Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
kayaknya sih uda masuk ke inti cerita, hmm.. ayo lah cepetan di update hu, ane penasaran :aduh:
jangan patah semangat, ane selalu sempetin komen kok :semangat:
 
Fiksi ilmiah selalu menjadi bacaan favorit saya.
Unnamed Inhuman selalu saya ikuti sejak versi 1.

Great story!!!
 

Episode 16
Pergi ke Mana


POV Hari

Situasi lebih normal setelah dua hari berselang. Dua agen C.I.A. telah kembali ke markas dengan laporan kejadian kemarin. Akmal juga udah bertugas kembali di kesatuannya. Dia berjanji menjadi orang dalam kepolisian, menyampaikan perkembangan yang terjadi soal yang berkaitan dengan Hammer Tech atau Roxxon, meski info-info yang masuk ke sana lumayan lambat.

Iqbal sama Laras pergi kembali ke Vanaheim lagi untuk urusan transfer Rosi. Mereka bilang pemindahan Rosi dari Asgard ke Vanaheim tertunda akibat suatu masalah. Biarlah urusan mereka tanggulangi sendiri dulu.

“Akmal belom ngasih info?” Tanya gue.
“Belom lah, baru dua hari.” Jawab Dani.
“Terus kita nggak ngapa-ngapain ini.”
“Sabar lah, atau mau gue....” Dani menggigit bibirnya.
“GAK!”

Yang selalu dibicarakan Dani di penthouse begini seringnya cuma berujung ajakan ml dan ml lagi. Seolah gak ada lagi kegiatan yang lebih bermanfaat selain ml. Padahal, kami lagi di tengah patroli digital. Toh, kalau memang nganggur pun, Erna punya banyak buku yang dipajang di rak bukunya.

Gue sedang gak mood untuk bermain-main lagi setelah kejadian Akmal. Lama-lama dendam gue makin menumpuk untuk menghabisi Hammer Tech. Kalau bisa, ya sesegera mungkin.

So, gue lebih sering memaksa Dani melakukan sesuatu dengan peralatan canggihnya. Seperti sekarang, kami sedang di ruang tengah, mengontrol lebah-lebah kamera yang melakukan patroli di sekitaran Kalibata. Siapa tau ketemu Hammer Tech lagi di sana.

“Erna masih diikutin kakaknya?” Gue bertanya lagi.
“Kepo.”
“Nanya doang kali.” Gue datar.

Segebuk bantal kemudian, Dani barulah mengatakan kalau Erna makin main kucing-kucingan sama kakaknya. Awalnya, setelah kejadian Akmal tertembak, Erna belum pulang lagi ke rumah atau gantian tugas jaga ke rumah sakit. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di jalan untuk mencari pita-pita sinyal yang mencurigakan.

Sembari Erna keliling kota dengan motornya, dia tahu kakaknya mengikuti beberapa belas meter di belakang. Erna pernah bilang ke Dani dalam satu telepon kalau dia melihat pita sinyal handphone milik kakaknya terus ada. Bahkan, kemarin kakaknya sanggup ngikutin Erna dari Priok sampai ke Pondok Labu seharian.

“Cuma lu yang gak kerja nih.” Ledek Dani.
“Abis Erna gak mau kalo gue ikut.” Jawab gue ketus.
“Dia masih takut sama elu. Makanya sama gue aja.”

Dani bernafas di kuping gue. Kalo hape Dani gak bergetar saat itu, udah gue sekep pake bantal itu anak. Daini langsung menggunakan loud speaker untuk menjawab telepon hapenya.

“Panjang umur lu, Na. Ada apa?” Sapa Dani.
“Guysshh.. Guyssshh...” Erna terengah-engah.
“Anjir, lu lagi ml??” Dani
“Lu kali yang lagi ml sama Hari!”

Dani melet ke gue, lalu ada diam beberapa saat dalam percakapan kami dan Erna. Mungkin Erma di seberang sana lagi mengambil nafas panjang. Atau mungkin dia sadar ada yang salah sama kata-katanya. Erna jarang banget bicara frontal.

“Halo? Na?” Gue berupaya membuyarkan kesenyapan.

Erna akhirnya menjawab balik.

“Iya, halo.. halo...”
“Ada apaan? Penting kan ini?” Dani menyerobot ucapan gue.
“Buru... ke taman Monas!” Erna berkata singkat.

Dani mengoperasikan kamera lebahnya untuk inaktif terlebih dulu. Dengan pengaturan yang dia ubah sendiri, kamera lebah akan terbang dan bertemu pemiliknya di taman monas. Canggih banget.

Setelahnya, kami bersiap-siap dengan peralatan lumayan lengkap. Dalam perjalanan kami ke Monas, Dani terus melakukan chat dengan Erna untuk memperbaharui situasi. Erna pun mengatakan kalau dia menemukan seseorang terduga pembeli senjata Hammer Tech.

“Hebat Erna.” Gue monolog sambil mengendarai motor.

Ini motor dinas stoknya Dani, satu-satunya yang tersisa karena motor gue dijadikan modus palsu kejadian di Karang Tengah. Pergi ke pusat Jakarta di weekdays pakai mobil? No Way.

Erna mengirimkan candid foto wajah si terduga kepada Dani. Kemudian, Dani mengonfirmasi kepada Akmal. Benarlah bahwa terduga yang sekarang dikejar Erna itu orang yang sama dengan yang ditemui Akmal di Kalibata.

Atas perintah asal-asalan gue, Akmal gak boleh ikut. Alasannya gue simpel, jahitan di tangannya masih belom kering. Padahal, gue emang gak pengen Akmal ngeurusuh lagi. Toh, ini bukan Roxxon.

Kami tiba di parkiran Monas satu setengah jam kemudian. Siang-siang begini di Jakarta Pusat rupanya panas banget. Alis yang harusnya jadi penghalang aliran keringat dari jidat, malah sampe ikut keringatan. Jaket kulit hitam yang dibawa Dani pun sampe bikin cetakan keringat di kaosnya.

“Panas anjir.” Maki Dani.
“Siapa suruh bawa jaket kulit.”
“Gue kira mendung di sini.” Dani membela harga dirinya.

Kami bertemu Erna di hutan monas sebelah barat, dekat dengan halte busway monas dan Museum Gajah. Erna menuntun kami berjalan berhati-hati agar gak dicurigai target. Target kami, sedang duduk-duduk gak jelas di pinggir rumputan, menikmati rokok di tempat yang seharusnya gak boleh ngerokok.

“Lewat belakang.” Bimbing Erna.

Kami mengendap ke sisi belakang si target. Dia kurus kalau dilihat lebih dekat. Pipinya tirus, kulitnya hitam gosong, bukan hitam khas orang ambon atau papua, bukti aktifitas luar ruangannya yang rutin. Pakaiannya cukup lusuh, tapi masih terawat. Gue beranggapan dia ini adalah preman atau semacamnya.

“Satu.. Dua.. Tiga!” Erna mengacungkan jari-jarinya...

Gue muncul duluan dengan pistol ICER teracung, mengarah tepat ke mukanya. Rokoknya terajatuh.

“JANGAN BERGERAK!” Ancam gue.

Si target berbalik badan. Hal yang sama dilakukan Erna dengan ICERnya. Kemudian, Dani menstapler sesuatu ke arah jakun si taget. Beberapa detik kemudian dia gak bisa bersuara lagi. Angkat tangan adalah hal yang terbaik yang bisa dia lakukan.

“Kelar, dia gak bisa teriak.” Dani tersenyum puas.
“Dodol ah, kita gak bisa interogasi coy.” Erna sewot.

Dani kebiasaan, kurang mikir panjang.

“Udah udah, kita bisa nyuruh dia nulis.” Gue memberi solusi.
“Nah.” Celetuk Dani.

Dani selamat dari tindakan konyolnya sendiri.

Kami menggiring si target kurus kami ke semak-semak yang lebih sepi dan jauh dari seliweran orang. Kami bertanya satu-satu, mulai dari kenal Hammer Tech di mana, bagaimana mereka bisa komunikasi, bisa ketemuan, sampai informasi tentang persembunyian mereka, atau lokasi manapun yang bisa dijadikan tempat berkumpul.

Info info yang kami dapat lumayan bisa dipercaya, tapi berjalan sangat lambat. Tulisan tangan target kami sangat jelek, mirip tulisan sambung anak SD, tapi lebih gak bisa kebaca.

“Lu gak pernah sekolah ya? Tulisan lu jelek banget.” Dani nyolot.
“Salah sendiri bikin dia gak bisa ngomong.” Erna nyeletuk lagi.
“Suushh.. udah.” Potong gue.

Kami mendapatkan informasi lengkap setelah satu jam tanya jawab dan satu jam konfirmasi karena gak semua tulisannya terbaca jelas. Di bawah ancaman ICER dan satu jari yang ditembak beku, gue yakin semua jawaban dia benar.

Kami meninggalkan si target dengan membius sepenuhnya. Obat bius yang ditambahkan campuran lainnya yang bisa membuat dia hilang ingatan jangka pendek. Dani bilang, itu berguna supaya dia lupa muka kita.

“Kelar nih ya?” Jawab gue.
“Iya kelar.” Dani menyimpan lagi syringnya.
“Obat apa lagi tuh yang lu kasih?” Tanya Erna

Gue jadi ikut-ikutan memberi tatapan menyelidik ke Dani. Padahal, tadinya biasa-biasanya.

“Cuma antidepresan sama antihistamin kok, plus kesukaan dia tuh, ekstrak tembakau.” Dani menunjuk target kami yang udah tergeletak pingsan.

Gue gak tau fungsi spesifik obat-obatan itu dan pengaruhnya sama memori otak. Gue juga gak tau Dani udah belajar sampe sejauh itu untuk bisa berguna. Gue kayanya harus belajar juga biar nyambung sama kelakukan Dani. Salah salah, Dani bisa ngebunuh orang sembarangan.

Kami berjalan bertiga, menuju lokasi parkir.

“Wait!” Erna melihat ke langit.
“Kenapa?” Tanya gue.
"Gue kaya ngeliat kakak gue." Erne ngeloyor menjauh.

Erna bilang kalau kakaknya ada disekitar sini. Dia bisa melihat pita frekuensi hape kakaknya. Erna pun memastikan itu dari segala pesan whatsapp, line, instagram, dan email yang keluar-masuk dari hape dia ke hape kakaknya.

“Itu dia!” Tunjuk Erna ke kejauhan.

Kami melihat dengan orang yang ditunjuk sebagai kakaknya Erna. Dia sedang berjalan kaki sendirian menuju pintu masuk monas di bawah tanah.

“Mau ngapain kakak gue.” Erna monolog.
“Jalan-jalan?” Dani nyambung.
“Ke monas? Bukan gayanya banget.”

Kami bertiga berunding sebentar, lalu sepakat untuk mengikuti kakaknya Erna diam-diam. Kami harus melangkah lebih jauh karena gak banyak pengunjung monas saat weekdays. Apalagi saat gak ada tempat sembunyi apa-apa ketika harus berjalan lurus di lorong bawah tanah.

Kakaknya Erna gak seketika berhenti ketika selesai naik ke permukaan tanah, atau pun saat masuk ke ruang diorama. Dia gak juga berkunjung ke ruang bendera pusaka dan gak juga mengantri naik ke puncak monas. Dia hanya berjalan terus menaiki anak tangga menuju cawan.

“Gue bilang cuma jalan-jalan kan.” Kata Dani.
“Kalo ternyata mau bunuh diri gimana?” Erna membantah.

Benar juga. Keamanan di cawan sini lebih rendah dibandingkan puncak monas. Gak ada pagar penutup yang mencegah pengunjung untuk lompat. Gak ada pos atau petugas juga yang berjaga. Ini tempat yang sempurna untuk lompat tanpa harus dicurigai pengunjung lain.

Kami terus mengikuti Kakak Erna dari kejauhan. Sayangnya, jarak kami menjadi jauh, fatal, ketika sampai anak tangga marmer yang berputar di dalam monas, di jalur menuju cawan. Kami benar-benar kehilangan jejaknya. Kami kemudian hanya berharap menemukannya kembali di atas sana.

Erna semakin khawatir. Dia mengambil langkah panjang dan melompati satu anak tangga setiap langkahnya.

“Erna! Tunggu!”

Suara gue dan Dani sama sekali tak digubrisnya.

Begitu setibanya di atas cawan, Erna langsung celingak celinguk. Erwan tak ditemuinya sama sekali. Tapi, gak ada gelagat aneh dari pengunjung lainnya, seperti telah melihat orang stress atau bunuh diri dengan cara melompat ke bawah. Erna turut memastikan bahwa kakaknya memang gak bunuh diri dengan cara melongo ke bawah di setiap penjuru mata angin di sini, di cawan monas.

“Ke mana itu si Erwan? Ke mana?” Erna lagi-lagi bermonolog.

Gue dan Dani juga sama sekali gak memiliki petunjuk. Akhirnya kami harus menyimpulkan bahwa saat ini menemui jalan buntu. Solusinya adalah kembali beberapa langkah ke belakang. Mungkin kami melewati sesuatu di lift, ruang diorama, atau mungkin di suatu tempat di taman monas ini.

Kami masuk kembali ke tangga marmer untuk turun.

“Tunggu.” Erna mengentikan langkah kami tepat di pintu lift.
Erna berjalan ke kiri, ke jalan buntu. Jalan yang hanya ditujukan untuk staff.

“Liat deh.” Erna menunjuk marmer di tembok.
“Apa?” Tanya Dani.
“Ssttt...”

Erna menyuruh kami gak berisik. Erna terpaku dengan tembok marmer berpola abstrak tersebut. Senyap. Hening. Lama kami menunggu tanpa hasil. Tiba-tiba sepintas muncul kilatan listrik kecil di tembok tersebut.

“Liat kan? Liat?” Tanya Erna antusias.
“Apaan itu?” Dani mejawab tak kalah antusias.
“Kepala gue agak pusing. Gue punya feeling...”

Erna gak menyelesaikan kalimatnya. Dia malah berjalan lurus ke tembok tersebut. Lalu, bukannya nabrak, dia terus melangkah menembus tembok tersebut seperti peron 9¾ nya Harry Potter.

Erna udah menghilang menembius tembok beberapa detik kemudian. Ini nyatakah? Tinggal gue berdua sama Dani.

“Na? Na?” Dani memanggil.
“Jangan berisik, ntar kita diliat.” Sahut gue.
“Gimana sekarang?”

Gue menaikkan bahu, lalu ikut seperti apa yang Erna lakukan, menembus tembok marmer monas yang padat ini. Dani seketika memegang lengan gue. Dia jadi orang terakhir dalam urutan yang memberanikan diri menembus tembok.

Mata gue gak terpejam ketika menembus tembok. Gue ingin merasakan sensasi menembus tembok dengan kelima panca indera gue. Rasanya ternyata biasa aja, sama seperti melewati pintu biasa. Kecuali, ada pandangan mata yang tiba-tiba berubah fokus. Kalau tadinya di dalam monas kami melihat tembok dari jarak dekat dan remang-remang, sekarang semuanya berbeda jauh.

Kami bertiga berpindah ke suatu tempat perbatasan antara padang rumput dan hutan lebat. Gue pernah sekali ke Taman Nasional Baluran waktu kuliah di kala musim hujan. Pemandangan ini sama persis. Rumput hijau membentang jauh dan terdapat batas yang jelas dengan pepohonan super tinggi dengan batang batang besar. Bedanya, pohon di sini bukan akasia kaya di Baluran.

“Kita di mana?” Dani masih memegang lengan gue.
“Na?? ERNA???” gue mencari-cari Erna.
“Sini.” Panggil Erna.

Erna memasuki hutan tanpa rasa takut. Fisiknya mungkin cewek, tapi jangan lupa kalau Erna lebih cowok daripada Eda.

Erna bisa dibilang hampir menjelajahi semua hutan dari barat sampai timur Indonesia semasanya kuliah. taman nasional mana yang belum pernah dia datangi di tiap pulau? Cagar alam mana yang luput dia injak? Kalau ada yang menjawab lokasinya di Jawa atau Sumatra, dia pasti belum kenalan sama Erna.

“Na, jangan jauh-jauh.” Panggil Dani agak keras.

Dani paling ogah masuk hutan. Takut nyamuk, takut semut, takut pacet. Takut apapun soal serangga yang hidup di dalam hutan.

Gue sendiri udah lama gak masuk hutan beneran. Gak usah bilang Hutan Taman Monas, Kebun Raya Bogor, atau tegalan yang ada Arboretum Cibubur. Itu bukan hutan. Itu cuma pohon-pohon yang ditanam dengan jarak tersusun rapi. Kalo dibanding sama hutan asli, gak ada apa-apanya.

“Ngomong-ngomong, pohon di sini gede banget.” Kata gue
“Jarang-jarang gue liat pohon gede.” Balas Erna
“Pohon ini udah pada tua?” Tanya gue
“Banget. Pasti.” Erna menengadah ke atas.

Kami mengikuti apa aja yang dilakukan Erna, termasuk menengadah ke atas untuk melihat tajuk-tajuk pohon. Dari bawah sini, dedaunan semuanya berwarna hitam. Backlight namanya kalo kata Erna. Gue sendiri cuma bisa menebak mungkin jenis pohon satu ini rasamala atau saninten, karena kulit batangnya kemerahan dan besar. Iitu ilmu secuil yang masih nyangkut maksudnya.

“Apaan, Na? Rasamala?” Tanya gue.
“Nope. Gue baru liat ini.” Jawab Erna.

Dani dari tadi cuma was-was dan kerisihan dengan banyaknya nyamuk dan semut di tanah.

“TOLOOOONG!!”

Ada teriakan seseorang dari suatu tempat di hutan ini.

“Kakak gue!” Erna merespon.

Erna berlarian ke sumber suara. Gue pun kewalahan mengejar Erna. Apalagi Dani.

Dalam waktu singkat, kami tiba-tiba dikelilingi sepasukan robot-robot seukuran manusia. Mereka mengacungkan senjata-senjata aneh kombinasi senapan laras panjang dan anak panah.

“Jangan bergerak!” Kata salah satu robot.
“Oke. Oke.” Gue menjawab sekenanya.

Gue, Erna, dan Dani terkepung. Kami semua mengangkat tangan tanda menyerah. Tas peralatan kami masing-masing juga disita. Sesaat kemudian, bergabunglah kakaknya Erna bersama kami.

Mereka semakin agresif ketika menemukan berbagai senjata yang terdapat dalam tas kami. Untungnya, sebelum kami mati kena tembak, pimpinan robot mereka datang. Dia melepas kepalanya? What?!

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri
Dani_2_3_D.jpg


Ernawati
Erna_2_3_D.jpg

 
Terakhir diubah:
Episode 17
Vanaheim


POV Hari

“HALO!??” Gue teriak.
“Berisik Har.” Tegur Dani.

Dani dan yang lainnya gak jauh-jauh posisinya. Mereka masing-masing ada di jeruji sebelah gue. Gue sediri ada di antara perasaan penasaran, bingung, dan panik. Teriakan gue terus menggaung sepanjang lorong bawah tanah ini untuk mencari jawaban.

“HALOOOOO???” Teriak gue lagi.
“HAR! Kagak ada yang bakal mau denger.” Dani gak betah sama suara gue.

Gue gak tau sekarang ada di mana. Kami semua dikurung dalam jeruji besi. Semuanya dalam sel masing-masing. Penerangan di sini hanya di berupa lampu botol mirip petromaks. Tembok batu granit yang entah seberapa tebal ini menjadi penghalang kami dari dunia luar, atau mungkin air tanah.

Karena suasana ruangan yang remang begini, gue beranggapan ini semacam penjara bawah tanah abad pertengahan. Kami dikurung berderet tanpa bisa melihat muka masing-masing. Mungkin lebih mirip jika disetarakan dengan penjara bawah tanahnya Sept of Baelor di serial Game of Thrones. Atau penjara bawah tanahnya Eren waktu mau disidang saat pertama kali menjadi Titan di anime Attack on Titan.

Tapi anggapan-anggapan gue tadi terlalu kontras dengan robot yang menangkap kami. Sejujurnya gue gak tau itu robot atau bukan, karena ketika salah satu dari mereka melepas kepala robotnya, rupanya ada kepala lain di dalamnya. Kepala manusia. Jadi, sebenarnya mereka apa?

Setelah itu, kami semua gak tau apa-apa. Kepala kami ditutupi kain hitam tebal. Bahkan, gak ada cahaya lagi yang bisa tembus ke kain hitam itu. Kepala gue sampe keringetan sendiri pas sampe penjara ini.

“HALOOOO!!” Gue teriak lagi.
“BERESEEK!!” Dani membalas teriak.

Karena suasana yang menggaung begini, semua percakapan gak ada lagi yang kedengeran bisik-bisik. Apalagi sekarang sepi. Hening. Penjaga pun gak ada.

“Sumpah ya, lu ngapain sih, Kak??” Tanya Erna retoris.
“Udah gue bilang, gue nyari jawaban.” Jawab si Erwan ini, kakaknya Erna.
“Ya lu kan bisa nunggu gue.”
“Dan lu pergi terus? Pantek lah.” Umpat kakaknya.

Gue tau kata yang satu itu. Pantek. Pantat. Caci maki khas yang dilontarkan orang Padang.

“Lu tau tempat ini dari mana?” Cecar Erna lagi.
“Penting?” Tanya balik kakaknya.
“Jawab aja sih!” Erna sambil berdecak.
“Gue ikutin temen lu yang berduaan terus itu.”

Gue dan Dani diam seribu makna. Teman kami yang berdua itu pasti maksudnya Pur dan Laras. Memangnya siapa lagi yang punya hal-hal aneh nan mistis begini. Siapa lagi yang bisa menembus tembok di monas, lalu seketika bisa pindah ke hutan rimba.

“Berarti... ini bukan di bumi, ya kan?” Gue memotong.

Erwan gantian diam. Dia kembali menerima fakta baru, mampu berpindah ke luar angkasa atau apapun namanya tempat ini dengan hanya menembus tembok. Begitu. Lalu, dia merespon dengan cara yang umum orang-orang lakukan kalau mendapat fakta baru yang gak sesuai dengan jalan pikirannya. Pertama, bertanya balik, seakaan dia yang benar. Kedua, membantah jawaban kami, sekaan kami gak lebih tau dari dia.

Kenyataannya kami semua di sini memang gak tau apa-apa.

"Bohong ah. Yang bener dong kalo ngomong." Kata Erwan berkali-kali.

Diantara Erna dan Erwan, sudah pasti Erna yang bisa menerima kenyataan ini, atau setidaknya teori yang gue sampaikan tadi. Wajar, kan Erna juga udah tau data diri Pur dan Laras, ditambah bonus respon Pur yang membuka semua sikap tersembunyi Erna belakangan.

“Jangan bohong lah, ini di mana?” Erwan masih gak percaya.
“Asgard? Vanaheim?” Kata gue.
“Yap, antara dua itu.” Dani menimpali.

Erwan mengeluarkan suara berdehem pertanda ‘sumpeh lu’.

“Kak, lu tadi nembus tembok. Masih gak percaya kita pindah dunia?” Erna memberi brainstorming ke kakaknya.

Selanjutnya, Erna bersusah payahlah menjelaskan apa itu Asgrad, Vanaheim, hingga Palu Thor. Gue yakin, selain penjelasan inti yang keluar dari mulut Erna, pasti ada caci maki di sela-selanya. Secara, dia bicara pakai bahasa minang yang gak gue paham artinya.

“Ssst!” Dani memotong dengan desisannya.

Gue turut mendengar, ada langkah kaki berderap semakin jelas. Beberapa orang berjalan ke arah kami. Kemudian, gue mundur menjauh dari sel untuk menghindari hal yang nggak-nggak.

“Kalem. Kalem.” Gue berusaha menenangkan semua orang.

Yang datang rupanya bukan orang, melainkan robot. Atau memang orang?

Mereka, empat wujud berpenampilan sama dengan robot-robot yang menangkap kami tadi di hutan. Kemudian, pintu jeruji dibukanya. Lantas, dengan ayunan tangannya, salah seorang dari mereka memerintahkan kami keluar dari penjara. Kemudian, kami digiring seperti kambing menuju entah ke mana.

---

POV Laras

“Ini udah hari ke berapa?” Tanya Pur.
“Baru juga berapa jam.” Jawab gue.
“Satu malem udah lewat ya ini.” Kata Pur lagi.

Kami sedang menyusuri hutan besar sebelah utara, ditemani sekelompok prajurit Vanaheim pangkat rendahan yang sedang berpencar dengan jarak masing-masing mungkin 10 sampai 20 meteran. Sedangkan di sebelah gue, Pur sibuk sendirian mengkalkulasi masa tugas kami di hutan ini.

Wilayah ini punya jalur resmi antar Vanaheim dan Asgard. Dulunya sih ini bukan jalur resmi, Cuma, waktu terbongkarnya informasi soal Loki yang punya jalur-jalur rahasia antar dunia. Beberapa einhherjar disuruh Thor menemukan portal ini.

Untungnya, orang Asgrad dan Vanaheim itu bersahabat. Kedua belah pihak sepakat membuka jalur ini selain mengandalkan jembatannya Heimdall. Rencananya, akan ada perdagangan yang bisa menaikkan level ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Sayangnya, perang saudara di Vanaheim malah membuat jalur ini jadi sepi.

“Harusnya kan orang-orang yang bawa Rosi udah lewat sini ya.” Gue membuka asumsi.
“Harusnya.” Jawab Pur cuek.
“Wey! Udah, gak usah diitungin.” Gue menggetok Pur.

Pur mengusap helmnya. Baju dinasnya ditepuk-tepuk. Lalu, dia mencari pembenaran tentang kegiatan sempoa yang dilakukannya sedari tadi.

“Coba dihitung deh. Harusnya Rosi udah sampe lebih dari tiga hari yang lalu kan, kalo dihitung sejak gue ngirim gagak.” Jelas Pur.

Pur menjelaskan lagi soal kalkulasi waktu Rosi menghilang dari radar Asgrad dan Vanaheim. Kata Pur, kalo pakai mobil jemputannya Vanaheim yang bisa melayang, Waktu tempuh dari istana Asgard ke istana Vanaheim lewat portal ini gak sampe 16 jam. Waktu tempuh juga gak jauh beda kalo pake kuda terbang edisi terbatasnya Asgrad.

Pur menghitung-hitung sejak laporan hilangnya Rosi dua hari lalu hingga sekarang. Kemudian, ditambah dengan waktu lebih sejak Rosi yang seharusnya dikirim dari Asgrad. Berarti, Rosi udah hilang kurang lebih 96 jam.

“Nah, bayangin Rosi udah sampai mana selama 96 jam itu?” Tanya Pur.
“Sampe mana-mana sih.” Gue jadi ikut mikir.

Jadi, kami percuma aja mencari di sekitar sini. Rosi pasti udah pergi jauh. Bisa jadi kabur sejak dari Asgrad. Mungkin juga kabur dari sekitar portal ini. Kalau Rosi benar kabur dari sini. Pilihannya pelariannya dua.

“Pur, kalo dia kabur dari sini, pilihannya kan...” Gue masih gak percaya.”
“Kalo gak portal ke Midgrad, ya ke tempatnya sendiri.” Teori Pur.
“Apalagi kalo dia megang runenya Odin.” Gue berceloteh begitu aja.

Sial.

Mata gue melotot melihat Pur, dan Pur begitu juga. Gue seketika punya hipotesis yang mungkin sejalan dengan pikiran Pur. Apalagi diperkuat tentang kami yang mendadak dikirimi tugas dari gagaknya Odin di saat-saat ratu bangsa Vanir menyadari ada yang janggal dengan pengiriman Rosi ke Asgard. Seolah ini teori konspirasi.

Tapi kan, hubungan bangsa Vanir dan Asgard selama ini baik-baik aja. Masa iya Asgard berkhianat ke pemberontak.

“Siapa yang tau jalan pikiran Odin.” Kata Pur.

Siapa yang tau, katanya. Gue menghela nafas. Sekarang, kepada siapakah kami harus berpihak? Kepada Asgard yang menjadi tempat sumpah mati kami, atau Vanaheim yang membayar mahal kami?

Tiba-tiba, seorang pasukan Vanaheim menghampiri kami. Dia menyampaikan kabar lain. Kabar dari istana. Empat orang dari midgard ditangkap oleh pasukan istana, dan mereka mengaku kenal dengan kami. Dia turut menyebutkan ciri-ciri fisik yang mirip dengan Hari, Dani, dan Erna. Akan tetapi, kami gak tau siapa satu orang lagi.

“Buset, mereka tau portal di monas dari mana?” Pur tepok jidat.

Kami sepasukan langsung bergegas keluar dari hutan untuk menaiki jemputan. Sebuah tronton tanpa roda dan bisa melayang, itu menjadi angkutan antar-jemput kami dari kemarin. Selama perjalanan gue berdebat dengan Pur tentang siapa orang keempat yang bersama Hari, Dani, dan Erna. Gue bersikeras bilang itu Akmal, sedangkan Pur bilang itu salah satu agen C.I.A. atau A.T.C.U.

Sesampainya di istana, tebakan kami berdua salah.

“Lah, kakaknya Erna.” Pur terkejut beneran.

Hari, Dani, Erna, dan Erwan dibariskan tepat di depan tahta sang ratu Vanaheim. Kalau gak salah namanya Ratu Elga, penguasa Vanaheim, suksesor Frey akunya. Namanya cantik, memang, tapi jangan lupa kalo dia udah nenek-nenek berumur ribuan tahun.

Sang Ratu bertanya kepada kami, apakah benar kami mengenal mereka sperti yang dikatakan. Tentu aja kami bilang kenal. Kalau kami jawab nggak, sudah pasti mereka akan dihukum mati.

Setelah melewati banyak tanya jawab semacam persidangan, Akhirnya putusan diambil oleh sang Ratu. Bagusnya, suasanya hati sang ratu sedang baik. Kami hanya harus mengantarkan mereka kembali menuju portal midgard, lalu diembargo supaya mereka tidak lagi datang ke dunia Vanaheim.

“Yang Mulia Ratu, kalau boleh, kami minta pasukan pengawal untuk ke Hutan Tepi Barat.” Pinta Pur.
“Memang. Saya kasih 15.” Jawab sang ratu.
“Tolong ditambah, Yang Mulia Ratu. Itu daerah rawan.” Pinta Pur lagi.
“Waktu kami menemukan orang-orang Midgard itu, di sana aman.”

Gue dan Pur menunduk. Pamit.

Mereka berempat ikut menunduk. Kemudian, kami diizinkan pergi dari hadapan ratu. Beberapa pasukan berzirah robot mengawal kami keluar istana dari depan dan belakang. Selanjutnya, kami menaiki tronton yang sedari tadi jadi angkutan kami.

“Beda ya.” Bisik Hari ke gue.
“Apanya?” Gue bingung sendiri.
“Tadi penjara bawah tanahnya kaya masa pertengahan banget.”

Matanya Hari jelalatan ngeliat lingkungan luar istana.

“Kita lagi di dalam kota, namanya Skaun. Baru direvitalisasi.”

Gue menjelaskan bahwa kota ini baru saja direvitalisasi meski sedang berada di tengah perang saudara. Kota ini menjadi pusat pemerintahan sekaligus industri dunia Vanaheim. Kemudian, gue jelaskan juga soal industri di sini yang menggunakan konsep green building. Bangunannya gak menggunakan banyak kaca. Selain itu, mereka banyak-banyak menggunakan inovasi penggunaan limbah, serta minim emisi. Ditambah lagi minimal 30% luas areanya harus dijadikan ruang terbuka hijau.

“Ruang terbuka hijau itu instruksi wajib sejak zamannya raja Frey.” Tambah Pur.
“Kok kaya Undang-Undang nomor 26?” Erna menimpali.
“Orang midgrad itu ikut-ikutan kali hahaha.” Tawa Pur.

Hari mengangguk-angguk. Tapi rupanya bukan itu yang jadi ketertarikan Hari dari perbincangan selama perjalanan ini. Dia lebih tertarik sama perang saudara yang gue sebut di awal.

“Sorry, perang saudara? Ada di sini gitu?” Jidat Hari mengkerut.
“Udah lama, sejak raja Frey hilang.” Sahut gue.
“Klasik.” Sambung Pur.

Kami perlahan meninggalkan pusat kota. Keempat penduduk midgrad ini norak. Sebentar lagi pasti mereka lebih norak lagi kalo ngeliat salah satu objek vital yang ada di pinggir kota ini. Sebuah tembok super tinggi. Tembok Persatuan namanya kata sang ratu.

“Kita bentar lagi lewat Tembok Persatuan ya.”
“Kaya propaganda.” Kata Erna.
“Bisa jadi sih hahaha.” Sahut gue lagi. Pahit.

Sejujurnya, gue masih percaya itu tembok yang bisa menjaga persatuan bangsa Vanir dari serangan pemberontak. Seenggaknya sampai teori konspirasi muncul di kepala gue dan Pur tadi. Sekarang gue menjadi ragu dengan pihak istana dan sang ratu.

Begitu melewati tembok berpenjagaan ketat itu, takjublah mereka. Erna dan Erwan sama-sama melongo. Cuma Dani dan Hari yang masih bisa menganggapi momen tadi dengan suara.

“Tinggi gila!” Kagum Dani.
“Buset buset buset.” Hari berdecak.
“Cepet tuh bikinnya, Cuma 200 tahun.” Jelas Pur.
“200 tahun ye, mana cepet.” Timpal Dani lagi.

Kami keluar dari kota. Pemandangan daerah industri lenyap sudah dibalik tembok. Kini hanya ada padang rumput dan ilalang super luas. Terkadang kami melewati satu-dua lumbung karbohidrat tak berisi. Dinamai karbohidrat karena bisa diisi macam-macam, kadang padi, gandum, kentang, talas, atau makanan pokok lain yang gak ada istilahnya di Midgard.

“Itu kosong?” Tunjuk Erna ke salah satu lumbung.
“Yap, lagi-lagi karena perang saudara.” Gue jadi semacam tour guide.

Sementara itu, para pasukan dari tadi cuma duduk tegap dengan sebilah pedang dipegang erat di atas paha mereka. Gue tau Hari udah beberapa kali melirik ke mereka dengan tampang penasaran. Gue tergelitik untuk menanggapi rasa penasarannya.

“Penasaran?” Gue mendelikkan mata ke salah satu prajurit.
“Iya.”

Baru gue mau menarik nafas untuk memberi penjelasan lagi, tiba-tiba tronton kami berhenti mendadak. Dengan sandi yang gue kenal dari pak sopir, para pasukan turun dari tronton dengan sikap waspada. Ini momen yang bener-bener gak pas.

“Kenapa? Kenapa?” Tanya Dani.
“Pemberontak.” Jawab Pur lantang.
“Kalian di sini aja.” Gue menyambung.

Gue dan Pur turun terakhir dari tronton.

Pasukan pemberontak muncul tepat beberapa ratus meter lagi dekat dengan Hutan Tepi Barat, tempat tersambungnya Vanaheim dengan Midgard. Gue langsung memunculkan zirah emas dan pedang kebanggaan gue. Pur juga memunculkan zirah dan benang-benang yang mulai dililit di jarinya.

Para pasukan, atas komando Pur, maju duluan. Kami bertarung jarak dekat dengan pasukan pemberontak. Teknologi pasukan kami jelas lebih canggih dengan zirah-zirah robotik yang bisa dikendalikan dari jauh atau pun dekat. Sangat fungsional dalam keadaan perang besar. Bandingkan dengan mereka yang hanya berpakaian dengan balutan kulit beruang atau serigala.

Untuk saat ini, harusnya pergerakan perorangan dalam zirah robotik masih cukup untuk melawan mereka. Sayangnya, lambat laun kami kalah jumlah. Mereka satu per satu datang dari dalam hutan seperti semut. Jelas berbeda jumlah dengan kami yang awalnya cuma ditugaskan mengawal orang.

Gue bilang apa ke si ratu kampret! Ini daerah rawan!” Teriak Pur.
“Kita kalah jumlah.” Teriak gue.
“Udah tau.” Teriak Pur lagi.

Jarak kami berdua terlalu jauh untuk bisa berkomunikasi normal. Apalagi satu per satu pasukan kami tumbang dan zirahnya dihancurkan. Secara harfiah, pasukan kami ditelanjangi sambil pingsan. Atau mati.

Tronton kami didekati. Hari dan kawan-kawan dalam bahaya.

“Pur! Ke tronton!” Teriak gue.
“Susah!” Teriak Pur sambil melawan tiga orang.

Siapa suruh senjatanya cuma benang.

Akhirnya kami hanya bisa menyaksikan dari jauh Hari, Dani, Erna, dan Erwan dikepung dan dipaksa turun dari tronton. Leher mereka ditodong belati. Gue dan Pur pun diancam oleh mereka untuk jangan melawan. Kami kalah.

Kami lama tak boleh bersuara. Mereka pun juga enggan berkomunikasi lagi. Lalu, kemudian dari kejauhan datanglah dua orang wanita muda dengan kudanya masing-masing. Seorang bersorban dan berpakaian serba putih longgar, seorang lagi berpakaian lebih ketat tanpa sorban.

“Cih.” Pur meludah.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
mantrp ni critanya
dasyat lahh
saran suhu
dibuat lebi panjang 1 chapter hehehe
 
Amora/Enchantress kah yg ketat bajunya? Satunya sorban sapa ya. Lorelei saudaranya? Ah entahlah. Baju putih pula. Wakakaka. Sdh lupaa...

Btw in Vannaheim msh civil war tu brati msh ada Marauder ya suhu? Atau ini post thor: 2nd Dark Elves Conflict?
 
Waaah ada yg marathon. Makasih banget lhoo.

Fyi, saya gak pernah masukin tokoh yg ada di komik sebelum tokoh itu muncul duluan di MCU lho. Saya jarang juga make mereka hehehe.

Dan timeline ini setelah Thor TDW kok, menjelang ragnarok malah kata Pur. Gituh.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd