Perlahan tapi pasti, menuju SMA juga...
part 8-
“ma-maaf buat yang tadi...” ucap Aryo saat keluar dari lift membawa beberapa kotak berisi makanan yang menutupi dadanya.
“Eh? i-iya...” jawab Icha kikuk.
“udah punya pacar ya...” batin Icha sedih.
Namun kesedihan Icha rupanya terpancar dimatanya. Berbeda dengan sebelum-sebelumnyanya, dimana ia bisa menyembunyikan perasaannya. Kalau sudah menyangkut patah hati, kesedihannya terpancar keluar. Dan membuat Aryo buru-buru melanjutkan kalimatnya mencoba menyelesaikan kesalahpahaman diantara mereka.
“I-ini bukan karena aku punya pacar atau apa... ta-tapi kan kita baru ketemu...”
“dan... mungkin akan jarang ketemu lagi...” ucap Aryo dengan suara sedih.
“ta-tapi kan... kita cuma beda 8 lantai...”
Aryo kemudian menunduk tidak menjawab dan membuat suasana menjadi canggung. Aryo memang cukup dingin terhadap wanita. Standarnya yang memang cukup tinggi dalam menentukan pilihannya, membuatnya sampai saat ini belum memiliki pacar. Sosok yang mungkin ideal baginya mungkin seorang wanita dengan dada besar, dan pantat yang sekal dan sebisa mungkin juga penyayang dan pintar seperti ibu tirinya. Atau mungkin juga karena doktrin kedua orang tuanya lah yang membuat Aryo mejadi seperti itu sejak kecil.
“Aryo kalau cari cewek pilih-pilih ya...” batin Aryo mengenang ucapan mama Rina saat mengajarinya mengerjakan PR.
Aryo pun tersenyum mengingatnya dan membuat icha salah mengartikan senyuman di wajah pemuda tampan itu. Ia berpikir bahwa sudah ada orang lain di hati Aryo dan itu membuat hati Icha menjadi kacau. Pikirannya tidak lagi dapat difokuskannya dan air matanya nyaris tak terbendung. Tangannya bergetar hebat dan dadanya terasa sangat sesak dan perih.
Mungkin memang terlalu sempurna untuknya mendapat segala yang ia mau. Terlalu sempurna untuk dirinya yang selama ini hanya hidup bersama ibunya saja, tiba-tiba bisa memiliki dua orang laki-laki yang bisa diandalkannya. Ayah yang bisa memberinya kebutuhan yang dulu tak pernah terbayangkan olehnya. Dan kini seorang pemuda yag mau repot-repot melindunginya dari pertarungan yang ia tidak bisa menangkan. Apalagi kedua orang itu tampan dan cukup kaya. Tapi entah kenapa ia merasa tidak bisa, tidak bisa menerimanya. Ia tak bisa merelakan Aryo begitu saja.
“Oh iya.. ga apa-apa mas...” ucapnya kemudian berjalan lebih cepat meninggalkan Aryo di belakangnya.
Icha kemudian mengambil kunci dari dalam dompet yang digenggamnya dan bergerak untuk memasukkan kunci itu kelubang kunci. Sayangnya, dengan tangan yang gemetaran Icha gagal memasukkan kunci dan membuat benda berukuran kecil itu jatuh ke atas lantai menimbulkan bunyi gemerimcimg.
Icha pun segera membungkuk mengambil kunci itu. Namun lagi-lagi tangannya gagal mengambil kunci itu pada percobaan pertama, dan mulai meraba lantai untuk mencari kunci itu seakan-akan ia tidak bisa melihat. Dan akhirnya ketika tangannya menyentuh kunci ia malah terdiam. Ia menoleh memandang Aryo dalam keadaan membungkuk dengan mata yang memerah. Aryo ternyata berusah menghindari kontak mata dengannya dan memilih melihat pintu-pintu lain yang sebenarnya tidak menarik.
Nampak mata Icha mulai berkaca-kaca, pandangannya tertutup kabut air mara. Ia pun mulai berjongkok lalu menunduk. Sepertinya dirinya menangis tepat di depan unit apartemennya. Merasakan ia tidak lagi dapat menyembunyikan perasaannya dari pemuda itu, Icha mulai berkata kepada Aryo,
“kita... tetap bisa saling bertemu lagi kan?”
“ja-jangan katakan... tidak.. kumohon...” lanjutnya denga suara bergetar.
“Aku ga bisa janji... karena aku juga tidak tahu... ” jawab Aryo mengambil kunci itu dan bergerak membuka kunci pintu itu.
“ckrek”
Ia sempat melirik toked Icha yang masih berjongkok dan menunduk menutupi wajahnya.. Karena tokednya tidak lagi terbungkus Bh berwarna biru muda itu, puting berwarna merah muda mengintip dari belahan dasternya yang rendah. Aryo tentu ingin segera mencaplok gundukan yang terlihat tidak pernah terjamah itu. Namun Aryo lebih memilih menggeleng dan mulai memutar knop pintu dari unit bernomor 28F itu.
Pintu pun mulai terbuka pelan. Namun yang pertama dilihatnya dari apartemen itu adalah seorang wanita dengan tubuh sempurna berlari naik ke arah tangga tanpa memakai pakaian. Nampak tangan wanita itu mencoba menahan laju dadanya yang bergoyang heboh ketika berlari naik tanpa menghiraukan Aryo yang menatapnya tanpa berkedip. Aryo yang segera melupakan wanita yang dibuatnya menagis di luar dan mulai menjelajah pandangannya mengikuti pergerakan wanita telanjang itu yang kini hanya tersisa pantatnya saja, sementara tubuhnya sudah menghilang ke atas lantai dua.
Anehnya, seseorang tiba-tiba saja menyapanya dengan memanggil namanya.
“Aryo, kamu sudah datang?” ucap suara itu.
“i-iya pa...” jawab Aryo masih mencoba melirik wajah wanita telanjang itu.
Namun Aryo menyadari ada yang aneh dari ucapannya barusan. Dan segera menoleh ke arah orang yang memanggilnya yang tidak lain adalah papanya.
“Eh? papa? Kenapa papa disini?”
“Apa maksud kamu disini? inilah rumah kita sekarang...” ucap papanya membentangkan tangannya lebar-lebar.
“jadi si montok itu mama? Ah maksudku wanita yang barusan itu?” ucap Aryo bingung.
“montok? Ah iya... jangan bicara seperti itu.. ”
“ta-tapi tadi di mobil, papa bilang... tiga enam- Ah!” ucap Aryo tertahan.
Namun sebelum Aryo selesai menyebutkan 36C . Bunyi gesekan plastik menghentikan ucapannya. Lalu Aryo segera berbalik melihat sesosok tubuh sudah ambruk dan bebaring menimpa beberapa plastik berisi makanan dan perlengkapan pesta.
“Ah...” ucap Aryo ketika berbalik.
Namun sebelum Aryo bergerak memeriksanya lagi-lagi papanya bertindak lebih cepat dan bersuara dengan suara keras,
“Fahrissa” teriak papa aryo mendorong tubuh Aryo.
“Fahrissa? ” ucap Aryo nanar.
Mendengar teriakan papa Aryo wanita telanjang di lantai dua berlari menuruni tangga dengan panik. Kali ini dia nampak tidak lagi mencoba menutupi tubuhnya yang membuat tokednya benar-benar bergoyang liar. Ia segera berlari menuju papa Aryo yang kini sedang menggendong gadis muda itu menuju sofa. nampak Aryo hanya bisa melongo melihat mereka. Sampai sebuah suara berteriak
“Aryo! Ambilkan balsem untuk kakakmu!” teriak papa Aryo.
mohon saran dan kripik suhu, sejauh ini part yang paling asyik yang mana? soalnya mulai agak limbung di gaya penulisan. Atau minim waktu buat edit hehehe