Episode 17
Vanaheim
POV Hari
“HALO!??” Gue teriak.
“Berisik Har.” Tegur Dani.
Dani dan yang lainnya gak jauh-jauh posisinya. Mereka masing-masing ada di jeruji sebelah gue. Gue sediri ada di antara perasaan penasaran, bingung, dan panik. Teriakan gue terus menggaung sepanjang lorong bawah tanah ini untuk mencari jawaban.
“HALOOOOO???” Teriak gue lagi.
“HAR! Kagak ada yang bakal mau denger.” Dani gak betah sama suara gue.
Gue gak tau sekarang ada di mana. Kami semua dikurung dalam jeruji besi. Semuanya dalam sel masing-masing. Penerangan di sini hanya di berupa lampu botol mirip petromaks. Tembok batu granit yang entah seberapa tebal ini menjadi penghalang kami dari dunia luar, atau mungkin air tanah.
Karena suasana ruangan yang remang begini, gue beranggapan ini semacam penjara bawah tanah abad pertengahan. Kami dikurung berderet tanpa bisa melihat muka masing-masing. Mungkin lebih mirip jika disetarakan dengan penjara bawah tanahnya Sept of Baelor di serial Game of Thrones. Atau penjara bawah tanahnya Eren waktu mau disidang saat pertama kali menjadi Titan di anime Attack on Titan.
Tapi anggapan-anggapan gue tadi terlalu kontras dengan robot yang menangkap kami. Sejujurnya gue gak tau itu robot atau bukan, karena ketika salah satu dari mereka melepas kepala robotnya, rupanya ada kepala lain di dalamnya. Kepala manusia. Jadi, sebenarnya mereka apa?
Setelah itu, kami semua gak tau apa-apa. Kepala kami ditutupi kain hitam tebal. Bahkan, gak ada cahaya lagi yang bisa tembus ke kain hitam itu. Kepala gue sampe keringetan sendiri pas sampe penjara ini.
“HALOOOO!!” Gue teriak lagi.
“BERESEEK!!” Dani membalas teriak.
Karena suasana yang menggaung begini, semua percakapan gak ada lagi yang kedengeran bisik-bisik. Apalagi sekarang sepi. Hening. Penjaga pun gak ada.
“Sumpah ya, lu ngapain sih, Kak??” Tanya Erna retoris.
“Udah gue bilang, gue nyari jawaban.” Jawab si Erwan ini, kakaknya Erna.
“Ya lu kan bisa nunggu gue.”
“Dan lu pergi terus? Pantek lah.” Umpat kakaknya.
Gue tau kata yang satu itu. Pantek. Pantat. Caci maki khas yang dilontarkan orang Padang.
“Lu tau tempat ini dari mana?” Cecar Erna lagi.
“Penting?” Tanya balik kakaknya.
“Jawab aja sih!” Erna sambil berdecak.
“Gue ikutin temen lu yang berduaan terus itu.”
Gue dan Dani diam seribu makna. Teman kami yang berdua itu pasti maksudnya Pur dan Laras. Memangnya siapa lagi yang punya hal-hal aneh nan mistis begini. Siapa lagi yang bisa menembus tembok di monas, lalu seketika bisa pindah ke hutan rimba.
“Berarti... ini bukan di bumi, ya kan?” Gue memotong.
Erwan gantian diam. Dia kembali menerima fakta baru, mampu berpindah ke luar angkasa atau apapun namanya tempat ini dengan hanya menembus tembok. Begitu. Lalu, dia merespon dengan cara yang umum orang-orang lakukan kalau mendapat fakta baru yang gak sesuai dengan jalan pikirannya. Pertama, bertanya balik, seakaan dia yang benar. Kedua, membantah jawaban kami, sekaan kami gak lebih tau dari dia.
Kenyataannya kami semua di sini memang gak tau apa-apa.
"Bohong ah. Yang bener dong kalo ngomong." Kata Erwan berkali-kali.
Diantara Erna dan Erwan, sudah pasti Erna yang bisa menerima kenyataan ini, atau setidaknya teori yang gue sampaikan tadi. Wajar, kan Erna juga udah tau data diri Pur dan Laras, ditambah bonus respon Pur yang membuka semua sikap tersembunyi Erna belakangan.
“Jangan bohong lah, ini di mana?” Erwan masih gak percaya.
“Asgard? Vanaheim?” Kata gue.
“Yap, antara dua itu.” Dani menimpali.
Erwan mengeluarkan suara berdehem pertanda ‘sumpeh lu’.
“Kak, lu tadi nembus tembok. Masih gak percaya kita pindah dunia?” Erna memberi brainstorming ke kakaknya.
Selanjutnya, Erna bersusah payahlah menjelaskan apa itu Asgrad, Vanaheim, hingga Palu Thor. Gue yakin, selain penjelasan inti yang keluar dari mulut Erna, pasti ada caci maki di sela-selanya. Secara, dia bicara pakai bahasa minang yang gak gue paham artinya.
“Ssst!” Dani memotong dengan desisannya.
Gue turut mendengar, ada langkah kaki berderap semakin jelas. Beberapa orang berjalan ke arah kami. Kemudian, gue mundur menjauh dari sel untuk menghindari hal yang nggak-nggak.
“Kalem. Kalem.” Gue berusaha menenangkan semua orang.
Yang datang rupanya bukan orang, melainkan robot. Atau memang orang?
Mereka, empat wujud berpenampilan sama dengan robot-robot yang menangkap kami tadi di hutan. Kemudian, pintu jeruji dibukanya. Lantas, dengan ayunan tangannya, salah seorang dari mereka memerintahkan kami keluar dari penjara. Kemudian, kami digiring seperti kambing menuju entah ke mana.
---
POV Laras
“Ini udah hari ke berapa?” Tanya Pur.
“Baru juga berapa jam.” Jawab gue.
“Satu malem udah lewat ya ini.” Kata Pur lagi.
Kami sedang menyusuri hutan besar sebelah utara, ditemani sekelompok prajurit Vanaheim pangkat rendahan yang sedang berpencar dengan jarak masing-masing mungkin 10 sampai 20 meteran. Sedangkan di sebelah gue, Pur sibuk sendirian mengkalkulasi masa tugas kami di hutan ini.
Wilayah ini punya jalur resmi antar Vanaheim dan Asgard. Dulunya sih ini bukan jalur resmi, Cuma, waktu terbongkarnya informasi soal Loki yang punya jalur-jalur rahasia antar dunia. Beberapa einhherjar disuruh Thor menemukan portal ini.
Untungnya, orang Asgrad dan Vanaheim itu bersahabat. Kedua belah pihak sepakat membuka jalur ini selain mengandalkan jembatannya Heimdall. Rencananya, akan ada perdagangan yang bisa menaikkan level ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Sayangnya, perang saudara di Vanaheim malah membuat jalur ini jadi sepi.
“Harusnya kan orang-orang yang bawa Rosi udah lewat sini ya.” Gue membuka asumsi.
“Harusnya.” Jawab Pur cuek.
“Wey! Udah, gak usah diitungin.” Gue menggetok Pur.
Pur mengusap helmnya. Baju dinasnya ditepuk-tepuk. Lalu, dia mencari pembenaran tentang kegiatan sempoa yang dilakukannya sedari tadi.
“Coba dihitung deh. Harusnya Rosi udah sampe lebih dari tiga hari yang lalu kan, kalo dihitung sejak gue ngirim gagak.” Jelas Pur.
Pur menjelaskan lagi soal kalkulasi waktu Rosi menghilang dari radar Asgrad dan Vanaheim. Kata Pur, kalo pakai mobil jemputannya Vanaheim yang bisa melayang, Waktu tempuh dari istana Asgard ke istana Vanaheim lewat portal ini gak sampe 16 jam. Waktu tempuh juga gak jauh beda kalo pake kuda terbang edisi terbatasnya Asgrad.
Pur menghitung-hitung sejak laporan hilangnya Rosi dua hari lalu hingga sekarang. Kemudian, ditambah dengan waktu lebih sejak Rosi yang seharusnya dikirim dari Asgrad. Berarti, Rosi udah hilang kurang lebih 96 jam.
“Nah, bayangin Rosi udah sampai mana selama 96 jam itu?” Tanya Pur.
“Sampe mana-mana sih.” Gue jadi ikut mikir.
Jadi, kami percuma aja mencari di sekitar sini. Rosi pasti udah pergi jauh. Bisa jadi kabur sejak dari Asgrad. Mungkin juga kabur dari sekitar portal ini. Kalau Rosi benar kabur dari sini. Pilihannya pelariannya dua.
“Pur, kalo dia kabur dari sini, pilihannya kan...” Gue masih gak percaya.”
“Kalo gak portal ke Midgrad, ya ke tempatnya sendiri.” Teori Pur.
“Apalagi kalo dia megang runenya Odin.” Gue berceloteh begitu aja.
Sial.
Mata gue melotot melihat Pur, dan Pur begitu juga. Gue seketika punya hipotesis yang mungkin sejalan dengan pikiran Pur. Apalagi diperkuat tentang kami yang mendadak dikirimi tugas dari gagaknya Odin di saat-saat ratu bangsa Vanir menyadari ada yang janggal dengan pengiriman Rosi ke Asgard. Seolah ini teori konspirasi.
Tapi kan, hubungan bangsa Vanir dan Asgard selama ini baik-baik aja. Masa iya Asgard berkhianat ke pemberontak.
“Siapa yang tau jalan pikiran Odin.” Kata Pur.
Siapa yang tau, katanya. Gue menghela nafas. Sekarang, kepada siapakah kami harus berpihak? Kepada Asgard yang menjadi tempat sumpah mati kami, atau Vanaheim yang membayar mahal kami?
Tiba-tiba, seorang pasukan Vanaheim menghampiri kami. Dia menyampaikan kabar lain. Kabar dari istana. Empat orang dari midgard ditangkap oleh pasukan istana, dan mereka mengaku kenal dengan kami. Dia turut menyebutkan ciri-ciri fisik yang mirip dengan Hari, Dani, dan Erna. Akan tetapi, kami gak tau siapa satu orang lagi.
“Buset, mereka tau portal di monas dari mana?” Pur tepok jidat.
Kami sepasukan langsung bergegas keluar dari hutan untuk menaiki jemputan. Sebuah tronton tanpa roda dan bisa melayang, itu menjadi angkutan antar-jemput kami dari kemarin. Selama perjalanan gue berdebat dengan Pur tentang siapa orang keempat yang bersama Hari, Dani, dan Erna. Gue bersikeras bilang itu Akmal, sedangkan Pur bilang itu salah satu agen C.I.A. atau A.T.C.U.
Sesampainya di istana, tebakan kami berdua salah.
“Lah, kakaknya Erna.” Pur terkejut beneran.
Hari, Dani, Erna, dan Erwan dibariskan tepat di depan tahta sang ratu Vanaheim. Kalau gak salah namanya Ratu Elga, penguasa Vanaheim, suksesor Frey akunya. Namanya cantik, memang, tapi jangan lupa kalo dia udah nenek-nenek berumur ribuan tahun.
Sang Ratu bertanya kepada kami, apakah benar kami mengenal mereka sperti yang dikatakan. Tentu aja kami bilang kenal. Kalau kami jawab nggak, sudah pasti mereka akan dihukum mati.
Setelah melewati banyak tanya jawab semacam persidangan, Akhirnya putusan diambil oleh sang Ratu. Bagusnya, suasanya hati sang ratu sedang baik. Kami hanya harus mengantarkan mereka kembali menuju portal midgard, lalu diembargo supaya mereka tidak lagi datang ke dunia Vanaheim.
“Yang Mulia Ratu, kalau boleh, kami minta pasukan pengawal untuk ke Hutan Tepi Barat.” Pinta Pur.
“Memang. Saya kasih 15.” Jawab sang ratu.
“Tolong ditambah, Yang Mulia Ratu. Itu daerah rawan.” Pinta Pur lagi.
“Waktu kami menemukan orang-orang Midgard itu, di sana aman.”
Gue dan Pur menunduk. Pamit.
Mereka berempat ikut menunduk. Kemudian, kami diizinkan pergi dari hadapan ratu. Beberapa pasukan berzirah robot mengawal kami keluar istana dari depan dan belakang. Selanjutnya, kami menaiki tronton yang sedari tadi jadi angkutan kami.
“Beda ya.” Bisik Hari ke gue.
“Apanya?” Gue bingung sendiri.
“Tadi penjara bawah tanahnya kaya masa pertengahan banget.”
Matanya Hari jelalatan ngeliat lingkungan luar istana.
“Kita lagi di dalam kota, namanya Skaun. Baru direvitalisasi.”
Gue menjelaskan bahwa kota ini baru saja direvitalisasi meski sedang berada di tengah perang saudara. Kota ini menjadi pusat pemerintahan sekaligus industri dunia Vanaheim. Kemudian, gue jelaskan juga soal industri di sini yang menggunakan konsep green building. Bangunannya gak menggunakan banyak kaca. Selain itu, mereka banyak-banyak menggunakan inovasi penggunaan limbah, serta minim emisi. Ditambah lagi minimal 30% luas areanya harus dijadikan ruang terbuka hijau.
“Ruang terbuka hijau itu instruksi wajib sejak zamannya raja Frey.” Tambah Pur.
“Kok kaya Undang-Undang nomor 26?” Erna menimpali.
“Orang midgrad itu ikut-ikutan kali hahaha.” Tawa Pur.
Hari mengangguk-angguk. Tapi rupanya bukan itu yang jadi ketertarikan Hari dari perbincangan selama perjalanan ini. Dia lebih tertarik sama perang saudara yang gue sebut di awal.
“Sorry, perang saudara? Ada di sini gitu?” Jidat Hari mengkerut.
“Udah lama, sejak raja Frey hilang.” Sahut gue.
“Klasik.” Sambung Pur.
Kami perlahan meninggalkan pusat kota. Keempat penduduk midgrad ini norak. Sebentar lagi pasti mereka lebih norak lagi kalo ngeliat salah satu objek vital yang ada di pinggir kota ini. Sebuah tembok super tinggi. Tembok Persatuan namanya kata sang ratu.
“Kita bentar lagi lewat Tembok Persatuan ya.”
“Kaya propaganda.” Kata Erna.
“Bisa jadi sih hahaha.” Sahut gue lagi. Pahit.
Sejujurnya, gue masih percaya itu tembok yang bisa menjaga persatuan bangsa Vanir dari serangan pemberontak. Seenggaknya sampai teori konspirasi muncul di kepala gue dan Pur tadi. Sekarang gue menjadi ragu dengan pihak istana dan sang ratu.
Begitu melewati tembok berpenjagaan ketat itu, takjublah mereka. Erna dan Erwan sama-sama melongo. Cuma Dani dan Hari yang masih bisa menganggapi momen tadi dengan suara.
“Tinggi gila!” Kagum Dani.
“Buset buset buset.” Hari berdecak.
“Cepet tuh bikinnya, Cuma 200 tahun.” Jelas Pur.
“200 tahun ye, mana cepet.” Timpal Dani lagi.
Kami keluar dari kota. Pemandangan daerah industri lenyap sudah dibalik tembok. Kini hanya ada padang rumput dan ilalang super luas. Terkadang kami melewati satu-dua lumbung karbohidrat tak berisi. Dinamai karbohidrat karena bisa diisi macam-macam, kadang padi, gandum, kentang, talas, atau makanan pokok lain yang gak ada istilahnya di Midgard.
“Itu kosong?” Tunjuk Erna ke salah satu lumbung.
“Yap, lagi-lagi karena perang saudara.” Gue jadi semacam tour guide.
Sementara itu, para pasukan dari tadi cuma duduk tegap dengan sebilah pedang dipegang erat di atas paha mereka. Gue tau Hari udah beberapa kali melirik ke mereka dengan tampang penasaran. Gue tergelitik untuk menanggapi rasa penasarannya.
“Penasaran?” Gue mendelikkan mata ke salah satu prajurit.
“Iya.”
Baru gue mau menarik nafas untuk memberi penjelasan lagi, tiba-tiba tronton kami berhenti mendadak. Dengan sandi yang gue kenal dari pak sopir, para pasukan turun dari tronton dengan sikap waspada. Ini momen yang bener-bener gak pas.
“Kenapa? Kenapa?” Tanya Dani.
“Pemberontak.” Jawab Pur lantang.
“Kalian di sini aja.” Gue menyambung.
Gue dan Pur turun terakhir dari tronton.
Pasukan pemberontak muncul tepat beberapa ratus meter lagi dekat dengan Hutan Tepi Barat, tempat tersambungnya Vanaheim dengan Midgard. Gue langsung memunculkan zirah emas dan pedang kebanggaan gue. Pur juga memunculkan zirah dan benang-benang yang mulai dililit di jarinya.
Para pasukan, atas komando Pur, maju duluan. Kami bertarung jarak dekat dengan pasukan pemberontak. Teknologi pasukan kami jelas lebih canggih dengan zirah-zirah robotik yang bisa dikendalikan dari jauh atau pun dekat. Sangat fungsional dalam keadaan perang besar. Bandingkan dengan mereka yang hanya berpakaian dengan balutan kulit beruang atau serigala.
Untuk saat ini, harusnya pergerakan perorangan dalam zirah robotik masih cukup untuk melawan mereka. Sayangnya, lambat laun kami kalah jumlah. Mereka satu per satu datang dari dalam hutan seperti semut. Jelas berbeda jumlah dengan kami yang awalnya cuma ditugaskan mengawal orang.
Gue bilang apa ke si ratu kampret! Ini daerah rawan!” Teriak Pur.
“Kita kalah jumlah.” Teriak gue.
“Udah tau.” Teriak Pur lagi.
Jarak kami berdua terlalu jauh untuk bisa berkomunikasi normal. Apalagi satu per satu pasukan kami tumbang dan zirahnya dihancurkan. Secara harfiah, pasukan kami ditelanjangi sambil pingsan. Atau mati.
Tronton kami didekati. Hari dan kawan-kawan dalam bahaya.
“Pur! Ke tronton!” Teriak gue.
“Susah!” Teriak Pur sambil melawan tiga orang.
Siapa suruh senjatanya cuma benang.
Akhirnya kami hanya bisa menyaksikan dari jauh Hari, Dani, Erna, dan Erwan dikepung dan dipaksa turun dari tronton. Leher mereka ditodong belati. Gue dan Pur pun diancam oleh mereka untuk jangan melawan. Kami kalah.
Kami lama tak boleh bersuara. Mereka pun juga enggan berkomunikasi lagi. Lalu, kemudian dari kejauhan datanglah dua orang wanita muda dengan kudanya masing-masing. Seorang bersorban dan berpakaian serba putih longgar, seorang lagi berpakaian lebih ketat tanpa sorban.
“Cih.” Pur meludah.
BERSAMBUNG