“Ahhhhh… Ahhh… Ahhh… Sshhhhh… AHHHH… AHHHH…”
Ragil mendongak, “Bu, jangan kenceng-kenceng dong! Nanti ada yang denger gimana?”
“Ya mau gimana kalo enak?”
Ragil nyengir-nyengir najis.
“Udah cepet lanjutin ah. Bawel!”
Ragil kembali turun mengubek-ubek labia mayor-ku dengan lidah tangkasnya.
***
Suatu hari minggu rumah makan tempatku kerja tutup guna mempersiapkan menu katering untuk sebuah acara di kantor pemerintahan. Pagi-pagi sekali aku sudah datang ke tempat kerja, kuajak Ragil untuk bantu-bantu. Nanti katanya dia juga bakal dapat insentif dari pak bos. Sebetulnya tanpa diberi insentif pun Ragil akan tetap kuajak, dan dia pasti mau. Semenjak kami hidup layaknya suami istri, setiap malam rajin bersenggama, Ragil semakin nempel kepadaku—sebagaimana aku kepadanya. Setiap kami harus berpisah, meskipun sebentar, rasanya selalu kangen.
Dari pertama datang, Ragil telaten mengatur dan merapikan perabotan rumah makan supaya tempatnya jadi nyaman untuk kegiatan mempersiapkan katering besar. Di rumah pun, sekarang dia yang lebih rajin rapi-rapi daripada aku. Dia yang sering mengomel kalau kondisi rumah agak kurang tertata. Dan tak kusangka anak itu juga ternyata sangat luwes bergaul dengan orang yang lebih tua. Baru sebentar ketemu, Pak Bos langsung asik bercerita ini-itu kepadanya.
Selesai rapi-rapi, Ragil langsung sigap membantuku mengupas bawang.
Sekitar pukul 6 pagi, Pak Bos dan istrinya pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan. Kami ditinggal berdua saja di rumah makan. Anak si Pak Bos yang biasa ngobrol denganku itu sedang berada di luar kota.
Begitu Pak Bos dan istrinya pergi, Ragil langsung saja menatapku dengan tatapan nakal. Tangannya sih tetap mengupas bawang, tapi raut wajahnya itu sudah aneh-aneh.
“Apaan sih? Yang bener kerjanya.”
“Iya, ini bener kok. Emangnya ada salah?”
“Dih. Ngejawab mulu.”
“Emang nggak boleh?”
“Terserah ah.”
Kalau diladeni terus, aku bisa ikut-ikutan sinting.
Hening beberapa saat. Hanya terdengar suara kulit bawang terkelupas.
“Bu?”
“Hmmmm?” Kutanggapi sekenanya. Aku bahkan tak mau melihat mukanya. Fokusku melihat bawang.
“Ibu…?” Suaranya manja dibuat-buat.
Aku yang sudah sangat memahami apa yang dia pikirkan, akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak mengekeh kecil.
“Apaan sih…?” Senyumku mengambang di bibir, tak peduli seberapa keras aku menahannya,
Saat aku mendongakkan wajah, Ragil—yang duduk di seberangku—sedang nyengir-nyengir sambil menaik-naikkan alisnya.
Apaan coba itu maksudnya? Dasar nggak jelas.
“Udah, cepet ker—”
“Bu, mau lagi…”
“Mau apaan? Sarapan?” Aku masih pura-pura bego.
“Iya. Sarapan Ibu.”
“Hah? Apaan sih? Makin nggak jelas aja lu.”
“Ah, Ibu suka pura-pura deh.”
Ini anak memang jadi cerewet semenjak mulutnya itu bersilaturahmi dengan mulut bawahku.
“Ragil tahu kok, Ibu nggak pake celana dalem kan?”
Hah? Sialan!
Aku segera merapatkan bagian selangkanganku.
“Ga sopan banget ih ngintip-ngintip.”
“Siapa yang ngintip, orang kebuka sendiri.”
“
Ekhm…” sudah lah. “Ya udah, sebenernya kamu mau apa sih? Ngomong yang jelas dong sama Ibu.”
“Mau ngentot Ibu.”
Seketika wajahku memerah. “Kan tadi malem udah.”
“Ya, kan pagi belum…”
“Kamu apa nggak lihat kita lagi ngapain? Kita itu ke sini mau kerja.”
“Ya Ibu kan butuh energi buat kerja. Sini Ragil kasih energinya.”
“Energi apaan kali?”
“Energi peju.”
Kutimpuk dia pakai bawang. “Hush! Ga sopan tau. Kita lagi ngurusin makanan.”
“Ya udah, kalo gitu Ragil aja yang sarapan pakai memek Ibu.”
Anak sialan. Sepertinya tak bisa kubiarkan lagi perilaku tak senonohnya itu.
Kubiarkan sejenak, tak kutanggapi lagi. Biar dia ada kesalnya. Tapi anak ini malah konsisten, seakan-akan sedang menjilati seluruh tubuhku dengan tatapan panasnya itu.
Kulemparkan bawang yang sedang kukupas dan pisaunya. Pura-pura kesal seraya beranjak berdiri.
“Huh! Tahu gini nggak bakal Ibu ajak kamu ke sini.”
“Ah, Ibu suka pura-pura,” timpalnya, sambil mengekek.
“Ya udah. Mau gimana?”
Ragil menarik sebuah meja. Meja pelanggan.
“Ibu duduk aja di sini.”
“Hah? Di atas meja?”
“Iya.”
Ragil menarik sebuah kursi, lalu langsung duduk di situ.
Aku masih bengong. Tapi sebetulnya sudah gatal juga. Ragil menarik tanganku pelan sambil matanya menatapku dan tersenyum. Akhirnya, seperti orang bloon, aku pun menurut saja disuruh duduk di atas meja.
Ragil menyibak rok selutut yang kupakai. Dielus-elusnya kedua pahaku oleh kedua tangannya, sensasi yang kurasakan membuatku menggigil. Atau memang udaranya masih dingin?
Lalu dia tempelkan pipinya di paha kiriku.
“Paha Ibu hangat. Ragil suka.”
Kuusap-usap kepalanya penuh sayang.
Tak lama, kepalanya itu maju, menyambangi hutan belantaraku.
“
Ahh…!” aku mengerang tertahan ketika kurasakan jari Ragil mulai menyentuh sisi-sisi daerah kewanitaanku. Refleks kupegang kepalanya.
Jari Ragil bergerak memutar di sekeliling labia mayora. Sesekali mengusapi klitorisku.
“
Ahhhhh…! Ragil! Cepet dijilat dong, katanya mau sarapan?” aku tak sabaran.
Tak menurut, Ragil malah melanjutkan bermain-main pakai jarinya. Setelah puas mengitari sekitar labia mayor, Ragil mulai bergerilya di sekitar dinding dalam vaginaku. Dikorek-korek seperti orang mengorek kuping.
Tanpa sadar tangan kananku mulai menggerayangi dadaku sendiri. Ini benar-benar memalukan sebagai sorang ibu.
Tak lama kepala Ragil menyembul dari balik rok. “Bu, pengen cium bibir atas dulu.”
Tanpa menunggu persetujuanku, Ragil menyosor bibirku. Dan langsung saja lidahnya itu menerobos masuk, mengajak lidahku bersalaman. Kedua tanganku menahan berat tubuhku ke belakang, kedua tangan Ragil juga menahan berat tubuhnya yang condong ke arahku. Ragil menciumku dengan penuh rasa. Seandainya masuk film, adegan ini sebetulnya sangat romantis.
Kecipuk suara bibir kami terdengar jelas karena suasana masih pagi, belum banyak suara lain dari aktivitas orang-orang. Aku sempat khawatir ada orang yang dengar, tapi rupanya cinta ini terlalu indah untuk kutahan-tahan.
Setelah puas ciuman, Ragil kembali menelusup ke dalam rok, dan memulai kegiatan sarapannya.
Pertama-tama dijilat lembut seluruh bagian depan kelaminku. Langsung saja aku refleks memegang kepalanya. Setelah puas menjilat, Ragil menciumi klitorisku dengan sedikit menekan ke depan. Lalu untuk bagian utamanya dia menyedot-nyedot lubang vaginaku dengan begitu antusias seperti orang sedang makan seafood. Terang saja aku keenakan.
“Ahhhhh… Ahhh… Ahhh… Sshhhhh… AHHHH… AHHHH…”
Ragil mendongak, “Bu, jangan kenceng-kenceng dong! Nanti ada yang denger gimana?”
“Ya mau gimana kalo enak?”
Ragil nyengir-nyengir najis.
“Udah cepet lanjutin ah. Bawel!”
Ragil kembali turun mengubek-ubek labia mayorku dengan lidah tangkasnya.
Tak butuh waktu lama, aku pun mencapai orgasme pertamaku hari itu dari permainan lidah Ragil.
Ragil nongol lagi dari balik rok. “Enak kan?” ujarnya sambil mesem-mesem.
Aku pura-pura tak peduli, pandanganku melihat ke arah jam.
“Mungkin setengah jam lagi Bapak sama Bu Adi pulang.”
Ragil ikut-ikutan melihat jam. Kemudian menoleh ke arahku lagi berbarengan denganku menoleh ke arahnya, kami jadi saling tatap. Tak banyak omong, sepertinya kami sama-sama sudah tak tahan. Ragil memerosotkan celana pendeknya. Penis tegangnya sudah menonjol dari balik celana dalam. Ingin kulumat sebetulnya, tapi khawatir tak ada waktu.
“Bu, usap-usap bentar. Dari luar aja.”
“Sini!”
Segera kuusap-usap penuh sayang di sepanjang tonjolan keras itu. Dadaku masih saja berdebar-debar padahal sudah berkali-kali kulakukan.
Selesai mengusap-usap aku sendiri yang memelorotkan celana dalam itu, dan penisnya pun akhirnya terbebas dari kekangan.
Selamat pagi, adik kecil…—yang tidak kecil.
Aku tak bisa menahan senyum. Aroma khas kelamin laki-laki langsung menguar.
Bayangan bahwa kami akan bersenggama di atas meja pelanggan yang besok akan mereka pakai untuk makan membuat ketabuan hal ini jadi meningkat berkali-kali lipat.
Aku maju sedikit supaya selangkanganku bisa diakses dengan mudah oleh si kesayangan. Kakiku pun kubuat mengangkang lebih lebar, agak kuangkat lututku. Nanti kalau sudah mulai menggenjot biar tangan Ragil yang menopangnya.
Sayang seribu sayang. Baru masuk kepalanya saja si kesayangan, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk, dan orang itu memanggil-manggil nama Bapak.
Kami gelagapan. Buru-buru Ragil menarik penisnya, dan cepat-cepat dia pakai lagi celananya. Aku segera turun dari atas meja. Jantungku serasa mau copot, adrenalin berhamburan di sekujur pembuluh darah.
Ternyata yang mengetuk adalah tetangga yang mau kasih jahe pesanan Bapak. Memang sudah langganan Bapak beli jahe sama orang ini. Aku menerima jahe itu dan menyimpannya di dapur. Ragil sudah kembali mengupasi bawang.
Aku kembali duduk di seberang Ragil, juga kembali mengupasi bawang. Kami saling pandang sesaat dan kemudian tertawa. Agak seram memang tadi itu, tapi kalau tidak sampai ketahuan ya lucu juga. Aku cuma kepikiran si kesayangan yang sudah sempat masuk. Kasihan sekali.
“Masih ngaceng ga?” tanyaku iseng.
“Ya nggak lah. Hampir kepergok gitu mah langsung ciut,” jawab Ragil. Kentara sekali dia rada kesal karena tak jadi menggenjot.
Selesai kami mengupasi bawang, Bapak dan Ibu datang dari pasar. Banyak sekali barang belanjaan mereka Ragil langsung sigap membawakan. Mereka juga membeli sarapan, jadi kami sarapan bersama dulu setelah itu.
Proses mempersiapkan katering ternyata sangat panjang dan melelahkan, padahal menunya jauh lebih sedikit daripada kalau buka biasa. Musababnya adalah menu utama, yakni rendang, yang dipesan dalam jumlah banyak. Masak rendang benar-benar butuh ketelatenan dan kesabaran. Kalau tidak ada Ragil yang bantu tenaga, sudah pasti tak akan kuat jika dikerjakan hanya oleh aku, Bapak yang sudah tua, dan juga Ibu yang sudah sering mengeluh pergelangan tangannya sakit.
Disela-sela bekerja, kalau kuyakin aman, aku sempatkan mengusap-usap penis Ragil yang belum tuntas servis-nya itu. Masih dari luar celana sih. Lagipula tidak mungkin kusentuh langsung sebab tanganku sudah berkali-kali memegang cabe.
Pada satu momen ketika kesempatan terbuka lebar karena Bapak dan Ibu sedang keluar sejenak—tapi tidak terlalu lama, hanya sekitar lima menit—kuminta Ragil menggesek-gesek dari belakang. Tujuannya supaya dia cepat keluar.
“Ragil, dry hump aja cepetan, gesekin ke pantat Ibu.”
Ragil segera ambil posisi seperti mau mengentot dari belakang. Tangannya diletakkan di pinggangku. Setelah membetulkan posisi batangnya supaya mengarah ke atas, Ragil segera menggesek-gesek batang itu, atau kadang ia cucukkan meskipun tak bisa betulan masuk karena terhalang celananya dan rok yang kupakai. Ragil melakukannya sambil menciumi punggungku. Aku tak tahu kenapa, tapi setiap main dari belakang dia senang sekali melakukan itu. Untung aku tahan geli.
Ragil meremas-remas dadaku dan gesekan serta tusukannya semakin tidak berirama—tanda mau mencapai orgasme. Sialnya, kudengar suara pintu depan dibuka, Bapak dan Ibu sudah kembali. Gawat ini, masa si kesayangan harus mengalami tanggung lagi?
“Bu, gimana ini?”
“Udah mau keluar belum?”
“Dikit lagi ini.”
“Ya udah, tuntasin aja, kayaknya sempet. Bapak sama Ibu juga masih ngobrol di depan.”
“Kalau gitu sambil cium, Bu.”
“Berisiko banget kalau sambil cium.”
“Tapi pasti langsung keluar kalo sambil cium. Ragil pengen ngemut lidah Ibu.”
Aku segera menoleh ke belakang sebisaku, Ragil langsung menyambut dengan bibirnya. Kami berciuman cepat, dan benar saja di bagian bawah tiba-tiba hujaman penis Ragil menjadi liar.
Tepat ketika kami melepaskan ciuman, Bapak dan Ibu memasuki dapur. Untung saja posisi kami menghadap mereka, tidak menyamping, jadi mereka tidak melihat selangkangan Ragil yang Rapat ke pantatku. Ragil langsung menjauh, tangannya sigap menempatkan memegang pundakku.
“Wah, udah rajin, perhatian pula. Pasti seneng kamu ya, Yun, punya anak berbakti.” Komentar Bapak.
Aku nyengir saja.
“Bapak juga kalau mau dipijit, bilang aja sama Ragil.”
“Wah, bener nih, Gil?”
“Siap laksanakan, Pak.”
Kami semua tertawa setelah itu. Jantungku sebenarnya tidak karuan karena khawatir Bapak dan Ibu ada melihat percumbuan kami.
***
Tak berapa lama semanjak sering melakukan percumbuan, entah bagaimana kami mengembangkan sebuah kecenderungan—mungkin bisa disebut fetish—untuk melakukan persetubuhan di tempat-tempat umum di mana risiko untuk ketahuan oleh orang lain cukup besar.
Pertama kali kami melakukannya di sekolah Ragil. Biasanya Ragil berangkat ke sekolah naik mobil angkutan umum. Sebetulnya jaraknya tidak terlalu jauh, masih bisa dicapai dengan jalan kaki, hanya saja waktu tempuh jadi sedikit lebih lama. Sejak kami saling bucin, aku jadi sering sekali mengantar Ragil berangkat sekolah berjalan kaki. Sepanjang jalan kami gandengan tangan tanpa malu. Kadang kami sarapan sepiring berdua makan bubur ayam atau apapun itu. Kalau ada temannya yang melihat, mungkin Ragil akan dicap anak mami. Aku pernah menanyakan hal ini kepadanya, tapi dia bilang tidak ambil peduli.
Suatu pagi kami datang terlalu pagi ke sekolah. Suasana masih sangat sepi, belum ada siapa-siapa baik guru maupun murid. Ragil menatapku sambil tersenyum penuh arti, dan aku tahu aku pun sepemikiran dengannya. Ragil menuntun tanganku, membawaku ke dalam ruang kelasnya yang tak ada orang. Begitu pintu ditutup kembali, Ragil langsung menciumku dengan penuh. Aku langsung mabuk saja sepagi itu. Selama lima menit penuh kami hanya berciuman sambil berpelukan. Mesra sekali tak tertolong.
Kemudian Ragil beralih menciumi dan meremas dadaku dari luar. Aku menimpali dengan membelai sayang kepalanya. Kurasakan batang tegang Ragil menyentuh pahaku, aku pun langsung berinisiatif menggerakkan pahaku menggesek batang itu. Alhasil, duselan Ragil di dadaku semakin manja.
Saat sedang asyik-masyuk, tahu-tahu terdengar suara langkah kaki dari luar. Tubuh kami langsung mengalami
freeze. Aku dan Ragil saling tatap, bertanya-tanya siapakah itu. Jantungku dagdigdug, tapi Ragil belum mengubah posisinya yang menempel kepadaku. Aku juga masih tak ingin lepas. Kami tunggu sampai suara langkah kaki itu menjauh.
“Kayaknya cuma Pak Penjaga.”
Aku menjawab dengan anggukan dan tersenyum. Ragil membalas senyumku dan kembali mendusel di dadaku. Aku kembali menggerakkan paha kiriku menggesek batang Ragil.
“Gil, Ibu udah pengen.”
Ragil membawaku ke meja paling belakang, aku didudukkan di atas meja itu. Lalu disibaknya rok yang kupakai, digulung sepinggangku. Ragil sendiri segera membuka celana seragamnya, tapi tak dilepas, hanya diperosotkan sampai mata kaki. Ditarik pinggulku maju ke pinggir meja, lalu didorong supaya tubuhku agak miring ke belakang, tujuannya biar posisi selangkanganku lebih terbuka untuk penetrasi.
Ragil menggenggam penisnya, membawanya menghadap lubang vaginaku. Sebelum masuk, kami saling pandang, dan saling tersenyum. Perutku pegal dan geli karena otot-ototku tegang semua. Lalu pandangan kami kembali tertuju pada alat kelamin kami yang hendak bersatu. Sangat kunikmati pemandangan ketika penis Ragil masuk menembus vaginaku. Kenikmatan ini sebetulnya tak bisa dilukiskan, tidak ada kata-kata yang sanggup menanggung keagungannya.
Setelah masuk semua batang penis Ragil, secara bersamaan, seperti ada telepati, kami langsung berpelukan. Kepala Ragil kembali mendusel di dadaku, tapi kali ini sambil alat kelamin kami bersatu. Aku jadi lupa pada dunia karena kini diriku hanya dipenuhi rasa sayang kepada anakku ini. Aku membelai-belai kepala Ragil. Kuciumi rambutnya.
Ragil mulai menggenjot, awalnya pelan, tapi perlahan semakin cepat. Genjotan ritmik yang seperti bernapas. Seperti alam. Aku merasakan persatuan ini tak hanya terjadi antara aku dan Ragil, tapi juga antara kami berdua dengan seluruh alam semesta.
Pagi itu, baik aku maupun Ragil, menyembunyikan semua desahan kami. Yang terdengar hanya suara napas berat. Seakan-akan suara erangan bisa merusak kesucian momen yang sedang terjadi.
Aku beberapa kali mencapai orgasme, tanpa kuberbicara, dan Ragil pun selalu memberi jeda tanpa diminta. Aku pun langsung menyadari ketika kurasakan Ragil hampir mencapai puncaknya. Kupeluk dia lebih erat. Kuciumi pipinya berkali-kali, juga lehernya. Ragil semakin semangat mencapai klimaks.
Ragil pun akhirnya memuntahkan spermanya sampai tuntas. Dinding vaginaku merespon dengan himpitan ketat, seakan mau memastikan tak ada bulir yang tersisa.
Terengah-engah, pagi yang dingin itu terasa sangat hangat bagi kami berdua. Ragil tersenyum, aku ikut tersenyum, lalu dia mengecup bibirku ringan sebelum menarik penisnya dari selangkanganku.
Aku membatin,
Oh, jadi begini ya rasanya punya pujaan hati.
***
Malam hari kami selalu tidur berpelukan. Meskipun tak setiap malam bersenggama, tapi kalau tidur pasti merapat. Kasur double size di kamar selalu terpakai setengahnya saja. Kadang berpelukan saling berhadap-hadapan, kadang Ragil memelukku dari belakang, atau sebaliknya, kadang Ragil kupeluk dari belakang. Benar-benar rasa pacaran.
Aku sering terbangun tengah malam, yang kulakukan hanya membelai rambut Ragil dan menciuminya lembut sampai aku mengantuk lagi. Pernah juga ketika aku terbangun, ternyata Ragil juga terbangun dari tidurnya. Dan dia hanya menatapi wajahku.
“Udah lama kebangun? Kenapa? Mimpi buruk?”
Ragil hanya menggeleng, matanya tetap fokus melihatku.
“Kenapa lihatin Ibu gitu?”
Aku pun jadi menatapnya dalam.
Jeda cukup lama sebelum Ragil kemudian menjawab.
“Ibu cantik banget.”
Kubelai wajahnya.
“Kamu juga ganteng.”
Ragil terkekeh kecil.
“Ih, kenapa?”
“Mana ada sih ibu yang bilang anaknya jelek.”
“Ih, masa sih ga percaya sama omongan ibu sendiri?”
“
Hehehe…”
“Emangnya di sekolah ga ada cewek yang menarik perhatian kamu?”
Ragil menggeleng. “Ga ada yang secantik Ibu.”
“Kamu belajar gombal gitu dari mana sih?”
“Ragil serius, Bu. Bukan lagi gombal. Ibu perempuan paling cantik yang Ragil kenal.”
Aku merasakan ketulusan di dalam kata-katanya. Aku jadi berpikir, apakah semua penderitaan hidupku selama ini demi bertemu dengan laki-laki sempurna ini ya?
Aku memberikan senyum sebagai jawaban perasaan tulus yang Ragil sampaikan.
“Kamu ga mau tidur lagi? Baru jam dua lho ini.”
“Mau.”
“Ya udah.”
Bukannya memejamkan mata, Ragil malah tetap menatapku.
“Kenapa? Mau ngentot dulu?”
Ragil hanya nyengir.
“Ih, bilang dong yang jelas, jangan nyengir-nyengir doang.”
Ragil menggeleng. “Nggak ah. Takut Ibu capek. Tadi kan habis kerja nyiapin katering.”
“Kamu kali yang capek.”
“Enak aja. Ragil kan masih muda.”
“Lho, jadi maksud kamu Ibu udah tua, gitu? Dasar.”
“Hehehe…”
“Jadi gimana, mau ngentot ga?”
“Lho, jangan-jangan Ibu yang pengen?”
“Lah, Ibu mah terserah kamu. Kalau kamu mau, ya ayo.”
“Ragil juga, kalau Ibu lagi mau mah, ya ayo.”
“Ih apaan sih, ga tegas. Jadi laki tuh harus tegas tau.”
“Hehehehe… ya udah, kalo gitu nenen aja deh.”
“Nenen doang?”
“Atau Ibu pengen lebih?”
“Kamu kali.”
“Nggak.”
“Ya udah.”
Aku membuka dua kancing atas piyamaku, lalu mengeluarkan salah satu si kembar. Ragil menatap gundukan itu dengan mata berbinar.
Hahaha, kena deh. Pasti konak dia.
“Cepetan. Masa mau dipelototin doang.”
“Tetek Ibu juga cantik.”
Apaan sih?
Ragil mendekatkan bibirnya ke puting susuku. Pertama, hanya dia tempelkan saja mulutnya, tanpa menyedot. Aku refleks membelai kepalanya, baru setelah itu Ragil mulai mengenyot puting yang mulai tegang itu—meskipun tak ada apapun yang keluar.
Awalnya kukira Ragil akan bergerak lebih jauh, tapi ternyata benar, dia hanya ingin nenen. Mulutnya terlepas dari putingku begitu Ragil sudah kembali tidur. Aku memasukkan kembali susu kiriku.
Sebentar.
Ini kan…
Ini kan momen
bonding ibu menyusui yang tak pernah kudapatkan dulu.
Oh, jadi ini rasanya.
***
Di malam-malam berikutnya, aku sering meminta Ragil untuk nenen padaku tiap mau tidur. Anehnya, momen nenen ini tidak pernah berubah jadi ngentot. Ragil selalu tertidur kalau nenen, dan aku sendiri jarang sekali mengalami horny. Momen nenen ini sepertinya betul-betul khusus sebagai
bonding ibu-anak yang tak sempat kudapatkan karena dulu aku masih ****** dan belum menyayangi Ragil.
Pagi-pagi Ragil sering membuatkan sarapan untukku. Kalau dia bangun lebih awal, biasanya dia langsung beres-beres rumah, mempersiapkan buku pelajaran, dan kalau masih ada waktu dia akan membuatkan masakan sederhana. Kadang juga bikin roti dan teh manis. Aku sering terharu dengan perlakuan Ragil ini. Pernah sampai aku menangis.
Ragil langsung menghampiriku dengan wajah khawatir.
“Ibu kenapa? Ibu sakit?” Ragil cemas luar biasa. Tentu saja, dia pasti kaget aku ujug-ujug menangis di pagi hari.
Aku bukannya menjawab, malah memeluk dia. Tangisanku semakin keras ketika Ragil mengusap-usap punggungku, berusaha menenangkan.
Saat sudah reda, Ragil mengusap pipiku yang basah dengan ujung sweaternya. Dia sudah rapi pakai seragam siap-siap berangkat. Tapi kutahan.
“Ragil, kita ngentot yuk.”
“Hah?”
Tanpa menghiraukan reaksinya yang sedikit kebingungan, aku segera membuka sabuk di celananya, lalu resletingnya, kuperosotkan celana itu, sekaligus celana dalamnya. Penisnya belum tegang betul, tetapi sudah mulai bertumbuh.
“Kamu ga usah ke sekolah ya hari ini. Ibu ga mau pisah sama kamu.”
Setelah melucuti bagian bawah, giliran baju dan sweaternya yang kutanggalkan. Ragil menurut saja sampai akhirnya dia pun telanjang bulat.
Kuraih penisnya yang sekarang sudah tegang sempurna. Kukocok perlahan.
“Sini, sayang, sambil cium Ibu.”
Posisinya aku duduk di tepi ranjang, Ragil berdiri dengan penis tegangnya yang kukocok, lalu dia pun sedikit membungkuk untuk berciuman denganku. Ciuman nan lembut dan dalam.
Tak terlalu lama aku mengocok, karena langsung kuminta Ragil untuk melakukan penetrasi. Aku rebahan, kepalaku disangga tiga bantal, Ragil menggenjotku dari atas. Setelah penisnya masuk sempurna ke vaginaku, kuraih lagi bibirnya dan kami terus berciuman non-stop sampai Ragil ejakulasi. Aku sedikit meneteskan air mata saking emosionalnya. Berbeda dengan momen mengentot di gedung sekolah, ngentot kali ini bersifat lebih panas. Aku mengerang tak ditahan di tengah cumbuan bibir kami.