Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Haloo pembaca baru, jangan lupa ikutin juga dari season 1 ya biar nyambung hehehe.

Mohon bersabar juga karena laptop saya lcdnya lagi pecah dan harus beli lcd baru
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Suhu, coba cari aja di jakmall, sapa tau ada, benerin sndr..
 
Episode 12
Pesta Atau Cinta


POV Purnawarman

Gue udah bangun tidur sejak beberapa jam tadi. Jantung, nadi, pembuluh darah, otak, mata, bulukuduk, penis, dan seluruh jeroan gue terus berdebar menunggu apa yang akan datang sebentar lagi. Gue menunggu detik demi detik sambil mengamati pemandangan menjelang matahari terbit dari jendela lebar kamar ini.

“Hmmm..” Suara geliat Laras.

Gue menoleh ke tempat tidur. Laras baru mulai berkedip, bangun dari tidurnya yang nyenyak. Perlahan, gue naik ke tempat tidurnya, merangkak, lalu menggigit lembut bibir bawahnya.

“Pagi, Sayang~” Sapa gue.
“Pagi juga. Tumben bilang sayang.” Jawab Laras.

Gue hanya tersenyum. Kemudian, gue gak berlama-lama di atas kepala laras. Kecupan gue terus menjalar ke bawah, menyingkap selimut dan pakaian tidurnya satu demi satu hingga sampailah ke organ sensitifnya. Liang kenikmatannya.

Satu kecupan di bagian itu cukup untuk membuatnya mendesah.

“Ahhh...”
“Aku mau sarapan ini.” Gue merayu.
“Janganhh.. kamu.. aku belom mandi... shhh...”

Laras ingin menolak perlakuan gue, tapi permainan verbal aku-kamu berhasil membuatnya mulai melayang. Pahanya merapat, tapi kurang kuat untuk menjauhkan kepala gue. Kemudian, sadarlah Laras kalau tangan kanannya gak bisa digerakkan. Gue udah mengikat tangan Laras dengan borgol ke sandaran tempat tidur saat dia tidur tadi.

“Pur? Ngapain ini?” Laras terkejut.

TOK. TOK. Pintu diketuk. Gue pergi dari Laras.

“Pur, lepasin dulu!” Laras berontak.

Gue membuka pintu. Inilah dia, waktu yang tepat. Tamu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Gue tadi malam menyewa tiga pelacur dunia Vanaheim, terdiri dari dua perempuan super cantik dan satu lelaki. Rekomendasi cleaning service yang gue temui bagus juga rupanya.

“Pur! Pur! Ngapain??!!” Laras melotot.
“Having fun.” Gue melebarkan tangan.

Gue memberi aba-aba kepada ketiga pelacur itu untuk memulai aksinya. Satu pelacur berambut hitam panjang menemani gue berdiri di pinggir tempat tidur. Dia pelan-pelan mengusap lengan-lengan berotot gue, turun terus ke perut, lalu sampailah di batang penis.

“Siapa nama kamu?” Tanya gue.
“Gretta.” Jawabnya singkat.
“Eat me, Gretta.”


Gretta melirik genit dengan matanya yang dibulat-bulatkan. Sedetik kemudian dia melahap kepala penis gue sambil memegangi pangkal batangnya kuat-kuat. Lidahnya menari-nari. Sesekali penis gue tenggelam hingga jauh ke dalam kerongkongan Gretta. Setelah itu, terbatuklah dia sambil meneteskan liur.

Di atas selimut, Laras menggeliat kegelian karena diserang dua orang. Perempuan berambut pirang bermain-main dengan kedua payudara Laras, sedangkan si lelaki menjilati vagina Laras dengan sangat antusias. Lidahnya berputar tak hanya di klitoris atau lubang masuknya, tapi juga menjamah hingga pangkal paha.

“Pur... Ini... ahh.. berlebihan...” Laras melirih.

Gue acuh. Lalu sebaliknya, Si rambut pirang membungkam mulut Laras dengan lumatannnya. Laras kembali mendesah sampai gak bisa berkata-kata lagi.

Gue menarik Gretta untuk kembali berdiri. Gue menggendongnya, lalu penis gue mengacung tegak di bawah celah pahanya. Dengan sedikit bantuan tangan Gretta, penis gue amblas. Tanpa aba-aba, Gretta juga ikut bergerak naik turun sambil berpegang pada belakang leher gue. Paha gue sedikit menekuk sebagai tumpuan badan kami berdua.

“Kamu seksi... Gretta... ahh...” Gue meracau.

Gretta balas melumat lidah gue.

Gerakan kami bukan sembarang gerakan. Gue sengaja berdiri menggendong Gretta di pinggir kasur supaya Laras bisa melihat jelas permainan gue. Bagaimana penis gue menghujam, keluar dan masuk liang vagina Gretta di depan mata Laras.

Mata Laras menyipit. Atas komando gue, si lelaki mengarahkan penisnya ke vagina Laras. Butuh usaha lebih menembus pintu masuknya karena dia kembali perawan setiap hari. Itulah anugerah mereka yang perempuan sebagai Einherjar.

“AAAHHH...” Laras berteriak ketika pertahanannya berhasil ditembus.

Tidak butuh waktu lama sampai Laras kembali dalam jalur permainan pagi ini. Kakinya sudah menangkang sempurna dan matanya semakin sayu. Ditambah lagi si rambut pirang terus menggerayangi tubuh bagian atas Laras.

Gue menurunkan Gretta. Gue menyuruhnya menungging dengan posisi menghadap Laras. Biar Laras merasakan diserang dari segala sisi.

“Purrr... ahhh... jahat...” Laras bersuara lemah.
“Tapi enak, ya kan.” Goda gue.

Gue mencium bibir Laras sebentar, lalu kembali menggoyang tubuh Gretta. Sementara itu, Gretta menjilati puting sebelah kanan Laras, si rambut pirang sebelah kiri, dan si lelaki menggoyangnya di selangkangan.

Bosan dengan Gretta, gue meminta si rambut pirang ikut bergabung melayani gue. Gue berpindah, rebahan di sebelah Laras sambil dikulum oleh dua mulut yang bergerak lihai di atas batang penis gue. Gue melihat Laras, Laras melihat gue. Kami berciuman dengan panas, saling melumat dengan masing-masing selangkangan yang dipompa oleh orang-orang ahli.

“Enjoy?” Tanya gue.
“Lepasin borgolnya.” Laras meminta.

Gue mengutus si laki-laki untuk mengambil kunci borgol di laci, kemudian membuka borgol Laras. Saat itu juga laras menggila dengan menunggangi si lelaki.

“Kamu bisa nakal, aku juga bisa.” Tatapannya menusuk gue.
“Bagus.” Jawab gue.
“Siapa nama kamu?” Laras bertanya ke tunggangannya.
“Sam.”

Permainan verbal aku-kamu masih berjalan di otak Laras. Dia pasti udah gak bisa berpikir lagi. Otaknya udah pindah ke bawah, ke pusat syaraf selangkangannya sendiri. Gue sendiri justru semakin bernafsu melihat aksi tiga perempuan di ruangan ini.

Manuver selanjutnya, gue meminta si rambut pirang menunggangi penis dan Gretta menunggangi mulut gue. Kami berlima tinggal berlomba menuju klimaks. Gretta terus bertukar posisi dengan si rambut pirang, lalu bertukar lagi dengan Laras. Akhirnya, gue dan Sam menikmati kelamin semua lawan jenis.

“Aku mau keluar.” Kata gue.
“Aku udah berkali-kali.” Laras kini telentang pasrah.

Gue dan Sam mengarahkan penis kami masing-masing ke wajah ketiga perempuan di ruangan ini. Para perempuan ini sendiri membantu mengocok dengan sisa-sisa tenaga mereka. Akhirnya, tak selang beberapa lama, sperma kami berdua mengguyur wajah cantik Laras, Gretta, dan si rambut pirang yang gue lupa tanyakan namanya.

Kami tergeletak. Tapi, ketiga pelacur yang gue sewa cuma beristirahat sebentar. Mereka hanya menenggak air putih beberapa gelas, lalu sudah bersiap pergi.

“Thanks.” Gue memberi mereka upah.

Laras bergeleng lemah.

---

POV Hari

Rabu, 26 Juli, Matahari udah terlampau tinggi, sementara kami gak ngapa-ngapain. Pagi tadi, Erna udah balik ke rumah sakit. Otomatis orang di penthouse ini cuma tersisa kami berdua, Gue dan Dani.

Dani berkali-kali minta jatah kasur setelah Erna pamit. Tapi mood gue terlanjur turun drastis untuk ngeladenin apa maunya Dani. Untuk menghindari bawelnya, gue memutuskan membaca tumpukan buku di rak yang belom pernah gue sentuh sekali pun.

“Orang C.I.A. kapan dateng?” Tanya Dani dari dapur.
“Gue kira elu yang ngontak.” Gue masih cuek.
“Belom.” Sahut Dani.
“Lu belom ngontak?”
“Belom ada balesan.” Balasnya.

Gue lanjut membaca buku ini sambil senderan di sofa, beraksesoriskan remote tivi yang tergeletak di atas perut. Tivinya sendiri gak bersuara karena volumenya barusan gue kecilkan.

Buku ketiga yang gue baca setelah 4 jam kosong ini adalah Panduan Pembuatan Herbarium punya Erna. Panduan membuat herbarium ini memang buku wajib waktu gue kuliah. Tapi sekarang udah lupa-lupa inget. Waktu itu, gue inget dalam satu sesi kuliah, Erna dan Nando yang paling getol membuat presentasi hasil herbariumnya. Mereka berdua, meski kurang akrab, punya minat yang tinggi sama tumbuhan.

Kalo dipikir-pikir, keduanya sekarang udah bukan ada di jalur peneliti. Erna udah jadi agen rahasia internasional. Kerjaan sampingannya main band. Satu-satunya yang masih awet dari Erna adalah hobi fotografinya.

Nando, terakhir kami ngobrol, itu udah setahun yang lalu pas dia lulus tepat dalam masa kuliah 4 tahun. Terakhir dia nulis chat di grup angkatan, itu terjadi di awal tahun saat kami bingung untuk penampilan wisuda. Nando punya suara yang bagus dan dia hobi nyanyi sambil gitaran. Tapi info terakhirnya, dia bilang udah di Riau, kerja jadi konsultan AMDAL perusahaan sawit. Jadi, gsk bisa ikut bikin persembahan.

“Baca apa siiih?”

Muka Dani tiba-tiba udah di samping kuping kiri gue.

“Bukunya Erna.” Gue menjawab malas.
“Panduan Pembuatan Herbarium?” Ledeknya.
“Kenapa emang?”
“Panduan Pembuatan Anak aja gimana?” Dani menjilati kuping gue.

Bulukuduk gue berdesir, turun sampai ke tangan, lalu sampai ke tulang ekor. Batang penis gue berdiri tegak dalam waktu sepersekian detik. Gue pun meloncat spontan dari sofa untuk menjauhi Dani.

“Gila!” Teriak gue.
“Kenapa sih?” Godanya.
“Gak sekarang.”

Dani beralih kembali ke dapurnya sambil cuek. Selang beberapa belas menit, aroma semur ayam semerbak seantero ruangan. Mungkin kalo jendela dibuka, wanginya bisa sampe ke 5 lantai di bawah. Dani gak pernah bilang dia jago masak, tapi ini harumnya enak.

“Anjir wanginya.” Gue bergedik sekali lagi.
“Gue gak jago masak kok. Gue cuma jago baca.” Dani seolah tau pertanyaan di kepala gue.

Jadi, Dani selama beberapa jam ke belakang buka-buka buku resep masakan yang udah lawas punya nyokap. Mungkin buku masakan keluaran tahun 90an. Tapi itu hebatnya, biasanya buku masakan lawas bisa bikin hasil masakan yang lawas juga. Rasanya pasti klasik kaya bikinan nyokap.

Dani menyajikan semur ayam tepat di meja, di depan sofa yang gue dudukin. Lama-lama aromanya makin masuk ke sudut penyimpanan memori otak gue. Gue fix kangen nyokap dan Kenia.

“Dan.. lu... Ini enak.” Mata gue berair.
“Makan dulu kali. Nangisnya ntar.” Hiburnya.
“Parah ini sih.”
“Makan coy.” Gertaknya sambil tertawa pelan.

Kami makan dalam diam. Setiap suapan dari tangan gue, menghasilkan memori yang semakin indah. Semakin indah hal yang terbayang, semakin gue sadar juga kalau hal-hal itu udah gak bisa gue jangkau lagi. Semuanya musnah dalam waktu seminggu.

Hari ini, Dani dengan polosnya, tanpa peringatan, melecutkan cambuk paling perih yang gue rasain sendirian. Dia bilang, biar siang ini gue bisa lebih berwarna kalo gue makan sambil nangis. Biar gak boring katanya. Dani sialan.

“Cuci piring sendiri.” Dani mengingatkan.
“Bawel.” Gue jadi kesel sendiri.

Gue membuang sisa-sisa tulang ayam ke tempat sampah di pojokan dapur. Habis itu, gue menuju westafel, menyalakan keran ,dan menggosok piring bekas makan gue sendiri. Dani pun menyusul ke dapur dengan piring kotornya.

“Jangan nangis~” Ledeknya.

Dia meletakkan piring makannya di westafel.

“Wey, cuci sendiri.” Gue melotot ke piring Dani.
“Cuciin.”
“Cuci....”

Sebelum kepala gue menoleh ke Dani, dia lebih dulu memeluk gue dari belakang. Telapak tangannya perlahan mengusap lengan gue, turun hingga sejajar dengan telapak tangan masing-masing. Tangannya dibiarkan basah berbusa.

“Jangan nangis lagi.” Bisiknya.
“Gue gak nangis.” Gue malah ngaceng lagi.

Kepala Dani rebah di punggung gue. Gue sangat gak bisa memecahkan kode Dani kali ini. Apakah dia mau menghibur gue? Melecutkan memori gue soal keluarga? Atau yang terakhir, cuma mau ml yang gak gue kasih dari semalem?

Gue memilih langsung tembak sekarang biar semuanya jelas, sebelum gue baper. Gue meletakkan piring yang baru setengah tercuci. Selanjutnya, gue berbalik tanpa ingat harus membasuh tangan lagi. Gue memberi jarak satu langkah dari Dani. Gue tatap dia lekat-lekat.

“Dan, jawab jujur, lu butuh apa sih sekarang?” Tembak gue.

Raut muka Dani berubah seratus delapan puluh derajat. Gak ada lagi tampang menggoda, gak ada lagi muka binalnya. Semua berganti dengan keraguan. Kepalanya gak tegap, kadang nunduk, kadang mendongak. Matanya melirik tanpa henti, mencari-cari sesuatu di penjuru dapur yang sebenarnya memang tak ada yang dicari.

“Enggak, gapapa.” Jawaban Dani klise. Naif.
“Kalo lu mau ini, sekarang lu sukses.” Gue nunjuk ke selangkangan gue sendiri.

Gue mendekatkan diri lagi ke Dani. Gue pegang pipinya lembut meski tangan masih berbusa. Kami sempat tertawa pelan bersama sebelum akhirnya bibir kami bertemu dengan hangat. Pagutan antar bibir bawah terus bergantian kami lakukan. Dengusan nafasnya makin menderu.

Tanpa bicara, kami sepakat akan melakukannya di sini. Di dapur.

Dalam lumatan bibir yang semakin panas, gue membuka ikatan celana Dani yang bermodel kakhi. Gantinya, Dani meremas kuat batang penis dari luar celana adidas pendek gue. Kami pun terus mendengus hingga sukses menelanjangi bagian tubuh bawah pasangan.

“Do it.. Hari... Gue udah basah..” Lenguhnya.

Gue balikkan tubuh Dani, lalu dia membungkuk dengan sendirinya sambil berpegangan pada wastafel. Udah lama gue gak melakukan gaya ini. Semoga masih ingat caranya.

Tapi gue gak mau buru-buru. Gue butuh hidangan penutup. Hidangan yang meski amis namun menyempurnakan rasa yang gak pernah ada dalam setiap masakan nyokap. Sekarang, Danilah yang menghidangkannya.

Setelah sedikit permainan jari di awal, gue memulai dengan satu jilatan panjang pertama di celah kedua pahanya.

“Aaahhhh.....” Dani melenguh panjang.

Tiba-tiba telepon penthouse berdering. Gue dan Dani saling menoleh.

“Telepon.” Kata gue.
“Fuck me.” Kata Dani.
“Itu...”

“Fuck me! Do it fast!” Pinta Dani lagi.
“For God sake! Itu bunyi telepon kamar! Dari A.T.C.U.!”

Gue meninggalkan Dani di tengah suasana yang harusnya romantis dan bernafsu tadi. Tapi sayangnya sekarang ada yang lebih penting dari sekedar jilat memek, doggy style, atau bahkan quickie Telepon ini benar dari A.T.C.U., mereka memberitakan bahwa udah mengirim dua agen C.I.A. ke Indonesia untuk membantu kami. Mereka sampai sekitar nanti malam, tapi mereka gak akan tinggal di sini.

Ada rumor bahwa besok dini hari akan ada sebuah transaksi kecil yang mungkin melibatkan teknologi alien di Kalibata. Kalau mereka mampir ke Depok, waktunya gak akan cukup. Kami diminta untuk gak bergerak dulu. Ada kemungkinan wajah gue udah dikenali sehingga beresiko batalnya transaksi.

“Keep your eyes open.” Perintah pimpinan.

Hanya itu infonya. Kami diminta untuk siaga selama 24 jam ke depan. Kami diminta berada jauh dari perimeter TKP. Diam di penthouse juga boleh, tapi harus disiagakan seperangkat kamera lebah. Ya, lagi-lagi kamera lebah menjadi jantung operasi kami.

Tak selang beberapa lama, handphone Dani yang kini dihubungi sesorang tanpa identitas. Nomornya pun bukan nomor telepon umum.

“Angkat?” Tanya Dani.
“Angkat.” Firasat gue ini kabar baik lainya.

Begitu diangkat, kami mengatur sambungan dalam mode speaker. Rupanya suara Akmal di seberang sana. Dia mengabarkan informasi yang hampir serupa dengan pimpinan kami. Informasi ini bahkan belum sampai ke kepolisian. Akmal menyelidiki sendiri dengan kemampuan dan narasumbernya sendiri. Ini justru membuat gue jadi agak ragu soal kevalidan informasinya.

“Yakin bukan kasus LGBT?” Tanya gue.
“Yakin.” Jawabnya.
“Imigran gelap?”
“Haqqul yaqin.” Akmal meyakinkan lagi.

Kami disarankan untuk bergerak bersama Akmal untuk investigasi. Tapi sayangnya instruksi dari pimpinan adalah mutlak. Kami gak bisa bergerak ke sana atas kemauan sendiri. Akmal pun sangat terdengar kecewa. Tapi dia bisa memaklumi atas dasar pengertian. Tapi selebihnya, gue dan Dani sepakat kalau sama-sama curiga dengan apa yang nanti akan dilakukan Akmal dengan badannya sendiri.

Telepon dari Akmal langsung ditutup sendiri oleh Akmal.

“Lah, ditutup.” Gue melihat Dani.
“Ini bahaya.” Dani menunjuk hapenya sendiri.
“Setuju.”

Kami berdua tau apa yang harus dilakukan. Mengoperasikan kamera lebah pastilah menjadi prioritas. Kami harus mengikuti Akmal ke manapun dia pergi. Akmal gak boleh mengacaukan operasi C.I.A. dalam bentuk apapun atas kehendaknya sendiri.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Okeeeeh itu dia update dadakan dari ane. Ini sebagai ganti hari sabtu ya karena sabtunya ane gak di depan laptop. Mungkin sampai bulan depan update sabtu geser ke Jumat dan ada yang kosong di selasa.

Tapi ini jadwal darurat aja karena laptop dalam fase pecah. Kalo nanya ini kerjain di mana, rahasia doong. Yang pasti ini bukan ngerjain pake monitor sendiri. hehehe.
Punten atuh.
 
Kentaaang kentaaang hahahhaa mantab suhu! Setia nunggu update deh apalagi suhu reyes udah susah payah nih buat update
 
Episode 13
Jalan Pikiran Erna


POV Erna

“Iya, Dan? Ada apa?” Gue menjawab telepon.

Gue lagi tiduran di ruang tunggu. Bola mata gue terpaku pada langit-langit rumah sakit, melihat berbagai pita frekuensi handphone yang warna-warni, seliweran, datang dan pergi menembus tembok. Telepon dari Dani adalah distraksi yang serius.

“Ada rumor, nanti ada transaksi senjata alien.” Katanya di seberang telepon.
“Terus gue harus gimana nih?”
“Lu di sana aja, inhuman malah jangan disuruh ikut-ikutan.” Terangnya.
“Lah, terus?”
“Gue yang tugas di lapangan.”

Dani menjelaskan situasi lengkapnya mengenai instruksi yang diberikan petinggi A.T.C.U. beberapa waktu sebelumnya. Sat ini Dani berada di lapangan, berganti posisi dengan Hari yang kini hanya berada di penthouse. Di sisi lain, ada masalah baru karena Akmal juga tau informasi ini entah dari mana. Ada kemungkinan dia bisa merusak investigasi C.I.A.

Gue tetap disuruh Dani untuk melakukan rutinitas biasa. Dia mengharuskan gue agar gak usah terpengaruh operasi ini. Gue juga diminta untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk memulihkan diri dari segala macam hal.

“Sial.” Batin gue.

Sebaik-baiknya gue menutupi keadaan diri gue, rupanya Dani masih bisa menciumnya. Atau mungkin memang gue yang gak jago menyembunyikan masalah. Hampir dua tahun lalu, Jennifer juga sempat khawatir berlebih karena gue sering diem sepulang dari Halmahera. Untungnya Jennifer gak paham soal terrigenesis dan inhuman. Sejak itulah gue mencoba untuk lebih berhati-hati menyembuyikan kondisi pribadi.

Sampai detik ini, Dani mengonfirmasi kalo diri gue masih gagal bersembunyi.

“Oke, makasih infonya, Dan. Hati-hati.” Gue menutup telepon.

Gue menghela nafas panjang. Kemudian, mata gue kembali memerhatikan pita-pita frekuensi yang seliweran di langit.

Gue sempat berpikir jika suatu saat bisa menemukan seseorang yang sesama inhuman supaya bisa jadi lebih baik. So, waktu gue tahu kalo Hari merupakan inhuman tulen, gue seneng banget. Pelan-pelan gue coba gabung dengan gengnya. Pelan-pelan juga gue bisa ikut bergabung dengan guyonan-guyonan mereka. Sukses. Hari terasa kaya saudara kandung gue yang terpisah jauh dan baru ketemu kemarin sore.

Sayangnya, ada Kak Puri yang rupanya inhuman juga. Terlebih, dia mantannya Hari. Terakhir, gue mergokin mereka hampir berbuat mesum di markas S.H.I.E.L.D. Hampir-hampir ada yang remuk di hati gue kalo saat itu kejadian Kak Puri balikan sama Hari.

Cemburu kah? Harusnya bukan.

Gue mengidentifikasi perasaan gue seperti semacam saudara yang butuh perhatian. Gue memang punya orang tua kandung, punya kakak kandung, tapi gue masih merasa kosong. Gue paham orang tua gue peduli tentang ke-inhuman-an gue yang terjadi sangat mendadak. Tapi, ada satu hal yang bikin ada jarak dengan mereka. Satu pertanyaan yang gak terjawab. Gen siapakah yang diwariskan gue?

Pertanyaan itu emang naif. Diantara bokap atau nyokap, pasti memang gak ada yang sadar kalo mereka membawa gen inhuman. Masalahnya, mereka gak menjawab tegas kalo mereka gak tau. Saat itu juga, gue bisa mencium ada rahasia yang disembunyikan tapi gak terungkap sampe sekarang.

“Bengong aja.” Sebotol nu green tea dingin nempel di pipi gue.

Kakak gue dateng menjelang sore. Dia jadi lebih rajin ngejenguk bokap terhitung setelah tau pacarnya itu makhluk asing. Mungkin juga dia rajin ke rumah sakit cuma untuk ketemu gue. Yah, gue memang belum menepati janji untuk cerita sama kakak gue sendiri.

“Pasti mau nagih cerita.” Balas gue.
“Tau aja.” Kakak gue beranjak duduk di sebelah.
“Jangan di sini lah. Tempat umum coy.”
“Dari kemarin ngomong begitu.” Ledek kakak gue.

Kami pun sepakat akan pulang ke rumah dan bicara empat mata, toh gue gak ada jadwal apa-apa hari ini. Tentunya itu bisa terealisasi setelah nyokap datang ke rumah sakit untuk berganti shift jagain bokap.

Gue pelan-pelan kembali melamun. Ketika Kak Puri meninggal, gue merasa ada sesuatu yang lega. Begitu perasaan itu makin menjalar, gue berasa jadi orang paling jahat sedunia. Makanya, gue nyoba nyibukkin diri sendiri dengan sering minta Anwar untuk nerima job manggung dan padetin jadwal latihan. Semata-mata gue lakukan itu biar gak sempet main ke penthouse.

Rutinitas itu buyar setelah berjalan dua bulan. Nyokap Hari meninggal, adeknya juga. Gue gak tau gue bisa apa untuk nyenengin Hari. Malah sebaliknya, gue membuat Hari makin kacau, malah dia mau merkosa gue. Gue shock. Rasanya kaya mau kiamat.

Di malam yang sama, tau-tau gue melihat Dani dengan ganasnya menikmati Hari. Dan ternyata, begitu juga sebaliknya. Rasa remuk redam ketika melihat Hari bareng Kak Puri tiba-tiba balik lagi.

Gue terus membantah diri gue sendiri setiap harinya. Ini bukan cemburu namanya!

“Tuh, udah dateng.” Kakak gue lagi-lagi membuyarkan lamunan.

Gue kembali menghela nafas panjang. Nyokap gue udah dateng dan itulah saatnya gue berdua pulang ke rumah. Dari mukanya, jelas seorang Erwan makin gak sabaran dengan cerita negeri dongeng yang keluar dari mulut adiknya. Alisnya naik setinggi-tingginya.

Tiba-tiba hape gue bergetar. Jennifer menelepon.

“Halo! Wey, ke mana aja lu, Na? Baca wa gak? Ada manggung hari Sabtu gila.” Jennifer kedengeran galak.
“Hah, yang bener?”
“Malem ini latihan. Buruan dateng.” Jennifer ngomel beneran.

Gue gak tau sama sekali. Setiap wa di grup yang masuk belakangan ini gue anggap gak penting. Jadinya, gue cuma sekedar buka dan tutup lagi. Harusnya, kalo sepenting itu ya japri aja ya kan. Atau bisa telepon dari jauh-jauh waktu kaya sekarang.

Sebenarnya, ini memang salah gue yang lagi gak fokus dalam hal apapun.

“Umm.. Kak, gue kayanya gak bisa pulang...”

Gue mencoba menjelaskan ke kakak gue dengan hati-hati. Perlahan, setiap penjelasan menyebabkan raut muka kakak gue berubah. Jelas banget. Alisnya yang tadinya naik jadi melengkung turun dan dia gak murah senyum lagi. Gue tau dia boleh marah sama gue. Tapi dia gak mungkin marah sama adik cewek satu-satunya.

“Kak...” Gue memelas.
“Sejak kapan sih kamu gak tepat janji, dek?” Kakak gue bernada rendah.
“Ini ada apa sih?” Nyokap memotong.
“Tau lah. Bodo.” Kakak gue melengos pergi.

Bertambah lagi kesalahan gue dalam kurun waktu dua minggu ini. Gue bisa jadi adalah orang paling bersalah sedunia. Ditambah seakhirat kalo perasaan jahat ke Kak Puri bisa dihitung.

Gue menunggangi motor gue gak karuan. Banyak motor yang gak sengaja gue pepet. Bahkan, gue hampir digencet metro mini dari kiri dan pembatas jalan di kanan gara-gara lupa ngasih sen dan klakson.

“C’mon Erna, lu gak boleh gini!” Gue ngomel sendiri.

Gue buru-buru cuci muka sesampainya di rumah Anwar. Tika pun yang tadinya mau ngomel karena gue bolos latihan 3 kali berturut-turut, langsung iba setelah gue mendadak nangis di depan pintu studio. Satu jam pertama akhirnya dihabiskan untuk mendengarkan curhatan gue ala kadarnya.

“Yaudah latihan yuk. Sorry malah jadi beban.” Gue memaksa tertawa.
“Erna kalo nangis ini pasti masalahnya serius. Kita gak bisa diem kali.” Anwar jadi bijak.

Mereka bertiga emang sahabat sejati yang gue punya. Gak salah gue milih bareng mereka dari zaman maba.

“Segini aja yang mau diceritain, Na?” Jennifer masih memeluk gue.
“Udah kok, udah.” Jawab gue dengan isak tangis yang tersisa.
“Sanggup latihan?”
“Sanggup, bu~” Gue melelehkan suasana yang awkward ini.

Jadilah kami latihan selama dua jam. Lagu yang kami mainkan masih sederhana dan mengulang apa yang udah-udah. Lagu-lagu kami ringan, berbahasa Indonesia, dan cukup menyentuh untuk anak kecil, tapi nyaman didengarkan orang dewasa. Dua lagu andalan kami bertema isu lingkungan dan persahabatan. Sisanya, sekedar sentuhan kecil aransemen lagu-lagu terkenal.

Sedikit improvisasi kami ciptakan untuk mengajak penonton-penonton muda berinteraksi dan mau berkampanye soal sampah dan spesies langka. Untungnya, meski aneh, kami mengusung tema band yang unik. Apalagi ada koneksi dari bapaknya Anwar supaya kami bisa terus dipakai dalam kegiatan-kegiatan bisnis konservasi dan sosial semacam fund raisingnya WWF atau kampanye hari bumi sedunia.

“Abis ini lu nginep sini ya, Na. Gak boleh nolak!” Tika bertitah.
“Iya, ntar gue temenin juga.” Timpal Jennifer.
“Iya, gue nurut.” Jawab gue pasrah.

Gara-gara waktu sejam terbuang untuk nemenin gue nangis, waktu latihan juga molor sejam dari biasanya. Gue pun dipaksa nginep supaya gak kejadian aneh-aneh lagi di jalanan. Jennifer juga mau nemenin gue dengan ikhlas.

“Kalian mau di kamar mana?” Tanya Anwar.
“Mana aja lah.” Jawab gue.
“Di sebelah kamar gue aja ya.”

Usai cuci-cuci muka, tangan, dan kaki, gue menggantung jilbab gue di gantungan belakang pintu. Selanjutnya, yang gue inginkan cuma tidur nyenyak. Gue mau semua beban yang meluap hari ini bisa tertanam lebih dalam lagi. Kalau bisa, hilang semuanya biar gak ada yang terngiang-ngiang setelah gue bangun tidur.

“Langsung tidur?” Tany Jennifer.
“Maunya gitu.” Balas gue secukupnya.
“Yaudah.”

Gue menocba merem. Badan gue miring ke kanan, memunggungi Jennifer. Kalo begini, dia pasti gak bakal curhat lagi soal Jametnya yang tersayang itu. Gejalanya udah kelihatan sejak dia lengket sama hapenya setelah keluar dari kamar mandi tadi.

“Udah tidur, Na?” Jennifer mulai gangguin.
“Hmmmm...”. Gue males ngejawab.
“Oke deh.”

Jennifer masih berisik sama hapenya. Dengusan-dengusan tawanya yang tertahan makin sering terdengar. Ditambah lagi, gue jadi gak berasa ngantuk gara-gara dia. Tapi, gue juga gak mood buat ngomelin Jennifer. Untungnya Jennifer makin tenang seiring waktu sehingga gue masih bisa memperpanjang rasa sabar.

Sayangnya, bukannya keadaan jadi hening total, sekarang malah Tika yang suaranya samar-samar kedengeran dari kamar sebelah. Makin lama, suaranya makin jelas. Tika sedang mendesah. Sialan.

“Eh, kampret, mereka ml.” Jennifer bergumam sendiri.

Gue pura-pura merem dan gak menganggapi Jennifer.

Gue berusaha tertidur secepat mungkin. Dengan suara Tika yang semakin melengking, gangguan naik ke level yang lebih tinggi. Belum lagi Anwar yang suka tiba-tiba menggeram dengan kata-kata menggoda yang ditujukan ke lawan mainya. Lama-lama, kasur gue ikut bergoyang-goyang. Gue tau Jennifer gelisah. Kemudian, gara-gara gue gak tahan lagi dengan semua distraksi ini, gue berbalik badan untuk menegur dia.

“Ho...” Gue ancang-ancang mau menepuk Jennifer.

Yang gue lihat sedetik kemudian adalah Jennifer yang lagi masturbasi. Bajunya udah terangkat sebahu, puting payudaranya mengacung tegak, dan tangannya dengan bebas menggosok celah di selangkangannya. Parahnya lagi, dia gak nutupin badannya pake selimut. Gue melihat semuanya dengan jelas.

“...ii” Gue terpaku di momen ini.

Gue melihat Jennifer. Jennifer melihat hapenya. Dia sedang sexting sama pacar wanna be-nya yang ada di Malang sana.

Sedetik kemudian, Jennifer barulah ngeliat gue. Kami saling menusuk mata masing-masing, seolah bertelepati. Nyatanya, ini momen kosong tanpa kata dan makna yang terjadi antara gue dan Jennifer.

“Eh.. Na? Erna? Belom.. Tidur? Hehehe.” Dia menutupi badannya pake selimut.

Dua minggu ini gue mengalami peningkatan drastis tentang pengalaman ngeliat orang nge-seks. Dari mulai kakak gue, Hari sama Dani, Anwar sama Tika, bahkan Jennifer yang melakukan sexting barusan. Lebih lama lagi gue menjalani kehidupan begini, gue bisa gila.

“Gila.” Gue bergeleng.

Gue turun dari kasur dengan tujuan ke kamar mandi yang jaraknya cuma beberapa langkah. Jennifer dengan sembrononya mencoba mengejar gue. Akibatnya, dia kepeleset g-stringnya sendiri. Aneh kan, ngapain juga dia pake g-string cuma buat latihan ngeband.

Gue buru-buru mengunci kamar mandi. Suara Tika dan Anwar di kamar sebelah menutupi konyolnya kejadian di kamar ini.

“Gila! Gila! Gila! Gila! Gila! Gila! GILAAA!!!!!” Gue menampar muka sendiri.

Gue menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, sendirian. Gue mencoba merenungi kejadian ini. Tapi lengkingan suara Tika membelokkan pikiran lurus gue seketika. Dari seluruh temen cewek dalam pergaulan gue, mungkin cuma gue yang masih bisa jaga diri.

Gue lama-lama penasaran juga.

“GAK! GAK BOLEH!” Gue menampar muka lagi.

Gue keluar kamar mandi. Hal pertama yang gue liat adalah betapa berantakannya kasur tempat gue tidur. Hal kedua yang janggal, Jennifer udah gak ada di dalem kamar. Gue menoleh ke pintu, rupanya kebuka.

“Jen? Jennifer?” Gue melirik ke luar kamar.

Tiba-tiba mulut gue disambar sebuah tangan. Sesaat kemudian, muka Jennifer meredakan ketakutan gue. Dia berbisik agar gue diam dan harus mengikuti dia kalo mau gak ada masalah. Gue mengangguk.

Jennifer menarik tangan kanan gue, meremas lebih tepatnya. Gue dibimbing berjalan mengendap dalam gelapnya ruangan yang lampunya dimatikan. Diari kamar sebelah, kamarnya Anwar dan Tika, ada segaris cahaya lampu yang merangsek keluar. Rupanya pintu mereka gak ditutup. Inilah penyebab suara mereka kedengeran jelas.

“Mau ngapain?” Bisik gue.

Jennifer cuma menempelkan telunjuk di bibirnya. Diam adalah mutlak di saat-saat sekarang bagi seorang Jennifer.

Jennifer mengintip pertama, gue menyusul mengintip dari bawah kepala Jennifer. Mata gue langsung menatap hal yang tepat. Tepat untuk membuat gue mendadak basah di selangkangan. Di atas kasur sana, Tika konstan bergerak naik-turun di atas paha Anwar.

Gue gak kenal posisi apapun soal bercinta, yang gue bisa jabarkan adalah Tika duduk membelakangi Anwar, tapi mereka cukup pas untuk bisa berciuman sambil bergerak. Kadang Tika, kadang Anwar yang bergoyang.

Gue berhenti mengintip. Kemudian, gue terduduk dengan pinggul terus bergerak dengan gelisah. Rasa geli timbul karena gesekan alat kelamin gue dengan celana dalam dan pangkal paha, ditambah dengan rasa lembab karena udah membanjir di bawah situ.

Jennifer menoleh ke gue, lalu melotot seolah gak percaya.

“Lu bisa sange juga?” Bisiknya.

Gue balas menatapnya sayu tanpa jawaban.

“Ikut gue.” Jennifer menarik gue pergi.

Dia menarik gue kembali ke kamar, mengunci pintunya, lalu mendorong gue kuat-kuat sampe telentang di kasur.

“Gue gak lesbi! Gila...” Gue berontak.
“Gue juga... tapi nikmatin dulu aja.” Jennifer menjilati leher gue.

Gue terlalu lemah untuk bisa berontak gue. Semua kekuatan yang gue coba keluarkan hanya berupa angan-angan. Angan-angan untuk bisa lepas dari Jennifer, keluar dari kamar ini, lalu kabur dengan motor dan segera pulang. Realitasnya, gue menikmati apa yang Jennifer lakukan.

Baju gue udah terangkat.

“Wah, toge juga lu, Na. Gue baru tau.” Kata Jennifer.

Tanpa jilbab yang menutupi lagi, Jennifer dengan mudahnya menggerayangi leher sampai kedua daun telinga gue. Selang beberapa waktu, tangannya pun mulai berani menyelinap ke balik celana dalam gue.

“Nghhh... hhh...” Gue cuma bisa mengeluarkan suara tanpa makna.

Rangsangan maksimal yang gue terima di payudara dan selangkangan, menyebabkan seluruh otot gue berkontraksi. Tangan dan kaki gue meregang. Kepala gue mendongak. Punggung gue melengkung ke atas.

“Lu udah ngecrot!?” Jennifer berhenti merangsang.
“Hah... Hah...” Gue lemah meresepon.
“Belom ada semenit, jir. Gantian!”

Gue buru-buru membenarkan baju gue yang terangkat tadi, kemudian menutupi seluruh diri gue pakai selimut. Gue punggungi Jennifer dan menolak semua kemauannya. Terjun bebas ke dunia seks adalah hal yang salah. Lebih salah lagi karena gue menuruti kebutuhan biologis sesaat ini.

“Nafsu lu gede juga ya, Na. Belom semenit...” Ledek Jennifer dari luar selimut.
“Berisik.” Potong gue.
“Dasar perawan.” Katanya lagi
“Berisik. Berisik. Berisik.”
“I wanna touch myself. Jangan ganggu.”

Kasur kembali bergoyang, tapi Jennifer akhirnya berhenti ganggu gue.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Ernawati


Persadani Putri
Dani_2_3_D.jpg


Jennifer


Kartika Rahayu
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd