"Masuk Na," tawarku pada Nana, yang sejak aku mengajaknya ke hotel tempatku menginap malam ini, tampak ragu-ragu. Mungkin juga merasa khawatir.
Memang
sih aku bisa saja menginap di rumah pamanku, tapi itu berarti aku tak bisa berduaan saja dengan Nana. Walau aku cukup yakin malam ini juga berita tentang hubunganku dan Nana akan tersebar di keluargaku. Tentu saja pelakunya Ratri.
Aku kembali mengajak Nana masuk, namun dia tetap bergeming, maka kuraih tangannya, dan lembut menariknya ke dalam. Aku baru melepasnya saat menutup pintu kamar hotel yang langsung terkunci otomatis. Aku lalu berbalik, tersenyum pada Nana yang memandangku dan membalas kikuk.
"Kamu mau minum?" tawarku menuju mini bar.
Sambil berlalu aku meletakkan ransel yang kubawa di atas sofa panjang sedang Nana masih saja bergeming tak jauh dari pintu, matanya berputar memperhatikan sekeliling kamar hotel itu. Kurasa ini pertama kali baginya
check in ke sebuah hotel. Apalagi bersama seorang lelaki yang notabene bukan muhrimnya. Karena itu aku tak menyalahkan jika dia merasa gugup.
Hotel itu sendiri berlokasi tak jauh dari bandara. Sengaja agar memudahkanku pulang esok harinya. Jujur saja, ini juga pertama kali bagiku menginap di sebuah hotel. Awalnya aku sendiri gugup saat proses
booking di lobi. Aku bisa melihat tatapan aneh staf hotel karena aku membawa Nana, namun dia tak berkomentar apa-apa.
Harus kuakui, untuk sebuah kamar kelas 2, kamar itu termasuk mewah dan luas. Di salah satu sudut, terdekat dengan pintu, di lengkapi meja kecil dan sebuah sofa panjang dimana aku sebelumnya meletakkan tasku. Berhadapan dengan sofa itu terdapat sebuah mini bar, lengkap dengan kulkas kecil.
Sebuah ranjang mewah dengan sprei putih bermotif kotak-kotak cokelat terlihat di sudut terjauh kamar, dekat dengan jendela besar yang menghadap ke jalan, di sebelahnya ada sebuah lemari pakaian berpintu cermin besar.
Sudut terakhir, di kanan pintu masuk, merupakan bilik mandi dan toiket. Dindingnya sendiri berupa kaca embun sehingga kita bisa melihat siluet siapapun yang berada di dalamnya. Kaca yang serupa memisahkan antara
shower tempat mandi dengan toilet.
"Maaf
nih Na. Minumannya beralkhohol semua," seruku pada Nana. "Atau kamu mau
dipesenin minum ke lobi?"
"
Nggak usah mas," jawab Nana.
"
Trus kamu
mo minum apa?" tanyaku.
Tak ada jawaban dari Nana. Kuputuskan memesankan dia minuman soda. Aku sendiri tak punya masalah dengan minuman yang ada,
toh kadarnya kecil.
Tak lama aku menghampiri pacarku itu dengan dua botol minuman di tangan, meletakkannya di meja, lalu duduk. Nana mengikuti, duduk di sebelahku, dan menjaga jarak. Aku hanya senyum-senyum melihatnya menaikkan alis saat aku mulai menengguk minuman yang kubawa. Jelas dia keberatan, namun tak memprotes.
Sekitar sepuluh menit berselang dengan kami saling diam dalam kecanggungan. Saat itulah interkom dalam kamar berbunyi, aku bergegas bangun, menduga yang datang adalah
room service hotel yang membawakan pesananku. Benar saja, usai memberi tip, aku pun kembali pada Nana.
"Diminum Na," ujarku. "Aku tinggal sebentar ya. Dari sejak tadi siang
belom mandi
neh.
Nggak enak lengket."
Iseng, aku menggoda Nana, mengajaknya mandi bersama. Dia menjawab dengan menjulurkan lidah, meledek. Aku sediri hanya tertawa melihat itu lalu beranjak menuju ranjang dan dengan santai mulai melepas seluruh pakaianku satu persatu.
Dari tempatnya duduk, aku yakin pacarku itu bisa melihat jelas aksiku berbugil ria. Aku pun melirik sejenak, melihatnya menunduk malu dengan wajah memerah.
Mau tak mau aku merasa geli. Dua kali aku menelanjangi Nana secara langsung, juga membawanya menggapai orgasme dengan permainan oralku. Kali kedua aku bahkan ikut bugil bersamanya dan nyaris memerawani kekasihku itu. Belum lagi video-video
chat kami yang penuh erotisme.
Setelah semua itu, gadis ini masih saja malu-malu dan jengah melihatku telanjang.
Aku menggodanya lebih jauh, sengaja memamerkan
kontolku yang mengacung keras sejak perjalanan ke hotel, saat dengan santai melangkah ke bilik mandi. Aku sempat melihat pacarku melirik dari sudut matanya sebelum kembali menunduk malu. Tak lama kemudian, aku pun telah ada dalam bilik. Menikmati air yang memancar dari
shower dan menyegarkan tubuhku.
Cukup lama aku ada di dalam. Saat aku keluar, kali ini dengan handuk melilit di pinggang, Nana sudah berpindah dari sofa dan berdiri dekat jendela memandang keluar, tak sadar aku telah selesai lalu menghampirinya dari belakang. Dia tersentak kaget saat aku memeluknya lalu me.berontak manja.
"Aku kangen kamu," ujarku lalu membalik tubuh Nana agar kami berhadapan.
Sambil melingkarkan tangan merangkul leherku, Nana membisikkan kata-kata yang sama. Tidak lama kemudian bibir kami pun bertemu. Tak ada permainan lembut atau romantisme. Begitu kami mulai berciuman, kami melakukannya dengan panas dan buas, menumpahkan segala kerinduan dan hasrat.
Kami saling menghisap dan mengulum. Lidah kami berkejaran, berusaha saling mengaitkan, dengan nafas terengah-engah. Nana semakin mempererat pelukannya di leherku, sedang aku sendiri membelai-belai punggungnya, lalu turun menyasar pantat pacarku itu.
Aku menyadari sesuatu setelah mulai membelai pantat Nana, aku tak bisa merasakan garis CD-nya. Entah dia tak memakainya, atau dia menggunakan semacam
hotpants tanpa jahitan. Kurasa sebentar lagi aku akan mengetahui. Dengan pemikiran itu, aku menarik ciuman dan tubuhku darinya.
"
God, i really miss you," ujarku terengah-engah lalu membisikkan kata-kata cinta.
"
I love you too," balas Nana.
Kami saling berpandangan. Nana tersenyum malu-malu, melirik ke bawah. Aku bukan tak sadar jika saat kami berciuman, handuk yang melilit di pinggangku terlepas dan jatuh ke lantai. Tak ada lagi yang menghalangi
kontol kerasku untuk mengacung bebas.
Tanganku kembali bergerak, hendak meraih kerudung Nana yang masih menutupi hingga ke bawah dada, namun aku berhenti sejenak saat hendak menyampirkannya ke belakang punggung pacarku.
"Boleh?" aku meminta ijin sembari memandang Nana.
Nana mengangguk pelan dengan wajah kian merona dan aku berhasil menyingkirkan kerudung itu dari dadanya. Apa yang kulihat setelah itu, nyaris membuatku tercekat. Jelas sekali dia tak memakai bra di balik seragam putih yang dikenakannya. Aku memandang Nana, mataku bertanya. Dia membenarkan dengan anggukan malu-malu.
"Aku buka ya," aku kembali meminta ijin.
Tak ada jawaban dari Nana yang menunduk oleh permintaan itu. Kutangkap diamannya sebagai ijin. Apalagi dia tak menghentikan saat dengan cekatan aku melepas kaitan kancing seragamnya satu persatu, dan busungan indah Nana pun terpampang hanya untukku.
"Hhhhhh..." Nana mendesah saat telapak tanganku menyentuh payudaranya.
"Geli," keluhnya manja.
Mendengar itu aku menjadi semakin bergairah. "Yang di bawah
nggak pake daleman juga ya?" tanyaku nakal.
Nana membenarkan. Lirih mengatakan bahwa dia melepas seluruh dalaman saat mendengar aku datang ke sekolah. Tentu saja aku senang, sampai-sampai aku tak kuasa menahan diri untuk kembali memeluk dan menciumnya. Dia sendiri menyambut dan membalas antusias.
"Hhmmppp... Hhhhh...." kami sama-sama mendesah, nafas hangat Nana menerpa wajahku.
Tanpa melepas pagutan, aku membimbing Nana ke arah ranjang dan mendesaknya hingga terlentang dalam tindihanku. Tanganku bergerak cepat, menarik roknya ke atas. Dia membantu dengan mengangkat pantat. Segera setelahnya, kutempelkan
kontolku pada belahan
memek Nana yang sudah terasa basah.
Aku terus menggesekkan
kontolku, yang dengan mudah membelah belahan
memek Nana dari pangkal ke ujung, seiring semakin licinnya kemaluan pacarku. Sesekali aku mengubah gerakan, mencoba menekan kepala
kontolku pada mulut vaginanya.
Nana bukan tak menyadari usahaku. Tap kali aku menekan dan kepala
kontolku melesak, dia menggoyangkan pantatnya hingga kembali terlepas. Beberapa kali usahaku mengalami kegagalan, namun aku tak menyerah, hingga satu kesempatan aku berhasil melesakkan ujung kejantananku lebih dalam. Dia sontak kian memberontak, berusaha melepaskan, namun justru membuat
kontolku kian dalam.
"
Maafin aku Na," ujarku lirih di telinganya.
Nana masih menggoyang pantat, berusaha melepas
kontolku dari jepitan vaginanya. Aku sendiri secara naluri mengikuti arah gerakannya sembari menarik pelan
kontolku lalu kembali melesakkan sebelum terlepas.
Aku terus berbisik di telinga pacarku, mengatakan betapa aku mencintainya, betapa aku ingin agar kami bersatu sebelum berpisah lagi. Antara rayuan serta kenikmatan gesekan
kontolku, Nana perlahan mulai mengendurkan pertahanannya. Tangannya erat memelukku, meremas punggunggu kencang.
"Aahhh... Aahhh... Aahhh... Masss..."
"Enak sayang?" aku bertanya.
"Perih dikit," erangnya.
"Tahan sayang. Nanti
ilang koq."
Separuh batangku keluar masuk menggesek vagina Nana. Dia sepertinya sudah mulai bisa menikmatinya. Kupikir waktunya sudah tiba. Berbisik agar dia bertahan, aku mengatur posisi. Dengan jemari kaki sebagai tolakan, aku pun menekan lebih kuat.
"Ahhh.. Masss, sakit..." keluh Nana.
Meski iba, aku terus menekan. Nana sendiri menegang, kuku-kukunya menancap di punggungku. Upayaku membuahkan hasil, seluruh batang
kontolku telah mengisi liang kenikmatan pacarku itu.
Kami bergeming selama beberapa menit. Nana masih memelukku erat, namun ketegangan tubuhnya telah mengendur. Meski lirih, aku bisa mendengar dia terisak, membuatku merasa bersalah. Tapi semua sudah terjadi, yang bisa kulakukan sekarang adalah menyelesaikan apa yang telah kumulai.
Aku bangkit, menegakkan tubuh, dan menyesuaikan posisi kaki. Kupandangi Nana yang menatapku dengan mata berlinang. Lembut, kuseka air matanya.
Nana tersenyum tak yakin melihat permohonan di mataku, dan aku mulai menarik
kontolku.
"Uuhhh... Pelan-pelan mas. Sakit," keluhnya.
Aku menurut, memperlambat gerakanku.
Satu kali...
Dua kali...
Nana mengerenyit menahan sakit.
Tiga...
Empat...
Lima...
Ekspresi tegangnya melunak dan aku sedikit mempercepat tarikan serta sodokan.
Sepuluh...
Lima belas... Entahlah... Aku hilang hitungan oleh nikmat yang kurasakan.
Nana jelas merasakan hal yang sama. Tak ada lagi ekspresi kesakitan di wajahnya, berganti dengan gairah. Dia terus menatapku, mulutnya membuka sedikit, dan mengeluarkan desah serta erangan. Aku kembali menindih dan menciumnya, sebelum meletakkan kepala di sisi telinganya.
"Enak sayang?" bisikku di telinganya.
Nana tak menjawab, hanya mengerang. Aku menghentak kuat dan dia menjerit tertahan. "Enak
nggak?" tanyaku lagi.
"I-iya mas.. Enak banget."
"Mau
diterusin atau
udahan?" godaku.
"Ja-jangan.."
Aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi dari nadanya, dia pasti merasa malu.
"Jadi terus
nih?"
"Iya mas. Terus mas.. Oohhh.. Jangan disetop."
"Apanya?" aku terus memancing, ingin mendengar dia memohon.
"I-itu mas.
Kontol mas..." ujar Nana terengah-engah. "Jangan berenti mas.
Entot Nana."
Sesuai permintaan bidadariku itu, aku pun menggenjot kiat cepat dan kuat.
Plak!!! Plak!!!
Selangkangan kami terus beradu. Nafas kami terengah-engah. Desah dan erangan terus keluar dari mulut kami masing-masing.
"Aahhh... Hahhh... Uuhhh..."
Masih memelukku, Nana tak lagi hanya pasrah. Dia menggoyangkan pantat serta pinggulnya. Kali ini berusah agar
kontolku kian menggesek dinding vaginanya dan semakin memberinya kenikmatan.
Tanpa berhenti menyodok, aku kembali menegakkan badan, sedikit condong ke depan dengan kedua tangan sebagai tumpuan, di sisi kepala Nana. Sesekali salah satu tanganku atau tak jarang keduanya, meraih payudaranya dan meremas, atau bermain dengan puting pacarku itu.
"Uuhhh... Mass.. Geli.. A-aku
nggak tahan.." Nana mengiba, yang justru membuatku gemas dan semakin merangsangnya. Sodokanku pun semakin cepat dak kuat.
"Oohhh... Oohhh... Ampuunn sayang... Aku
nggak tahan... Uuhhh..."
Ini adalah seks pertamaku jadi aku masih hijau tentangnya. Namun dari ekspresi Nana, aku menduga dia akan mengalami orgasme. Aku sering melihat ekspresi yang sama saat kami melakukan
video chat sex.
Benar saja, seketika itu juga perutnya terangkat melenting lalu kaku, kepala mendongak dengan mata terpejam, dan mulut membuka mengeluarkan jeritan. Bersamaan jemarinya mencengkeram seprai erat.
Aku sendiri menyambut datangnya orgasme Nana dengam menghujamkan
kontolku sedalam mungkin lalu membiarkannya bergeming.
Aku tak merasakan seperti yang pernah kubaca dalam cerita-cerita dewasa, dimana sang
cowok bisa merasakan
kontolnya disembur cairan cinta sang
cewek. Namun aku jelas merasakan dinding vagina Nana berkontraksi dan berdenyut cepat, seakan memijat batang
kontolku. Nikmat sekali.
Setelah beberapa saat, Nana perlahan membuka mata dan tatapan kami bertemu. Aku tersenyum padanya dan dia membalas malu-malu. Kudekatkan wajah padanya, memberi dia ciuman singkat.
"Enak sayang?" tanyaku.
Nana menjawab dengan cubitan di lengan atasku.
"Mas jahat," protesnya manja.
"Iya. Mas minta maaf," ujarku. "Tapi kamu suka kan?"
Nana mengangguk malu-malu. Dia lalu meraih dan memelukku erat, memaksaku kembali menindihnya. "Mas janji kan mau bertanggung jawab?" tanya dia takut-takut.
Tentu saja aku berjanji. Setelah apa yang kulakukan, mana mungkin aku tak bertanggung jawab. Aku bukan pria seperti itu.
Aku mengatakan semua itu pada Nana. Aku tak tahu apakah telah berhasil meyakinkannya. Aku tak menunggu jawaban. Pelan tapi pasti, aku kembali menarik dan melesakkan
kontolku. Perlahan dan kian cepat seiring waktu. Beberapa menit berselang, aku lagi-lagi membuat pacarku itu orgasme.
"
Mo kemana mas?" tanya Nana.
Usai orgasme keduanya, aku mengangkat badan yang menindih Nana, mencabut
kontolku dari vaginanya, turun dari ranjang, dan mengeluarkan
hape dari tasku.
"
Mo bikin kenang-kenangan," ujarku menjawab pertanyaan Nana.
Klik!!!
Aku mengambil foto Nana dengan seragam tak terkancing, rok naik hingga perut, dan mengangkang dengan
memeknya yang basah licin. Nana tak memprotes, bahkan tersenyum.
Masih dengan hape di tangan, aku naik lagi ke ranjang, memosisikan diri di antara kangkangan pahanya. Mengatur kamera ke mode video, aku genggam
kontolku dan mengarahkan ke liang Nana.
Blesshh!!
Terekam jelas bagaimana
kontolku perlahan melesak masuk. Sejenak kuarahkan kamera ke wajah Nana yang tersenyum dengan tatapan birahi lalu kembali merekam
kontolku yang keluar masuk di vaginanya. Setelah beberapa menit, aku mengubah posisi Nana, membimbingnya memiringkan kaki, paha merapat, kemudian kembali menyodoknya.
Satu waktu aku memintanya gantian memegang
hape-ku, merekam aku yang sedang menyodok
memeknya, lalu kembali padaku saat aku meminta Nana mengambil posisi di atasku. Di posisi ini, dia lagi-lagi mendapat orgasme.
"
Cape sayang?" tanyaku, memfokuskan kamera ke wajah Nana.
"
Nggak papa mas. Kamu
belom keluar
kan? Nana mau
puasin mas," jawabnya.
Aku tersenyum dengan jawabannya. Kuminta dia bangun lalu menungging. Aku kembali turun dari ranjang, menempatkan
hape-ku di atas meja dengan lensa menghadap Nana, lalu mengambil posisi di belakangnya. Aku ingin menyodoknya dari belakang.
Plak!!! Plak!!! Plak!!!
Begitu
kontolku melesak, aku langsung menyodok dengan buas. Memberi hentakkan dalam tiap hujaman yang membuat Nana menjerit-jerit binal. Dia pun tak hanya pasrah, membalasku dengan memutar-mutar pantatnya. Rasanya sungguh luar biasa, membuatku semaput keenakan hingga desakan di bawah perutku kian tak tertahankan.
"Nana... Sayang," aku mengerang. "A-aku mo keluar... Heghh..."
"Tu-tunggu mas... Jangan di dalem..." ujarnya sedikit panik.
Tentu saja itu aku tak berniat begitu. Aku sangat mengerti apa risikonya jika aku keluar di dalam. Di lain pihak, aku tak tahu apakah aku mampu menahan diri saat desakan yang kurasa semakin besar. Maka aku cepat-cepat mencabut
kontolku lalu bergegas pindah ke hadapan Nana, mengacungkan
kontolku di depan wajahnya.
Mengerti apa yang kuinginkan, dia bersimpuh, tangannya meraih batangku dalam genggaman, dan mengocoknya cepat. Tapi itu tak cukup untukku. "Isep Na.
Sepongin kontolku," perintahku.
Sejenak, Nana mendongak menatapku sebelum kembali memandang
kontolku. Tanpa keraguan, wajahnya maju, mulut membuka, dan separuh batangku menghilang dalam kulumannya. Aku sendiri meraih kepala kekasihku, menggerakkannya maju mundur sembari melakukan hal yang sama dengan pinggulku.
Nana tampak kewalahan, mengeluarkan suara tercekik saat
kontolku dalam di mulutnya. Namun dia tak berhenti dan terus menghisap. Tangannya tak tinggal diam, mengocok batangku yang tak tertampung mulutnya, hingga...
Crot!!! Crot!!! Crot!!! Spermaku memancar dahsyat di mulutnya. Kekasihku itu terus menghisap dan menelannya, mengakhiri seks pertama kami.
Jujur, aku ingin mengulangi percintaan kami, sayang waktu Nana tak banyak. Maka kami kemudian saling membersihkan diri, setelahnya kuajak Nana makan malam, merayakan ultahnya. Usai bercengkerama, kutawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi dia menolak. Berat hati kupanggilkan dia taksi, dan kami pun kembali berpisah.
Butuh waktu berbulan-bulan sampai kami bisa bertemu lagi, itupun tak ada kesempatan bagi kami mengulang persenggamaan. Hanya bercengkerama bersama keluarganya, kedatanganku kali itu memang memperkenalkan resmi diri sebagai kekasihnya.
Hari-hari terus berganti, Nana pun berhasil menyelesaikan masa sekolahnya, resmi menjadi mahasiswi di universitas yang sama dengan Ratri, sepupuku.
Selama mengenyam pendidikan tinggi, dia kost tak jauh dari kampus, tapi pada kenyataannya kami tinggal bersama di sebuah kontrakan. Di tempat itulah berbagai petualangan seks kami terjadi.
Tiga tahun aku dan Nana tinggal bersama. Dia masih di semester genap tahun ajaran ketiga saat hubungan pacaran kami berakhir.
Masih banyak kisah yang sebenarnya ingin kuceritakan. Namun itu terpaksa harus menunggu karena sekarang istriku telah berhasil menidurkan putri pertama kami yang belum genap setahun.
Usai memindahkan putriku ke ranjangnya sendiri, aku pun beranjak mendekati istriku, Putriana alias Nana, mantan pacar sekaligus mantan muridku, yang menanti di ranjang kami tanpa busana.