kalo gitu kamu tunggu perintahku selanjutnya,” ujar Melody sembari berdiri mengambil tas kerjanya, “kita harus menemukan si anak kampung itu sebelum Bos Titan dan orang reserse.”

“Kita harus menginterogasinya dan membuatnya membeberkan semua yang terjadi. Apapun caranya.”

Saktia tersenyum. Wah, bos disana dan bos disini sejalan rencananya. Ini aku memuluskanku untuk menyelesaikan ini semua. Menghancurkan Valkyrie. Mengukuhkan dinasti dan dominasi Detourne di industri hiburan.

Pikiran Saktia memutar kembali momen dimana Shania menawarkannya menjalankan misi ini dengan imbalan yang fantastis. Kini beberapa langkah lagi dia akan mendapatkan hadiah itu. Yang akan dipakainya untuk melepaskan kehidupannya sekarang. Untuk memulai identitas baru. Untuk membunuh trauma dan ingatan masa kelam yang membuatnya jijik setiap kali dia ingat.

***

...beberapa tahun yang lalu

“Pak, cewe ini ketangkep lagi mau ngutil barang.”

“Bohong! Kalian ngejebak saya! Ngga Pak! Saya ga terima saya dibilang mencuri!”

Kepala Sekuriti menoleh malas ke arah pintu. Anak buahnya berdiri di depan pintu sambil mencengkram keras pergelangan tangan seorang wanita yang masih diingatnya dua bulan lalu ketahuan mencuri di salah satu toko.

“Hmm serius? Anak yatim piatu ini lagi? Heh panti asuhanmu ga ngasi makan apa gimana sih?” Masih dengan rasa malas kepala sekuriti itu merespon.

“Ini udah ketiga kalinya kamu ketauan ngutil barang. Dan yang saya dengar juga dari teman saya, kamu pernah ketauan juga di mall Pasaraya. Emang hobi ya?”

Saktia Oktapyani, yang saat itu baru menginjak umur kepala dua, menatap Kepala Sekuriti itu sambil menggeram, “Aku emang pernah mencuri di mall ini. Dan aku udah dihukum setimpal. Tapi kali ini ngga. Mereka menjebakku Pak. Aku ga mungkin mau mengulang hal ini, Pak.”


Sekuriti itu melepas cengkramannya, kemudian mengambil sesuatu dari tas kecil berwarna hitam milik Saktia. Bando, pouch motif bunga-bunga, dan pensil alis diletakkan bersamaan di meja Kepala Sekuriti.

“Nyatanya? Ini apa?”

“Ngga! Itu bukan a-“

“Mas Dan! Terima kasih udah menjaga keamanan dengan baik. Mas boleh kembali ke tempat jaga.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Sepeninggal petugas itu, kini di ruangan sekuriti yang terletak di lantai Basement mall Cambridge Square itu tinggal Saktia dan Kepala Sekuriti. Sambil memilin kumisnya yang tebal, tanpa menoleh ke Saktia dia berkata pelan, “Duduk sana. Saya mau bikin laporan kamu dulu.”

Kini Saktia menyerah. Dia sadar kalau dia tetap keras dan melawan, maka hasilnya akan buruk. Walaupun dia benar-benar tidak mencuri dan dia merasa dijebak, memohon adalah satu-satunya cara untuk keluar dari masalah ini.

“Pak, saya mohon Pak. Saya mengaku salah. Saya tidak akan ulang lagi Pak. Saya mohon-“

“Diam! Ga akan ulang lagi?! Ini udah keberapa kalinya kamu ketahuan mencuri barang! Belum lagi yang ga ketahuan! Dasar miskin! Kalo ga punya duit ga usah datang ke mall!” Kepala Sekuriti membentak. Saktia langsung terdiam.

“Benar-benar tak tahu diri. Udah berkali-kali dimaafin masih aja mencuri.”

Kepala Sekuriti itu menatap lama Saktia. Saktia hanya bisa menunduk. Kini Saktia tidak punya cara lagi untuk berargumen. Semua pembelaannya tidak akan ada artinya. Dia pun menurut, duduk di kursi samping rak besar.

Tringning!

Satu pesan masuk ke ponsel Kepala Sekuriti. Dia berhenti menulis laporan dan meraih ponselnya. Sesaat kemudian dia menoleh ke Saktia, beranjak berdiri dan berjalan ke arah Saktia.

“Nih, baca.”

Saktia membaca pesan yang disodorkan padanya.

[08XX700] Pak, pegawai Your Pinky bilang, tadi anak itu juga sempat masukin barang ke balik bajunya.

Saktia menatap nanar ke arah Kepala Sekuriti, ingin mengatakan bahwa itu benar-benar tidak terjadi. Mulutnya terbuka, namun tidak satupun kata keluar.

“Buka bajumu. Celanamu. Semuanya.”

“P-Pak, tolong Pak. Saya ng-ngga ada-“

“Jadi gini aja ya, kamu tanggalkan semua pakaianmu, atau saya bikin surat ke kepolisian. Saya udah capek gini terus. Kamu kira saya ngga capek apa ladenin kalian tiap hari. Yang kayak kamu itu tiap hari ada belasan. Waktu saya ga ada buat kalian.” Kepala Sekuriti itu berbalik menuju mejanya.

Saktia mulai terisak. Dia tidak mungkin memampangkan tubuh bugilnya di depan seorang pria yang tak dikenalnya. Dia bisa jadi santapan birahi. Namun Saktia juga berpikir, kalau dia bisa membuktikan bahwa dia tidak menyimpan apa-apa di balik pakaiannya, mungkin hukumannya bisa diperingan.

Maka Saktia pun memutuskan. Dia akan membuka bajunya. Tak apa dia sekali telanjang, toh dia bertekad tidak akan datang ke mall ini lagi. Saktia pun melepas kancingnya…

Tok tok!

Ketukan di pintu menghentikan Saktia.

“Masuk.”

Petugas sekuriti yang lain, mencengkram keras lengan gadis lain. Gadis kurus berjaket denim yang menyandang tas yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya.

“Astaga kenapa mall kita ini banyak malingnya!” Kepala Sekuriti itu berteriak.

“Sudah! Saya kirim aja kalian ke penjara!” Saktia bergidik mendengar kemarahannya. Anehnya, gadis remaja itu tidak menunjukkan ketakutan. Dia malah dengan cuek mengunyah permen karetnya.

“Yaudah Mas Tono, saya langsung buat laporannya. Kamu kembali ke pos jaga.”

“Baik, Pak.”

Blam! Pintu pun ditutup.

Gadis itu dengan cuek berjalan ke arah Saktia dan meletakkan tasnya. Saktia yang merasa punya teman senasib, mencoba menyapanya, “H-hai, kamu-“

“Diem lo.” Dua kata itu cukup untuk membungkam Saktia. Namun bukan itu yang membuat Saktia terkesiap. Melainkan apa yang kemudian dia lihat di depannya.

Gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu, mulai dari jaket denim sampai ke celana dalam merahnya. Tanpa sungkan. Tanpa malu. Setelah melipat rapi pakaiannya, sambil mengambil posisi menungging dan menatap Saktia, dia memanggil dengan nada manja,

“Pak Samsul… Cindy udah siap nih…”


Pak Samsul, Kepala Sekuriti itu menoleh dan mendapati seonggok vagina segar sudah terpampang dan siap untuk dinikmati. Tanpa ekspresi Pak Samsul pun membuka gesper dan celananya, seakan itu sudah biasa dilakukannya. Saktia bergidik dan jijik saat matanya melihat penis hitam dan bulu kemaluan yang lebat milik Pak Samsul.

“Lo udah lama ya ga kesini, jadi lupa apa yang pertama dilakukan.”

Cindy, gadis itu, menepuk jidatnya sambil menghela nafas, “Halah fuck, iya iya Pak.”

Cindy pun berlutut di depan Pak Samsul dan mulai memasukkan penis ke mulutnya. Sambil menikmati permainan lidah Cindy, Pak Samsul menepuk agak keras kepala Cindy,

“Lo tau ga, lo datangnya di saat yang kurang tepat. Gue udah capek-capek bikin skenario supaya anak itu jadi pelacur baru gue, lo malah datangnya sekarang.” Saktia terperanjat mendengarnya. Kini dia mengerti apa yang terjadi sekarang.

Pak Samsul merem melek menikmati sedotan dan jilatan Cindy di selangkangannya. Tersadar dengan Saktia yang menonton mereka, di tengah desahan Pak Samsul berkata,

“Heh Saktia, sekarang udah ngerti kan? Ada cara lain untuk nyelesaikan masalah disini. Lo bisa pake meki lo. Nih, kayak Cindy sekarang. Peraturan tidak tertulis disini begitu hehehe.”

Cindy melepaskan sedotannya, “Baru ini ketangkep? Belum dikasitau ya?”

“Udah beberapa kali sih, tapi belum sempat gagahin dia. Selalu begini nih. Tiap kali dia ketangkep ada aja yang nyetor hahaha! Untuk hari ini kamu nih. Kamu udah lama ga kesini Cin. Kenapa bisa ketahuan deh? Kayaknya kamu paling pengalaman soal maling-malingan.”

“Karena udah lama ga kesini makanya aku lupa kebiasaan satpam dan pegawai toko disini. Untung udah lama kenal Pak Samsul. Tinggal nyetor memek deh.”

“Hahaha yaudah kamu lanjut nyepong bentar abis itu aku entotin.”

“Iye iye Bos.”

Selang beberapa menit mengulum penis dan Pak Samsul merasa penisnya tegang, dia pun meraih lengan Cindy. Namun sebelum menikmati Cindy, dia mengambil borgol di laci mejanya dan mendekati Saktia. Saktia yang tanpa daya hanya bisa terisak memohon sambil menutup mukanya.

“Pak jangan Pak saya mohon Pak…”

“Yee siapa yang mau merkosa elu! Sini tangan lo.” Pak Samsul meraih tangan Saktia dan memborgolnya. Ujung borgol lain dilingkarkan ke salah satu tiang rak besar di sampingnya.

“Cepetan Pak gue masih mau jalan lagi sama temen nih.” Cindy mulai tidak sabar.

“Bentar.” Pak Samsul menyodorkan penisnya tepat di depan wajah Saktia yang ditutupi tangannya.

“Heh brengsek liat sini cepetan!”

Saktia memberanikan diri dan bergidik ketika mendapati batang penis hitam tegang terpampang di depannya. Namun dia menahan rasa jijiknya.

“Sekarang ini kesempatan emas untuk lo beresin masalah lo dengan cepat. Kalo lo isep kontol gue, abis entotin Cindy gue entotin lo, abis itu lo bisa keluar dari sini. Tanpa dipenjara. Tanpa laporan ke polisi. Gue orangnya adil kok. Yang mau, gue entotin. Kalo ngga ya ikuti prosedur hehehe.” Pak Samsul terkekeh melihat Saktia yang kini bingung.

“Gue itung dari sepuluh. Sepuluh,” Saktia bimbang. Dia tidak akan mau memberi keperawanannya kepada bangkotan ini.

“Sembilan.”

“Delapan.”

“Tujuh.” Namun dia ingin cepat keluar dari ruangan hina ini dan balik ke kamarnya yang nyaman.

“Enam.”

“Lima.” Namun kamar yang nyaman itu akan lama didapatnya karena dia akan dilaporkan ke polisi.

“Empat.” Apa yang harus kulakukan, batinnya.

“Tiga.” Tidak. Aku tidak akan mengambil jalan pintas ini.

“Dua.”

“Satu.”

Sampai hitungan habis, Saktia tetap diam dalam posisi duduknya.

“Oke. Kalo gitu abis maen sama Cindy gue ngurus laporan lo ke polisi ya. Tapi sampe selese maen kalo pikiran lo berubah gue masih bisa terima kok hehehe.” Mimik serius dan cuek yang setengah jam lalu Saktia lihat di wajah Pak Samsul hilang, digantikan wajah mesum dan penuh birahi.

Dengan cepat Pak Samsul baik badan dan menunggingkan Cindy yang sedari tadi menunggu.

“Nggghhhh.” Desahan Cindy kala penis Pak Samsul mulai memenuhi vaginanya. Liang vaginanya yang masih kering dipaksa untuk menerima gesekan penis Pak Samsul. Di satu sisi nyeri terasa, namun di sisi lain nikmat gesekan muncul.

“Wah masih kering ya? Mau kubecekin dulu ga?”

“Nggh-ga usah Bos aku masih mau jalan sama temen-ngh-yeah-yeah.”

“Yaudah kalo itu maumu hehehe.” Pak Samsul mulai mempercepat genjotannya. Cindy menggeram menahan nyeri sekaligus nikmat dan berusaha agar tidak melenguh keras.

“Wah kamu masih inget ya peraturan disini. Bagus. Kalo suara kita kedengeran keluar bisa jadi masalah hehehe.”

“Dan kamu maling brengsek,” Pak Samsul menoleh ke Saktia, “coba saja kamu teriak, satu pasukan satpam disini bakal gilirin kamu sampe kamu mati hahaha.”

Gertakan itu sukses membuat Saktia takut. Sementara Cindy tersenyum. Kalo aja dia tau Pak Samsul ngerahasiain ini ke bawahannya, dia bisa aja teriak, batinnya. Cindy yang sudah lama berurusan dengan Pak Samsul, sudah tahu bahwa Pak Samsul memiliki koneksi dan teman-teman polisi. Sehingga bukan cara yang baik jika melaporkan perbuatan Pak Samsul ke pihak berwajib. Tinggal ikuti ‘prosedur’ abis itu selamat. Tapi cewe bego itu malah sok idealis, ejeknya.

“Kebanyakan ngentot nih gue seminggu ini, Cin. Cepet keluar gue sekarang. Ini udah mau keluar ah sialan!”

“U-udah nggh-bangkotan elu, Pak hahaha! Yah-yes-Bagus lah kalo gitu. Gue mau cepet-cepet keluar dari sini. Yesh-yesh-” Di tengah lenguhannya Cindy masih bisa mengejek Pak Samsul.

“Sialan lu. Padahal memek lu ini salah satu favorit gue Cin. Main sini dulu lah-ngh-ah-ah-”

“Kagak! Perjanjiannya dari dulu cuma sekali crot doang.”

“Yaudah lain kali lo kesini gue suruh satpam gue nangkep lu hahaha.”

“Taik lu!”

Seiring dengan makian Cindy, Pak Samsul memuncratkan spermanya yang tidak banyak. Pak Samsul puas dengan selangkangan gadis pengutil yang sudah lama tidak berkunjung ke ruang Sekuriti-nya. Pak Samsul mengatur nafasnya, membiarkan penisnya tuntas menyemburkan cairan encer dan akhirnya lunglai dalam liang vagina Cindy.

“Ah elah kok di dalem sih. Repot nih gue bersihinnya.”

“Gue ga mau lantai ruangan gue kotor. Repot bersihinnya.”

“Kan bisa di mulut gue.”

“Yaudah lain kali aja hahaha.” Cindy hanya bisa menggerutu sambil mengambil tisu yang disodorkan Pak Samsul. Dengan gerakan lihai dia menampung lelehan sperma yang mengucur dari dalam vaginanya.

Tak lama Cindy mulai memakai kembali bajunya. Setelah selesai, Cindy menoleh ke Saktia dan berbisik, “Lo pikir di kantor polisi lebih aman daripada di sini? Tinggal dipenjara doang, gitu? Yang di kantor polisi juga sama kayak dia. Bakal lebih mampus lu!”

Cindy pun keluar menuju toilet samping ruang Sekuriti untuk membersihkan vaginanya. Kini ruangan Sekuriti kembali hening, hanya ada Saktia dan Pak Samsul.

“Gimana? Berubah pikiran? Cepet lho beresnya masalahmu.”

“Ngga. Aku ngga akan ngasi tubuhku untuk pelepas nafsumu! Dasar laknat! Lebih baik aku masuk penjara daripada jadi pelacur!” Saktia kini berani menentang. Yang mana keberanian itu akan disesalinya.

Pak Samsul terkekeh sambil memasang kembali gespernya. Dia kemudian mendekati Saktia. Saktia masih menatapnya tajam. Tiba-tiba dengan satu gerakan cepat, bugh! Kepalan tinju Pak Samsul mendarat di pipi Saktia.

“Arggh!”

Belum selesai Saktia mengaduh, satu tinju lagi mendarat di pipi lain. Dan beberapa menit kemudian, berbagai hantaman berhasil membuat sekujur tubuh Saktia lebam membiru. Saktia tidak bisa berkata apapun. Dia hanya bisa merintih sambil terisak.

Saat itu dia hanya ingin nyawanya dicabut. Berbagai kesialan yang selama ini ditahannya kini ditangisinya. Orangtuanya meninggalkannya saat masih kecil, perlakuan pihak panti asuhan yang diskriminatif, teman-teman yang selalu mengejeknya, sahabat yang ternyata menusuknya dari belakang, tanggapan orang-orang sekitar kepadanya sebagai ‘cewek nakal’, dan kini perlakuan orang yang harusnya melindungi hanya karena Saktia tidak mau melayaninya. Kejadian ini ditambah kehidupannya yang kelam kini memantapkan prinsipnya.

Kalau aku masih hidup, aku akan hidup untuk diriku sendiri. Tidak ada lagi orang yang bisa kuandalkan selain diriku. Tidak ada lagi orang baik di dunia ini. Kalau perlu membunuh aku akan membunuh. Mampus kalian semua. Mampus!

“Nghuhuhu.. Awas lo… Awas…!”

“Wooh besar juga nyali lo! Sekarang lo bisa apa emang?” Pak Samsul kemudian menjatuhkan gunting ke lantai, tepat beberapa saat sebelum ketukan di pintu ruangan Sekuriti.

“Waduh Pak ada apa ini Pak?”

Pak Samsul kemudian meraih gunting di lantai sambil berujar, “Emang mesti dijeblosin ke penjara nih anak. Masa gue mau ditikam pake gunting?! Yang tadi pagi naruh gunting di rak siapa sih?! Brengsek ya kalian! Naruh barang tuh sesuai tempatnya! Kamu ngapain kesini?!”

“M-mau ngelaporin pergantian shift, Pak!”

“Yaudah taruh kertasnya disini!”

“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.”

Saktia sadar, kalaupun dia berteriak itu bohong, tidak akan ada yang percaya. Dia pun hanya bisa terisak sambil meringkuk. Ketika dia merasa bahwa sekarang sudah selesai dan dia tinggal menunggu dirinya dibawa ke kantor polisi, Pak Samsul kembali mendekatinya. Di balik kelopak matanya yang lebam, Saktia samar-samar melihat seringai Pak Samsul.

Hari itu, Saktia habis dihajar.

***​

“…supaya lo ngerti, ada cara lain yang lebih enak. Cara yang praktis untuk beresin masalah lo! Hahaha!”

Kalimat itu masih didengar Saktia, sebelum dia pingsan. Dan kini, Saktia tersadar. Nyeri terasa di sekujur tubuhnya. Pipinya terasa tebal dan beku. Salah satu matanya tidak bisa melihat dengan jelas. Beruntung Pak Samsul tidak mengganggu keperawanannya. Sambil meringis menahan nyeri, dia melihat sekeliling. Sepertinya sudah malam. Entah jam 8, atau mungkin sudah jam 11.

Ruangan itu kosong dan hening. Bahkan tidak ada suara yang terdengar dari luar. Saktia menoleh ke tangan kanannya. Borgol sudah terlepas. Namun bekas merah di pergelangan tangannya masih jelas. Perlahan Saktia bangkit berdiri, meraih tas hitamnya dan tertatih menuju pintu. Klek! Pintu tidak terkunci. Saktia pelan membuka dan mengintip dari balik pintu. Lorong parkir benar-benar kosong. Sepertinya sudah menjelang tengah malam.

Dengan kekuatan yang tersisa, Saktia berjalan menyusuri lorong menuju tanjakan keluar parkir. Sambil terpincang Saktia memaksa setengah berlari. Dia benar-benar takut ketahuan dan kembali lagi ke ruangan Sekuriti itu.

Sedikit lagi. Sedikit lagi.

Saat sinar lampu jalanan mulai tampak, Saktia tersentak. Mendadak dia seperti tidak punya kuasa atas tubuhnya. Ayolah sedikit lagi, batinnya setengah menangis. Jangan lagi seperti ini. Namun tubuhnya tidak mau menurut. Yang terakhir dirasakannya adalah tubuhnya mulai lunglai dan ambruk, sebelum semuanya gelap.

***

“…ngana liat apa yang kita liat tidak?”

“YA DISELAMETIN LAH MON LO NGAPAIN MASIH DISINI!”

“Ah elah iye iye ini saya keluar!”

Pria gundul berbadan tegap turun dari pintu supir mobil Alphard hitam. Sementara pria botak licin lainnya menunggu dengan was-was. Apa cewe itu udah mati? Dari luka-lukanya kayaknya parah. Wah bakal kasus nih.

“Mino! Tolong bukain pintu!”

“Ini satpam pada kemana sih?! Mana gerbang parkir masih jauh pula!”

“Yaudah kita ke rumah sakit dulu! Ga sempat kalo ngelapor ke satpam! Ini anak masih nafas tapi saya ga yakin bisa bertahan lama.”

“Yaudah rumah sakit yang paling dekat dari sini RS Keluarga.”

Mobil Alphard hitam itu pun dengan cepat meninggalkan tempat parkir mall Cambridge Square.

***

Tit. Tit. Tit.

Sudah beberapa jam layar EKG stabil berkedip saat Saktia tersadar dari tidur panjangnya. Nyeri masih terasa, namun dia dapat merasakan luka-lukanya sudah ditangani. Matanya berputar pelan, mencoba beradaptasi dengan sekitarnya. Ruangan putih, tempat tidur empuk, aroma obat. Ternyata aku di rumah sakit.

“Eh. Dok! Dok! Pasien sudah sadar! Alhamdulilah!”

“Sus cepat hubungi Pak Mino!”

“Baik, Dok!”

Sambil telinganya mendengar percakapan itu, bibir Saktia menyunggingkan senyum tipis.

Siapapun kau, menurutmu kau sudah melakukan hal baik dengan menolong aku? Lugu! Persetan dengan pertolonganmu! Aku akan membalaskan dendam untuk orang-orang yang sudah membuat hidupku menderita!

***
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd