Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Mengabulkan permintaan kharinka di thread baru?

  • Iya

    Votes: 127 59,9%
  • Nggak usah.

    Votes: 85 40,1%

  • Total voters
    212
http://www.imagebam.com/image/a49726942422144

(KHARINKA THERESIA "KHARIN")

Sidestory 2-C; I Love You (Both)!

Pov. Kharinka Theresia

Bokap berulang kali nanya, kenapa dua hari ini mata gue sembab, dan kenapa dua hari ini juga dia nggak ngelihat lagi ada Setyo di depan pager setelah nganter gue pulang ke rumah.

Dan akhirnya, gue harus jawab pertanyaan itu.

"Kharin... Udahan sama Setyo, Yah..." jawab gue, dan mata gue kembali basah.

"Loh, kenapa, Dek?" tanya Bokap sambil tetep fokus natap ke depan dari balik kemudi mobil ini.

"Kharin rasa, Ayah udah tau kenapa, kan?"

"Ya terus kamu harus juga mutusin Setyo, dek? Kalian udah lama loh..."

"Iya, udah lama, dan Ayah ngasih tau kejadian yang sebenernya justru sesudah Kharin terlanjur sayang dan berhubungan di waktu yang udah lama ini, kan?!"

"Iya, Ayah yang salah. Maafin Ayah... Tolong. Maafin Ayah..." nada nya berubah jadi khawatir, entah.

Dan entah kenapa tiba - tiba amarah gue meledak.

"AYAH SEHARUSNYA NGGAK NUTUPIN! AYAH HARUSNYA CERITAIN YANG SEBENERNYA KE KHARIN, YAH! AKU UDAH HAMPIR SETAHUN SAMA SETYO DAN AYAH BARU JUJUR SAMA KHARIN KEMARIN LUSA! AYAH MIKIRIN APA YANG KHARIN RASAIN SEKARANG NGGAK SIH?! APALAGI SETELAH TAU KALO ANJING YANG BIKIN BUNDA BUNUH DIRI ITU ORANGTUA DARI ORANG YANG UDAH AKU SAYANG SEDALEM INI!"

"Dek, Ayah cuma gak mau kal-"

"KALO AYAH NGERASA BERDOSA KARNA NGGAK BISA SELAMETIN BUNDA?! NGGAK BISA CEGAH MAMA BUAT PERGI KE PASAR DAN AKHIRNYA DICULIK, DISEKAP BAHKAN DIPERKOSA ORANG SURUHAN DARI PESAING BISNIS AYAH YANG ADALAH BAPAK KANDUNG DARI ORANG YANG SEKARANG KHARIN SAYANG DAN KHARIN CINTA ITU?! GITU?!"

Bokap gak ngomong apa - apa lagi, dan seketika gue sadar apa yang barusan keluar dari mulut gue tentu bakal nyakitin hati Bokap.

"Ayah... Maaf. Kharin gak bermaksut..."

"Nggak apa - apa, Dek. Dedek bener kok... Apa yang Dedek bilang barusan, nggak salah sama sekali..."

"Ayah memang belum punya cukup bukti kuat buat ngejadiin dia tersangka. Tapi Ayah yakin, itu ulah dia." lanjut Bokap

"Kenapa Ayah seyakin itu?" tanya gue

"Karena sebelum Bunda, mereka selalu berusaha nyelakain Ayah, Dek... Dan Ayah selalu bisa lolos dari dia."

"Inget waktu Ayah hampir sebulan masuk rumah sakit?"

"Inget. Ayah kena tipes, kan?"

"Diracun. Ayah diracun."

"Tau kenapa waktu Bunda masih ada, Ayah selalu pulang tengah malem?"

"Tau. Ayah selalu ada lemburan, kan?"

"Nggak. Sama sekali enggak. Kalo pun ada, gak akan makan waktu sampe tengah malem, Dek."

"Lah, terus?" gue makin penasaran.

"Itu karna Ayah selalu di ikutin seseorang pas dijalan pulang."

"Itu cuma perasaan Ayah kali?"

"Awalnya iya. Tapi, seketika Ayah yakin. Dedek sadar nggak sih, waktu Pak Bejo kecelakaan, dan nggak ada Ayah disana?"

"Itu ulah Ayahnya Setyo?"

Bokap ngangguk.

"Ayah nggak pernah ngeluangin waktu buat kalian, semata - mata cuma karna supaya mereka nggak tau siapa keluarga Ayah."

"Dan kamu harus tau, Bunda meninggal setelah sehari sebelumnya Bunda tanpa seizin Ayah, dateng ke kantor. Dan akibatnya fatal. Mereka jadi tau, siapa istri Ayah."

"Sekarang Ayah cuma berharap, dia nggak tau kalo kamu itu anak pesaingnya dulu. Mungkin sekarang dia bangkrut dan persaingan kita selesai. Tapi bukan berarti dendamnya nggak juga selesai..."

"Seketika Ayah bingung harus gimana, Ayah nggak mau kamu deket - deket keluarga mereka, tapi dilain sisi, Ayah nggak pernah liat kamu seriang dan sebahagia ini kalo lagi bareng Setyo. Ayah juga nggak tega ngerusak kebahagiaan kamu, Dek..."


"Dan Ayah belum lama ngerusak kebahagiaan itu..." balas gue. Emosi gue kayaknya bakal meledak lagi. Tapi gue berusaha untuk nahan amarah gue, karna gue liat raut wajah Bokap yang tertekan itu justru bikin gue nyesel karna udah marah - marah sampe akhirnya dia tertekan kayak gitu.

"Karna kalau Ayah pendem sendiri, semakin lama malah bikin Ayah semakin berdosa sama kalian. Sama Dedek dan Bang Kevin..." ucap Bokap.

"Tapi kejadian itu, nggak serta merta harus bikin kamu pisah sama Setyo kan, Dek?" tanya Bokap

"Terus Ayah mau, Kharin pacaran sama anak dari pembunuh Bunda?"

"Induk elang, bunuh mangsanya dan ngebagiin daging - daging mangsanya ke anak - anaknya. Ayah paham, kan?"

"Salah kalo Kharin pake analogi kayak gitu."

"Manusia nggak selalu menggunakan Insting. Manusia punya akal." lanjut Bokap.

"Intinya?" tanya gue.

"Intinya, Setyo beda sama Bapaknya. Bapaknya emang salah, tapi kamu nggak bisa serta merta mempersalahkan anaknya juga, Dek."

"Kenapa Ayah justru ngedukung Kharin sama Setyo?"

"Jelas. Setyo sanggup ngelindungin kamu. Bahkan dari orang - orang seperti Bapak kandungnya itu. Itu yang Ayah lihat dari Setyo."

"....."

Gue diem dan nggak berniat ngeluarin kata apa apa. Cukup. Semua kejadian ini diluar daya talar gue.

Pikiran yang amburadul, hati yang berkecamuk hebat dan jalanan jakarta yang super macet ini ngebuat gue sukses terlelap dihempas dinginnya AC di dalem mobil.


*****

Gue ngerasa badan gue melayang, dengan kaki yang ngejuntai. Dan perlahan gue buka mata, perlahan sadar.

"Kharin bisa jalan sendiri."

"Gakpapa, Ayah bopong sampai kamar Kharin ya."

Dan tiba - tiba, di rengkuh bopongan Bokap gue, gue ngeluarin senggukan dan airmata ini netes lagi. Rasa bersalah bertubi - tubi nyelimutin isi kepala gue.

"Hk-hk... Maafin Kharin, Yah... Udah bentak Ayah, marah - marah sama Ayah..." lirih gue setelah Bokap sukses naro gue diatas ranjang.

Bokap cuma senyum, ngebeleai rambut gue dan bangkit dari duduknya di ujung ranjang. Tiba - tiba gue bangun dalem posisi duduk yang masih dengan dua kaki yang ngejulur ke depan, tangan kanan gue ngeraih tangan Bokap, tanda nggak mau dia ninggalin gue.

Bokap yang ngerti kemauan anak perempuannya ini, nurut dan kembali duduk di samping gue.

Gue tiba - tiba meluk dia, ngelepas tangisan gue di pundaknya. Gak peduli bakal sebasah apa pundaknya nanti.

Dan seperti biasa, gue minta Bokap buat nemenin tidur sampe gue bener nener terlelap lagi.

Bokap ikutan tidur, posisinya terlentang, gue ngerebahin sisi kepala gue di dadanya, sambil meluk dia. Kaki kiri gue bertumpu di atas pinggangnya.

"Kharin sayang Ayah..." gumam gue sambil natap wajah Bokap

"Ssst... Tidur." bales Bokap.

Dan bukannya tidur, gue justru ngarahin muka gue deket ke pipinya, ngecup pipi Bokap beberapa kali.

"Manja nya nggak ilang - ilang ya..." gumam Bokap, tangan kirinya ngerengkuh badan mungil gue, dan gue baru sadar posisi lutut gue berada tepat diatas selangkangan Bokap, dan selangkangan gue tepat ada di pahanya.

"Biarin..." entah apa yang ngerasukin isi kepala gue, tangan kiri gue yang bebas ini, ngejulur ke atas dan telapak tangan gue ngebelai pipi sebelah kanan Bokap, ngeraba kumis tipisnya, bibirnya, hidungnya. Gue ngerasa sesuatu yang aneh di dalem badan gue, sesuatu hangat yang pelan - pelan ngejalar cepet ke semua bagian badan gue. Sesuatu yang kemudian bikin selangkangan gue agak gatel.

Dan sesuatu, yang entah dengan kekuatan apa bikin gue tiba - tiba nindih Bokap.

Argh! Gue kenapa ini?

"Dedek..." gumam Bokap

"Ayah..."

Dan seketika bibir gue ngecup bibir Bokap.

Bibir laki - laki pertama yang gue kecup.

Dalem posisi yang lagi gue tindih, kedua lengan Bokap meluk badan gue, pandangannya bertanya - tanya, mungkin karna sikap gue yang aneh ini.

Gue nenggelemin wajah gue di sisi leher Bokap, ngehirup aroma wangi khas Bokap yang justru makin bikin selangkangan gue gatel dan entah tiba - tiba selangkangan gue bergerak ngegesek perlahan.

"Ayah... Ngh..." lirih gue. Apalagi hembusan nafas Bokap ngegelitik leher bagian samping dan telinga gue.

Perasaan geli - geli nyaman seketika gue rasain.

"Dedek, awas dulu, Ayah mau nelf-hmphfh..."

Belom sempet Bokap nyelesein kalimatnya, bibir gue balik mendarat di bibirnya, magut bibir dia yang kumisnya ngegelitik bibir gue. Ayah, Kharin kenapa, Yah?!

Seluruh badan gue kayak tersihir, ngegerakin organ - organ semaunya sendiri tanpa mau nurut perintah otak. Siaaal!

Dan sialnya, atau untungnya, Bokap gak berusaha ngeberhentiin kelakuan gue ini. Mungkin dia takut bakal bikin gue kecewa dan sakit hati lagi. Bokap selalu takut hati anak gadisnya sakit. Selalu. Entah gue harus seneng atau sedih atas ketakutannya itu sekarang.

Atau justru, Bokap nikmatin ini?

Sejenak gue kepikiran soal Bokap yang udah lama sendiri, dan nggak berusaha nyari pengganti Bunda karna nggak mau bikin gue kecewa sama dia.

Dan sebuah kata - kata tiba tiba keluar dari mulut gue.

"Izinin Kharin jadi pengganti Bunda, Yah..."

Sial! Gue ngomong apaan sih?!

"Dedek..." lirih Bokap sambil natap mata gue lekat - lekat

"Kharin sayang Ayah..." bales gue dan langsung lagi - lagi magut dia.

Terus gue ngebuat asumsi atas apa yang gue lakuin ini adalah bentuk permintaan maaf karna tadi udah bentak Bokap di dalem mobil, iya, ini permintaan maaf kok.

Ah, tapi masa iya?

Entah gue harus bahagia atau enggak dengan rasa nyaman ini. Apalagi Bokap meluk dari bawah tindihan badan mungil gue. Makin nambah rasa gatal yang dari tadi gue rasain di selangkangan gue. Oh, God...

Tiba - tiba gue ngerasain dua telapak tangan Bokap di sisi kiri kanan kepala gue, dengan gerakan lembut dia ngedorong kepala gue dari wajahnya yang bibirnya sedari tadi gue pagut tanpa sedikitpun aksi responsif dari bibirnya.

Dengan lembut dia ngelus pipi hingga telinga gue, sambil natap mata gue lalu ngelempar senyum teduhnya itu.

"Dedek..."

"Nggak perlu seperti ini..."

"Tapi, Yah..."

"Sst..." Bokap nempelin jari telunjuknya di bibir gue.

"Dengerin Kharin dulu..." gumam gue sambil natap balik matanya

"Ayah udah berjuang keras buat ngehidupin Kharin sama Bang Kevin. Ngorbanin pikiran sama tenaga Ayah buat kita berdua..."

"Kharin mau bales itu semua... Izinin Kharin buat bales pengorbanan Ayah..." ucap gue lirih, dan samar gue ngerasain sedikit tonjolan di bawah sana, entah kenapa gue langsung neken tonjolan itu pake selangkangan gue. Bokap agak ngelenguh ngerasain kelakuan gue ini.

"Ta-tapi, nggak dengan cara ini juga dong, Dek... Ayah ini Ayah kamu... Dan kamu masih kecil buat melakukan hal seperti ini..."

Sontak ekspresi gue nunjukin kalo gue nggak suka sama kata - kata terakhirnya, badan gue yang nindih dia, langsung tegak dengan tetep duduk diatas pinggangnya.

"Ayah mau sampe kapan sih, ngganggep Kharin anak kecil terus?! Kharin udah gede!" ucap gue kesel

"Eh, aduh, iya - iya, maafin Ayah, iya kamu udah gede. Maafin Ayah..."

Gila, sebegitu takutnya kah Bokap gue itu? Dia selalu takut kalo gue marah, emosi dan lain - lain semenjak Bunda nggak ada.

Dari dulu, apapun yang gue minta selalu dia turutin, tapi untungnya gue nggak pernah minta hal - hal yang berat dan diluar kapasitasnya. Dan untungnya lagi, gue gak banyak minta. Jadi nggak lantas ngejadiin gue anak yang terlalu manja.

Gue nurut ketika Bokap narik kedua tangan gue lagi, buat nindih dia. Bokap meluk gue, terus ngebisikin gue.

"Terserah Dedek mau apa, asal Dedek jangan marah - marah seperti tadi, ya." gumamnya tepat di telinga gue, hembusan nafas Bokap bikin gue agak kegelian, dan kegelian itu ngebangkitin lagi rasa nyaman yang sempet redup tadi.

"Ayah..."

"Iya, Dek?"

"Gantian... Ayah nggak pernah nindihin Kharin kan?"

Gue ngangkat kepala gue dan natap Bokap, terlihat raut cemas di wajahnya.

Kemudian gue ngerangkak ke samping, ngerebahin badan diatas ranjang dan narik tangan kanan Bokap gue

"Sini, Yah..."

Dengan agak ragu, Bokap ngeposisiin badannya di atas badan gue, dia nggak langsung nindihin badannya diatas badan gue.

Gue ngalungin kedua lengan gue di tengkuknya dengan isyarat biar wajahnya mendekat, Bokap yang paham kemauan gue langsung nurutin itu dan ngedeketin wajahnya ke wajah gue.

"Hmhmm..." dan pagutan ringan terjadi diantara bibir kita.

Bokap yang daritadi pasif, sekarang ngebales aksi bibir gue, kadang kedua bibirnya ngejepit lidah gue.

Dibawah sana, Bokap ngegesekin pinggangnya di pinggang ramping mungil gue ini, rasa gatel itu makin kerasa.

"Nghh... Ayahh..." lenguh gue

Dan entah gue dapet insting ini dari mana, gue nuntun tangan kanan Bokap gue, dan naro telapaknya diatas baju seragam ketat gue yang udah agak acak - acakan. Gue ngeremes punggung tangan Bokap yang ada di atas payudara gue, dengan maksut agar Bokap ngeremes dengan inisiatifnya sendiri.

Beberapa saat kemudian, semua kain penutup badan gue dan badan bokap, udah entah terlempar kemana. Sekarang, kita berdua udah sama - sama polosz tanpa sedikitpun ada kain yang melekat.

Tapi tiba - tiba, Bokap ngangkat wajahnya, dan natap mata gue.

"Kharin... Pertimbangkan lagi... Ini nggak benar, sayang..." ucap Bokap lirih.

"Yah, Kharin maksa. Dan gak ada yang bisa cegah Kharin, Ayah paham kan? Jangan. Cegah. Kharin." ucap gue, dan Ayahpun nggak berusaha untuk lagi - lagi nyudahin momen ini.

"Lanjutin..." pinta gue ke Bokap.

Dan Bokap gue, dengan gerakan yang dipaksakan, nindih badan mungil gue, nenggelemin kepalanya di leher gue, benda basah yang gue yakin adalah lidahnya, dengan lembut ngejilat leher gue. Kedua tangan gue, ngegantung di tengkuk dia.

"Nghh... Ayah..." lenguh gue. Sensasi geli-nikmat lagi - lagi ngejalar di seluruh badan gue. Perlahan, kecupan sekaligus jilatan lidahnya, ngerambat turun sampe ke dua bongkah toket mungil tapi berisi di dada gue. Sementara lidah dan bibirnya sibuk di toket sebelah kanan gue, tangan kanannya ngeremes lembut toket sebelah kiri gue. Dan ini bener - bener nikmat. Apalagi sesekali kumis tipisnya ngegesek kulit - kulit payudara gue dan puting gue.

"Shhh..." gak lama, sambil tangan kanannya ngeremes payudara kiri gue, lidah Bokap perlahan turun sampe pusar gue, dan turun lagi sampe akhirnya berenti di klitoris di vagina gue.

Nikmat yang gue rasain sekarang, berkali - kali lebih besar dari yang sebelumnya.

Gue agak kaget, karna baru kali ini gue ngerasain hal ini. Gue terlena atas rangsangan lidah Bokap, dan remesan - remesan lembut tangannya di payudara gue.

Aksi Bokap gue ini, perlahan ngikis segala bentuk pikiran logis di dalem kepala gue.

Tiba - tiba kedua tangan Bokap ngangkat dua batang paha gue biar dengan mudah dia bisa ngeksplor titik - titik selangkangan gue.

"Aaah..." gue cuma bisa desah, merem - merem kegelian, dan nikmatin itu.

Posisi kaki gue sekarang persis kayak ayam kalkun yang disajiin di restoran - restoran itu. Ngangkang dengan ngeekspos dua lobang yang ada di selangkangan gue.

"Ayah... Lubang pipis Kharin... Ahh... Geli, Yah... Udah... Kharin nggak ku-aaaaaah...." desah gue tiba - tiba pas lidah bokap iseng nyuil - nyuil lubang anus gue. Ah, gilaaa. Enak banget ini. Sumpaaah.

Dan jempol Bokap nggak tinggal diem, sembari ngejilat lubang dubur gue, jempol Bokap neken - neken dan ngusap - ngusap klitoris gue.

Sampe akhirnya kayak ada sesuatu yang mau keluar dari dalem vagina gue, entah apa namanya itu, tapi hal itu sukses bikin badan gue ngegeliat dengan liarnya, dan diakhiri dengan kaku nya semua badan gue ketika sesuatu itu akhirnya keluar dari dalem vagina gue.

Dengus nafas lelah keluar dari bibir gue. Ini apa sih? Kenapa enak banget gini? Ugh...

"Udah ya? Kharin sudah puas, kan?" tanya Ayah terus berusaha bangkit, tangan gue langsung nyekal kedua tangan dia.

"Ayah udah puas juga emangnya, Yah?"

"Gak perlu. Yang penting Kharin udah enakan. Ayah nggak apa - apa..."

"Nggak bisa gitu, Ayah jangan ajarin Kharin egois gitu donggg..." ucap gue lalu masang wajah cemberut,

"Hhh... Iya, iya... Eh, siapa suruh cemberut gitu? Hm? Udah berani cemberut di depan Ayah? Nih, rasain... Nih... Bandel..."

Ucap Bokap terus dengan gemas nyubitin pipi gue, ngelitikin perut gue.

"Ah! Hahahaha... iyaaa... Ampun, Yaaaah... Geliii..... Hahahaha..."

"Ayah suka bener ngelitikin perut Kharin, sih? Geli tau!"

Kesal gue, tapi nggak masang wajah cemberut kayak tadi. Nanti dikelitikin lagi! Huh.

"Tiduran Yah, sini..." pinta gue ke Bokap sambil nepuk - nepuk ranjang di samping gue.

Bokap nurut dan gue langsung nindih dia.

Ngebales apa yang dia perbuat tadi ke gue, bibir gue mendarat dilehernya, ngerayap sampe puting dia dan berhenti di atas benda berurat yang ada di selangkangannya.

"Kharin mau apa?" tanya Ayah dengan ekspresi terkejut.

"Kharin mau nyep... Hmm... Apa sih namanya, Kharin lupa..."

"Nyepong?" tanya Bokap

"Nah, iya itu. Boleh kan, Yah?"

"Nggausah ah, kotor itu. Sini aja, peluk Ayah lagi sini, sayang..."

"Ih, Ayah... Kharin mau nyepongin Ayah... Boleh ya? Plis..." tanya gue dengan ekspresi yang gue buat semelas mungkin.

"Duh, kamu ini... Yaudah iya, jangan digigit ya..."

Yeay!

"Tapi... Ajarin... Kharin belum pernah..." lirih gue agak malu juga sih, nggak bisa tapi maksa. Ckckck. Kharin... Kharin...


"Iya, sayang... Nih, coba julurin lidah Kharin, jilat jilatin lubang ini, kayak jilat eskrim aja." tuntun Bokap sambil nunjuk lobang pipisnya.

"Gini, Yah?" setelah dua kali gue jilat lubang itu.

"Nah, ah... Iya, gitu sayang... Terusin..."

Gue pun ngejilatin lubang pipis Bokap sambil dengan kikuk ngegenggam batangnya.

"Sambil dikocok, ehmm, Nah, sip... Diurut urut gitu, Dek... atas - bawah gitu... Naik turun... Nahhhh... Haduh..." Bokap nge'bimbel' gue dengan sabar.

"Nah, tangan Dedek yang satu lagi, remes ini Ayah, pelan aja, jangan kenceng - kenceng..."

"Gini?" tanya gue sambil ngeremes pelan biji zakarnya.

"Nah... Iya, gitu... terus... Ahhh..."

Gue yang kaget sekaligus bingung denger desahan Bokap malah ngira dia kesakitan dan gue langsung berhenti ngeremes bijinya, mandang wajah dia dengan khawatir.

"Sakit, Yah? Kekencengan ya Kharin ngeremesnya? Maaf, Yah..." tanya gue

"Eh, enggak, Dek. Terusin aja, enak malah... Nggak sakit sama sekali kok... terusin ya , sayang..." balas Bokap.

Setelah kegiatan nyepong-remes-jilat, gue balik rebahan kayak tadi, Bokap kemudian meluk gue dari samping.

"Yah... Masukin itunya dong... Kesini..." suruh gue tanpa sadar ke Bokap...

"Kharin... Kharin yakin?" tanya Bokap.

Gue ngangguk.

"Jangan, Kharin... Ini jatah suami Kharin nanti. Jangan dikasih ke Ayah, sayang..."

"Kharin lebih milih ngasih ke Ayah, soalnya Kharin sayang sama Ayah. Kharin lebih seneng kalo orang yang Kharin sayang, yang mera... Hmmm... Merawanin Kharin..." balas gue.

Itu bener. Gue bakal lebih seneng ngasih ini ke cinta pertama gue. Bokap.

"Tapi, dek..."

"Jangan cegah Kharin. Inget, kan?"

Dan kalimat itu sukses bikin Bokap nindih gue lagi.

Insting berkata kalo gue harus lebih ngangkang lagi.

Bokap ngegesek vagina gue dengan ujung penisnya biar terlumasi cairan di vagina gue, dan bisa penetrasi dengan sedikit lebih mudah. Tapi itu justru bikin Kharin geli, Yah! Bikin Kharin tambah nggak tahan...

Perlahan setelah kepala penisnya terposisi tepat di depan lubang perawan gue, dia ngedorong pinggangnya, dorongan pelan tapi bertenaga, beberapa kali meleset, mungkin sangking sempitnya.

Terus, perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, ujung kepala penis Bokap menguak lubang vagina gue, menyeruak masuk dengan gak sopannya ke dalem vagina yang masih berselaput ini.

Tarik ulur dengan lembut, sampe akhirnya setengah batang penis Bokap masuk, dan sedikit lagi ngerobek apa yang bakal kerobek di dalem vagins gue.

"Aaahh..." desah gue agak keras, ngerasain sakit yang teramat sangat....

"Kharin? Gapapa? Sakit banget ya? Ayah keluarin aja ya, dek?"

Gue ngegeleng cepet. Mata gue, gue rasa membasah sangking sakitnya.

"Gapapa. Terusin, sampe mentok..." balas gue sambil ngelempar senyum ke Bokap. Senyum yang sedikit gue paksakan.

Setelah penis Ayah hampir semua tertelan mentok di dalem vagina gue, bokap ngediemin penisnya beberapa saat, ngasih waktu buat rongga - rongga vagina gue beradaptasi dengan benda asing yang baru pertama kali masuk ke dalam.

"Ayah gerakin ya?" izin Bokap, gue ngangguk karna gue rasa vagina gue udah cukup beradaptasi.

Dan perlahan, rasa nikmat ngejalar ke seluruh badan gue, memukul mundur rasa sakit yang tadi teramat sangat gue rasain dengan telak.

"Aaah..." desah gue lirih ngerasain nikmat akibat sodokan maju mundur penis bokap.

"Enak, dek?" tanya Bokap

Gue ngangguk.

Sambil tetep ngejaga ritme sodokannya, wajah Bokap kembali menuju payudara sebelah kanan gue sembari juga ngedaratin telapaknya di payudara gue yang satunya.

Ritme sodokan Bokap di vagina gue semakin lama semakin cepet, ditambah dengan dua gunduk mungil di dada gue yang terus menerus di stimulasi, sensasi yang belum lama gue rasain, tiba - tiba muncul lagi. Dan lebih rasanya lebih 'heboh' dibanding yang tadi.

"NGGGGHHHH!" lenguh gue ngelepas semua sensasi itu diiringi geliat liar badan gue.

Sejenak sedikit ketakutan gue muncul akibat rasa nikmat yang teramat sangat yang barusan gue rasain lagi tadi. Gue takut rasa nikmat ini bakal jadi candu dan gue terus terusan berniat buat ngulangin ini lagi dan lagi. Takut jadi manusia yang tiba - tiba menuhankan senggama.

Tapi pemikiran itu sekejap berubah, jadi rasa ingin lagi dan lagi. Apalagi, ketika sekarang bokap memutar balik badan gue dan dia, sehingga sekarang gue yang jadi domina yang bebas ngelakuin apapun diatas boneka mainannya.

Kemudian sesaat gue dibikin bingung dengan apa yang harus gue lakuin diatas badan Bokap, untung aja Bokap peka dan sekali lagi akhirnya dia lagi - lagi nge 'bimbel in gue.

"Nah, pinggulnya naik turunin terus kayak gini, maju mundurin juga boleh, nah iya gini, jangan cepet... ah... Santai aja Dek. Nanti lepas... Kalau dirasa udah sampe ujung, turunin lagi, coba... Naaahh.... Iya.. Gitu sayang... Anak pinter... Terusin, dek..."

"Nghhh... Enak, Yah... Ayah enak juga nggak kayak Kharin? Shhh... Ayaaah.... Kharin masih gadis kecilnya Ayah, kan? Aaahh... Kharin sayang Ayah..."

"Iya, sayang... uh... Ayah juga sayang Kharin..."

Goyangan pinggul gue makin lama makin cepet dan beberapa kali lepas dan harus dimasukin lagi, gapapa, namanya juga pemula, yakan?

"Ah... Bundaaa... Maafin Kharin, Bundaa... Huhuhu... Kharin sayang Bunda... Ahhhh... Maafin Kharin..." racau gue ngedesah sambil nangis tersedu.

Bukan sedih, justru bahagia.

Bahagia karna setelah Bunda perempuan pertama yang semoga aja nyembuhin kehilangan Ayah adalah gue. Bukan perempuan lain.

Gue yakin, bunda pasti seneng. karna ini tanpa paksaan Ayah, malah gue sendiri yang minta. Lebih baik sama gue kan, daripada harus sama cewe lain yang pasti asing dan nggak bunda kenal?

Dan semoga aja, Bokap nganggep apa yang gue lakuin ini sebagai budi baik atas segala hal yang selalu dia korbanin dan perjuangin untuk anak perempuannya.

"Uh... Ayah..." lirih gue diantara goyangan maju mundur di pinggul gue. Badan gue lagi ngerebah diatas badannya sambil tetep ngegoyangin pinggul, perlahan.

"Ya, Dek?"

"Mulai sekarang, sampe akhirnya Kharin nemuin masa depan Kharin nantinya, badan Kharin, cinta Kharin, dan semua yang Kharin punya, cuma untuk Ayah..."

"Walaupun Kharin gak akan pernah bisa seutuhnya ngeganti posisi Bunda di hati Ayah, tapi Kharin mohon, perlakukan Kharin sebagaimana Ayah memperlakukan Bunda..."

"Ayah mau kan? Kharin mohon..." lirih gue memelas.

Ayah nganggukin kepalanya dan tersenyum ke arah gue.

****

Ayah, Ayah itu cinta pertama Kharin, anak gadis kesayangan Ayah. Dan sampai kapanpun, Ayah adalah cintanya Kharin. Terima kasih atas semua yang Ayah korbanin, segala bentuk perlindungan dan perhatian Ayah.

Terimakasih atas suapan - suapan Ayah. Terimakasih atas semua telur dadar pagi yang Ayah buat untuk Kharin.

Mulai sekarang, Kharin punyanya Ayah.

Kharin sayang Ayah.

Dan gue pun ngelanjutin kegiatan senggama gue dan Bokap, sampe akhirnya kita kelelahan dan tidur dengan simpul senyum bahagia di bibir kita masing - masing.

Sidestory 2-C; I Love You 'Both'

Tamat!

****

Hei, kalian. Plis dong, bujuk si penulis sinting ini buat sering - sering nulis kisah hidup gue. Kalo bisa sih paksa penulis ini biar bikin cerita yang khusus gue aja.

Masa si Sakti terus. Gue kan juga pengen! Haha, gue ngelunjak banget yak.

Dah, ah. Bye semuanya!

Lovely,
Kharinka Theresia.
 
Thx updatenya om

Sorry Karin... Cerita Sakti lebih penting untuk diikuti, tak akan kuminta TS untuk sering-sering mengangkat ceritamu :pandaketawa:
 
Siapa ini .kharin nenek sakti kah..mungkin next episode jawabannya hehe
 
Siapa ini .kharin nenek sakti kah..mungkin next episode jawabannya hehe
 
http://www.imagebam.com/image/96d51b942572224

(KAK RERE)

http://www.imagebam.com/image/df7ff2942572354

(Bellarisa Ghiana "Bella")

*****

Part 16; CERPEN


DEG!!!!

Ternyata bener kan dugaanku, kalau selain Nina sama Ka Rere, Mama pun udah "dirasain" Lintang.

Seketika emosiku serasa ingin meledak, dan ingin mengepaki semua bajuku dan kembali pulang ke Jakarta. Fix. Liburanku gagal!

"Tuh kan, Ma. Muka Sakti jadi bete gitu," ucap Ka Rere, mereka berdua masih meluk aku dari kiri dan kanan, dan aku masih tiduran terlentang, natap langit - langit dengan pandangan yang kosong. Kaget, shock dan lain semacamnya.

Kenapa harus sepanjang ini?

"Haha... Mama becandanya keterlaluan ya, Sayang?"

"Becandanya? Cuma becanda?" tanyaku

"Iya, Mama becanda kok..." jawab Mama

"Yakin Ma cuma becanda?" tanya Ka Rere dengan nada jahil

"Rere, udah ah, nanti Sakti tambah bete lho..."

"Tapi emang kan, Ma, punya Sakti lebih gede dibanding punya Lintang?" tanya Ka Rere lagi

"Hmm, iya sih..."

"Jujur dong Ma sama anaknya sendiri~" ucap Ka Rere jahil

"Nanti Saktinya marah sama Mama, Ka. Jangan jahil gitu ah..." ucap Mama sambil ngusap perutku

"Ngh..." lenguhku ngerasain telapak tangan Mama yang alus itu, dan tangan itu merambat turun menuju Sakti Jr.

Haaaah.

"Jadi gini, Dek, ceritanya..." gumam Ka Rere di telingaku

"Rereeeee..." pekik Mama pelan sambil berusaha nutup mulut Ka Rere yang diiringi cekikikan mereka berdua.

Aku masih diam. Entahlah. Terserah mereka mau ngomong apa. Moodku ancur. Bener - bener ancur.

Tapi jujur, aku penasaran.

"Mending tanya Saktinya aja deh, Ma. Mau denger Kakak cerita apa enggak?" tanya Ka Rere.

"...." aku diam. Bingung.

"Diem tanda setuju. Oke, Kakak cerita ya..."

"Tapi sebelum itu..."

"ADUH! Ka?! Kok pahaku dicubit?!" pekik ku kesal.

"Siapa suruh nakal, pake tukeran foto segala? Hmmm"

"Eh?! Jadi kakak udah..."

"Iya, Ka Rere udah tau kok, Dek... Tapi gapapa, lupain aja." kata Ka Rere kemudian ngeratin pelukannya lagi, malah lengannya ngejangkau jarak yang lebih jauh dan meluk Mama sekaligus.

"Kapan - kapan kita harus ajak Tante Laras sama Lintang kayaknya Ma..." kata Ka Rere

"Nina jangan lupa..." ucap Mama pelan

"Eh iya, Nina juga..."

Waduuu~

"Yaudah, mau denger cerita Ka Rere gak nih jadinya?" tanya Ka Rere dan reflek tanpa kusadari, kepalaku mengangguk.

"Hahaha, tuh kan, Saktinya aja mau denger Kakak cerita kok, Maa~"

"Jadi waktu itu... Kakak nekat begini di rumah, sama Lintang..." Ka Rere menyelipkan jempolnya diantara jari telunjuk dan jari tengahnya ketika menyebut kata 'begini', dan itu dilakukan di depan Mama.

"Kakak nggak sopan deh ah." omel Mama, tapi dengan nada yang nggak nunjukin kalo dia marah sama kelakuan jari Ka Rere itu.

"Hihi, maaf~"

"Kakak lanjut nggak nih?" tanya Ka Rere. Yang jawab malah Mama.

"Lanjut, Ka..." ucap Mama, telapak dan jemari Mama masih asik kopdar sama penis dan biji zakarku, bibir Mama mencumbui leher bagian kiri dan rahangku.

"Iya, soalnya kan sepi dirumah. Mama pergi, gak tau kemana, Sakti sama Nina kuliah. Karna Kakak bete di butik, Kakak balik ke rumah..."

"Pas banget Kakak nyampe, ada Lintang di depan rumahnya, hehe..."

"Yaudah aja, Kakak ajak ngentot~"

"Kakak, bahasanya itu ih!" omel Mama lagi, padahal tadi pas aku tindih - tindih dia biasa aja Ka Rere ngomong kasar, malah kayaknya makin nafsu. Bener - bener aneh.

"Gapapa sih, Ma... Sakti aja suka kalo Kakak ngomong kasar. Apalagi kalo Mama yang ngomong kasar, yakan, Dek?"

"Ngh..." lenguhku sambil nganggukin kepala, sekarang, tangan Kak Rere ikutan ngerjain Sakti Jr sementara Mama asik ngeremes biji zakarku.

"Lanjutin dong, Ka. Kalo cerita jangan setengah - setengah..." ucap Mama

"Oh iya, haha, abis ini nih bikin gagal fokus..." bales Ka Rere sambil ngegenggam batang penisku

"Hmm, singkatnya, pas lagi asik ngentot-"

"Mama mergokin Kakak." potong Mama

"Ih, malah dipotong." sungut Ka Rere.

"Mama aja deh yang lanjutin, Rere mau..." Ka Rere gantungin ucapannya, lalu beringsut turun dan bersimpuh di depan Sakti Jr.

Hap!

Sakti Jr pun sukses terlumat mulutnya.

"Nafsuan banget sih si Kakak, haha..."

"Iya... Pas mereka lagi asik ML, Mama mergokin mereka... Mama kaget, Mama tutup aja pintunya, terus balik ke kamar Mama."

"Hampir sama kayak waktu Rere mergokin kita waktu itu, Sayang. Bedanya, gak lama Kakakmu itu ke kamar Mama... Dan gak pake baju apa - apa..."

"Terus, Ka Rere naik ke ranjang, tiba - tiba meluk Mama, Ka Rere mikir Mama marah, padahal kan enggak."

"Ya kan Kakak takut Mama marah. Huh." suara Ka Rere sesaat terus balik ngemut Sakti Jr lagi

"Hihi, iya - iya sayang... Yaudah, Mama lanjutin yaa... Terus Ka Rere narik tangan Mama, Mama bingung, Kakakmu ini mau ngapain sih? Tapi Mama ikutin aja maunya dia. Eh Mama malah diajak ke kamarnya, Mama sempet nolak, ya soalnya kan ada si Lintang. Mau ngapain ngajak Mama ke dalem coba? Tapi, akhirnya Mama nurut juga, abis penasaran sih... Hehe..."

"Terus, pintu nya di kunci sama Ka Rere, jahil banget gak sih sayang, Kakakmu itu? Haha... Yaudah, Mama duduk di bangku meja riasnya aja... Abis Mama bingung mau ngapain..."

Dibawah sana, Kak Rere masih dengan liarnya menginvansi selangkanganku, mengecup dan menjilati biji zakarku sambil mengocok pelan Sakti Jr.

"Ahh... Kak Rere..." desahku

"Ehm... Tiba - tiba Ka Rere ngajak Mama ke ranjang, narik tangan Mama, nyebelin ya, padahal kan ada si Lintang. Lintangnya juga cuma cengengesan, senyum - senyum cabul nggak jelas gitu, Sayang..." lanjut Mama

"Pas Mama duduk di ujung ranjang, Kakakmu itu tiba - tiba meluk Mama, terus lidahnya ngejulatin leher Mama. Kan Mama geli, Dek. Huh..."

"Cuma geli doang, Ma?" tanya Ka Rere tiba - tiba dari bawah sana sambil ngocokin kontolku.

"Ih, iya - iyaaaa... Geli - geli enak gitu... Ya mau gak mau, nafsu Mama naik dong, apalagi tete Mama diremesin juga sama Kakak..." lanjut Mama

"Apalagi..." Mama berhenti cerita, sengaja ngegantungin. Ah sialan.

"Apalagi apaan Ma... engh... Jangan digantungin gitu dong..." omelku sambil ngelenguh nikmat, betah banget Ka Rere di selangkanganku.

"Iya, apalagi sadar kalo ada Lintang, bukannya nolak kelakuan Rere, Mama malah tambah... Nafsu... Hmm..."

Ah, gilaaaa. Mama binal banget!

"Gak lama, pokoknya Mama nggak sadar tiba - tiba Mama udah bugil. Ka Rere jago banget bugilin Mama waktu itu. Huh. Nakal banget ya Kakakmu..." lanjut Mama yang ditanggepin cekikikan Ka Rere dibawah sana.

"Kakakmu nyiumin bibir, terus ke dada Mama, tete Mama, turun terus akhirnya ke vagina Ma-"

"Memek, namanya Memek." potongku singkat

"Hmm, jorok ah... Tapi gakpapa deh, hehe, iya, akhirnya ngg... Memek Mama, dijilatin Kak Rere, sayang... Enak banget..."

"Karna enaknya, Mama sampe merem - merem, terus gak lama Mama ngerasa ada benda nempel di bibir Mama, Mama reflek dong buka mata..."

"Ternyata itu..."

"Apaan... Nghhh... Itu apaaa..." tanyaku tak sabar

"Hihihi nggak sabaran banget sih Sakti... Sabar dong, sayang..."

"Ternyata itu... Kon... Hmmm... Kontolnya Lintang, Nak..." lanjut Mama

"Terus Mama ngapain..." tanyaku, dan sialnya Kak Rere sekarang ngeposisiin kontolku di memeknya itu, women on top. Aaah.

"Ya Mama nolak dong, tapi dia agak maksa gitu. Dia ngerangkak dan agak ngedudukin Mama, sayang... Lintang gak sopan sama Mama masa... Terus dia mencet idung Mama, ya Mama nggak bisa napas dong, otomatis Mama ambil nafas lewat mulut... Eh, pas Mama buka mulut, dia masukin kontolnya ke mulut Mama... Licik banget gak sih, si Lintang? Huh..."

"Ahh... Lintang... Anjing lu... Nyokap gue... Ah... Bangsaaaat...." desahku sambil menggumam, mengoceh diantara goyangan Kak Rere.

"Sakti juga... Ahhh... Kamu udah ngentotin... Tante Laras kan... Ngaku ajaa... Ahhh... Aduh gede bangetttt sih iniiii...." racau Ka Rere, yang kemudian membuatku menatapnya kesal.

Kutumpahkan kekesalanku itu dengan meremas kedua toket yang berukuran tak jauh berbeda dari Tante Laras dengan agak buas. Puting di payudara kirinyapun tak luput dari cubitanku

"Aih! Aaah... Iya... Terus... Grepe... Jangan kesel dong... Kalo Mama dientot Lintang... Ahhh... Kamu kan ngentotin Mamanya Lintang juga... Ahhhhh... Iyaaa, tampar toket Kakak... Auw!"

Fix. Wanita ini nggak ada obatnya, saudara - saudara.

Sampe toketnya memerah akibat tamparan - tamparankupun, dia tetap memprovokasiku dengan kata - kata liarnya.

Kecupan lembut tiba - tiba kurasakan di pipi kiriku. Mama.

Dan seketika itu menetralisir emosiku, meredakan sedikit demi sedikit amarahku.

"Kalau nggak mau dilanjut ceritanya, nggak apa - apa, sayang... Anak Mama nggak boleh marah - marah gitu, ya..." kata Mama dengan suaranya yang menenangkan itu. Ah, bener - bener Mama Impian!

"Kamu juga, Ka. Jangan kelewatan gitu dong, sayang..." ucapnya ke Ka Rere. Ka Rere terkekeh lalu membungkukan badannya, mengecup bibirku.

"Maafin Kakak ya Adikku yang kontolnya gede banget... Hihi..." dan dengan binalnya, Ka Rere narik lembut kepala Mama, ngajak Mama berfrench kiss ria

Di depan aku!

"Kalian ini... Ahh..." kenikmatan visual dan kenikmatan di selangkanganku bikin aku nggak sanggup nerusin kata - kataku.

"Mau dilanjut?" tanya Mama setelah selesai meladeni pagutan Ka Rere.

Aku mengangguk.

Ka Rere kembali menggoyang pinggulnya, dengan tempo yang pelan.

"Hmm Sampe dimana ya tadi... Oh ya... Jadi, yaudah, udah terlanjur masuk ke mulut Mama, Mama biarin aja Lintanf goyang - goyangin pinggulnya, ngeluar masukin kontolnya dimulut Mama..."

Cerita Mama dan goyangan Kak Rere, membuat kenikmatan yang kurasakan berkali - kali lipat. Entah apa yang aneh di dalam diriku, justru mendengar Mama dilecehkan begitu, aku malah semakin bernafsu.

"Gak lama, Lintang ngajak Kakakmu itu tuker posisi, huh, Kakakmu nurut - nurut aja lagi..." lanjut Mama

"Mama... Ah... Mama nggak nolak juga, kan... Shh..." sambung Ka Rere yang lagi naik - turunin pinggulnya diatas penisku.

"Ya iyalah, kamu kan udah bikin Mama keenakan, jilatan kamu di memek Mama sempet bikin Mama orgasme malah sebelum kamu sama Lintang tuker posisi..."

"Mau nolak juga udah lemes duluan tau," ucap Mama dengan nada yang sebal, yang lagi - lagi dibalas Ka Rere cuma dengan kekehan.

"Awalnya juga kan Mama kira kalian tuker posisi, si Lintang mau gantiin kamu ngejilatin memek Mama kan, eh tapi taunya..."

"Apa... Ahh... Dia ngapain Mama... Bilang sama Sakti, Ma..." tanyaku dengan nada tak sabar

"Iya, dia malah masukin kontolnya ke memek Mama, sayang, gila ya dia, mana Kakakmu itu lagi nindih Mama, nyiumin Mama, Mama mau ngeronta juga susah kan, sayang..." ucap Mama

"Ahhh... Emang... Kalo nggak aku tindih... Mama bakal nolak dientot Lintang? Aduuuh, bentar lagi Kakak keluarrrrr...." ucap Ka Rere yang goyanganya semakin buas

"Hmm... Ya enggak juga sih, ehehe... Abis kan tadi Mama udah bilang... Gara - gara kamu, Mama jadi kebawa nafsu..." balas Mama ke Kak Rere yang sepertinya nggak bakal nanggepin, karna sekarang dia lagi fokus ngejar orgasmenya

"AHHHH... KAKAK KELUAAAAR..." dan badan Ka Rere menegang, kaku, semburan dari dalam memeknya jelas kerasa di batang kontolku. Orgasme.

Aku? Masih jauh. Entah kenapa staminaku sepertinya masih cukup untuk satu ronde lagi.

Mama mengelusi kepala Kak Rere yang ngerebah di dadaku, setelah badannya ambruk seusai orgasmenya.

"Anak Mama yang jahil banget ini orgasme ya... Hihi... Cium sini..." dan Mama mengecup bibir Ka Rere.

"Mama... Hhh... Gak mau? Sakti... Masih kuat kayaknya tuh..." ucap Ka Rere dengan nafas yang masih ngos - ngosan.

"Mama capek ah... Kamu aja lanjut sana..." balas Mama

"Kasian ih Saktinya belum keluar..." kata Ka Rere

"Mama tega sama Sakti?" lanjut Ka Rere

Lalu sebelum Mama membalas kata - kata Ka Rere, Ka Rere beringsut turun dan merebah di sampingku, menghadapku, lengannya menarik lengan Mama, menuntun Mama agar menindihku

"Iyaaa - iyaaa, yaudah gantian yaa Rere yang cerita..."

Dan Mama memposisikan selangkangannya diatas kontolku, setelah dirasa pas, Mama menurunkan badannya, dan perlahan Sakti Jr. menyeruak masuk ke dalam memek Mama

"Shhhh...." desis Mama dengan ekspresi nikmat, matanya terpejam.

"Nah, Kakak yang lanjutin ya ceritanya..."

Aku mengangguk. Memejam. Merasakan nikmatnya 'cekikan' rongga memek Mama.

Alih - alih ngelanjutin cerita, Ka Rere malah ketiduran, ini anak anehnya pake banget emang ya. Emang selemes itu sampe harus ketiduran segala? Bahkan dia kayak nggak keganggu sama goyangan kasur akibat tingkah Mama yang lagi naik turunin selangkangannya.

Kakak dan Mama yang aneh!

Dan malam itu pun berakhir ketika akhirnya Mama juga terkulai lemas disampingku, dan menutup matanya. Tidur dengan lelap yang melelahkan.

****

Lusa sore, aku, Mama dan Ka Rere udah touchdown rumah. Berangkat naik kereta dari jam enam pagi.

Mama dan Ka Rere langsung menuju kamar mereka masing - masing, ngelunasin tidur yang ketunda gara - gara kereta kita tiba di jakarta disaat mereka lagi pules - pulesnya.

Aku yang nggak ada kegiatan apa - apa dan nggak ada mood buat tidur ataupun main game analog, duduk di teras sambil nyecap kopi panas dan sebatang rokok.

Langit sore lagi cerah - cerahnya. Nina entah kemana, mungkin masih di kampus. Karna kemarin malam dia udah di Jakarta, dan setauku hari ini jadwal mata kuliahnya lumayan padat.

"Oi, Bang Sakti!"

Suara yang familiar menyapaku dari balik pagar bercelah.

Lintang.

EH, WAIT....

Dia manggil aku apa? Bang? Wtf? Sejak kapan?

"Oit?"

"Minjem motor dong, Bang..."

"Ngapain?"

"Jemput Nina. Sejam lagi sih dia balik..."

"Ha? Eh... Yaudah pake aja..."

"Sip, makasih yak. Eh gue nongkrong sini aja deh, Bang sambil nunggu jam lima."

Dan bocah itu ngeloyor masuk setelah ngegeser pager beroda rumahku.

Duduk di bangku samping, disamping bangku yang kududuki. Jarak kita cuma dipisahin meja mungil persegi.

"Tumben nih..."

"Duduk disini? Kan sering, Bang."

"Bukan. Tumben tingkah lo manis gini?"

Dia cuma ngekeh dan garuk - garuk kepala. Grogi atau apa, entah.

"Liburan gimana? Seru, Bang?" tanya Lintang tiba - tiba. Jujur, aku agak curiga. Ya gimana enggak, dia yang sikapnya biasanya tengil ini, sekarang bertingkah manis di depanku. Disampingku tepatnya.

"Mayan kok. Lu gimana?" tanyaku lalu ngeraih cangkir kopi yang masih agak mengepul panas itu, menyecapnya setitik demi setitik.

"Apanya? Liburan? Gue kan sekolah, Bang Sakti..."

"Bukan, ngentot sama semua keluarga gue. Gimana? Asik ya?" tanyaku sinis. Pertanyaan itu keluar gitu aja dari mulutku.

Lebay gak sih kalo aku bersikap kayak gini? Abis kesel aja. Tiga - tiganya dimakan sama dia, ya siapa yang gak kesel?

Dan raut muka Lintang emang susah ditebak, kayak sekarang, misterius. Entah apa yang ada dipikiran dia.

"Serius, Bang, mau bahas itu?" tanya Lintang

"Haha, gausah. Lupain aja." aku mencoba seramah mungkin, berusaha nahan emosi sekuat mungkin.

"Kalo dipikir - pikir, lo itu beruntung banget Bang..." ucapnya dan dengan nggak sopan dia minum kopiku sampe tinggal ampasnya doang. Buset dah, kuat bener itu kerongkongan. Ga melepuh apa?

"Bukannya elu yang beruntung? Udah ngembat semua keluarga gue? Haha..."

"Iya sih... Tapi sekarang kan cuma Nina, Bang..." balasnya dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Cuma Nina?" tanyaku heran

"Iya, cuma dia." lalu aku lihat dia mandang kosong ke arah langit, sambil senyum - senyum gak jelas. Tipikal gelagat orang yang lagi...

Jatuh cinta?

"Tapi tetep, lo beruntung. Mungkin semua orang kepengen ada di posisi lo, ditengah - tengah keluarga yang isinya cewek cakep semua. Tante Bella, Ka Rere, Nina..."

"Kalo bisa dituker, gue rela ninggalin rumah diseberang itu, dan lahir di rumah ini. Tapi emang semesta udah ngatur takdir manusia sih ya. Jadi, gue nikmatin aja posisi gue yang jadi tetangga lo, bukan jadi elo."

Ini anak kok bahasanya dewasa banget begini? Baru tau gue dia bisa sedewasa ini.

"Dua bulan lagi gue pindah ke Bekasi bang."

"Terus?"

"Gue sama Nina... Jadian, Bang."

Aku dibuat terkejut sama kata - katanya itu, Nina jadian sama anak smp? Bocah tengik ini?

Kesintingan dunia ini ternyata belum selesai. Shit.

"Gue mau ngabisin dua bulan terakhir gue disini, bareng dia. Karna jarak disini ke bekasi nggak deket dan bakal jarang ketemu dia. Apalagi gue udah harus sibuk sama ujian - ujian juga..."

Kekagetan ku yang selanjutnya; Sejak kapan Lintang peduli sekolahnya?

"Sejak kenal Nina bang..." ucapnya seperti mengetahui isi kepalaku. Sumpah ini bocah misterius banget. Kayaknya aku harus pake helmnya magneto mulai sekarang.

"Intinya gimana?"

"Ya gue diizinin nggak?"

"Izin buat?"

"Ngabisin dua bulan gue bareng Nina, entah disini walaupun cuma ngobrol, atau ngentot di kamar gue. Pokoknya bareng dia."

Pertama, dia minta izin seolah - olah gue orang tuanya Nina.
Kedua, dia sering ngentot di kamarnya sama Nina.
Ketiga, aku cuma ngangguk tanda ngasih izin ke dia.

Itu semua masuk daya talar kalian nggak? Aku sendiri sih enggak. Ini terlalu sinting dan rumit untuk dihadepin dengan kewarasan.

"Oke, kunci motor mana?"

"Bentar..."

Aku kemudian melangkah masuk ke dalam, menuju dapur, bukan ngambil kunci, tapi minum air mineral, ketidakwarasan fakta barusan harus segera di netralisir dengan air mineral.

Lalu menuju ruang tamu, ngambil kunci motor matic buat dipake Lintang. Jangan harap aku bakal minjemin Vespaku.

"Sip. Cabut dulu, Bang." dan dia ngeloyor pergi dengan motor maticku.

Dua bulan. Dan Lintang angkat kaki dari rumahnya, pindah ke Bekasi. Dan izinku perihal waktu yang bakal dia habisin bareng Nina. Aku cuma bersikap bijak, dan dewasa. Toh kalau nggak aku izinin, aku ini siapa? Gimana kalo malah Nina sendiri yang mau dan rela ngasih waktunya buat Lintang? Kalo itu bisa bikin Nina juga seneng, kenapa harus aku larang?

Ini memang diluar kapasitas kemampuan logisku, tapi sebisa mungkin aku harus mencerna semua fakta yang terjadi dengan baik. Yang pasti, kalau bener yang dibilang Lintang, itu berarti sama dengan dua bulan lagi lepasnya aku dari bayang - bayang Lintang.

Hapeku berbunyi, notifikasi chat dari aplikasi Whatsap.

Lintang.


'Sebagai bentuk terima kasih, rekaman suara lo udah gue apus. Thx, Bang.'

Bersambung.
 
Thx updatenya om

Akhirnya bisa berdamai dengan Lintang
Lha Nina mo diangkut Lintang ke Bekasi juga?
 
HAhahahahahaha...
Sakti pantesnya jadi banci....
Nggak gentle sama sekali....
Pecundang sejati.....
Mau di rubah bagaimanapun jalan cerita ke dwpan.. Sakti tetap pecundang yang hanya bisa bengong kaya sapi denger keluarganya di nikmatin lintang....
Mukul kek atau paling nggak bikin dia impoten... Apa bangganya coba, nikmatin bekasnya lintang... Potong aja kontolnya.
Eh jangan baper hu...
Yang saya maki si sakti...

Haha mau ngakak tapi omongan loe benar gan, dari awal memang pecundang mau kek mana bisa berubah dia, cuman dapat bekasan doang. Banci bae masih ada harga diri, lah ini diem doang..
 
masih kesel sama lintang karena, kenapa harus lintang duluan fakkk
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd