Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 14
Analisa Perkara


POV Erna

Gue terbangun gara-gara hape bergetar di bawah bantal.

“Halo?” Suara gue serak.
“Akmal ketembak. Buruan dateng!” Suara Hari menggelegar di seberang handphone.

---

POV Hari

Siang ini mendadak mencekam di penthouse. Dua agen C.I.A. berdiri dengan tangan bersedekap menunggu jawaban-jawaban mengalir dari mulut gue dan Dani, apalagi Akmal.

"There’s so much we don’t know here!” Bentak agen berkulit putih.
"C’mon, men, we can make it easy.” Si kulit hitam membujuk.
“Can’t we just sit??” Dani membentak balik.
“Excuse me?!”

Si kulit putih tesulut.

“I am treating him, know. Relax, please.” Dani tak gentar.

Dani masih memberikan sentuhan pengobatan terakhir kepada Akmal. Dia sedang mengganti perban yang telah basah lagi. Operasi seadanya untuk pengeluaran dua peluru dari lengan kanan Akmal baru aja dilakukan sesampainya di sini.

Bukan Dani yang mengoperasi, tapi Akmal sendiri. Dia ngeguyur alkohol sama obat merah banyak-banyak ke lengan kanannya di kamar mandi. Menggunakan pinset steril, dia mengorek dagingnya sendiri sampai semua proyektil terangkat. Bahkan, Akmal ngejahit lukanya juga sendirian. Dua agen C.I.A. di sini gak nolong apa-apa lagi selain ngebawa Akmal kabur dari TKP subuh tadi.

Bukan tanggung jawab mereka katanya.

“Sorry telat!” Erna ngos-ngosan di depan pintu.

Si kulit hitam geleng-geleng. Gue bisa membaca kalau sebentar lagi emosinya sebentar lagi meledak. Sebelum itu terjadi, dia menuju kulkas untuk mencari minuman.

“Any vodka here?” Matanya menyusuri sudut-sudut kulkas.
“Only orange juice.” Jawab gue.

“Fuck this place!”

Dia terpaksa membuat jus jeruk demi mendinginkan kepalanya. Sementara si kulit hitam hanya cengar-cengir melihat kelakuan partnernya. Dia berbisik kepada gue kalau itu udah terjadi sejak mereka jadi partner. Jadi, gak usah masukin hati.

Gue menyempatkan berbalas kata kepada si kulit hitam, menyebutnya orang yang kalem. Gue juga menyelipkan pertanyaan kenapa gak mau nolongin Akmal semampunya. Kemudian, jawabannya sangat anti mainstream, dia gak bisa melakukan operasi.

“Gimana kejadiannya?” Gue mendengar Erna bertanya.

Di pojokan sofa, Erna menghampiri Dani dan Akmal. Gue bisa mendengar bagaimana Dani menceritakan kronologi sejak Akmal sampai di Kalibata, dibuntuti Dani.

Dani terus mengikuti Akmal sampai di depan pintu lift salah satu gedung apartemen yang jumlahnya bejibun. Akmal menyusup di sekeliling orang yang lalu lalang di pintu akses. Begitu Dani mau menyusul, dia gak sempat dapat kesempatan menyelinap. Tidak ada orang
yang lalu lalang dalam waktu yang lumayan lama.

“Mana satpam yang jaga cuma senyam-senyum.” Dani menggeliat geli.

Begitu ada yang membuka akses masuk, Dani akhirnya bisa ikut masuk. Tapi dia terlanjur kehilangan Akmal, lalu cuma bergantung dari segelintir kamera lebah yang hanya beroperasi dari luar jendela gedung. Menurut intuisinya, Akmal ada di lantai 15-an. Itu terbukti, lift gak berhenti di
lantai 16 meski tombol lantai udah dipencet. Dani bablas sampai lantai 19.

“Dari situ gue makin curiga soal lantai 16 itu.” Cerita Dani.

Dani turun lewat tangga. Kemudian, benarlah dugaannya kalau ada yang aneh di lantai 16. Lorongnya gelap, hanya menyisakan beberapa neon yang berkedip. Suasana berubah creepy seperti di film The Raid, atau serangan zombi di World War Z.

Baru beberapa langkah dia melewati lorong, pintu di belakangnya kebuka. Mulutnya ditutup dan dirinya ditarik ke dalam ruangan. Dani sempat berontak dan mengeluarkan ICER sebelum tahu siapa yang dihadapinya.

“Rupanya dua bule ini.” Tunjuk Dani.
“Excuse me, what are you talking about?” Sindir si kulit putih.
“She’s give storytelling to Her.” Gue memberi penjelasan konyol.

Dani cuek. Dia terus meneruskan ceritanya kepada Erna.

Di kamar itu, dua agen C.I.A. udah menyadap setiap ruangan di lantai 16 dan CCTV. Mereka dengan perlengkapan portablenya sudah siap menghadapi investigasi ini. Tapi sayangnya, belum sempat Dani menjelaskan ada Akmal yang mengacau, suara orang rusuh terdengar di alat penyadap.

Dani dan dua agen C.I.A. itu bergegas ke sumber suara, kamar nomor 1602. Mereka mendobrak ruangan. Ada Akmal yang udah tergeletak bersimbah darah. Sedikit reaksi kemudian, para agen tau kalo Dani kenal sama Akmal.

Setelah melumpuhkan dua orang kurus yang jadi lawan mudah, Akmal dibopong ke kamar persembunyian kami. Agen kulit hitam memapah Akmal, agen kulit putih bebenah, dan Dani bengong. Akhir cerita, mereka berempat meluncur secepat mungkin dari Kalibata ke sini pake mobil sewaan si agen.

“Yah, mau gimana lagi.” Erna menghela nafas.

Tiba-tiba pintu diketuk. Gue mengintip, rupanya di depan pintu sana ada Pur sama Laras.

“Kok bisa ke sini?” Gue heran.
“Gue kan masih megang salinan akses.” Pur nunjukin kartu akses.
“Bukan itu, tapi....”
“Pokoknya kita tau lah kalian ada masalah.” Kata Pur lagi.

Pur ngeliat Erna, Erna ngeliat Pur.

“Oke. Gagak Odin. Cukup kan?” Pur mengklarifikasi.

Pur tanpa canggung berkenalan dengan para agen menggunakan bahasa Inggris yang fasih. Dia juga mengenalkan diri sebagai einherjar. Dia memberi tahu kalau dirinya dan Laras adalah utusan Odin untuk mencegah printilan penyebab Ragnarok. Pur juga memberi jaminan kalau cerita dia gak bohong, dengan merubah diri menjadi berbaju zirah emas berjubah hijau.

Kedua agen bule itu melotot.

“Loki! I know that suit!” Tunjuk si kulit putih.
“We are children of Loki.” Pur tersenyum bangga.
“Motherfucker!”

Si kulit putih mengacungkan pistolnya. Dia menembak Pur beberapa kali hanya untuk membuktikan bahwa peluru bumi jadi semacam benda lunak. Si kulit putih pantang menyerah, Dia lanjut menyerang Pur meski gak pernah kena. Terakhir, si kulit putih
kecapekan sendiri.

“Kalo gue jahat, gue udah nyerang bumi dari kemarin.” Jelas Pur.

“Are you on good side? For real?” Tanya si kulit hitam.

Mereka tiba-tiba berdiskusi panjang dengan bahasa masing-masing. Si kulit hitam berbahasa Inggris-Amerika berlogat Nigga, sedangkan Pur menyombongkan bahasa Indonesia dengan logat betawi.

“Tunggu! TUNGGU! Kok kalian bisa saling ngerti?” Gue menyetop diskusi mereka.
“English, please.” Pinta si kulit hitam.

Kening gue berlipat banyak. Gimana mungkin Pur berbahasa Indonesia tapi bisa dimengerti orang Amerika, sementara gue nggak. Gue bengong, gue melihat semua orang Indonesia di sini. Mereka juga bengong.

“Pur, gue apa elu yang jelasin?”

Gue gak tau Laras orang Indonesia atau bukan, tapi bibirnya ditekuk menahan tawanya.

Pintu informasi dalam kepala gue seolah baru terbuka lebar. Semua pertanyaan soal tata bahasa Einherjar berbondong-bondong antri untuk diucapkan. Gimana mungkin seorang yang gak berdomisili di Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Mereka bahkan bukan WNI.

Mereka bahkan bukan warga bumi. Gimana mungkin mereka mengerti bahasa-bahasa yang ada di bumi. Malah, gue dengar tadi Pur berlogat betawi. Beberapa kali sebelumnya, gue malah keinget Pur yang berlogat Surabaya-Malangan.

“Hahaha. Bingung ya? Cie cie.” Pur konyol.
“Is this kind of joke?” Si kulit putih bergabung lagi.

Setelah Pur dan Laras puas tertawa terbahak-bahak, Pur menjelaskan penggunaan tata bahasa mereka. Dulu, waktu mereka kuliah di Asgard, ada mata kuliah wajib namanya all-speak. Kadang disebut all-tongue.

Berbeda dari keturunan murni Asgard, einherjar gak diberkahi kemampuan all-speak sejak
lahir. Semua yang ikut pendidikan einherjar wajib belajar itu sebelum diseleksi sesuai kemampuan. Setelah itu, kembali ke cerita tentang pendidikan anak-anak Loki.

“Keturunan murni Asgard itu apa?” Tanya gue.
“Lain kali gue ceritain.”
“Sekarang soal gagak Odin....” Erna nimbrung.

Laras gantian menjelaskan. Katanya, setelah mereka ditinggal sekian lama tanpa instruksi oleh komandan Einherjarnya, baru kali ini lagi mereka dapat perintah khusus yang dikirim gagaknya Odin.

Gagak itu mengirimkan pesan bahwa mereka berdua harus kembali ke Midgard, ngebantu kelompok inhuman di Indonesia. Selain itu, mereka juga dapat tugas mencari buronan Asgard yang lain. Dia perempuan ras raksasa Jotun.

“Sebelum kami nyari di dunia lain lagi, kami mau ngasih tau kalo kami di pihak kalian.” Tutup Laras.

Erna terdiam. Dia merenung. Semoga lamunannya kali ini menuntun ke pilihan yang baik.

“Wait! Wait!” Si kulit putih memotong.

Dia berkata bahwa kami seharusnya jangan dulu percaya. Mereka tetaplah anak-anak Loki. Si kulit putih itu bersikeras bahwa semua yang berhubungan dengan Loki itu berbahaya. New York dan New Mexico adalah dua kasus di mana kunjungan Loki tersebut selalu merusak bumi.

“You must be reported to A.T.C.U. soon!” Si kulit putih gemetaran.
“Do what you have to do.” Jawab Laras.

Si kulit putih terus meracau. Kali ini kami yang disalahkan karena menerima masuk einherjar tanpa memberi informasi sejak awal. Gue tau kami salah, oleh karena itu kami siap menerima konsekuensinya. Tapi, makin lama, setiap kata yang keluar dari kulit putih udah keluar dari konteks pembicaraan.

“Calm down, dude.” Si kulit hitam memberikan jus jeruk lagi.

Setelah sedikit perdebatan lagi. Kami kembali ke benang merah. Kami mulai merangkai setiap kejadian yang menjadi masalah selama dua bulan belakangan.

Mulai dari dua bulan sejak kami menjadi agen A.T.C.U., kasus terrigenesis terhitung aman. Lima WNI yang mengalami terrigenesis di daerahnya masing-masing, berhasil kami tolong. Mereka pun diperlakukan layak, didaftarkan Sokovia Accords, dan dilatih mengendalikan kekuatan mereka di tempat pelatihan A.T.C.U.

“Jadi, musuh kita bukan dari kalangan inhuman.” Kesimpulan gue.

Kedua, kejadian teror burung dara juga ternyata bukan masalah. Satu masalah dari kalangan dunia lain atau alien adalah batu-batuan rune dan Rosi. Dia pun udah ditangkap sama kedua einherjar partner kami itu beberapa hari lalu.

“So, Gods problem is over?” Tanya si kulit hitam.

“Kita bukan dewa.” Koreksi Pur.
“Anything you said.”
“Buat sekarang, midgard aman dari buronan kami.” Jawaban Laras.

Ketiga, organisasi teroris. Kami sudah menyimpulkan Watchdog di Indonesia udah hancur. Mereka memang bobrok di dalam. Alan lah yang merusak mereka seperti tawon parasit Ichneumon. Mereka bertelur di bawah kulit ulat, lalu larvanya menetas menggerogoti isi tubuh si ulat, lalu keluar saat ulat itu lemah atau sedang dalam fase kepompong.

Si ulat, atau kepompong itu sudah jelas mati diterobos dari dalam tubuhnya sendiri.

“So, there are only Hammer Tech and Roxxon in Indonesia now.” Kata si kulit hitam.

Kami pun udah tau kalo Hammer Tech dan Roxxon merupakan organisasi berbeda. Satu bergerak dalam persenjataan, dan satu lagi dalam bidang riset dan obat-obatan.

Hammer Tech bergerak dengan sangat sombong, menantang semua yang menghalanginya seperti kejadian di Mangga Dua. Mungkin hal itu diturunkan dari CEOnya yang masih ada dalam penjara, Justin Hammer.

Kontras dengan Hammer Tech, Roxxon bergerak lebih santai. Mereka membuat organisasi mereka legal dalam balutan nama Roxxon Medical Indonesia, Tbk. Jenggo pemimpinnya, dan entah siapa Niken itu. Tapi, sekarang mereka menghilang entah ke mana, seperti ditelan bumi. Di sisi lain, produksi obat-obatan mereka terus berkembang dan lolos dari rapor merah BPOM.

“Roxxon is beyond our reach.” Dani menanggapi.
“I agree, also like that in my country.” Respon si kulit hitam.

Kami menarik garis dari hal itu semua, bahwa kami punya tiga musuh dengan jalur berbeda. Musuh berbentuk manusia adalah Hammer Tech dan Roxxon. Musuh berbentuk alien adalah buronannya einherjar. Mana yang bisa kami sentuh duluan, ditentukan oleh keputusan kami selanjutnya.

Seperti yang disebut tadi, Hammer Tech lah yang bisa dengan cepat kami jangkau. Namun di waktu-waktu tertentu, kami tetap harus siap atas munculnya Roxxon atau buronan einherjar.

“We need more help here.” Kata gue.
“First, I’ll report it to council. But, not us you needed.” Kata si kulit hitam.
“But, why?”
“If only you reported correctly since earlier, we will win today.” Timpal kulit putih.

Gue mendengus. Si kulit putih ini terlalu banyak omong. Gue pun jadi kembali fokus pada perkataan si kulit hitam. Kalau bukan mereka yang kami butuhkan, lalu siapa? Bukannya mereka yang dikirim untuk menginvestigasi transaksi senjata alien.

Gue pikir, mereka lebih punya kapabilitas untuk menyelesaikan tugas tanpa distraksi. Gak seperti gue, Dani, atau bahkan Erna yang masih punya kehidupan di sini. Kami memang udah memutuskan jadi agen S.H.I.E.L.D. sebelumnya. Tapi sayangnya perhitungan kami salah. S.H.I.E.L.D. menghilang, atau setidaknya bersembunyi lagi usai perseteruan dengan robot ciptaan mereka sendiri. Kami akhirnya dioper jadi agen lapangan A.T.C.U.

“We are not A.T.C.U. agents. We are C.I.A.” Kata kulit putih.
“You need your own man, do you understand?” Si kulit hitam bernada lebih adem.

Gue mengangguk. Satu hal yang membuat gue bertahan sampai sekarang adalah untuk menemukan dan menghabisi dalang dari pembunuh nyokap dan Kenia. Mereka harus mendapatkan balasan yang setimpal. Kematian dibalas kematian, seenggaknya harus begitu.

“Tunggu bentar, jadi Roxxon sama Hammer Tech itu beda?” Akmal bergabung.
“Jelas beda.” Jawab gue.
“Gue kira sama.”

Akmal tampak mendadak remuk redam. Dia menarik nafas dalam-dalam. Gue yakin ada yang salah dengan jalan pikirannya selama ini.

“Gini, maaf sebelumnya kalau udah ngacauin investigasi kalian.” Akmal angkat bicara.

Pur mengulang ucapan Akmal supaya dimengerti para agen bule. Mereka berdua mendengakan dengan seksama kepada Pur, bukan Akmal. Toh, mereka juga gak ngerti bahasa Indonesia.

“Saya rasa kita semua udah saling jujur di sini, kecuali saya. Saya... punya keluarga... adik...”

Akmal tertunduk, menangis. Telapak tangannya menutupi seluruh mukanya yang semakin
basah. Dia gagal bercerita, padahal ceritanya pasti punya nilai untuk kegiatan ini. Semoga segelas jus jeruk dingin bisa menenangkan dia dulu.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri
Dani_2_3_D.jpg


Ernawati
Erna_2_3_D.jpg


Putri Larasati
Laras_3_D.jpg
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Hammer tech bukan nya yang punya Justin Hammer yak? Di Iron Man 2

Kalo Aldrich kilian dia kan yang punya A.I.M di Iron Man 3

CMIIW
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Oh iya Justin Hammer, makasih koreksinya.

btw, selamat pagi. Selamat mengais rupiah untuk keluarga
 

Episode 15
Anak Bawang


POV Akmal

Tahun 1998

Aku menonton televisi, semuanya acara berita. Bahkan, hingga waktunya aku tidur, dunia dalam berita masih tayang menyampaikan berita-berita penting yang belum selesai. Selain itu, lain juga dari sebelum-sebelumnya, ibu bapakku gak langsung pergi menimang dan menjaga Gilang. Mereka banyak sekali berbincang soal sesuatu.

Sampai di malam ketiga, aku gak tahan untuk menguping dari dalam sepetak kamar.

“Pak, besok apalagi yang bisa digoreng?” Ibu memulai pembicaraan.
“Bapak pusing, bu.” Bapak pasrah.
“Jangan pusang pusing doang pak, Gilang juga susunya abis.”

Bapak terdengar menghela nafas. Di tempatku menguping, aku gak bisa melihat apakah bapak masih bisa membakar rokok kreteknya apa nggak.

“Besok pagi coba ambil singkong aja dari kebon Pak Sulis.” Solusi bapak.
“Singkong, pak?”
“Uang bapak habis. Honor baru turun lusa, itu juga kalo jadi.” Bapak membuka masalah baru.

Belum juga pembicaraan mereka berdua selesai, Gilang udah nangis. Buru-buru aku naik ke kasur kapuk buluk untuk pura-pura tidur. Aku bisa mendengar ibu masuk kamar tak berpintu ini untuk menimang Gilang. Niscaya kalo Gilang belum bisa berhenti nangis setelah 10 menit, dia demam besoknya. Selalu kejadian.

Adikku itu baru lahir enam bulan lalu. Kata ibu, harusnya dia udah mulai dikasih asupan bubur bayi. Tapi tiba-tiba aja kondisi keuangan bapak terjun bebas. Toko jual-beli emas tempat bapak bekerja di Daan Mogot ditutup pak bos. Bahkan, bapak dengar kabar kalo pak bos mau menyelamatkan diri ke Singapura. Aku sendiri terheran-heran, orang sebaik pak bos harus menyelamatkan diri dari siapa.

Akibatnya, Satu per satu lauk di meja makan gak tesedia seperti biasanya. Dua bulan lalu, dari nasih sampai buah jeruk masih lengkap. Sebulan lalu, hanya tinggal nasi dan ikan kembung. Sejak kemarin, semua piring kosong.

“Gilang masih nangis?” Bapak datang.
“Sttt... Udah tidur.” Ibu berbisik.
“Kalau sakit lagi, bisa repot kita.” Balas bapak.

---

Tahun 2006

Aku bahagia karena menjadi satu-satunya siswa seangkatan yang bisa akselerasi di bangku SMA. Di saat teman-teman seangkatan yang lain merasa bahagia karena naik ke kelas 3, aku bahagia karena lulus tahun ini. Semua pendidikanku ditanggung beasiswa pula.

Hanya ada satu masalah, aku kurang berbaur dengan kakak kelas. Hasilnya, aku sendirian dalam upacara pelepasan siswa hari ini. Bapak dan ibu sudah kupesankan tak usah datang karena mereka gak akan ketemu orang tuanya Billy, orang tuanya Agnes, dan orang-orang tua temanku yang lainnya.

Sesampainya di rumah tanpa pintu kamar ini, aku disambut bak penganten sunat. Beberapa tetangga datang menyampaikan selamat. Pak RT bahkan menyempatkan bolos dari tempat kerjanya di kios fotokopi.

“Selamat ya, Kamal. Nama kamu itu berkah dari daerah sini.” Pak RT tersenyum lebar.
“Akmal, pak.” Ralatku.

Pak RT selalu salah menyebut namaku dari dulu. Dia juga selalu menganggap jin penunggu daerah Kamal Muara lah yang selalu berada di balik setiap keberuntunganku. Begitu Pak RT melihat mukaku, bisa dijamin dia akan teringat jin Kamal Muara yang gagal dia botolkan untuk dijual.

“Pak RT, tahun depan saya bikin KTP. Jangan salah tulis nama saya ya.” Ledekku.
“Hehehe. Gampang, itu. Gampang.” Pak RT membenarkan kopiah hitamnya.

Menjelang maghrib, orang-orang udah menghilang dari rumahku. Tapi Gilang belum juga pulang.

“Mal, cariin Gilang!” Nyokap teriak dari dapur.
“Iyaaak!” Teriakanku udah ngebass.

Aku berkeliling kampung yang jalananya becek sehabis banjir rob hanya untuk mencari Gilang. Hanya gara-gara adekku yang satu itu, sendalku biasanya suka putus begitu lewat depan rumah Bu Haji. Lumpur di sana selalu menumpuk setelah banjir sehingga sendalku pasti nyangkut.

Sayangnya, hanya bisa lewat itulah aku bisa ke tempat Gilang main. Dia pasti suka lempar batu ke jalan tol bandara, ikutan temen-temennya yang lebih gede.

“Gilaaang! Pulaaang!” Teriakku dari jarak lumayan jauh.

Teriakanku udah familiar di telinga mereka. Responnya juga selalu sama, mereka langsung lari tunggang langgang meninggalkan Gilang yang pelan-pelan nangis. Gilang, si bocah umur 8 tahun, masih cengeng, dan suka ingusan, cocok sekali buat jadi bahan bully dan adu domba teman-teman sepermainannya.

Sesampainya di rumah, Gilang sudah pasti langsung ingusan akibat aku yang kurang lihai menenangkan dia. Sisi bagusnya, kebiasaan demamnya bukan lagi ancaman.

Selepas makan malam, bapak menanyakan arah hidupku. Ini serius. Banget.

“Habis lulus mau ke mana, Mal?”
“Kuliah, Pak” Jawab gue mantap.
“Iya, bagus itu kuliah.” Bapak ngangguk.
“Pak!” Ibu memotong.

Ibu menjelaskan bagaimana keadaan ekonomi kami pasti gak akan cukup menanggung beban uang kuliahku. Padahal, aku bisa menjelaskan bahwa beasiswa itu bejibun jumlahnya, mulai dari beasiswa PPA-BBM, beasiswa macam-macam dari pemerintah, sampai beasiswa dari perusahaan swasta sekali pun. Aku pun turut harus membanggakan diri dengan kemampuanku yang cerdas. Semuanya demi satu tujuan. Kuliah di universitas negeri.

Kedua orangtuaku memang terbilang masih kolot, apalagi di lingkungan seperti ini. Ketua RTnya aja masih percaya sama keberuntungan jin Kamal Muara. Buat mereka-mereka, keuangan praktis adalah yang utama. Apa yang bisa didapat hari ini haruslah terlihat jelas. Bukan angan-angan yang dijanjikan bisa dicapai 5 atau 10 tahun kemudian.

“Bapak bukannya mau mutus semangat kamu.” Bapak bernada rendah.
“Terus apa, Pak? Bu?” Aku mulai kesal.

Dalam saat seperti ini, aku berniat kabur dari rumah. Aku pun memang bisa. Banyak yang mau menampungku karena berguna buat mereka. Agnes misalnya, yang rumahnya di Grand Wisata Bekasi, perumahan elit.

“Ini pilihan lain buat kamu. Ikut akpol.” Bapak menyodorkan formulir kosong.

Formulir kosong itu bertuliskan akademi polisi. Bapak dapat lembaran itu dari polisi yang sering minta uang kemanaan di toko emas pak bos. Bapak juga menjelaskan dengan sabar bagaimana ikut akademi polisi bisa membuat keluarga ini lebih baik. Semuanya dibiayai pemerintah dan kesempatan punya masa depan yang cerah. Apalagi aku ditunjang badanku yang lambat laun tegap berisi mengikuti postur bapak.

“Ini lebih baik daripada saran ibumu itu.” Sindir bapak ke ibu.
“Saran ibu apa emangnya?” Aku menoleh ke ibu.
“Menurut ibu, kamu jadi sopir taksi bandara lebih bagus.”

Aku geleng-geleng.

Aku tetap bersikeras untuk kuliah. Tapi, akhirnya luluh setelah berbagai alasan untuk tetap bisa menyekolahkan Gilang supaya bisa sama suksesnya sepertiku. Gilang menjadi selalu menjadi anak bawang yang disayangi keluarga, termasuk olehku. Kami semua menyayangi Gilang.

---

Tahun 2010

Aku lulus akpol sebulan lalu. Gelar Ipda sukses disematkan di depan nama Akmal Pradana, sekaligus juga menerima penghargaan sebagai taruna terbaik. Setiap gemblengan dan didikan keras akademi polisi aku terima dengan ikhlas hanya demi Gilang.

Buatku, Gilang harus meneruskan pendidikannya sampai kuliah. Biarlah bapak dan aku yang berkorban demi membiayai dia.

“Gilang mana, bu?” Aku pulang dinas sore.
“Sini, Mal...” Ibu ngajak berbisik.

Rupanya ada masalah yang tercium oleh tetangga akibat ulah Gilang. Dia mulai ikut nongkrong-nongkrong gak jelas, terbawa oleh pergaulan teman-teman SMPnya. Satu minggu belakangan, Gilang kelihatan selalu pulang dalam keadaan setengah mabuk. Mulutnya bau alkohol, kata ibu.

Tapi, label anak bawang tetaplah terikat dalam diri Gilang. Bapak dan ibu gak pernah keras. Aku pun baru tahu hari ini tentang kelakuan Gilang.

“Gak bisa dibiarin ini, Bu.” Aku bergegas pergi lagi.

Gilang juga harusnya udah pulang sekolah dari tadi siang. Tapi, dia belum pulang sekarang. Cari ke mana? Warnet? Warung rokok belakang sekolah? Lokalisasi? Semuanya saja lah kucari.

Kutemukan Gilang di warung rokok belakang sekolah. Celananya cingkrang, ketat, dan ikat pinggangnya terpasang berantakan. Badannya yang kurus tak bisa sama sekali bergerak cepat ketika aku memergokinya menghisap sebatang rokok.

“Gilang! Pulang!’ Bentakku.

Teman-temannya kocar-kacir karena kedatanganku. Mereka takut dengan baju dinas yang masih kukenakan rapi ini. Label polisi rupanya berpengaruh juga.

Gak seperti dulu, Gilang gak lagi-lagi nangis atau ingusan. Dia berubah jadi pembangkang dan menolak pulang, Teriakan parau khas ABGnya bahkan lebih nyaring dari suaraku. Setiap kata-kata yang keluar adalah hinaan kepadaku dan perlakuan keluarga yang sempurna kepadaku.

Dia gak sadar siapa yang sebenarnya jadi anak istimewa.

“Pulang!” Hanya itu pembelaanku.

Kalau bukanlah anak bawang, Gilang sudah kupukul dari tadi. Hinaannya kian melebar hingga kepada bapak. Bapak dihinanya tidak becus membina keluarga. Bapak yang tidak punya uang. Bapak yang tidak bisa membela diriku agar bisa kuliah. Bapak ini, bapak itu, pokoknya bapak haruslah menjadi jelek di mata Gilang.

“PULANG ATAU GUE TAMPAR SEKARANG!” Aku menarik kerah seragam Gilang.

Gilang terangkat sekian sentimeter dari tanah. Kakinya terayun tak berpijak. Bahkan, aku sendiri tak menyangka postur tubuhku berkembang sedemikian tinggi dan besarnya untuk bisa ditakuti Gilang.

“Pulang.” Aku ulangi sekali lagi.

Sayangnya, insiden sore itu bukan membuat Gilang menjadi anak yang lebih baik. Ada jarak yang semakin renggang antara aku dan bapak dengan Gilang. Semakin sering aku menjemput dia ke tempat nongkrongnya, semakin sering juga dia bersembunyi ke tempat nongkrong yang baru. Aku sampai harus memamerkan pistol agar teman-temannya mau berbicara soal tempat Gilang bersembunyi.

Lambat laun Gilang menjadi tidak banyak teman. Hanya segelintir orang masih mau berteman dengan dia, itu pun hanya gamers yang bisa tiba-tiba tenggelam dalam dunianya sendiri setelah duduk manis di depan komputer.

---

Tahun 2016

Gilang masuk SMK pilihan terakhir karena hasil UNnya jelek. Pergaulannya semakin gak karuan. Dia tak naik kelas satu kali. Lalu, beberapa kali aku harus menjemput ke tahanan karena terangkap sedang mabuk atau tawuran.

Selepas SMK, Gilang pengangguran. Nilainya tak cukup untuk ikut SNMPTN. Gairahnya untuk berkuliah juga luntur. Bapak dan ibu sudah habis akal, sedangkan aku sudah jarang pulang. Apalagi sejak ikut pendidikan lanjutan agar bisa naik pangkat.

Aku yang terlalu rajin juga harus dipanggil dalam pendidikan satuan satuan khusus. Tahun ini resmilah aku memiliki kualifikasi anggota intelijen keamanan. Konsekuensinya, aku harus sering berada di lapangan daripada di rumah.

Untungnya, dalam waktu dua tahun belakangan, aku sanggup mengkreditkan rumah baru untuk bapak, ibu, dan Gilang. Kami resmi pindah dari Kamal Muara ke perumahan yang lebih layak di Citayam.

Keluarga kami menjadi lebih kompeten dari hal keuangan. Aku bekerja sebagai polisi, dan bapak punya toko sepatu yang buka di Pasar Baru. Bapak jadi lebih sering nginap di toko ketimbang pergi subuh pulang malam naik kereta.

“Gilang mana, bu?” Itu pertanyaan wajib sepulangnya aku ke rumah.
“Main di bengkel kali.” Ibu udah antipati.
“Aku jemput ya.”
“Terserah.” Ibu lanjut nonton tivi

Aku menjemput Gilang ke bengkel tempat teman main barunya, Teman-temannya kali ini kurasa lebih baik. Sebagian besar dari mereka memang tak lanjut sekolah selulus SMA atau SMK, tapi mereka masih punya penghasilan. Dua dari mereka, Sunar dan Abed, bahkan sudah berkeluarga meski dari hasil kecelakaan.

Setidaknya gaya hidup mereka masih dikontrol, seolah punya pedal rem yang bisa diinjak sewaktu-waktu.

“Bed, liat Gilang?” Gue memarkirkan motor.
“Siap, Komandan. Saya baru dateng, jadi gak liat.” Abed orangnya supel.
“Sunar.” Panggil gue.
“Gilang udah jarang nongkrong di mari, Bang.” Jawab Sunar.

Ini masalah baru. Padahal, gue udah percaya Gilang akan nyaman dengan pergaulan di sini. Sayangnya, aku terlalu percaya dan melepas pengawasanku padanya.

“Ada hubungannya sama ini kali.” Sunar menyodorkan brosur.

Sebuah brosur cetakan murahan di atas kertas kuning menarik perhatian kami bertiga. Kata Sunar, Gilang tadi pagi datang, dia kesekian kalinya cerita soal tawaran seseorang untuk asrama pelatihan bodyguard. Sunar menolak mentah-mentah tawaran Gilang karena gak bisa ninggalin anak dan istri.

BADAN KECIL BUKAN MASALAH. NIAT ADALAH YANG UTAMA. Gue membaca dua kalimat propaganda itu, ditulis kapital dalam balon kata, di atas gambar Agung Hercules fotokopian resolusi kecil.

“Terima kasih ya. Saya balik.” Gue berpamitan.
“Siap, komandan!” Timpal Abed.
"jangan bilang tau dari saya ya, Bang." Pinta Sunar
"Beres lah."

Malam itu dan malam-malam selanjutnya Gilang gak pulang lagi ke rumah.

---

Awal Tahun 2017

Laporan orang hilang udah dilakukan. Pencarian selalu dilakukan olehku dan rekan-rekan sejawat di kedinasan. Hasilnya, nihil. Di sisi lain, aku beberapa kali melihat brosur yang mirip dengan yang diberikan Gilang ke Sunar. Brosur itu tertempel di di tiang listrik, tembok pabrik, dan ada juga yang terlindas di aspal sampai buluk.

Aku sempat memberikan brosur mencurigakan itu ke komandan, tapi penyelidikan terhambat banyaknya insiden kerusuhan, baik itu soal SARA atau inhuman.

“Kamu masih mau cari Gilang?” Tanya bapak di waktu liburnya.
“Sampe kapan pun, Pak.” Jawabku tegas.
“Carilah. Bapak sama ibu udah capek. Udah tua.” Kata bapak lagi.

Aku pun mencari bantuan dari jalur-jalur alternatif yang bisa menghubungkanku dengan koneksi lain. Akhirnya, sampailah aku pada kabar berita penyerangan satu kelompok teroris di Thamrin. Ada juga berita aneh yang sangat tak terduga dari Karang Tengah. Di situlah aku berhasil mencari identitas Hari Fiddi Lasya dan ibunya, temannya yang bernama Persadani Putri, serta Ernawati.

Mereka rupanya anggota A.T.C.U. Mereka inhuman. Kecuali perempuan bernama Persadani Putri itu. Mereka berkompeten dalam lima kasus terrigenesis yang kudengar-dengar telah terjadi di Indonesia. Mereka pasti bisa kumintai tolong untuk menemukan Gilang.

Beberapa rencana kusiapkan untuk bisa bertemu dengan mereka di sela kesibukanku. Untungnya, aku bertemu mereka bisa lebih cepat dan dalam keadaan yang tak direncanakan. Bahkan, aku menemukan targetku yang menyebar brosur. Hammer Tech dan Roxxon.

---

Saat ini

“Maafin... Maafin saya...” Aku menangis gak karuan.

Aku mengusap air mataku lagi setelah berhasil kuceritakan semuanya. Rasanya bebanku terangkat sebagian, berbagi dengan yang sama kompetennya untuk membantuku.

“Kalo adik lu ikut pelatihan bodyguard, pasti ulah Roxxon.” Terang Dani.
“Betul banget.” Hari ikutan ngomong.
“Bodyguard itu kekar, kaya kasusnya Eda dan kami waktu di Karang Tengah.” Jelas Dani lagi.

Jelaslah sudah bagiku kalau Hammer tech dan Roxxon adalah organisasi berbeda. Selain itu, mereka juga tidak terafiliasi, malah bersaingan untuk menciptakan manusia super.

“Saya mau ikut kalian.” Pintaku.
“Bisa diatur.” Pur nimbrung.

Pur menjelaskan dengan bahasa Inggris kepada dua agen C.I.A. Entah apa negosiasinya. Yang kutahu, kedua agen itu mengangguk setuju tanpa melewati proses debat panjang. Hari, Dani, dan Erna hanya menyimak.

“A.T.C.U. minta segala informasi yang kamu tau dari polisi.” Kata Pur ke gue.
“Deal.”

Kini aku mempertaruhkan karirku hanya untuk mencari dan menyelamatkan adik satu-satunya. Gilang, kalau kamu bisa dengar, kamu benar-benar anak bawang. Harusnya kamu bersyukur, bukan lari dari kenyataan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
ralat dikit hu
Aku lulus akpol sebulan lalu. Gelar Bripda sukses disematkan di depan nama Akmal Pradana

akpol itu lususanya jadi IPDA hu perwira pertama

kalo bintara polisi baru Brigadir Dua

sukses ceritanya
 
Terima kasih om @junkersial hehehe

Selamat weekend. Berhubung laptop belum sehat, update sabtu tetap digeser Jumat dulu ya. Soal sedikit komen, tak apalah yang penting tiap episode bisa geser page dulu.

:beer:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd