Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nana, Muridku

maaf suhu sepertinya kelongkap 1 updeate yah atau perasaan saya saja.
di update hal 3 disitu dinyatakan bahwa pak Guru dan nana baru tahap saling memberi foto sexy
lalu di update hal 4 sudah pacaran selama 4 bulan
kasih cerita dong suhu pertama kali betemuberdua dan mengikat cinta dan ketauan penjaga sekolah
Waduh!!! :kacau:
Bener gan, ada yang kelewat.
Mohon maaf :ampun::ampun::ampun:
Sebentar ya... Saya revisi...
 
Yuk dilanjut... (Revisi bagian)

BEBERAPA hari berselang sejak malam itu. Malam dimana untuk pertama kalinya aku bisa melihat Nana berbugil ria untukku. Hal yang sama juga terjadi di malam-malam berikutnya, Nana tanpa sungkan mengirimkanku foto selfie-nya sambil bertelanjang, saat aku meminta. Sebagian besar dengan dia masih bertudung.
Ini sebagian yang aku jadikan kolase.



Seiring itu, suatu dalam diriku kian terbangkitkan. Aku mulai memiliki perasaan khusus pada Nana. Entah cinta atau sekadar birahi, aku sendiri tak tahu. Yang jelas aku tidak lagi puas hanya mengobrol lewat WA, tak cukup buatku hanya memandangi keseksiannya dari foto-foto kiriman. Aku terobsesi untuk bisa melihat gadis itu langsung, ingin memiliki serta menikmati keindahan itu. Aku harus cepat-cepat menjalankan rencana untuk menaklukkannya.

'Besok abis pelajaranku jangan langsung pulang ya. Tungguin aku di sekretariat lama, belakang gedung olahraga,' pesanku pada Nana malam sebelumnya, di penghujung WA ria kami. 'Da yang pengen aku bicarain. Tapi sendiri aja ya. Jangan ajak siapa-siapa.'

Nana tentu saja penasaran apa yang ingin kubicarakan, namun aku tetap merahasiakan. Satu setengah bulan sudah aku menjadi seorang guru. Hari itu, Jumat sore, rencanaku telah matang dan aku siap menjalankannya. Dia harus bersabar dengan kejutanku.

Usai pelajaran hari itu, aku bergegas balik ke ruang guru dan sengaja berlama-lama di sana. Aku harus memastikan sekolah benar-benar sepi, sambil harap-harap cemas Nana akan memenuhi permintaanku dan kini tengah menungguku di tempat janjian. Harapanku terkabul. Gadis itu benar sedang menungguku.

Sejenak aku bisa melihat Nana sangat gugup dan malu-malu, juga agak takut. Aku tak menyalahkannya. Seorang laki-laki mengajak bertemu di tempat sepi tanpa alasan jelas memang pantas dicurigai. Andai aku Nana, aku tentu bertanya-tanya apa sebenarnya niatku dan berharap itu bukan niat jelek. Menyadari itu, akupun menjaga jarak sopan dengan Nana.

Sekadar untuk meyakinkan dia bahwa aku tak bermaksud buruk.

"Ngobrol di dalem yuk," ajakku sembari mengeluarkan kunci sekretariat.

Butuh perjuangan selama beberapa hari bagiku untuk mendapatkan kunci itu dari Pak Wi, Sang Penjaga Sekolah. Setelah bujuk rayu, satu slop rokok, serta sedikit memanfaatkan statusku sebagai anak salah satu pemilik yayasan, aku akhirnya berhasil. Tentu saja aku terpaksa menceritakan sejujurnya rencanaku lalu janji bahwa aku tidak akan macam-macam.

"Kenapa nggak di sini aja pak?" tanya Nana gugup.

"Biar lebih pribadi," jawabku.

Sama seperti pada Pak Wi, aku tegas mengatakan pada Nana bahwa aku takkan macam-macam.

Nana tetap terlihat tak yakin dan khawatir. Meski begitu dia mengikutiku yang mendahuluinya masuk ke dalam di mana aku memintanya duduk di kursi yang telah kusiapkan sebelumnya (dengan bantuan Pak Wi).

Kuperhatikan Nana bingung dengan persiapanku—sebuah proyektor, lengkap dengan layarnya. Aku memintanya menunggu sebentar sampai aku selesai menghubungkan notebook-ku. Tak lama layar di depan Nana menampilkan hal yang sama terlihat di layar notebook-ku. Usai beberapa klik video singkat yang kubuat untuknya pun tayang.

Isinya bukan hal-hal aneh, apalagi mesum. Hanya slide show foto-foto Nana yang selama ini dia kirimkan.

Oke, ralat. Mungkin sedikit mesum karena aku juga menyertakan foto bugil gadis itu, tapi bukan itu intinya. Bersamaan dengan foto-foto itu, aku juga menyertakan rekaman suaraku sendiri, sebuah pernyataan jujur tentang apa yang kurasakan pada siswiku itu.

5 menit 13 detik, itulah durasi tayanganku. Sepanjang itu, aku terus memperhatikan Nana. Melihat reaksinya dan bertanya-tanya apa yang dia pikirkan saat menonton. Tayangan itupun berakhir. Sejenak aku menarik nafas, mengumpulkan keberanianku.

Aku lalu maju mendekat, berdiri di depan Nana, lalu berlutut. Bersamaan kuraih tangannya dan kugenggam mesra. "Aku cinta kamu, Na," ujarku, menegaskan yang telah kusampaikan lewat video singkat tadi.

"Kamu mau kan jadi kekasihku?"

Sedetik, lima detik, ataukah menit? entahlah, aku tak tau berapa lama Nana diam tak menjawab. Yang jelas terasa sangat lama dan aku mulai khawatir dia akan menolakku. Padahal aku cukup yakin dia juga jatuh cinta padaku, bahkan sebelum aku punya perasaan khusus padanya.

Aku yakin dia bukan gadis ekshibisionis, yang suka memamerkan tubuhnya. Apalagi alasan dia melakukannya jika bukan karena dia mencintaiku?

Aku mengulang pengakuanku. Mengungkapkan semua yang kurasa, bahwa aku sayang dan cinta padanya. Aku juga tak menyembunyikan bahwa aku juga memiliki hasrat birahi padanya. Baik atau buruk, itu terserah Nana untuk menilainya. Yang jelas aku takkan berbohong maupun menutupi sesuatu.

"Iya pak. Nana mau jadi kekasih bapak," lirihnya. "Nana juga cinta bapak."

Jawaban itu seketika menghilangkan keraguanku yang sempat muncul. Aku begitu senang dengan pengakuan Nana hingga sontak aku berdiri, mengajak gadis itu bersamaku, lalu menariknya dalam pelukan. Meski canggung, dia balas memelukku, dan selama beberapa saat kami bergeming dalam posisi itu.

Tak ada kejadian istimewa setelah itu. Usai saling menarik diri dari pelukan, aku pun mengajak Nana untuk pulang. Tak lupa aku mampir ke pos keamanan sekolah untuk mengembalikan kunci (yang ditolak Pak Wi dan mengatakan bahwa aku boleh memegang duplikatnya).

Tadinya aku ingin mengantar Nana sampai ke rumah namun dia menolaknya. Dia mengaku belun siap memperkenalkan seorang cowok sebagai pacar pada keluarganya. Apalagi sang pacar adalah gurunya sendiri. Aku bisa memahami itu, maka aku tak memaksanya. Tapi aku ngotot untuk tetap mengantar, setidaknya hingga sampai di dekat rumahnya.

Dan hari itupun berlalu.

***​

EMPAT bulan sudah aku menjadi seorang guru, dan dua bulan menjadi kekasih Nana, muridku. Pastinya secara rahasia. Sejauh yang kuketahui, hanya Pak Wi, sang penjaga sekolah yang tahu tentang itu. Aku juga meminta Nana agar tak bercerita pada teman-temannya. Akan merepotkan andai ada yang tahu tentang hubungan kami.

Selama dua bulan itu pula, aku memiliki rutinitas baru. Hampir di setiap waktu istirahat siang, aku dan Nana bertemu di ruang sekretariat, tempat kisah cinta kami dimulai.

Sesuai janjiku pada Pak Wi, kami tak pernah berbuat macam-macam atau bertindak mesum disana, hanya bertemu untuk makan siang berdua lalu mengobrol sampai waktu istirahat berakhir.

Aku bahkan selalu menjaga jarak sopan dengan Nana. Kecuali awal dia menerimaku sebagai kekasih—dimana aku memeluknya—aku nyaris tak pernah menyentuhnya. Kecuali mungkin sekedar berpegangan tangan mesra.

Lain di luar, lain pula saat di WA (kami memang masih tetap berbalas pesan, nyaris tiap malam, terutama akhir pekan). Baik Nana dan aku tak lagi sungkan berpose bebas, seseksi dan sepolos mungkin.

Yups. Aku pun mulai kerap ber-selfie untuk Nana. Beberapa di antaranya tentu saja dalam keadaan polos tanpa busana.

Sayangnya keberanian dan kenakalan kami hanya sampai di situ. Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, saat bertemu kami saling menjaga kesantunan, entah sampai kapan. Aku sendiri, karena sering melihat Nana berbugil ria untukku, seiring waktu aku semakin tak kuasa menahan hasratku.

'Aku penasaran nih.'

Saat itu malam senin, tepat dua bulan dan dua hari kami berpacaran.

'Iihh... Mas mah penasaran mulu. Penasaran apalagi sih? Kan udah sering liat Nana. Heee,' balas pacarku itu.

Saat kami hanya berdua atau sedang WA-an, Nana memang memanggilku mas. Toh umur kami tak terpaut jauh, hanya 7 tahun.

'Kamu pernah nggak nggak pake daleman waktu sekolah?' tanyaku.

'Ya nggak pernah lah. Mana aku berani,' tegasnya. 'Emang kenapa mas tanya itu? Pengen ya aku ga pake daleman di sekolah? Heee.'

Tepat sekali. Tebakan Nana memang tidak salah. Aku memang akhir-akhir ini sering membayangkan hal itu. Aku pun mengakuinya.

'Dasar mesum. Nggak mau ah. Nanti aku diapa-apain sama kamu.'

Aku balik membalas dengan sticker meledek. 'Emang aku mesum. Lagian mesum sama pacar sendiri ini,' lanjutku.

'Awas aja kalo mesumnya ke cewek laen.'

Aku tertawa. Rupanya pacarku itu sudah mulai berani mengancam. Aku pribadi masih penasaran, tapi aku tak mendesaknya. Obrolan kami pun beralih ke hal lain.

***​

Senin pagi, menjelang siang. aku sedang mengajar di kelas (bukan kelas Nana), saat hape-ku bergetar. Pesan dari kekasihku. Aku sedikit kaget, seingatku seluruh murid di larang membawa hape. Atau jangan-jangan dia sedang di rumah dan ijin tidak sekolah. Sejak tiba di sekolah, aku memang belum bertemu atau melihat dia.

Untung saja aku sedang memberi soal pada murid-murid di kelas dan mereka semua sibuk, jadi aku bisa langsung membuka pesan itu.

Untuk kesekian kalinya sejak kami akrab, Nana selalu mampu membuatku terperanjat. Tampak di layar WA-ku, fotonya ber-selfie ria. Dia mengenakan seragam lengkap, namun dia telah melepas seluruh kancing seragamnya, memamerkan busungan payudara indahnya di balik bra merah. Walau Nana menutupi wajah dengan tangan, aku masih bisa mengenali dia. Kuduga foto itu diambil sebelum kelas dimulai.



'Wow!!!' balasku. 'Mau dong.'

Sayang Nana tak membalas.

Jam mengajarku pun selesai, setelah ini aku punya waktu senggang selama sejam sebelum waktu istirahat. Sehabis menaruh perlengkapan mengajar di ruang guru, aku keluar sekolah untuk mencari warung kopi.

Sebenarnya ada kantin di sekolah, namun jadi satu dengan para murid hingga aku tak bisa merokok sambil menikmati kopi. Padahal saat ini aku butuh rokok untuk meredakan 'keteganganku'.

Well, sebenarnya itu cuma alasanku saja, tidak berpengaruh juga. Walau sudah setengah jam menikmati rokok dan kopi, tetap saja pikiranku tak lepas dari Nana, yang pastinya masih ada di kelas.

Aku masih asik dengan pikiranku sendiri saat WA dari Nana masuk. Lagi-lagi sebuah foto selfie kekasihku itu, namun yang membuat darahku kembali berdesir adalah di balik seragam putih tipis itu Nana tidak lagi mengenakan bra merahnya.



'Kalau yang ini mau ga?' goda Nana, membalas pesanku sebelumnya.

'Jelas mau,' aku menjawab. 'Tapi kurang ah.'

'Hihihi... Dasar cowok. Ga ada puas-puasnya.'

'Emang.'

Sambil kembali memandangi foto Nana, pikiranku menerawang. Hingga kini aku tak memahami kekasihku itu, dia seakan punya dua kepribadian yang berbeda.Pertama, sosok gadis lugu nan pemalu yang senantiasa menjaga kesantunan. Kedua, sosok siswi nakal yang tampaknya tak sungkan untuk memamerkan keindahan tubuhnya.

Memang sih itu semua hanya untukku (menurut pengakuannya) dan jelas aku senang.

Hanya saja dari fotonya, Nana sepertinya ada di dalam kelas, aku khawatir ada orang lain yang melihatnya. 'Kelas kamu udah selesai?' tanyaku.

Nana menjawab bahwa kelasnya selesai lebih awal, gurunya ada urusan penting. Jadi kupikir dia pasti sendirian di kelas.

Aku jadi tak sabar ingin bertemu Nana di tempat rahasia kami. Cukup sudah. Aku tak tahan lagi. Aku benar-benar ingin bisa memiliki gadis itu seutuhnya. Ingin bisa menikmati tubuhnya.

'Masih kurang,' balasku.

'Apalagi?' tanya Nana.

'Tunggu aku di tempat biasa, nanti aku kasih tau.'

'Emang aku udah di tempat biasa,' balas Nana.

Hampir saja aku tersedak kopi yang kuseruput. Ternyata aku salah duga ternyata dia ada di ruang sekretariat lama, sendirian. Pantas saja dia berani berpose senekat itu.

Tanpa pikir panjang, aku menyudahi acara ngopi-ku dan bergegas meninggalkan kantin. Tujuanku cuma satu, ke tempat Nana berada dan menanti kedatanganku.

Benar saja, Nana telah menungguku dengan sabar. Jelas terlihat gugup dan malu-malu. Aku segera masuk, tak lupa menutup pintu dan mengunci. Di ruangan itu sendiri sejak awal telah terpasang gorden yang menutupi seluruh jendela, jadi tak ada yang bisa melihat kami dari luar. Ruangan memang jadi sedikit gelap, tapi tak masalah bagiku.

Aku yang sudah sangat berhasrat langsung menggandeng Nana, membimbingnya ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat ranjang UKS lama, lengkap dengan kasurnya. Aku memepet kekasihku hingga pantatnya bersandar di tepi ranjang, kulingkarkan kedua tangannya ke belekang leherku, dan tanganku sendiri melingkar di pinggulnya.

"Nana mo diapain mas?" tanya dia lirih. Malu-malu sekaligus takut.

"Boleh nggak aku mencium kamu?" tanyaku dengan suara bergetar oleh birahi.

Nana tak menjawab, wajahnya merona malu. Meski diam, dia kemudian memejamkan matanya dan menunggu. Kutangkap itu sebagai isyarat setuju dan wajahku pun maju, menyasar bibir kekasihku.

Tak ada gerakan macam-macam ataupun berlebihan. Bibir kami hanya saling bersentuhan dan merapat disertai getaran-getaran kecil. Tapi sensasinya...

"Wow!!!"

"Kenapa mas?" tanya Nana.

Sejak awal hubungan kami, aku selalu berusaha jujur pada Nana. Begitupun sekarang. Kuakui bahwa ciuman itu adalah yang pertama bagiku.Dia terlihat tak percaya maka aku kembali menegaskan.

Di usiaku yang ke-24 ini aku memang belum pernah berpacaran. Nana merupakan kekasih pertamaku. Aku memang banyak memiliki teman wanita, tapi paling jauh hanya sebatas persahabatan.

Sama sepertiku, gadis itu pun kemudian menyatakan hal yang sama. Baginya aku pacar sekaligus ciuman pertamanya.

"Kalo gitu, aku juga mau jadi yang kedua," godaku.

Ciuman kedua kami berlangsung seperti sebelumnya. Itu awalnya. Kemudian birahi kami mengambil alih dan secara naluri kami mulai saling memagut serta menghisap. Lembut dan perlahan, kemudian kian panas.

"Boleh minta sesuatu?" tanyaku sedikit terengah-engah setelah menarik diri dari bibir Nana, yang menjawab dengan anggukan kecil.

Tanganku yang semenjak tadi di pinggul Nana berpindah untuk meraih kancing teratas seragamnya (saat bertemu, Nana telah menyampirkan kerudungnya ke belakang). "Boleh aku liat kamu langsung?" aku kembali bertanya, sejenak menahan tanganku yang hendak menanggalkan kancing itu.

Nana tak menjawab, bahkan tak menggangguk setuju. Namun dari ekspresinya, aku menduga dia mengijinkanku. Apalagi dia tetap bergeming hingga aku berhasil melepas seluruh kancing seragamnya. Aku takkan menceritakan bagaimana penampilan pacarku itu. Kalian bisa lihat sendiri. Karena setelah itu aku mundur beberapa langkah untuk mengaguminya lalu mengeluarkan hape untuk mengabadikan.

Klik!!!



Nana hanya tersenyum oleh tingkahku.
Usai mengambil foto, aku kembali maju hingga jarak kami hanya sejangkauan tanganku. "Boleh aku sentuh?" pintaku.

Nana mengijinkan dengan suara lirih.

"Hahhhh..." Nana menghela nafas, tubuhnya tersentak oleh sentuhanku. Meski begitu dia tetap bergeming, kedua tangannya terlihat mencengkeram keras sisi ranjang.

Jadi seperti ini rasanya toket cewek? Pikirku.

Seperti yang telah berulang kali kukatakan, aku memang mata keranjang—dengan artian senang memperhatikan cewek-cewek seksi—namun ini sungguh pertama kalinya aku menyentuh seorang perempuan. Aku memang beberapa kali membayangkan hal itu, apalagi saat menghibur diri dengan menonton bokep koleksiku.

Seperti yang kuperkirakan, benda itu terasa empuk dan kenyal di telapak tanganku, namun juga terkesan keras, saat aku dengan lembut mulai meremasnya. Nana sendiri kembali mendesah. Tubuhnya tampak sedikit gemetar, seolah menahan sesuatu.

"Sakit ya sayang?" tanyaku khawatir.

Nana menggeleng cepat. "Geli mas,' jawabnya kemudian.

Pengakuannya semakin membuatku bergairah.

"Kalo gini gimana?" godaku.

Kali ini kujadikan puting kecokelatan Nana sebagai sasaran, pelan memilinnya, penuh perasaan. Reaksi siswiku itu tepat seperti yang kubayangkan. Tubuhnya bergoyang dan menyentak-nyentak menahan rangsangan. Bersamaan, desahnya kian terdengar. Dia refleks memegangi tanganku, namun tak berusaha menyingkirkannya.

Setengah jam berlalu, menurut perkiraanku sekitar ¼ jam atau 10 menitan lagi akan masuk waktu istirahat dan setelah itu kebersamaan kami siang itu hanya tersisa 1½ jam. Waktuku tak banyak. Padahal aku masih ingin berlama-lama menikmati tubuh Nana.

Selama ½ jam itu pula aku telah berhasil melucuti seluruh pakaian Nana, hanya menyisakan kerudung putih yang masih menutupi kepalanya. Aku sendiri telah melepas kemejaku, berikut kaus dalam yang kukenakan, dan bertelanjang dada di depannya.

Tak hanya berhasil menelanjangi Nana, aku pun dengan penuh birahi bergerilya di tubuh gadis itu. Menjelajahi leher, dada, hingga payudaranya dengan lidah dan mulutku. Berhati-hati agar tak meninggalkan bekas cupangan.

Bersamaan, kedua tanganku tak tinggal diam. Membelai mesra punggungnya hingga dia bergelinjang dan mengerang, serta meremas gemas kedua bongkah pantatnya yang montok. Namun itu semua tak mampu meredakan birahi yang kurasakan.

"Nana mau diapain lagi mas?"

Meski setelah yang terjadi selama ½ jam belakangan ini, Nana masih saja terdengar takut dan khawatir. Aku tak menyalahkannya, apalagi dia pasti sudah menebak apa niatku yang membimbingnya agar duduk di tepi ranjang.

"Mau kasih kamu enak," godaku.

Usai mengatakan itu aku berlutut di depan Nana, kedua tanganku memegang lututnya, dan lembut berusaha membuatnya mengangkang. Tentu saja dia menahan upayaku, bahkan mencoba semakin merapatkan paha. Aku bisa lihat ekspresinya yang semakin ragu dan takut saat aku mendongak untuk memandang wajahnya.

"Jangan takut sayang. Mas cuma mau liat koq," bujukku.

Nana jelas tak percaya kata-kataku. Meski begitu dia tak lagi menahan saat aku kembali mencoba membuatnya membuka paha. Untuk pertama kali dalam hidup, aku pun bisa melihat langsung bagaimana bentuk kemaluan seorang wanita, yang selama ini hanya bisa kusaksikan dari film-film bokep.

"Wow!!!"

Entah berapa kali aku sudah mengucapkan kata-kata itu, selama seharian ini. Mau bagaimana lagi? Aku kehabisan kata-kata untuk menjelaskankan apa yang kusaksikan. Jika dipaksa menggambarkan, aku hanya mampu bilang bahwa memek Nana membelah indah dengan daging kecil mencuat di ujungnya dan dihiasi rambut-rambut halus.

Maaf saja kalau apa yang kugambarkan terdengar umum.

Hal pertama yang terlintas di pikiranku saat melihat memek Nana adalah aku ingin merasakannya, dan tepat seperti itulah yang kulakukan. Menahan lutut kekasihku agar tetap mengangkang, wajahku maju dengan cepat, mulutku membuka, dan lidahku menjulur.

Nana yang jelas tak siap, menjerit kecil saat lidahku menyapu belahan memeknya, diikuti hisapan mulutku di klitorisnya. Kedua tangannya refleks menjambak rambutku, berusaha menjauhkan kepalaku dari selangkangannya.

Aku bertahan sekuat tenaga sembari terus menjilat dan menghisap. Selama beberapa saat Nana terus berusaha menjauhkan kepalaku, namun akhirnya dia tahu takkan bisa menghentikanku. Selain itu, pastinya kekagetannya telah mereda dan dia mulai bisa menikmati rangsanganku.

"Uuhhh.. Mas udah mas... Nana nggak tahan."

Setelah beberapa menit, Nana akhirnya mengiba. Tapi aku tak memperdulikannya, bahkan semakin buas. "Jangan ditahan sayang. Lepasin aja,' ujarku di sela aksi.

Aku terus mengoral Nana. Yakin dia telah pasrah, kedua tanganku beralih untuk meainkan kedua payudaranya. Meremas dan tak jarang memilin putingnya. Gadis itu sendiri telah mencondongkan tubuhnya ke belakang, bertumpu pada kedua tangan. Tubuhnya terus bergerak belingsatan, sesekali perutnya terangkat melenting tatkala aku menghisap sedikit kuat, lalu memutar pinggul ketika lidahku menyusuri belahan memek dan klitorisnya.

Hingga...

"Maaasss... udah. Mass.. A-aku... Aaagghhh..."

Nana tak mampu melanjutkan kata-katanya saat tiba-tiba tubuhnya mengejang-ngejang, perutnya kembali melinting terangkat lalu kaku. Bersamaan aku bisa merasakan cairan hangat mengalir deras semakin membasahi lidah serta mulutku. Aku tak tahu pasti, namun aku yakin dia mengalami orgasme pertamanya. Penuh semangat, kuhisap semua cairan cinta itu.

Aku ingin menceritakan bahwa usai orgasme Nana oleh permainan oralku, gantian dia yang mengoral kontolku, disusul aku yang akhirnya berhasil memerawani pacarku, itulah niatku. Sayang sekali hal itu tak terjadi karena baru saja aku hendak meminta itu, bel berakhirnya istirahat sekolah berbunyi.

Kaget, kami pun tergesa-gesa merapikan pakaian dan langsung keluar ruangan. Nana lalu kembali ke kelasnya, sedang aku sendiri ke ruang guru untuk menyiapkan diri mengajar di kelas berikutnya. Tentu saja dengan birahi yang menggantung belum terpuaskan.

***​
Maaf para suhu, ada bagian terlewat.
:ampun::ampun::ampun:
Udah direvisi.
Sekali lagi. Mohon maaf
:ampun::ampun::ampun:
 
Tanpa banyak bacot. Silahkan dilanjut :)

"Kenapa mas nggak cerita?" tanya Nana sore hari itu, selepas ashar, sekitar jam ½ 4 sore, saat kami bertemu di tempat biasanya. Dari ekspresi dan nada suaranya, aku tahu dia marah.

Hari itu sendiri adalah terakhir kegiatan belajar mengajar di semester ini, terhitung mulai hari senin sekolah akan mengadakan ujian tengah semester (UTS). Tak ada lagi yang bisa kuajarkan pada siswa-siswi di depanku ini, termasuk Nana, karena itu aku manfaatkan waktu yang ada untuk me-review apa yang telah kuberikan sekalian memberi tes kecil.

Keseluruhan, aku puas dengan hasilnya dan aku pun membubarkan kelas lebih awal dari biasanya.

"Kan aku udah cerita, tadi waktu di kelas," aku coba bercanda.

Sebagai balasan, selama beberapa menit, Nana terus mengomel. Intinya dia tak terima karena aku tak langsung cerita padanya dan dia harus mendengarnya di kelas. Dia juga memprotes rencanaku untuk kembali ke Ibu Kota, yang berarti meninggalkannya.

"Terus aku gimana?" Nana mulai terisak.

Aku tersenyum lalu memeluknya, mengatakan kami masih bisa berhubungan meski berjarak. Kujelaskan pada Nana keputusan ini kuambil demi kebaikan kami. Aku ingin bisa mengakui dia sebagai kekasih. Satu hal yang sulit dengan status guruku. Selain alasan itu, aku juga bercerita bahwa sebenarnya aku telah mendapat panggilan kerja.

"Kalau semua lancar, aku janji akan balik ke kamu untuk jadiin kamu milikku seutuhnya," tutupku berjanji.

Tangis Nana perlahan mereda dan aku melepas pelukan. Kupegang lembut sisi wajah Nana agar kami saling memandang, dan kubisikkan kata-kata rayuan.

"Nana juga cinta mas," jawabnya lirih. "Sangat."

Sembari tersenyum, kuhapus air mata Nana dengan jemari sembari kembali mengatakan bahwa aku mencintainya. Wajahku kemudian maju, lembut menyentuh bibirnya, dan kami pun mulai berpagutan.

***​

"Mas mau nggak besok maen ke rumah?"

Saat itu malam minggu. Aku dan Nana kembali 'kencan' via video call (vc).

"Emang nggak papa?" tanyaku. "Udah siap nih ngenalin aku ke ortu (orang tua)?"

"Lagian besoknya kamu kan ujian. nggak belajar?"

Nana menjawab kedua ortu serta saudaranya sedang keluar kota untuk acara keluarga. Dia tak ikut karena sebentar lagi ujian dan sejak kemarin (Jumat) sendirian di rumah

"Nanti kalo aku ke sana kamu malah nggak bisa belajar."

"Justru. Kan ada pak guru yang mau ngasih kursus gratis," balas Nana.

Aku jelas tergoda undangan Nana. Apalagi setelah mengetahui dia sendiri di rumah, pikiran kotor langsung timbul di benakku. Tapi sayangnya besok pagi aku sudah harus ada di bandara untuk pulang kampung. Setelahnya, siap-siap untuk mengikuti wawancara kerja di hari Senin.

Nana terlihat kecewa, namun dia tak memaksa.

Mendengar bahwa Nana saat ini sendirian saja di rumahnya, sebuah pemikiran gila tiba-tiba muncul aku pun lanjut bertanya, "gimana kalo aku ke sana sekarang?"

"Ye ngarep. Bisa-bisa nanti digerebek warga," sahut Nana.

Aku juga tahu itu. Walau memang berharap, aku tak benar-benar serius, sekadar bercanda saja. Hanya saja hingga kami mengakhiri VC, ide gila itu tak bisa kusingkirkan. Apalagi aku mulai membayangkan berduaan saja dengan Nana di rumahnya.​

***​
 
Terakhir diubah:
Eng... Ing... Eng....

TUUTTT... Tuuttt... Tuuttt..

Aku dengan sabar mendengarkan nada panggil di hape-ku, berharap Nana segera mengangkat dan menjawab. Butuh tiga kali mencoba sebelum akhirnya tersambung. Dari nada suaranya yang membalas salamku, jelas dia masih mengantuk karena baru terbangun oleh telepon dariku.

"Aku ada di depan," ujarku kemudian.

"Di depan?"

"Iya. Aku ada di depan rumah kamu," tegasku.

"Beneran?" tanya Nana tak percaya, suaranya tak lagi terdengar mengantuk. Aku pasti telah berhasil membuatnya benar-benar terjaga.

Aku kembali menegaskan bahwa aku tak bercanda. Aku memang ada di depan rumahnya. Saat itu juga hubungan telepon kami terputus, kuduga Nana dengan panik bergegas keluar untuk membuktikan, dan benar saja, tak lama sosoknya muncul dari balik pintu depan. Dengan kunci di tangan dia buru-buru menghampiriku.

"Gila kamu mas," omel Nana. "Jam berapa nih?!"

"Setengah-satuan," aku menjawab santai sembari tersenyum jail.

Bukan hanya kepanikan Nana yang membuatku tersenyum, namun lebih karena melihat penampilannya saat itu, berbalut kemeja putih berbahan tipis yang lengannya tergulung ke atas, tanpa apapun menutupi bagian bawah tubuhnya.

Hanya dua kancing tengah kemeja Nana yang terkait, hingga aku sempat mengintip belahan payudaranya sebelum dia memegangi bagian dada kemejanya, menutupi pemandangan indah itu.



Meski menutupi dada, Nana tak berupaya menutupi bagian bawah tubuhnya, atau bisa jadi tak sepenuhnya sadar bahwa bagian itu terbuka dan memamerkan dalaman hitamnya. Gairahku seketika bangkit membayangkan 'kenikmatan' di balik CD hitam itu.

Aku tak tahu apakah tadi dia tergesa-gesa keluar, menyambar pakaian terdekat, dan mengenakannya sebelum keluar? Ataukah dia memang tidur dengan kemeja itu? Yang pasti dia dalam keadaan topless saat VC denganku.

"Gimana kalo ada yang liat kamu dateng?" Nana masih saja mengomel.
"Kayanya sih bakalan ada yang liat kalo kamu nggak buru-buru ngasih aku masuk," godaku.

Nana membuka gerbang untukku sambil menggerutu, kembali menutup dan mengunci setelah aku masuk. Dia lalu meraih tanganku, menarikku dengan langkah cepat ke dalam rumah, dan baru melepasku saat kami sampai di ruang tamu.

"Duduk mas. Aku buatin minum dulu," ujarnya, masih berwajah kesal.

Aku lalu melepas jaket dan tas ransel yang kubawa, meletakkannya di atas meja tamu. Namun aku tak mengikuti permintaan Nana untuk duduk dan justru menyusulnya ke dalam. Sambil lalu, aku pun memperhatikan situasi rumah itu.

Cukup mewah, itulah kesan yang kudapat saat tadi memperhatikan rumah berlantai 2 itu di luar. Kesan yang kian terasa ketika aku telah berada di dalam.

Lantai bawah, tempatku berada, terdiri atas satu ruangan besar. Kecuali ruang tamu dan ruang tengah yang dipisah oleh sebuah lemari kaca besar, keseluruhan ruangan tampak menyatu, di bedakan fungsinya antara ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, serta dapur, dengan perabotan yang mengisinya.

Aku perhatikan hanya ada sebuah pintu lain di sana, tepat di sebelah dapur, jadi aku menduga seluruh kamar tidur (termasuk kamar Nana) ada di atas. Tangga menuju ke atas sendiri berada di sisi lain dapur.

Pigura-pigura dalam berbagai ukuran menghias dinding, berisi lukisan serta foto-foto anggota keluarga. Aku sendiri hanya memperhatikan sambil lalu, langsung menuju dapur, dan mendekati Nana yang sibuk membuatkanku minuman. Dia menoleh, merasakan aku menghampiri, kemudian kembali sibuk.

"Mau dibikinin apa mas?" tanya Nana.

"Nggak usah repot-repot Na," jawabku.

Aku terus berjalan, memutari meja konter dapur, dan berdiri di belakang Nana. Tanganku terulur dan memeluknya dari belakang. Sengaja menempelkan tonjolan di balik celanaku yang mengeras. "Aku maunya kamu," bisikku di telinga Nana.

Nana mengeluh manja. Separuh hati berusaha melepaskan diri. Aku lembut memutar tubuhnya agar kami saling berhadapan. Wajahku maju untuk mencium bibirnya, namun dia menghindar, dan mendorongku pelan.

"Kenapa sih? Nggak suka ya aku dateng?" tanyaku.

"Bukan gitu mas." ujarnya, lalu Nana kembali mengungkapkan kekhawatiran andai ada tetangganya yang melihatku berkunjung di waktu semalam itu. Apalagi mengingat dia sendirian di rumah.

"Nanti pagi, jam 9an, aku udah harus di bandara," aku mulai berbicara. "Aku nggak tau kapan kita baru bisa ketemu lagi. Aku cuma pengen bisa berduaan sama kamu, sebelum kita berpisah."

Ekspresi Nana melunak oleh kata-kataku, juga terlihat sedih. Lirih dia mengaku jika dia juga ingin bersamaku, kalau bisa dia tak mau aku meninggalkannya dan pulang ke kota asalku. Tapi dia mengerti aku harus melakukannya.

"Kalo gitu kamu ngijinin aku di sini, bersama kamu?"

Nana mengangguk pelan dan dengan itu aku kembali merapatkan diri dan memeluknya. Dia menyambut dengan melingkarkan tangan ke belakang leher dan bibir kami pun bertemu, singkat namun panas, sebelum aku menarik diri.

"Aku cinta kamu," ujarku, meraih jemarinya dalam genggamanku, yang Nana balas dengan malu-malu.

Mendengar itu aku tersenyum, menggandeng Nana, dan membimbingnya menuju sofa panjang lalu duduk di atasnya. Masih memegangi jemarinya, aku tarik dia lembut, isyarat agar dia duduk di pangkuanku. Meski malu-malu, Nana mematuhi dan kembali merangkulkan tangan di leherku. Tak lama, bibir kami mulai berpagutan lagi.

Ciuman kami berlangsung panas dan liar. Saling menghisap serta menautkan lidah. Bersamaan birahiku kian tak tertahankan. Membuat kemaluanku yang masih terbungkis celana dan CD seakan kian mengeras. Aku yakin Nana sadar dengan hal itu, apalagi dalam posisi ini, kontolku tepat berada di selangkangannya.

Aku sendiri beberapa saat kemudian mulai meremas pantatnya dengan gemas, dengan sengaja membuat Nana bergerak maju-mundur hingga kemaluan kami saling bergesekan. Bahkan seiring waktu, aku tak perlu lagi 'bekerja keras' karena Nana mulai bergerak sendiri menggesek-gesekkan selangkangannya.

"Haahhh... Geli mass.." keluh Nana saat pagutanku mulai menyasar lehernya.

Tak hanya memagut, aku juga menciumi, menjilat, serta menghisapnya lembut. Berhati-hati agar tak meninggalkan bekas cupangan. Namun itu semua tak lagi cukup bagiku. Birahiku menuntut lebih. Sigap jemariku berpindah ke depan dan dengan lincah menanggalkan kancing kemeja Nana. Tujuanku hanya satu.

Nana dengan pasrah membiarkan, bahkan membantu, hingga akhirnya kemeja itu berhasil kusingkirkan dari tubuhnya.

Sejenak aku nikmati momen itu. Memandangi ketelanjangan Nana yang sangat indah. Sekejap kemudian, lidah dan mulutku pun beraksi. Melahap payudaranya dalam birahi, bergantian kiri dan kanan.

"Aahhh... hahhh.. Masss... Uuhhh..."

Nana mulai mengerang, desahannya kian keras. Dia mulai menjerit kecil saat dengan gemas jemariku mulai memilin putingnya dan sesekali meremas payudaranya, membuatnya bergelinjang dan melenting.

Aku terus mencumbu Nana. Bibir, leher, serta payudaranya. Tak satupun lolos dari rangsangan lidah dan mulutku.

Satu waktu, saat mulutku sibuk menghisap payudara Nana, aku memutar tubuhku, membawanya ikut berputar hingga kami bertukar posisi. Nana duduk di sofa dengan paha mengangkang, sedang aku merunduk menikmati busungan indahnya.

Aku lalu menarik diri, berdiri tegak di depannya, memandanginya yang tampak terengah-engah dengan wajah memerah.

"Kamu indah sekali," aku memujinya.

Nana tersenyum malu oleh pujian itu. Menatapku sayu saat aku berlutut setelah sebelumnya menggeser meja agar memberi ruang. Kedua tanganku lalu terulur meraih CD hitamnya. Dibantu kekasihku itu, yang mengangkat pantatnya untuk memudahkanku, dia pun sepenuhnya bugil untukku.

Ini kali kedua aku melihat langsung memek Nana. Berbeda dengan saat di sekolah dulu, kemaluan kekasihku itu kini terlihat mulus, tercukur bersih. Aku lah yang memintanya di salah satu chat kami, sekadar bercanda saja, namun ternyata dia menurutiku.

"Jangan diliatin mulu napa. Nana malu tau," protesnya karena aku terus memandang belahan itu.
"Terus maunya diapain?" godaku.

Nana tak menjawab. Tampak malu oleh pertanyaanku.

"Kalo dibeginiin boleh?"

Tanganku maju, menyasar pada memek Nana, yang tersentak dan mendesah oleh sentuhanku. Tak ada upaya darinya untuk menghentikanku, maka aku mulai menyusuri belahan kemaluannya dengan jariku. Dia pun mulai bergelinjang.

"Maasss..." panggilnya lirih.

Masih memainkan jemari, aku minta Nana melebarkan kangkangan, yang dipatuhinya dengan malu-malu. Aku kemudian menunduk, wajahku maju, dan dalam waktu singkat lidahku mulai menjilati memeknya. Kekasihku menyambut permainan oralku dengan jeritan kecil.

Aku tak ingat berapa lama aku mengoral memek Nana, dugaanku lebih singkat dibanding pertama kali dulu. Pacarku sendiri kian belingatan oleh permainanku, bergelinjang hebat, melenting, dan memutar-mutarkan pantat, yang sedikit menyulitkanku. Hingga... diawali oleh satu jeritan terkerasnya, aku berhasil membuat Nana orgasme. Dengan buas, kuhisap semua cairan yang keluar sebelum menarik wajahku lalu berdiri.

Sambil memandangi Nana yang terengah-engah dan menatapku sayu, dengan tergesa-gesa aku menarik kaus yang kukenakan ke atas kepala, melapas, dan melemparkannya ke sofa lain. Tak berhenti sampai di situ, aku kemudian mulai menanggalkan celana panjangku, bersamaan dengan CD yang kukenakan.

Malu dan risih, Nana pun memalingkan wajah. Namun aku memegang dagunya lembut, kembali menghadapkan wajahnya ke depan.

"Kamu suka?" godaku.

Nana tak menjawab. Hanya bergerak-gerak kecil dengan salah tingkah, jelas terlihat jengah. Meski begitu dia tak lagi memalingkan wajah.

Aku lalu kembali berlutut, memposisikan diri di antara paha Nana yang kutahan agar tetap mengangkang, lalu bergeser maju sembari menggenggam kontolku mengarahkannya ke memek Nana. Dia sendiri masih memandang lekat kontolku.

Pandangan sayunya kian membesar saat kontolku semakin dekat. Ekspresinya yang penuh birahi mulai disertai kekhawatiran dan rasa takut. Nana pun terkesiap saat akhirnya kontolku menyentuh belahan memeknya. Refleks dia bergerak cepat, memegangin tanganku dan menahan kontolku.

"Kenapa sayang?" tanyaku lembut.

"Nana takut mas," jawabnya. "Nana nggak tau apa Nana udah siap."

Aku mendesah, sengaja menunjukkan kekecewaanku. Nana tentu bisa melihat hal yang sama pada ekspresiku yang juga mengiba. Namun aku takkan memaksa andai dia memang belum siap. Aku lalu bangkit dan duduk di sebelahnya. Kutarik Nana agar duduk di pangkuanku lagi dan membisikkan kata-kata cinta padanya.

"Aku akan tunggu sampai kamu siap," tegasku.

Beberapa waktu berselang. Sambil memangku Nana, aku terus mencumbunya. Menikmati bibir, wajah, telinga, hingga kedua payudaranya. Tanganku tak tinggal diam. Kubelai punggung hingga pinggulnya, meremas kedua pantatnya, juga payudaranya. Tak jarang jemariku memilin puting kekasihku itu.

Nana tak berdiam diri. Dia terus menggerakkan pinggul dan pantatnya maju-mundur. Sengaja menggesek-gesekkan belahan memeknya pada kontolku. Mungkin dia berharap mampu memuaskanku dengan cara itu. Sayangnya hingga aku mohon diri sekitar ½4 pagi, orgasmeku tak kunjung datang.

Andai saja kami punya lebih banyak waktu. Tapi jika aku tak pamit saat itu, aku khawatir para tetangga Nana akan terlebih dahulu bangun, dan kemungkinan besar melihatku keluar dari rumahnya.

Dini hari itu, kami pun berpisah. Diiringi Nana yang meneteskan air mata. Mungkin juga ada penyesalan karena tak mampu memenuhi keinginanku.​

***​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd