Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nana, Muridku

Dan inilah yang dinanti2kan, The finale, dengan harapan cucu2 di semprot puas dengan hasil karya Mbah.

PING!!!

Sebuah pesan masuk di WA-ku dan aku tersenyum saat melihat siapa pengirimnya, Nana, kekasihku.

Setengah tahun lebih berlalu sejak perpisahan kami di teras rumah Nana dan selama itu pula kami belum pernah bertemu lagi. Setidaknya secara langsung karena kami masih terus berhubungan lewat WA dan Skype.

Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, satu alasanku meninggalkan Nana dan kembali ke kota asalku adalah untuk menghandiri panggilan kerja, dan aku beruntung karena semua berjalan lancar. Aku bahkan langsung menjadi karyawan tetap. Sayang setelahnya, aku sulit mencari waktu untuk mengunjungi kekasihku itu.

Tentu saja aku merindukan Nana, sebagaimana dia sering mengungkapkan kerinduannya. Rasa itu pula yang kemudian membuatku mengajukan cuti kerja lalu berangkat dengan penerbangan pertama ke kota dimana kekasihku berada dan tiba sekitar jam 2 siang.

Hanya kunjungan singkat, besok siang aku sudah harus kembali ke kotaku. Sekadar memberi kejutan pada Nana di hari ulang tahun (ultah) dia yang ke-19.

'Kamu beneran ada di sekolah?' tanya Nana.

Hilang sudah kejutanku untuknya. Mau bagaimana lagi, setelah tanpa sengaja bertemu beberapa mantan muridku, saat aku datang ke sekolah itu, tinggal tunggu waktu sebelum tersebar dan sampai ke telinga Nana.

Ya sudahlah, tak ada alasan buatku menyembunyikan, maka aku mengakui. Sekalian saja aku mengatakan alasanku datang, untuk merayakan ultah-nya.

"Serius tuh?"

Aku mengangkat wajahku dari layar hape dan melihat ke depan, pada sosok wanita muda berjilbab yang duduk di kursi, di balik meja kantor.

Namanya Ratri, ibu kepala sekolah sekaligus adik sepupuku. Dia merupakan puteri tunggal pamanku, sang kepala yayasan. Meski usia kami sebaya, dia merupakan lulusan terbaik berpredikat cum laode dari universitas negeri berbasis pendidikan.

"Kenapa enggak?" aku balik bertanya, mengerti arah pembicaraan kami.

"Pakde sama bude tau?"

"Belom," jawabku. "Baru lo yang tau."

Selama dua jam berikutnya aku pun menghabiskan waktu mengobrol dengan Ratri. Lebih tepatnya diinterogasi oleh calon doktor itu mengenai hubunganku dengan Nana. Kupikir tak ada lagi yang harus kusembunyikan, toh aku memang selalu terbuka dengan sepupuku itu.

Bel yang mengakhiri kegiatan belajar mengajar di hari itu pun berbunyi. Mendengar itu aku bangkit berdiri dan mohon diri. Sejenak, sebelum melangkah keluar, aku meminta Ratri untuk merahasiakan, "biar gue yang bilang sendiri, kalo waktunya pas," ujarku.

"Nanti mampir ke rumah nggak?" tanya Ratri.

"Kayanya enggak. Besok gue balik ke Jakarta," jawabku.

"Trus nanti malem?"

Aku menjawab dengan senyuman jail. Ratri hanya menggeleng-geleng melihatnya, dan aku segera bergegas menuju kelas Nana.

Sudah setengah tahun, betapa waktu berjalan cepat, sekaligus terasa lambat. Masih segar diingatanku bagaimana dulu, di sekolah itu, aku dan Nana menjalin kasih sembunyi-sembunyi. Sesuatu yang tak perlu lagi kulakukan mulai hari ini.

Aku tiba di depan kelas Nana tepat saat guru di dalam membubarkan kelas. Sejenak mengintip ke jendela mencari sosok kekasihku itu dan mendapatinya tengah merapikan peralatan mengajar.

Nana terlihat sama seperti yang biasa kulihat saat VC. Mungkin tidak. Setelah melihatnya langsung seperti ini, walau lewat jendela, aku bisa mengenali beberapa perubahan, yang tak kuperhatikan saat kami online. Dia lebih terlihat anggun dan dewasa.

"Pak Tama!!!"

Terjadi kehebohan begitu kelas bubar dan beberapa murid keluar mendapatiku berdiri dekat pintu. Tak lama aku pun dikerumuni beberapa mantan murid yang langsung mengenali dan memberondongiku dengan salam dan pertanyaaan tentang alasanku datang. Aku juga menyempatkan diri menyapa dan berbasa-basi dengan guru yang baru saja mengajar di kelas itu, sebelum dia berlalu menuju ruang guru.

Dan akhirnya sosok yang kudambakan muncul, tampak tergesa-gesa keluar kelas, pastinya mendengar kehebohan kedatanganku. Namun Nana tak langsung menghampiri, berdiri tak jauh dari ambang pintu kelas, dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. Kupikir hingga saat ini dia belum memberitahu siapapun tentang hubungan kami, kecuali dua orang temannya yang terlihat senyum-senyum menggoda.

Seperti yang telah kukatakan, tak ada lagi yang perlu kusembunyikan. Aku bukan lagi guru Nana. Menerobos beberapa murid yang mengerumuni, aku pun mendekati kekasihku itu dan berdiri tepat di hadapannya.

"Selamat ulang tahun," ucapku tersenyum.

"Aku punya hadiah buat kamu," lanjutku. "Tapi nanti aja ya."

Usai mengatakan itu, aku meraih tangan Nana, lalu memutar pandangan pada para murid, dan tersenyum. "Maaf ya anak-anak. Bapak mo nganter Nana pulang dulu. Senang bisa ketemu kalian lagi."

Tanpa mempedulikan wajah mantan murid-muridku, yang jelas terlihat bingung, dan di antaranya mulai berbisik-bisik, aku mengandeng Nana meninggalkan tempat itu.

Aku memang mengatakan akan mengantar Nana pulang, tapi tidak langsung, sebelumnya aku mengajak dia menuju ruang kepala sekolah dulu. Aku ingin dia bertemu dengan Ratri. Kami mengobrol bertiga selama sekitar setengah jam sebelum saling undur diri.

"Kira-kira hari ini kamu bisa pulang telat nggak?" tanyaku saat keluar gerbang sekolah.

"Pengen kangenan sama kamu," lanjutku menjawab pertanyaan Nana tentang apa rencanaku.

Sesaat kemudian dia menelepon orang rumah, meminta ijin ortunya, dengan alasan merayakan ultah bersama teman-temannya. Aku hanya tersenyum dengan kebohongannya.​

***​

"Masuk Na," tawarku pada Nana, yang sejak aku mengajaknya ke hotel tempatku menginap malam ini, tampak ragu-ragu. Mungkin juga merasa khawatir.

Memang sih aku bisa saja menginap di rumah pamanku, tapi itu berarti aku tak bisa berduaan saja dengan Nana. Walau aku cukup yakin malam ini juga berita tentang hubunganku dan Nana akan tersebar di keluargaku. Tentu saja pelakunya Ratri.

Aku kembali mengajak Nana masuk, namun dia tetap bergeming, maka kuraih tangannya, dan lembut menariknya ke dalam. Aku baru melepasnya saat menutup pintu kamar hotel yang langsung terkunci otomatis. Aku lalu berbalik, tersenyum pada Nana yang memandangku dan membalas kikuk.

"Kamu mau minum?" tawarku menuju mini bar.

Sambil berlalu aku meletakkan ransel yang kubawa di atas sofa panjang sedang Nana masih saja bergeming tak jauh dari pintu, matanya berputar memperhatikan sekeliling kamar hotel itu. Kurasa ini pertama kali baginya check in ke sebuah hotel. Apalagi bersama seorang lelaki yang notabene bukan muhrimnya. Karena itu aku tak menyalahkan jika dia merasa gugup.

Hotel itu sendiri berlokasi tak jauh dari bandara. Sengaja agar memudahkanku pulang esok harinya. Jujur saja, ini juga pertama kali bagiku menginap di sebuah hotel. Awalnya aku sendiri gugup saat proses booking di lobi. Aku bisa melihat tatapan aneh staf hotel karena aku membawa Nana, namun dia tak berkomentar apa-apa.

Harus kuakui, untuk sebuah kamar kelas 2, kamar itu termasuk mewah dan luas. Di salah satu sudut, terdekat dengan pintu, di lengkapi meja kecil dan sebuah sofa panjang dimana aku sebelumnya meletakkan tasku. Berhadapan dengan sofa itu terdapat sebuah mini bar, lengkap dengan kulkas kecil.

Sebuah ranjang mewah dengan sprei putih bermotif kotak-kotak cokelat terlihat di sudut terjauh kamar, dekat dengan jendela besar yang menghadap ke jalan, di sebelahnya ada sebuah lemari pakaian berpintu cermin besar.

Sudut terakhir, di kanan pintu masuk, merupakan bilik mandi dan toiket. Dindingnya sendiri berupa kaca embun sehingga kita bisa melihat siluet siapapun yang berada di dalamnya. Kaca yang serupa memisahkan antara shower tempat mandi dengan toilet.

"Maaf nih Na. Minumannya beralkhohol semua," seruku pada Nana. "Atau kamu mau dipesenin minum ke lobi?"

"Nggak usah mas," jawab Nana.

"Trus kamu mo minum apa?" tanyaku.

Tak ada jawaban dari Nana. Kuputuskan memesankan dia minuman soda. Aku sendiri tak punya masalah dengan minuman yang ada, toh kadarnya kecil.

Tak lama aku menghampiri pacarku itu dengan dua botol minuman di tangan, meletakkannya di meja, lalu duduk. Nana mengikuti, duduk di sebelahku, dan menjaga jarak. Aku hanya senyum-senyum melihatnya menaikkan alis saat aku mulai menengguk minuman yang kubawa. Jelas dia keberatan, namun tak memprotes.

Sekitar sepuluh menit berselang dengan kami saling diam dalam kecanggungan. Saat itulah interkom dalam kamar berbunyi, aku bergegas bangun, menduga yang datang adalah room service hotel yang membawakan pesananku. Benar saja, usai memberi tip, aku pun kembali pada Nana.

"Diminum Na," ujarku. "Aku tinggal sebentar ya. Dari sejak tadi siang belom mandi neh. Nggak enak lengket."

Iseng, aku menggoda Nana, mengajaknya mandi bersama. Dia menjawab dengan menjulurkan lidah, meledek. Aku sediri hanya tertawa melihat itu lalu beranjak menuju ranjang dan dengan santai mulai melepas seluruh pakaianku satu persatu.

Dari tempatnya duduk, aku yakin pacarku itu bisa melihat jelas aksiku berbugil ria. Aku pun melirik sejenak, melihatnya menunduk malu dengan wajah memerah.

Mau tak mau aku merasa geli. Dua kali aku menelanjangi Nana secara langsung, juga membawanya menggapai orgasme dengan permainan oralku. Kali kedua aku bahkan ikut bugil bersamanya dan nyaris memerawani kekasihku itu. Belum lagi video-video chat kami yang penuh erotisme.

Setelah semua itu, gadis ini masih saja malu-malu dan jengah melihatku telanjang.

Aku menggodanya lebih jauh, sengaja memamerkan kontolku yang mengacung keras sejak perjalanan ke hotel, saat dengan santai melangkah ke bilik mandi. Aku sempat melihat pacarku melirik dari sudut matanya sebelum kembali menunduk malu. Tak lama kemudian, aku pun telah ada dalam bilik. Menikmati air yang memancar dari shower dan menyegarkan tubuhku.

Cukup lama aku ada di dalam. Saat aku keluar, kali ini dengan handuk melilit di pinggang, Nana sudah berpindah dari sofa dan berdiri dekat jendela memandang keluar, tak sadar aku telah selesai lalu menghampirinya dari belakang. Dia tersentak kaget saat aku memeluknya lalu me.berontak manja.

"Aku kangen kamu," ujarku lalu membalik tubuh Nana agar kami berhadapan.

Sambil melingkarkan tangan merangkul leherku, Nana membisikkan kata-kata yang sama. Tidak lama kemudian bibir kami pun bertemu. Tak ada permainan lembut atau romantisme. Begitu kami mulai berciuman, kami melakukannya dengan panas dan buas, menumpahkan segala kerinduan dan hasrat.

Kami saling menghisap dan mengulum. Lidah kami berkejaran, berusaha saling mengaitkan, dengan nafas terengah-engah. Nana semakin mempererat pelukannya di leherku, sedang aku sendiri membelai-belai punggungnya, lalu turun menyasar pantat pacarku itu.

Aku menyadari sesuatu setelah mulai membelai pantat Nana, aku tak bisa merasakan garis CD-nya. Entah dia tak memakainya, atau dia menggunakan semacam hotpants tanpa jahitan. Kurasa sebentar lagi aku akan mengetahui. Dengan pemikiran itu, aku menarik ciuman dan tubuhku darinya.

"God, i really miss you," ujarku terengah-engah lalu membisikkan kata-kata cinta.

"I love you too," balas Nana.

Kami saling berpandangan. Nana tersenyum malu-malu, melirik ke bawah. Aku bukan tak sadar jika saat kami berciuman, handuk yang melilit di pinggangku terlepas dan jatuh ke lantai. Tak ada lagi yang menghalangi kontol kerasku untuk mengacung bebas.

Tanganku kembali bergerak, hendak meraih kerudung Nana yang masih menutupi hingga ke bawah dada, namun aku berhenti sejenak saat hendak menyampirkannya ke belakang punggung pacarku.

"Boleh?" aku meminta ijin sembari memandang Nana.

Nana mengangguk pelan dengan wajah kian merona dan aku berhasil menyingkirkan kerudung itu dari dadanya. Apa yang kulihat setelah itu, nyaris membuatku tercekat. Jelas sekali dia tak memakai bra di balik seragam putih yang dikenakannya. Aku memandang Nana, mataku bertanya. Dia membenarkan dengan anggukan malu-malu.

"Aku buka ya," aku kembali meminta ijin.

Tak ada jawaban dari Nana yang menunduk oleh permintaan itu. Kutangkap diamannya sebagai ijin. Apalagi dia tak menghentikan saat dengan cekatan aku melepas kaitan kancing seragamnya satu persatu, dan busungan indah Nana pun terpampang hanya untukku.

"Hhhhhh..." Nana mendesah saat telapak tanganku menyentuh payudaranya.

"Geli," keluhnya manja.

Mendengar itu aku menjadi semakin bergairah. "Yang di bawah nggak pake daleman juga ya?" tanyaku nakal.

Nana membenarkan. Lirih mengatakan bahwa dia melepas seluruh dalaman saat mendengar aku datang ke sekolah. Tentu saja aku senang, sampai-sampai aku tak kuasa menahan diri untuk kembali memeluk dan menciumnya. Dia sendiri menyambut dan membalas antusias.

"Hhmmppp... Hhhhh...." kami sama-sama mendesah, nafas hangat Nana menerpa wajahku.

Tanpa melepas pagutan, aku membimbing Nana ke arah ranjang dan mendesaknya hingga terlentang dalam tindihanku. Tanganku bergerak cepat, menarik roknya ke atas. Dia membantu dengan mengangkat pantat. Segera setelahnya, kutempelkan kontolku pada belahan memek Nana yang sudah terasa basah.

Aku terus menggesekkan kontolku, yang dengan mudah membelah belahan memek Nana dari pangkal ke ujung, seiring semakin licinnya kemaluan pacarku. Sesekali aku mengubah gerakan, mencoba menekan kepala kontolku pada mulut vaginanya.

Nana bukan tak menyadari usahaku. Tap kali aku menekan dan kepala kontolku melesak, dia menggoyangkan pantatnya hingga kembali terlepas. Beberapa kali usahaku mengalami kegagalan, namun aku tak menyerah, hingga satu kesempatan aku berhasil melesakkan ujung kejantananku lebih dalam. Dia sontak kian memberontak, berusaha melepaskan, namun justru membuat kontolku kian dalam.

"Maafin aku Na," ujarku lirih di telinganya.

Nana masih menggoyang pantat, berusaha melepas kontolku dari jepitan vaginanya. Aku sendiri secara naluri mengikuti arah gerakannya sembari menarik pelan kontolku lalu kembali melesakkan sebelum terlepas.

Aku terus berbisik di telinga pacarku, mengatakan betapa aku mencintainya, betapa aku ingin agar kami bersatu sebelum berpisah lagi. Antara rayuan serta kenikmatan gesekan kontolku, Nana perlahan mulai mengendurkan pertahanannya. Tangannya erat memelukku, meremas punggunggu kencang.

"Aahhh... Aahhh... Aahhh... Masss..."

"Enak sayang?" aku bertanya.

"Perih dikit," erangnya.

"Tahan sayang. Nanti ilang koq."

Separuh batangku keluar masuk menggesek vagina Nana. Dia sepertinya sudah mulai bisa menikmatinya. Kupikir waktunya sudah tiba. Berbisik agar dia bertahan, aku mengatur posisi. Dengan jemari kaki sebagai tolakan, aku pun menekan lebih kuat.

"Ahhh.. Masss, sakit..." keluh Nana.

Meski iba, aku terus menekan. Nana sendiri menegang, kuku-kukunya menancap di punggungku. Upayaku membuahkan hasil, seluruh batang kontolku telah mengisi liang kenikmatan pacarku itu.

Kami bergeming selama beberapa menit. Nana masih memelukku erat, namun ketegangan tubuhnya telah mengendur. Meski lirih, aku bisa mendengar dia terisak, membuatku merasa bersalah. Tapi semua sudah terjadi, yang bisa kulakukan sekarang adalah menyelesaikan apa yang telah kumulai.

Aku bangkit, menegakkan tubuh, dan menyesuaikan posisi kaki. Kupandangi Nana yang menatapku dengan mata berlinang. Lembut, kuseka air matanya.

Nana tersenyum tak yakin melihat permohonan di mataku, dan aku mulai menarik kontolku.

"Uuhhh... Pelan-pelan mas. Sakit," keluhnya.

Aku menurut, memperlambat gerakanku.

Satu kali...

Dua kali...

Nana mengerenyit menahan sakit.

Tiga...

Empat...

Lima...

Ekspresi tegangnya melunak dan aku sedikit mempercepat tarikan serta sodokan.

Sepuluh...

Lima belas... Entahlah... Aku hilang hitungan oleh nikmat yang kurasakan.

Nana jelas merasakan hal yang sama. Tak ada lagi ekspresi kesakitan di wajahnya, berganti dengan gairah. Dia terus menatapku, mulutnya membuka sedikit, dan mengeluarkan desah serta erangan. Aku kembali menindih dan menciumnya, sebelum meletakkan kepala di sisi telinganya.

"Enak sayang?" bisikku di telinganya.

Nana tak menjawab, hanya mengerang. Aku menghentak kuat dan dia menjerit tertahan. "Enak nggak?" tanyaku lagi.

"I-iya mas.. Enak banget."

"Mau diterusin atau udahan?" godaku.

"Ja-jangan.."

Aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi dari nadanya, dia pasti merasa malu.

"Jadi terus nih?"

"Iya mas. Terus mas.. Oohhh.. Jangan disetop."

"Apanya?" aku terus memancing, ingin mendengar dia memohon.

"I-itu mas. Kontol mas..." ujar Nana terengah-engah. "Jangan berenti mas. Entot Nana."

Sesuai permintaan bidadariku itu, aku pun menggenjot kiat cepat dan kuat.

Plak!!! Plak!!!

Selangkangan kami terus beradu. Nafas kami terengah-engah. Desah dan erangan terus keluar dari mulut kami masing-masing.

"Aahhh... Hahhh... Uuhhh..."

Masih memelukku, Nana tak lagi hanya pasrah. Dia menggoyangkan pantat serta pinggulnya. Kali ini berusah agar kontolku kian menggesek dinding vaginanya dan semakin memberinya kenikmatan.

Tanpa berhenti menyodok, aku kembali menegakkan badan, sedikit condong ke depan dengan kedua tangan sebagai tumpuan, di sisi kepala Nana. Sesekali salah satu tanganku atau tak jarang keduanya, meraih payudaranya dan meremas, atau bermain dengan puting pacarku itu.

"Uuhhh... Mass.. Geli.. A-aku nggak tahan.." Nana mengiba, yang justru membuatku gemas dan semakin merangsangnya. Sodokanku pun semakin cepat dak kuat.

"Oohhh... Oohhh... Ampuunn sayang... Aku nggak tahan... Uuhhh..."

Ini adalah seks pertamaku jadi aku masih hijau tentangnya. Namun dari ekspresi Nana, aku menduga dia akan mengalami orgasme. Aku sering melihat ekspresi yang sama saat kami melakukan video chat sex.

Benar saja, seketika itu juga perutnya terangkat melenting lalu kaku, kepala mendongak dengan mata terpejam, dan mulut membuka mengeluarkan jeritan. Bersamaan jemarinya mencengkeram seprai erat.

Aku sendiri menyambut datangnya orgasme Nana dengam menghujamkan kontolku sedalam mungkin lalu membiarkannya bergeming.

Aku tak merasakan seperti yang pernah kubaca dalam cerita-cerita dewasa, dimana sang cowok bisa merasakan kontolnya disembur cairan cinta sang cewek. Namun aku jelas merasakan dinding vagina Nana berkontraksi dan berdenyut cepat, seakan memijat batang kontolku. Nikmat sekali.

Setelah beberapa saat, Nana perlahan membuka mata dan tatapan kami bertemu. Aku tersenyum padanya dan dia membalas malu-malu. Kudekatkan wajah padanya, memberi dia ciuman singkat.

"Enak sayang?" tanyaku.

Nana menjawab dengan cubitan di lengan atasku.

"Mas jahat," protesnya manja.

"Iya. Mas minta maaf," ujarku. "Tapi kamu suka kan?"

Nana mengangguk malu-malu. Dia lalu meraih dan memelukku erat, memaksaku kembali menindihnya. "Mas janji kan mau bertanggung jawab?" tanya dia takut-takut.

Tentu saja aku berjanji. Setelah apa yang kulakukan, mana mungkin aku tak bertanggung jawab. Aku bukan pria seperti itu.

Aku mengatakan semua itu pada Nana. Aku tak tahu apakah telah berhasil meyakinkannya. Aku tak menunggu jawaban. Pelan tapi pasti, aku kembali menarik dan melesakkan kontolku. Perlahan dan kian cepat seiring waktu. Beberapa menit berselang, aku lagi-lagi membuat pacarku itu orgasme.

"Mo kemana mas?" tanya Nana.

Usai orgasme keduanya, aku mengangkat badan yang menindih Nana, mencabut kontolku dari vaginanya, turun dari ranjang, dan mengeluarkan hape dari tasku.

"Mo bikin kenang-kenangan," ujarku menjawab pertanyaan Nana.

Klik!!!

Aku mengambil foto Nana dengan seragam tak terkancing, rok naik hingga perut, dan mengangkang dengan memeknya yang basah licin. Nana tak memprotes, bahkan tersenyum.

Masih dengan hape di tangan, aku naik lagi ke ranjang, memosisikan diri di antara kangkangan pahanya. Mengatur kamera ke mode video, aku genggam kontolku dan mengarahkan ke liang Nana.

Blesshh!!

Terekam jelas bagaimana kontolku perlahan melesak masuk. Sejenak kuarahkan kamera ke wajah Nana yang tersenyum dengan tatapan birahi lalu kembali merekam kontolku yang keluar masuk di vaginanya. Setelah beberapa menit, aku mengubah posisi Nana, membimbingnya memiringkan kaki, paha merapat, kemudian kembali menyodoknya.



Satu waktu aku memintanya gantian memegang hape-ku, merekam aku yang sedang menyodok memeknya, lalu kembali padaku saat aku meminta Nana mengambil posisi di atasku. Di posisi ini, dia lagi-lagi mendapat orgasme.

"Cape sayang?" tanyaku, memfokuskan kamera ke wajah Nana.

"Nggak papa mas. Kamu belom keluar kan? Nana mau puasin mas," jawabnya.

Aku tersenyum dengan jawabannya. Kuminta dia bangun lalu menungging. Aku kembali turun dari ranjang, menempatkan hape-ku di atas meja dengan lensa menghadap Nana, lalu mengambil posisi di belakangnya. Aku ingin menyodoknya dari belakang.



Plak!!! Plak!!! Plak!!!

Begitu kontolku melesak, aku langsung menyodok dengan buas. Memberi hentakkan dalam tiap hujaman yang membuat Nana menjerit-jerit binal. Dia pun tak hanya pasrah, membalasku dengan memutar-mutar pantatnya. Rasanya sungguh luar biasa, membuatku semaput keenakan hingga desakan di bawah perutku kian tak tertahankan.

"Nana... Sayang," aku mengerang. "A-aku mo keluar... Heghh..."

"Tu-tunggu mas... Jangan di dalem..." ujarnya sedikit panik.

Tentu saja itu aku tak berniat begitu. Aku sangat mengerti apa risikonya jika aku keluar di dalam. Di lain pihak, aku tak tahu apakah aku mampu menahan diri saat desakan yang kurasa semakin besar. Maka aku cepat-cepat mencabut kontolku lalu bergegas pindah ke hadapan Nana, mengacungkan kontolku di depan wajahnya.

Mengerti apa yang kuinginkan, dia bersimpuh, tangannya meraih batangku dalam genggaman, dan mengocoknya cepat. Tapi itu tak cukup untukku. "Isep Na. Sepongin kontolku," perintahku.

Sejenak, Nana mendongak menatapku sebelum kembali memandang kontolku. Tanpa keraguan, wajahnya maju, mulut membuka, dan separuh batangku menghilang dalam kulumannya. Aku sendiri meraih kepala kekasihku, menggerakkannya maju mundur sembari melakukan hal yang sama dengan pinggulku.

Nana tampak kewalahan, mengeluarkan suara tercekik saat kontolku dalam di mulutnya. Namun dia tak berhenti dan terus menghisap. Tangannya tak tinggal diam, mengocok batangku yang tak tertampung mulutnya, hingga...

Crot!!! Crot!!! Crot!!! Spermaku memancar dahsyat di mulutnya. Kekasihku itu terus menghisap dan menelannya, mengakhiri seks pertama kami.

Jujur, aku ingin mengulangi percintaan kami, sayang waktu Nana tak banyak. Maka kami kemudian saling membersihkan diri, setelahnya kuajak Nana makan malam, merayakan ultahnya. Usai bercengkerama, kutawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi dia menolak. Berat hati kupanggilkan dia taksi, dan kami pun kembali berpisah.

Butuh waktu berbulan-bulan sampai kami bisa bertemu lagi, itupun tak ada kesempatan bagi kami mengulang persenggamaan. Hanya bercengkerama bersama keluarganya, kedatanganku kali itu memang memperkenalkan resmi diri sebagai kekasihnya.

Hari-hari terus berganti, Nana pun berhasil menyelesaikan masa sekolahnya, resmi menjadi mahasiswi di universitas yang sama dengan Ratri, sepupuku.

Selama mengenyam pendidikan tinggi, dia kost tak jauh dari kampus, tapi pada kenyataannya kami tinggal bersama di sebuah kontrakan. Di tempat itulah berbagai petualangan seks kami terjadi.

Tiga tahun aku dan Nana tinggal bersama. Dia masih di semester genap tahun ajaran ketiga saat hubungan pacaran kami berakhir.

Masih banyak kisah yang sebenarnya ingin kuceritakan. Namun itu terpaksa harus menunggu karena sekarang istriku telah berhasil menidurkan putri pertama kami yang belum genap setahun.

Usai memindahkan putriku ke ranjangnya sendiri, aku pun beranjak mendekati istriku, Putriana alias Nana, mantan pacar sekaligus mantan muridku, yang menanti di ranjang kami tanpa busana.​

***Tamat***​
 
Terakhir diubah:
selamat telah selesai ceritana dan tamat, tentudibawah ancaman momod kalo salah cerita karena masuk under

btw sekarang clear dan ditunggu mbah cerita lainnya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd