PART 4 - MAS KEN
Bu Richard baik hati menuliskan cara memasak spaghetti di lemari es. Beberapa bahan aku jejer di meja agar memudahkan aku mengambil yang belum aku paham namanya. Maklum orang udik. Sebelum masak, tentu aku masih telanjang bulat. Mumpung sendirian di rumah. Aku tutupi tubuhku dengan apron warna hitam dan putih. Uugh, rasanya geli puting susuku bergesekan dengan apron. Sayang aja puting susuku belum mencuat tegak.
Aku harus cepat - cepat memasak, memblender tomat, menyiapkan bumbu, merebus spaghetti yang al dente (kenyal krenyes krenyes pas digigit) kata Bu Richard.
"Eh, tadi kan Mas Ken nyimpen majalah gituan. Pasti suka sama yang esek esek. Godain ah. Seru kali ya. Kalo aku diaduin nakal, nanti aku aduin balik majalahnya. Pasti di hapenya juga banyak tuh. Hehehe," Aku bergumam sendiri sambil mengaduk bumbu spaghetti. "Duh Mas Ken masih bocah udah ganteng banget. Udah sunat pasti. Gede apa ngga ya? Apa mau aku yang gedein? Hihihi..."
Satu jam lagi Mas Ken pulang, masakan kesukaannya juga hampir selesai. Aku cicipi rasanya asam, pedas, gurih, manis. Karena baru pertama kali coba jadi belum tau rasanya enak atau belum. Biar Mas Ken aja nanti yang menilai.
Mas Ken umurnya saja yang masih muda, tapi badannya tinggi dan bongsor. Meski masih lebih tinggi aku. Posturnya tegak, gagah, dan berisi. Rambutnya model anak muda masa kini, pendek tapi tetap terlihat gaul. Keren menurutku. Kacamatanya menambah tingkat kegantengannya. Meski begitu Mas Ken tetaplah anak manja dan hobi nyuruh - nyuruh.
Aku membuka apronku, melangkah ke kamar hendak berpakaian. Ya mana mungkin aku telanjang begini kan di depan Mas Ken. Biasanya dia naik ojek online. Kecuali PakDe sempat menjemputnya. Eh, tunggu aku punya ide untuk mengusili Mas Ken. Pengen tau apa reaksi dia nanti. Yang aku suka kemarin itu pas anter dan ambil mangkok bekas mie goreng, Mas Ken harum banget. Aku suka wanginya. Membayangkan kalau aku dipeluk Mas Ken, rasanya pengen aku dekap seharian di tempat tidur.
Ting nong
Suara bel, Mas Ken pulang. Aku tergopoh - gopoh ke depan membukakan pintu gerbang. Hmmm, baunya tetap wangi meski sekolah sampai siang. Ia menyerahkan tas punggungnya, dan berjalan lebih dahulu.
"Spaghettinya udah jadi, Mas Ken."
"Aku ganti baju dulu."
"Mau makan di kamar atau di meja makan?" tanyaku mengikuti punggung dan langkahnya ke kamar.
"Siapin aja di meja dapur. Jangan dicampur, biar aku ambil sendiri. Ada parmesan kan?"
"Ada, Mas. Minumnya apa?"
"Air es aja."
"Iya, Mas. Ada lagi?"
Ia mengambil tasnya dari tanganku. Menghempaskan dirinya di tempat tidur.
"Ya udah nanti aku turun."
Aku segera kembali ke dapur. Menyiapkan makan siangnya di meja. Topping parmesan bubuk, keju parut tersedia di sisi piring. Terserah Mas Ken mau ambil yang mana. Lantas aku berganti pakaian lagi di kamar. Kejutan. Langkahku perlahan mengendap - endap di dapur. Mas Ken belum turun. Aku jongkok saja di bawah pura - pura membuka rak mencari sesuatu. Toh, Mas Ken tidak akan bisa melihatku dari meja saji.
"Mbak, Mbak Chika?" Ken memanggil.
"Iya, Mas. Sebentar." Aku langsung berdiri. Mas Ken melongo aku berdiri di hadapannya hanya memakai apron dan rok selutut. Iya, aku tidak memakai baju dan beha. Dadaku tertutup apron. Dari depan Mas Ken bisa dengan jelas melihat belahan payudara. Bahkan dari samping Mas Ken bisa memandang jelas bulatan kenyal aku. Syukur bisa mengintip puting susuku.
Ia memandangiku lama. Dengan wajah polos yang lucu, ia pasti tidak mengira mengapa pembantu barunya yang cantik ini menjadi begitu nekat berpakaian seperti ini dan menggodanya. Mulutnya saja masih melongo, terdiam beberapa saat. Wajahnya memerah tersipu melihat lekuk tubuhku. Hihi, aku senang sekali jadi nakal dan menjahilinya.
"Mas, Mas Ken. Mau makan sekarang?"
"Hah? Apa, Mbak? Oh iya iya. Mau."
Aku membuka tutup panci tempat spaghetti di tempatkan. Ekor mataku menangkap ia mengamatiku dari samping. Bengong, matanya hampir tak berkedip. Duh, rasanya di bawah sana gatal ingin digaruk. Makin dilihat Mas Ken, aku makin terangsang hebat. Apron ini dari depan bisa menutupi dada, tapi tidak dari samping.
"Banyak atau sedikit, Mas?"
"Oh, hah? Ba-banyak, Mbak. Banyak."
"Bumbunya?" lirikku nakal ke arahnya. Kuberanikan mengerling.
"Iya, banyak."
Aku ambil spaghetti dengan penjepit khusus spaghetti sesuai porsi yang diinginkan Mas Ken. Begitu juga bumbunya. Baru aku sajikan untuk Mas Kenneth yang duduknya bergerak - gerak tak bisa diam. Aku melirik, ia pasti ngaceng. Salah orbit. Dia ingin betulin tapi mungkin malu udah tegang. Usiaku beda tiga tahun sama Mas Ken, rasanya wajar ngisengin dia. Mukanya lucu, ngangenin, apalagi pas melongo. Pengen banget nyubit pipinya.
"Rasanya gimana, Mas? Soalnya saya baru pertama kali nyoba."
"E-enak kok. Kurang asin dikit. Ma-makasih ya, Mbak Chika." Matanya mencuri pandang belahan dadaku.
"Sama - sama, Mas."
Ken menambahkan parmesan dan keju cheddar parut di atasnya. Dia makannya ga tenang karena aku berdiri di depan dia. Ah kasian, lantas aku balik badan dan pura - pura membersihkan kompor dan meja. Alhasil pasti Mas Ken bisa melihat punggungku yang putih mulus telanjang. Aku malah mendengar suara sendok atau garpu jatuh. Tak kuasa aku terkekeh pelan. Aku yakin dia terkejut, baru pertama kali liat punggung perempuan terpampang di depan matanya.
"Nambah lagi?" aku menawarkan. Ia menunduk saja, terus menikmati sampai sendok terakhir.
"Ho oh. Kayak tadi."
Aku angkat panci bumbu dan letakkan persis di hadapan dia. Sewaktu aku mengambilkan spaghetti dan bumbu, aku dengan sengaja menunduk. Lagi - lagi tatapan matanya tajam ke arahku. Aku melihat ke dadaku.
"Ooh, Mas Ken ngintip..." batinku. Cowok ganteng itu pasti melihat payudaraku yang bulat dan besar ini menggantung di dalam apron. Sengaja aku lama - lamain biar dia puas dan aku juga. Sialnya aku merasa di bawah sana ada yang menetes licin dan lengket di pahaku. "Banjirkah aku?" Sepuas itu kah aku dipandangi Mas Ken?
"Ini Mas Ken..." Aku serahkan piring yang sudah berisi porsi tambahan makanan favoritnya.
Tangannya gemetar memegangi sendok. "Ma-makasih, Mbak." Ia menyuapnya pelan, terdengar getaran sentuhan sendok dan piring karena tremor tadi. Hihi. Kasian ah. Lagi makan aku ganggu.
Aku biarkan Mas Ken makan siang. Pikiranku, kalau memang dia tidak suka aku goda dengan penampilanku, pasti dia sudah menyingkir dan memilih makan di meja makan besar. Tapi kan ini tidak. Baiklah, aku kerjain lagi. Pelan - pelan aku raih karet rok aku di pinggang lalu aku pelorotkan. Sampai kira - kira Mas Ken bisa melihat bongkahan pantatku setengah. Baru begini aja aku merasa makin basah selangkanganku. Gimana beneran aku telanjang? Dari depan, pasti kemaluanku tidak terlihat karena tutup apron selutut. Tidak apa lah. Kali ini bagian belakang saja.
Setelah yakin pantatku nampak, aku berbalik badan lagi pura - pura membersihkan bak cuci piring.
"Uhuk uhuk uhuk...." Terdengar Mas Ken terbatuk - batuk. Hihihi. Kaget mesti liat belahan vertikal pantatku. Aku lekas mengambil meraih botol minumnya dan membuka tutupnya. Kasian matanya sampai berair keselek. Ia meminumnya sampai habis.
"Mb-Mbak Chika yang bener aja pake rok kayak gitu! Sengaja ya?" Mas Ken mengelap air mata dan ingusnya dengan tisu.
"Mas Ken juga kemarin sengaja kan nyuruh saya pake baju maid? Padahal ngga ada acara?" jawabku memberanikan diri membalas menatap matanya yang mendelik.
"Itu...itu kan iseng aja."
"Mas Ken juga ngintip memek saya kan? Sengaja kan?" Aku mendebatnya sambil menarik ke atas rok.
"Apaan! Kamu kali yang sengaja?!" ia membentak. Kesal karena aku terus menjawab.
"Saya beneran lupa, Mas."
"Bo'ong aja sih." cibir Mas Ken memicingkan matanya.
"Ntar saya aduin lho Mas ke Ibu soal majalah gituan di kamar."
Mas Ken tersentak. Matanya terbelalak aku mengetahui rahasianya. Wajahnya emosi. "Ah, brengsek. Jadi ga nafsu makan!" Ia membanting sendok dan garpunya yang sedari tadi melilit spaghetti tapi tak jadi ia makan, karena adu mulut dengan aku. Ia bangkit dari kursi dan berjalan naik ke lantai dua.
Aku mengejarnya. Takut juga dia marah. Bisa repot nanti. "Mas. Maaf, Mas," ucapku memohon.
BRAKK! Jeglek.
Aku coba membuka pintu kamarnya ngga bisa. Dikunci. Aku mengetuk - ketuk pintunya. "Mas...maafin saya, Mas."
"Pergi!!"
"Iya, saya ngga akan aduin soal majalah. Maaf, Mas. Saya lancang. Maafin saya, Mas."
Terdiam. Tak ada suara. Aku pasrah, berniat kembali ke dapur. Tapi...
Jeglek
"Gue tau lo nafsuan! Masuk!" Mas Ken berdiri di depan pintu menyuruhku masuk ke dalam kamarnya. Aku nurut. Ia lalu menutup pintu.
"Kok ditu...." sergahku agak takut.
"Gue ga bakal merkosa elo."
Aku menunduk saja di balik pintu. Menyesal sudah mengerjai Mas Ken. "Maafin saya, Mas."
"Udah, buka apronnya. Atau telanjang sekalian. Gue tau kemaren lo sengaja ga pake celana dalem, sekarang sengaja ngga pake baju. Buruan ah telanjang. Lagian gue juga udah liat memek elo!"
"I-iya, Mas." Aku grogi sekali, gemetar. Baru kali ini aku telanjang di depan cowok. Tak apa lah. Ganteng ini. Asal jangan disuruh ngeseks. Aku meraih tali di punggung, aku longgarkan dan lepaskan apron. Aku buang apronku sembarang. Mas Ken bebas memandangi kedua belah payudaraku yang bulat dan puting susuku yang merah muda merona. Ia menelan ludahnya. Matanya lekat menatap. Mungkin baru kali ini melihat payudara cewek. Aku senang ia tergoda. Aku sibakkan rambut panjangku yang menutupi dada.
Aku lalu turunkan rok, merosot ke bawah melalui kedua belah jenjang kaki aku yang mulus. Aku tutupi kemaluan dan payudaraku dengan tangan. Aku bisa rasakan telapak tanganku basah oleh cairan bening dari permukaan vaginaku. Membasahi selangkangan. Aku makin terangsang diperlakukan seperti ini.
"Sini naik ke kasur. Kita petting. Tau petting kan?"
Aku menggeleng malu.
"Lo gesek memek lo di kontol gue. Ga sampe masuk. Sama - sama enak."
"Takut, Mas. Jangan. Saya masih perawan."
"Hadeeeeh. Umur lo berapa sih?"
"Mau sembilan belas, Mas."
"Kirain lo masih bocah. Ya udah sepongin kontol gue. Tau kan?"
"Tau tapi belum pernah sih."
"Ya terserah lah, pokoknya sepongin gue. Baru gue maafin."
Aku mengangguk. Duduk telanjang berlutut di depan Mas Ken yang rebahan. Membiarkan tubuh mulusku dipelototi sampai puas. Aku persis boneka seks hidup yang bebas ia pandangi. Aku sibakkan lagi rambut panjangku ke kiri dan ke kanan. Menggigit bibir bawahku, tanganku menyusuri lekuk pinggulku, merayap ke atas dengan sentuhan seksual sampai ke dada dan meremas kedua payudaraku. Aku kerlingkan mataku nakal. Mas Ken benar - benar kaku melihat apa yang aku lakukan. Sekilas penisnya sudah menegang dibalik celana boxernya.
Mas Ken bangun dan membuka kaosnya, aku pun mundur sedikit. Memberi ruang supaya mudah melepaskan celana Mas Ken sampai telanjang. Dan benar saja penis itu seperti lepas dari sangkar. Tegak berdiri. Tidak terlalu besar tapi panjang. Aku lalu menungging mendekati wajahnya. Memberi jarak satu jari antara kedua bibirku. Sepasang mata saling bertatapan tajam. Niatku hanya menggodanya saja. Tidak ingin mencium bibirnya yang merah.
Aku raba dadanya yang bidang. Memuntir puting mungilnya. Mas Ken memejamkan mata. Aku juga sengaja menyenggol penisnya yang tegang dengan payudaraku yang menggantung. Tangan Mas Ken mengambil kesempatan meremas payudaraku. Kaku sekali, seperti orang memerah. Meski aku ingin, aku lebih baik tidak berlama - lama mencumbu Mas Ken. Ini memang pertama kalinya bagi aku. Selain aku tidak dapat apa - apa, lagipula sebentar lagi Mbak Vivi pulang.
Aku memundurkan tubuhku, menggesekkan ujung puting aku ke dada sampai menyentuh penisnya. Telapak tangan kananku sudah menggenggam batang kemaluannya, mengocoknya naik turun. Aku teteskan saliva di kepala penisnya agar licin. Aku ratakan dari atas sampai bawah. Bibirku mengecup lubang pipisnya yang menetes cairan bening. Aku emut dan sedot agar makin banyak yang keluar. Rasanya anyir, asin. Biarlah. Rasanya sama seperti cairan kemaluanku.
Bibirku pun perlahan membuka dan kepala penis itu masuk ke dalam rongga mulutku sambil terus aku meremas dan menaik turunkan tanganku di penisnya. Nafas Mas Ken begitu memburu saat kombinasi kecupan bibirku dan remasan skrotumnya. Ia mendesah.
"Chiiikkkhhh....mmmhhh..."
Aku bersemangat melakukannya, Mas Ken menikmati prosesnya. Makin lebih cepat mulutku membenamkan kemaluannya sampai pangkal tenggorokan serta kocokan tanganku. Pinggul Mas Ken tak bisa diam, melonjak - lonjak keenakan. Matanya terpejam. Merasakan penisnya dipijat mulutku. Aku percepat urutan tanganku di batang penisnya.
Mas Ken mengerang, "Chikaaaaa... aaaah..."
Aku angkat kepalaku dari penisnya sambil terus mengocok penisnya yang berdenyut. Ujungnya sudah memerah. Dan...
Croooot... croooot...crooot
Spermanya banyak sekali dan kental, mengenai sebagian muka dan dada aku, terasa hangat. Mas Ken hanya bisa mendesah panjang saat orgasmenya memuncak. Nafas dia terengah dan lemas sesaat kemudian. Matanya tetap dipejamkan. Kecapean. Aku mengambil beberapa tisu lalu ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari sisa spermanya.
"Enak, Mas?" tanyaku sambil memunguti dan memakai pakaianku kembali.
"Banget, Chik." Mas Ken memberi jempol tanda memuji.
"Kan udah sering pake tangan sendiri?" aku meledeknya.
"Tapi baru kali ini disepong cewek," ucap Mas Ken sambil melepas nafas panjang. Tubuhnya masih telanjang penuh sisa sperma.
"Saya ke bawah dulu, Mas."
"Besok lagi ya, Chik?" Liriknya nakal. Tertawa pelan.
"Ga gratis, Mas..." Aku terkekeh, memamerkan barisan gigiku yang putih.
"Ah, sial!"
Aku keluar kamarnya dan menutup pintu. Lalu turun ke lantai satu meneruskan pekerjaan lain yang tertunda.
°°°
Tbc