Lanjutan 3 - petualangan dimulai
https://ibb.co/hLHPnST
"Kamu dah sarapan blm neng? " Bu Ratih bertanya sembari mengikutiku dari belakang.
"Udah dong bu, sy habisin tadi pisang rebus di meja.. " Jawabku enteng.
"Baguslah, omong-omong, Hamdi seharian ga nampak kemarin? Pagi ini juga. "
"Biarin aja bu, namanya juga menikmati liburan. Saya kalo liburan biasa juga gitu bu, sebelum alih profesi.. "
"Ah kamu Hil.. " Dicubit tipis pinggangku.
"Oh iya.. Hari ini pak Sandy mau datang, mau liat-liat aja katanya, dah lama gak kesini. Siapa tau ada bagian yang perlu diperbaiki katanya. " Terang bu Ratih.
Aku hanya mengangguk diam, sambil mengatur belanjaan bu Ratih tadi di meja dapur.
Padahal baru saja aku menikmati suasana sederhana di rumah kost ini, kini kembali kacau hatiku akibat temuan tadi.
Seandainya aku bisa melawan keusilanku tadi, mungkin beban pikiran baru ini tak perlu kubawa.
Aku sendiri belum pernah bertemu pak Sandy, hanya tau namanya saja, sama sekali tidak ada bayangan seperti apa rupanya.
Tapi dalam pikiran liarku, sepertinya beliau sudah paruh baya, namun masih cukup atletis, dan yang jelas, hobi bermain wanita.
"Cih.. Dasar buaya.. " Tanpa sadar aku bergumam sendiri.
"Kenapa Hil? Tadi kamu bilang sesuatu? "
"Ng.. Nggak bu.. Aku tadi ngegumam sendiri aja, nyebut nama sayur ini.. " Jawabku segera.
Kami sedang makan siang berdua saja, aku dan bu Ratih, ketika tiba-tiba ada suara ketukan di kaca pintu depan.
"Sepertinya pak Sandy.. " Bu Ratih berdiri dengan sigap, dan berlari-lari kecil ke depan.
Tepat pula aku menyelesaikan makan siangku, kubersihkan dengan cepat piring dan meja tempatku duduk tadi, dan beranjak ke dapur.
Dari dapur terdengar suara bu Ratih dan suara-suara pria sedang bercakap-cakap, sesekali bu Ratih tertawa.
"Hilda... " Panggil bu Ratih.
"Iya bu.. " Aku menjawab sambil meletakkan piring kotor di sink dan secepatnya melap tanganku.
Aku berjalan cepat ke ruang tamu.
"Hilda, ini pak Sandy.. Pemilik kost. " Bu Ratih memberi tanda agar aku ke ruang tamu.
Tampak seorang pria yang lebih tua dari yang kubayangkan, di atas kursi roda.
Beliau nampak masih fresh, kecuali kenyataan bahwa kursi roda selalu menemaninya kemanapun beliau pergi, dan rambutnya yang sudah kelabu cenderung ke putih.
Senyumnya jujur dan tidak berkesan dibuat-buat apalagi dipaksakan, seperti senyumku saat ini.
"Siang pak Sandy... Apa kabar? " Aku hanya berdiri sedikit membungkuk, tidak berinisiatif menyalami, karena terbiasa dengan protokol covid.
"Well, baik Hilda. Belum pernah sebaik ini selama berada di rumah ini. "
Di belakang beliau ada asisten yang kuduga selalu mendampingi beliau kemanapun.
Lebih tepat jika disebut bodyguard, melihat penampilan dan postur badannya.
Tidak terlalu tinggi, namun tonjolan otot-otot berlapis kulit sawo matang di balik kaos ketat lengan panjangnya menunjukkan status yang kusebutkan tadi: bodyguard.
"Gimana menurut kamu suasana di kost ini Hilda? Cukup nyaman? Maaf ya, saya merokok. " Tanya beliau sambil menyalakan sebatang 234.
"Nyaman pak.. Tenang dan aman, cuma.. "
"Cuma? " Sambung beliau sambil mengernyitkan dahi dan memutar2 telapak tangan seperti gestur mafia.
"Ada bocor dikit aja pak di kamar saya kalo musim hujan, " Sambungku sesopan mungkin.
"Well, memang itu tujuan kedatangan saya kesini, Hilda. Memastikan tidak ada kekurangan apapun di kost ini. Kalau ada, akan segera saya bereskan. "
"John, kamu coba liat yang bocor itu, nanti sekalian aturkan untuk perbaikannya. Hilda cantik, tolong tunjukkan bagian mana yang bocor ke John. Ini asisten pribadi saya yang serba bisa. "
"Sini sy bawa bapak ke ruang makan, sekalian saya buatkan sesuatu., " Bu Ratih beranjak ke belakang pak Sandy dan mendorong kursi rodanya.
"Mari pak John, kamarnya diatas. Saya tunjukkan dulu bagian yang bocor. " Aku mengajak sang bodyguard ke atas.
Aku bergegas menaiki tangga dan sang bodyguard mengikutiku tanpa berkata apapun.
Mungkinkah dia bisu? Atau kurang fasih berbahasa Indonesia? Sebab dari perawakannya kuduga berasal dari NTT, dengan muka Portugis yang masih kental.
Saat kunaiki tangga, entah hanya perasaanku, atau memang John berjalan tepat di belakangku.
Seperti hembusan nafasnya tepat mengenai pantatku yang lebar ini.
Kubuka pintu kamarku perlahan, ada perasaan aneh menyelimutiku, dengan adanya John di sampingku, dengan jarak yang terlalu dekat menurutku, untuk seorang yang masih asing.
"Di sudut itu pak.. Yang ada bekas aliran airnya. " Aku menunjuk pada sisi kamarku yang bebas tanpa ada perabot apapun.
Sudah ada tempayan dan kain lap disana, untuk persiapan kalau terjadi hujan.
John menatap kosong ke arah yang kutunjukkan.
"Jadi gimana pak? " Tanyaku kembali sedikit kuatir.
John beralih menatapku.
Sebuah tatapan yang hendak memakanku.
Didekatinya diriku perlahan.
"Eh? K.. Kenapa pak? " Aku mundur sampai tersudut di dinding kamar.
Hanya dalam sepertiga detik, aku merasakan benda yang dingin di sisi kiri leherku.
John menempelkan sesuatu disana, dan tidak perlu lama bagiku untuk menebak benda apa itu.
Tangan kirinya memberi isyarat di depan bibirnya dengan telunjuknya yang kekar.
"Sst... "
Aku hanya menggeleng kecil tanpa bersuara.
Aku melotot namun hendak menangis.
Perlahan diturunkannya benda dingin tadi menyusuri leherku, terus turun diantara buah dadaku.
Okay this is it.
Selamat tinggal dunia.
Aku menutup mataku, air mataku jatuh di sisi luarnya.
Dalam satu hentakan, John merobek kancing kemeja tuaku.
Aku bisa mendengar beberapa diantaranya berjatuhan di lantai kayu kamarku.
Aku belum berani membuka mataku.
Namun sebelum berpikir lebih lanjut, aku hanya ingat bau yang tajam di hidungku, ketika kepalaku dicampakkan ke dinding oleh telapak tangan John yang kasar, kemudian aku tak sadarkan diri.
Aku tersadar dalam posisi tertidur miring.
Perlahan suara-suara yang masih kabur, berangsur jelas.
Pandanganku masih setengah kabur.
Yang pertama ditangkap inderaku, adalah bau apek yang segera menusuk hidungku.
Bau apek dan lumut, serba lembab.
Dimana aku?
Aku mencoba bertopang untuk duduk, sebelum menyadari bahwa tanganku terikat di punggungku.
Aku masih tertidur menyamping di lantai ubin semen tua yang dingin dan sedikit berdebu.
Kukumpulkan tenaga dan balanceku, untuk bangkit duduk, dalam keadaan terikat ini.
Aku setengah duduk, bersandar pada dinding yang catnya mengelupas.
Aku kemudian melihat, masih memakai celana pendek yang kukenakan tadi, dengan baju kemejaku sudah tidak ada.
Aku hanya mengenakan bra warna abu-abu berendaku.
Cobaan apalagi ini Tuhan.
Mestinya aku mati saja Tuhan, agar bisa berjumpa mama kembali.
Atau barangkali tidak, karena aku jurusannya ke neraka, sedangkan mama ke surga.
Kesadaranku sudah hampir pulih seutuhnya.
Aku melihat sekeliling.
Ruangan sebuah rumah tua juga, mirip seperti kostku.
Dengan plafon tripleks yang beberapa bagian sudah terlepas.
Ada sebuah jendela yang berkaca kusam.
Aku susah payah berdiri untuk melihat keluar.
Jantungku berdegup keras, ketika aku melihat pemandangan yang tidak asing lagi di luar jendela itu, rumah kostku.
Berarti, aku sekarang berada di rumah tua di sebelah.
CLAK KLIK
Suara kunci pintu dibuka.
"Bagaimana Hilda sayang, cukup istirahatnya? " Suara yang baru kukenal tadi siang menyapaku.
Ya, pak Sandy masih di atas kursi rodanya, ditemani-ya siapa lagi-John.
"Apa-apaan ini pak? " Aku membentak sambil bersandar pada jendela.
Pak Sandy hanya tersenyum, John juga.
Pertama kalinya aku melihat John tersenyum.
"Aku suuuudah lama Hilda sayang, ingin menikmati kamu. " Pak Sandy menunjukku dengan kedua jarinya menjepit sebatang 234 yang tinggal setengah.
"Enak aja! Jangan macam-macam pak! Atau aku teriak!! "
"Ahh hahaha.. Teriak?" Pak Sandy dan John sama-sama tertawa saling berpandangan.
"Monggo... Mungkin suasana tambah hot, kalau ada variasi teriakan-teriakan kamu sayang, ahh hahahahaa.. "
Aku terdiam merasa kalah, namun merasa belum sepenuhnya dikalahkan.
Entah dorongan darimana, tapi aku spontan mengucapkan sesuatu yang ganjil.
"Emang kontol lu masih bisa bangun, hah pak tua cacat?! "
Tiba-tiba suasana hening.
Lalu meledaklah kembali tawa pak Snady dan John.
Bahkan pak Sandy sampai memukul-mukul arm rest kursi rodanya dengan tangannya.
Entah berapa lama mereka tertawa, yang membuat suasana tidak berkurang ganjilnya.
"Ha ha.. Ehea.. Heu.. Heu... " Sesudah puas tertawa, mereka diam lagi.
Pak Sandy menghisap 234 nya dalam-dalam, sebelum dilemparkannya ke arahku.
Nyaris mengenai kakiku.
"Hilda sayang, kamu ternyata lebih cerdas dari yang kubayangkan. Dan aku suka itu. "
"Biasanya yang cerdas lebih mudah basah itunya.. " Pak Sandy menunjuk ke arah selangkanganku.
"Kamu pasti ingin tau kan, kenapa kamu cerdas? "
Dinyalakannya sebatang 234 lagi, lalu diteruskannya, "karena kamu benar. "
"Kamu benar, kontol tuaku ini udah gak sanggup bangun. "
"Tapi itu tidak menghalangiku untuk menikmati gadis-gadis yang kuinginkan. Paling tidak, menikmati dengan caraku. "
"Hoooi.. Ayo masuk!! " Pak Sandy memberi perintah sambil menengadahkan kepalanya.
Dan, masuklah sosok yang pernah kulihat dulu.
Si tua yang beronani di halaman rumah ini.
Diikuti lagi dengan yang lainnya, dan lainnya.
Masuklah 3 orang setengah baya, dengan penampilan lusuh, namun masih menampilkan otot-otot yang masih menggembung.
Aku terduduk lemas.
Ternyata cobaan sesungguhnya baru dimulai.
Ketiga orang tadi masih berdiri rapi, seperti menunggu restu dari pak Sandy.
"Jadi Hilda.. " Sambil mencumbu 234.
"Memang benar aku sudah gak bisa bangun. Tapi mereka masih bisa. Bisa banget. "
"Dan tugasku hanya menonton, ditemani John dan ini (234) " Lanjut pak Sandy dengan seulas senyum kemenangan.
Aku hanya tertunduk lesu.
Kegaranganku tadi hanya sekejap.
"Monggo bapak-bapak, sesuka kalian sekarang. "
Mereka mendekatiku tanpa bersuara, yang masih tergolek pasrah.
Salah satu dari mereka mengangkatku di lengan kiriku, memaksaku berdiri, diikuti seorang lagi yang memegang lengan kananku.
Aku terpaksa mengimbangi, ikut melangkahkan kakiku, melewati pak Sandy dan John.
Dalam kekalutan ini, aku masih sempat melayangkan pandangan ke sekeliling bangunan ini, dan seketika menyadari modelnya identik dengan rumah kost di sebelah.
Bedanya, rumah ini kosong, dengan keadaan tidak terawat, beberapa jendela sudah hilang, digantikan dengan seng dan tripleks yang dipasang asal saja.
Ketiga bapak ini membawaku ke samping, melewati pintu seng.
Ya, pintu seng yang deriknya membangunkanku siang itu di hari PHK ku.
Di tengah halaman samping yang berumput itu ternyata sudah ada springbed tua, yang sebelumnya tidak ada di situ.
Aku hanya meringis jijik, melihat bercak-bercak sana sini pada spring bed itu.
BUFG
Mereka menghempaskanku ke springbed itu.
Aku sampai terbatuk akibat berbagai aroma bercampur aduk dari permukaan springbed itu.
Salah satu dari mereka dengan gesit naik ke springbed, mendudukkanku dan membuka ikatan di belakang punggungku.
"Jangan coba lari lu kalo gak mau gua ewe sampe mati! " Hardiknya dengan nafas yang menyengat.
Sejurus kemudian dibetotnya bra abu-abuku sehingga robek di antara kedua cupnya.
"Akh.. " Pekikku kaget.
Aku merasa dingin di kedua buah dadaku.
Cuaca mendung berangin, menerpa kedua dadaku yang bebas terpampang sekarang.
Bapak di belakangku mengunci kedua lenganku di belakang, sambil menjilati leherku dengan aroma nafas yang memuakkan.
Di bawah sana, kedua bapak lainnya sibuk melucuti celanaku dengan tidak sabar.
Aku menutup mata, tidak berani melihat.
Aku takut, aku akan menikmatinya.
Dan itu akan terjadi, cepat atau lambat.
Pasti.
Sebuah tangan dingin meraih daguku dengan kasar.
"Gua udah lama pengen ngerasain diisep amoy. "
Dikocoknya perlahan senjatanya yang berbulu keabu-abuan namun berurat dan gemuk.
"Nih... Sekali-sekali lu ngerasain kontol tukang bangunan.. Keras kayak beton, dan tahan lama! " Digosok-gosokkannya kepala senjatanya ke hidungku.
Aku tak berdaya karena daguku dikuasainya, sementara bapak di belakang masih sibuk memperkosa leher, telinga dan rambutku dengan lidah kotornya.
Dalam satu sentakan, senjata si bapak melesat masuk ke dalam rongga mulutku, menabrak rongga kerongkonganku.
Spontan aku terbatuk.
"Hoekkkk.. " Dengan senjata si bapak masih di dalam mulutku.
Dicengkeramnya rambutku.
"Lu gigit, awas.. Bakal nyesel lu! " Ancamnya.
Aku hanya mengangguk lemah.
"Bagus. Isep yang bener kayak di bokep-bokep jepang! "
Dimaju mundurkannya dengan lembut sekarang, dan si bapak menghayatinya sambil mengelus-elus kepalaku.
Aku mendengar suara nafasku sendiri, akibat rongga mulutku tidak diberi ampun oleh senjata si bapak.
Masih di tengah pergumulan ini, aku merasakan kedua kakiku direnggangkan, dan "mmmmmmhhhh" Sebuah benda lentur tak bertulang menusuk-nusuk dan menjilati liang sorgaku.
Bapak ketiga sedang memperkosa liang sorgaku dengan lidahnya dan kumisnya yang ikut dibenamkan di dalam lipatan liang sorgaku yang tembem.
"Aahh gila.. Belum pernah kontol gua keras gini, serasa masuk ke dalam film-film bokep yang biasa gue tonton. Disepongin sama cewe-cewe ayu mulus kayak si enci ini. " Ujar si bapak yang sedang memperkosa mulutku.
"Nah.. Karena kontol gua yang paling tegang sekarang, gua yang pertama jajal memek lu yah nci! " Si bapak melepaskan senjatanya dari mulutku dan hendak mengambil posisi di depan kakiku yang terkangkang.
"Lu ntar dulu ya, gua udah ngaceng berat nih. " Ujarnya ke bapak ketiga yang sedang memperkosa liang sorgaku dengan lidahnya.
Bapak ketiga dengan patuh beringsut ke samping, seakan tidak mau kehilangan momen, segera membenamkan mukanya ke buah dada kananku.
"Ahhhh.. " Desahan jujur pertamaku yang sudah tak tertahankan, akibat diobok-obok liang sorgaku sedari tadi.
"Wohooooo.. Udah becek banget memek si enci! " Diusap-usapkannya kepala senjatanya di bibir liang sorgaku.
Dicelupnya sedikit - diangkat - dicelupnya lagi - dan seterusnya begitu.
Terus menerus entah berapa lama, sampai cairan kewanitaanku semakin memenuhi rongga liang sorgaku dan sedikit demi sedikit meluber keluar, menyambut celupan senjata si bapak.
"Mmmhhhh.. " Aku tersiksa.
Bukan karena rasa malu, tapi oleh kenikmatan.
Aku sudah melupakan leherku, telingaku, dan buah dadaku yang belepotan ludah memuakkan bapak-bapak ini.
Hanya sentakan-sentakan kenikmatan yang seakan menunggu dituntaskan di bawah sana, oleh bapak nakal yang sengaja mempermainkan, membajak sel kenikmatan dalam otakku.
"Pak.. P.. Pa..k.. " Celetukku lemah.
"Masukin... Hhh.. Hhh... " Detak jantungku memukul-mukul.
"Hahaha.. Masukin? Lu mohon dulu ma gua! " Kata si bapak di bawah sana.
"Masukin.. Yang dalem.. " Aku mendesah gemetar.
"Gini maksud lu?! "
CREPP
"Ooooohhh... " Orgasmeku datang hanya dengan satu sodokan keras.
Keras dan dalam.
Refleks, kedua kakiku melingkari pinggang di bapak.
"Oo.. Oooh.. Ouhhhh... " Si bapak hanya diam, aku yang menggoyang senjatanya dengan pitingan kakiku di pinggangnya.
"Oooooh.. Ouhhhhh... " Aku orgasme lagi, dan lagi, kuparut dengan kuat senjata si bapak.
Kemudian aku lemas, melepaskan pitinganku.
Giliran si bapak menggenjotku dengan keras, namun mulai ngilu liang sorgaku, akibat multi orgasme tadi.
"Pa., pak.. Tunggu dulu.. Sa.. Sakit.. " Aku meringis.
Si bapak tidak peduli.
Liang sorgaku yang masih banjir cairan kenikmatanku, masih terasa enak baginya, meski tanpa jepitan-jepitan seperti tadi.
"P.. Pakk... Ampun pak.. " Aku merelakan saja rasa sakit di liang sorgaku sekarang.
"Enak memek lu... Lu diem aja, perjalanan masih panjang.. " Sambil tetap menggenjotku, dilepaskan kaosnya dan dibuang ke belakang, seakan permainan baru akan dimulai.
"Lu pada minggir dulu, gua ga mau muka cantik si enci kehalang ama tampang lu pade! "
Sejurus kemudian, tinggallaah aku dan si bapak yang masih menggenjotku yang sudah orgasme dini tadi.
Ada baiknya juga, setidaknya aku bisa bernafas agak lega, bebas dari himpitan 2 orang bapak yang bau.
Si bapak kemudian membalikkan badanku, mendoggyku dengan kasar.
Tidak diberinya kesempatan diriku untuk memulihkan diri, pasti kebanyakan nonton bokep.
"A.. Ahhhh mau kelu...arrr.. "
"Pak! " Pekikku "jangan di dalammm!! " Aku berusaha melepaskan bongkahan pantatku dari kuasanya, namun dicengkeramnya semakin erat, dan
CROTTTT CROOOOTTT CROOOTT
"OOOOOOHH..haaaaaaaa.. " Si bapak menggeram.
"Gua hamilin lu ci! Hoh.. Hoh.. Hohh.. Haaaa. " Sambil disentak sentakkannya hingga tak satupun tetes tersisi dalam senjatanya.
Didorongnya dengan kasar sampai aku terjatuh di springbed tergolek menyamping.
Cairan hangat si bapak terasa mengalir keluar, banyak san hangat, kontras dengan kulit pantatku yang dingin diterpa angin.
-bersambung-
Kasih istirahat dulu ya si nci Hilda, kasihan