Chapter 1. Kabur Dari rumah
Cinta dalam balutan kebaya dan kain batik saat kabur dari rumah
Pov 3rd
Sekali lagi Cinta memandangi pantulan bayangan dirinya. Cermin di hadapannya memang tidak bisa berbohong. Ia tampak demikian cantik dan anggun dalam balutan busana pengantin.
Penampilannya; anggun, memukau dan tanpa cela.
Kebaya berwarna putih mutiara itu melekat dengan indah di tubuhnya yang tinggi semampai, memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya yang menawan.
Buah dadanya yang ranum disangga korset yang kencang. Punggungnya yang ramping semakin langsing karena dibelit stagen dan memperlihatkan liuk pinggulnya yang menggairahkan.
Cinta sendiri tak habis-habisnya mengagumi kebaya hasil karya perancang kenamaan yang dikenakannya itu. Brokat sutranya dikirim langsung dari Paris, sulamannya yang halus bermotif kelopak mawar, dihiasi tatahan kristal.
Begitu mewah dan gemerlapan.
Kain batik yang melilit bagian bawah tubuhnya pun dipesan khusus dari solo. Batik tulis dengan tekhnik melukis yang rapi dan halus. Warnanya senada dengan kebayanya, berpadu dengan motifnya yang berwarna kelabu kelam dan disepuh perada keemasan.
Riasan wajahnya tampak kemilau membuat raut wajah Cinta seperti bermandikan cahaya.
Penuh pesona, dan cantik memikat.
Seuntai ronce melati menjuntai dari sisi sanggulnya. Dilengkapi dengan kembang goyang yang disematkan di antara sasakan rambutnya, sempurna sudah penampilannya sebagai calon mempelai.
Seharusnya Cinta bahagia dan bersyukur, sesaat lagi ia akan melangkah ke pelaminan dan bersanding di mahligai. Tapi, di hari istimewa ini. Cinta justru terlihat murung, sedih dan kacau.
Ia berdiri tercenung di dalam kamar ini. Hatinya, gundah gulana.
Ia melirik ke jam yang tergantung di dinding dengan resah. Dua jam lagi akad nikah akan dilangsungkan di masjid agung.
Dan itu berarti dua jam lagi ia akan sah menjadi istri Fredy Mulyadi. Pria yang sama sekali tidak dicintainya.
Karena itu, Cinta merasa begitu benci pada kebaya yang dipakainya, sanggulnya, dan untaian melatinya. Semuannya. Semua yang melekat di dirinya saat ini.
Cinta harus segera mengambil keputusan. Sekarang, atau tidak selamanya. Ia harus kabur membebaskan diri atau terpasung seumur hidup dalam perkawinan yang diatur orangtuanya ini.
Ibunya baru saja meninggalkan Cinta. Para penata riasnya juga.
Setelah selesai mendandani Cinta, ibunya melarang siapa pun masuk ke kamar ini. Tidak seorang pun boleh mengusik Cinta, agar ia merasa nyaman dan tenteram. Ibunya ingin Cinta menyiapkan diri sebaik-baiknya sehingga ketika melangkah ke luar kamar nanti, ia akan tampil demikian mengagumkan bagai seorang ratu.
Tinggal Cinta sendiri di kamar yang luas ini. Kamar Cinta yang telah disulap dan didekor menjadi kamar pengantin yang indah. Rangkaian bunga segar dan juntaian kelambu menyulap kamar ini menjadi mahligai peraduan dalam istana.
Cinta melangkah mengitari kamarnya, perlahan-lahan ia membuka pintu, dan melongokkan wajahnya ke luar dengan hati-hati.
Keluarga dan sanak saudaranya tampak hilir mudik dengan kesibukan sendiri-sendiri dan keluar-masuk kamar masing-masing. Mereka repot mempersiapkan penampilan mereka dan segala urusan yang diperlukan untuk upacara pernikahan.
Rumah orangtua Cinta yang terdiri dari dua lantai memang besar dan megah, dengan banyak kamar dan ruangan.
Sejak beberapa hari lalu banyak kerabat yang menginap di sini, untuk membantu persiapan pernikahan Cinta.
Mereka terlihat lalu-lalang, tanpa memperdulikan sekitar, terburu-buru seperti berpacu dengan waktu. Perhatian mereka tersita pada urusan yang harus segera diselesaikan.
Tidak ada yang curiga, ketika Cinta melangkah ke luar kamar. Mereka hanya menoleh sekilas dan memandang terpesona.
Cinta berusaha berjalan dengan tenang melintasi ruang tengah, meskipun di dalam dadanya jantungnya berdebar-debar.
Ia berusaha untuk bersikap sewajar mungkin agar gerak-geriknya tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang sekitarnya.
Cinta berhasil melewati ruang depan dan menyelinap ke luar rumahnya.
Sekali lagi ia menengok ke belakang, memastikan tidak ada seorang pun yang mengamati dirinya, lalu cepat-cepat menjinjing kainnya.
Sedikit susah payah ia berlari menuruni anak-anak tangga di beranda yang bersambungan langsung dengan pelataran halaman.
Di halaman terparkir sebuah limousin sewaan yang berwarna hitam mengkilat.
Karangan bunga tampak dipasang di bagian depan kap mesin dengan untaian pita melambai-lambai.
Mobil pengantin yang siap mengantarkan calon mempelai.
Seorang supir sedang terlihat menunggu dengan sabar di sisi luar mobil.
Pemuda berusia 27 tahun, berwajah bersih dan segar.
Ia mengenakan setelan jas dan dasi kupu-kupu, sekilas tidak tampak seperti supir.
Postur tubuhnya yang tinggi dan atletis sangat mengesankan. Tampan bagai seorang model lelaki atau artis.
Tapi Cinta tidak sempat mengagumi ketampanan pemuda itu.
Tanpa menyapa si supir, Cinta langsung menerobos naik ke dalam mobil.
Pemuda itu sampai menoleh bengong.
Cinta melambaikan tangan dari dalam mobil dengan tidak sabar, membuat pemuda itu segera menyusulnya masuk dengan gugup.
"Cepat! Ayo, jalan!" Cinta memerintah pemuda itu dengan nafas terengah-engah.
"Sekarang, mbak?" tanya pemuda itu heran.
Ia sempat menengok ke belakang karena tidak percaya.
"Siapa lagi yang kau tunggu? Saya calon pengantinnya!" sahut Cinta panik.
"Tentu, saya tahu." jawab pemuda itu berusaha untuk sopan.
Ia mengamati penampilan Cinta dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan penuh kekaguman.
"Tapi seharusnya mbak didampingi pengiring pengantin".
"Tidak perlu!" potong Cinta ketus.
"Kau dibayar untuk mengantarkan calon pengantin, bukan yang lain!"
"Tapi, Mbak." kilah pemuda itu canggung.
"Berdasarkan jadwal, kita harus berangkat setengah jam lagi..."
"Sekarang kataku!" Cinta hampir memekik saking gemasnya.
"Kalau kau tidak mau berangkat juga, saya pergi naik taksi saja! Percuma membayar mahal limousin kalau supirnya cerewet dan menjengkelkan seperti kau!"
"Maaf, Mbak." ucap pemuda itu menyesal, sambil menunduk.
"Saya hanya bermaksud menjalankan tugas."
"Mau tau tugasmu sekarang?" semprot Cinta emosi.
"Tutup mulutmu dan jalankan mobil ini!"
Pemuda itu langsung menyalakan mesin dan menginjak pedal gas.
Mobil limousin itu segera menderu pergi dari perkarangan rumah, melesat di jalan raya.
"Maaf, Mbak..." kata pemuda itu, melirik dari spion dengan takut-takut.
"Apakah.... Apakah tidak kepagian kita sampai di masjid, Mbak?"
"Siapa bilang kita akan ke masjid?" dengus Cinta dingin.
Sekarang pemuda itu mengangkat wajahnya yang tercenung, menatap Cinta lekat-lekat dari pantulan kaca spion.
"Lalu." Ia bertanya kaget.
"Mau ke mana kita sekarang, mbak?"
"Ke mana saja!" bentak Cinta dengan dada turun naik.
"Ke rumahmu! Ke hotel! Ke pantai! Ke mana saja...."
Lalu tangis Cinta pecah tak tertahankan lagi. Tangis yang dipendamnya sejak tadi.
Kini ia terisak-isak pilu, sambil berkata.
"Asalkan aku tidak perlu melangsungkan pernikahan mengerikan ini...."
-------¤¤¤¤¤¤¤-------
Sekar Rahayu Sukmawati aka Mama Sekar
Pramudya Adi Pratama aka Papa Pramudya
15 Menit kemudian.....Di rumah orangtua Cinta....
"Cinta.... Cinta...." Mula-mula Sekar masih memanggil dengan suara lembut.
Dibukanya kamar Cinta, ternyata kosong melompong, lalu ia beralih membuka pintu kamar mandi.
Di dalam kamar mandi itu, Cinta tetap tidak ada.
Sekar beringsut mencari ke ruang tengah dan membuka semua pintu kamar di rumah itu, Cinta tetap tidak terlihat.
Di dapur, lalu di teras belakang, sudah ia cari. Tetapi, Cinta tak berhasil ditemukan.
"Cinta.....! Cinta....!" Makin lama panggilan Sekar makin keras.
Bergegas ia menapaki tangga naik ke lantai atas, ia sudah tak peduli lagi dengan kain yang melilit kedua kakinya. Diangkatnya kain itu dengan sedikit panik, agar ia bisa melangkah dengan cepat.
Tapi sudah seluruh kamar dan ruangan di lantai dua itu ia periksa, dibuka dan ditutup kembali, namun Cinta tetap tidak berhasil ditemukan.
"Cinta! Cinta!" kini Sekar menjerit-jerit ketakutan.
Terhuyung-huyung ia menuruni tangga dengan panik seakan ingin melompat saja, lupa kalau ia sedang mengenakan kain.
Pramudya muncul mengenakan jas lengkap, terlihat tampak gagah dan berwibawa.
"Ada apa teriak-teriak begitu, Ma?" tanya pramudya dengan dahi berkerut.
"Cinta, Pa!" pekik Sekar kalang kabut.
"Cinta hilang! Cinta kabur!"
"Hilang? Kabur?" ulang Pramudya kaget.
"Bagaimana bisa hilang....? Bagaimana bisa kabur? Bukankah semua pintu dan jendela ini sudah kamu pasangi terali? Lalat saja tidak bisa kabur!"
"Penjara saja sering kebobolan, para tahanan sering lolos, apalagi rumah kita!",
sahut Sekar sewot.
"Percuma dong selama ini mama selalu mengamankan harta kekayaan dengan alarm dan kode rahasia, supaya maling tidak bisa menggasak habis barang-barang berharga!" sindir Pramudya sinis.
"Buktinya, menyelamatkan permata hati mama saja mama tidak sanggup!"
"Pasti ada yang berkomplot, Pa." hardik Sekar kalap.
"Ternyata di dalam rumah sendiri tidak menjamin bebas dari penghianat!"
Sekar melotot geram, tangannya berkacak pinggang. Ia mengawasi satu persatu orang-orang yang mulai berkerumun di ruangan ini.
"Siapa yang membantu Cinta melarikan diri?" bentak Sekar.
"Cepat katakan!"
"Kalau ada penghianat yang mengaku, dunia ini aman, Ma." ejek Pramudya mencibir.
"Tidak akan pernah ada penggulingan kekuasaan dan perebutan kedudukan!"
Semua orang di rumah itu berkerumun di depan Sekar. Mereka ikut terkejut dengan kekacauan yang terjadi, lalu saling menengok di antara mereka.
Saling mencurigai, saling menuduh, saling menyalahkan.
Bukankah memang seperti itu setiap kali terjadi kericuhan? Semua orang langsung lepas tangan.
Suara mereka berdengung seperti lebah, berisik sekali saat itu.
"Sudah! Sudah! Diam!" teriak Sekar. Ia berteriak sambil menutupi kedua telinganya dengan tangan.
"Cukup saya saja yang bekerja pakai mulut di rumah ini! Tapi kalian.... Pakai tangan kalian, mata, kaki.... Apa saja yang kalian punya! Mengawasi satu orang saja tidak sanggup!"
.
.
.
"Mobil Limousin sudah pergi dari tadi, Bu." lapor satpam dengan kepala menunduk, didera perasaan bersalah.
Sekar menginterogasinya seolah ia baru saja ketahuan membobol brangkas uang dan perhiasan Sekar, padahal seharusnya ia yang bertanggung jawab terhadap keamanan di rumah ini.
"Kenapa tidak kau tahan?!" pekik Sekar jengkel bukan kepalang.
"Saya pikir tadi sudah bersama ibu dan bapak." sahut si satpam memberi alasan.
"Kau kerja pakai mata atau tidak sih?!" sembur Sekar kesal.
"Kau lihat tidak berapa orang di dalam mobil itu! Jangan-jangan kau malah tidak pernah bisa membedakan orang yang masuk ke rumah ini, yang mana tampang orang baik dan yang mana perampok!"
Pramudya tergopoh-gopoh datang menengahi.
"Sudahlah, Ma," kata Pramudya melerai.
"Berhentilah menyalahkan orang lain."
Sekar serentak berbalik menghadap Pramudya suaminya, seperti mendapat tempat untuk melampiaskan kemarahannya yang memuncak.
Matanya mendelik siap untuk mengajak perang.
"Lalu siapa yang harus kusalahkan?" semprot Sekar berang.
"Diriku sendiri? Selalu aku yang menjadi biang kerok di rumah ini? Begitu maksudmu?"
Pramudya hanya diam dan tidak ingin membantah supaya emosi Sekar istrinya tidak semakin meledak-ledak.
Bersambung........