Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jumpa Lagi, Rina!

Wahhhhh...
Senengnya jumpa lagi ama Rina.
Makasih updatenya Suhu @azlam
Ga tau napa Hu, ceritanya bikin kangen, sabar beud nungguin. Sabar kayak nungguin calon bini dandan hahahaa :lol:
Nice strory Hu
Penasaran ama romantisme Panji ama Rina.
Dan... wow. Eva muncul? Hem hem hem...
Mantap Hu
Monggo dilanjut
 
Akhirnya rina kembali lagi,walau kembalinya ninggalin kentang goreng
 
12

Jam pulang kantor, Rina langsung membuntutiku seperti anak itik yang mengejar induknya. Seutas senyum jahil terbentang di bibirnya. Aku pura-pura tidak melihatnya, tapi ia terus mengikutiku sampai ke parkiran motor.

"Lho, kok ada di sini, Rin?" tanyaku memasang wajah polos.

"Ya, ada dong. Kan aku mau diboncengin motor barunya Mas Panji," jawabnya.

"Berarti gue harus nganterin ke kosan lo dulu dong?"

"Nggak harus. Aku dituruin di perempatan jalan aja, gapapa kok," ucapnya sambil memasang wajah manyun. "Yaa... Itu ... kalau Mas Panji tega, yaaaaa."

Melihat wajah manyunnya itu aku merasa gemas sekali. Ini adalah Rina yang kukenal. Rina yang kekanakan dan menggemaskan saat pacarnya sedang tidak ada. Aku menarik napas dalam, kemudian segera menyalakan sepeda motorku.

"Jadi, aku ditinggal, nih? Tega bener, sih. Setelah apa yang udah aku kasih buat Mas ...."

"Iyaa, iyaaa, ayo naik!" potongku.

"Yes!"

Dengan wajah sumringah, Rina langsung naik ke kursi pembonceng. Kebetulan pada hari ini ia tidak mengenakan rok, tapi mengenakan celana panjang katun sehingga ia bisa duduk dengan mudah. Kedua tangannya ia letakkan di kedua pangkuan pahanya. Aku dapat merasakan kedua pahanya menjepit pahaku dari belakang. Rasanya hangat.

"Udah siap?" tanyaku.

"Lessgo!"

Kami pun melaju di atas sepeda motor matic cicilan itu. Entah kenapa Rina tampak bersemangat sekali, seperti anak kecil yang baru pertama kali naik motor. Padahal, ia sudah sering diboncengi oleh motor sport milik Aris yang jelas berkali-kali lipat lebih keren dari motorku. Biarlah, mungkin ia cuma sedang mengalihkan perasaan rindunya setelah pacarnya itu berangkat kembali ke luar negeri.

Aku mengemudi dengan kecepatan normal. Selain karena aku tidak suka kebut-kebutan, juga karena jalan raya di sore ini memang lumayan padat. Namun semua itu berubah ketika sekumpulan awan gelap muncul di atas kepala kami dan memperdengarkan suara gemuruh.

Beberapa orang pengemudi motor memutuskan untuk berhenti ke tepi jalan dan mengenakan jas hujan mereka. Kalau tidak salah, aku juga membawa jas hujan di bawah jok motorku.

"Mau pakai jas hujan dulu?" tanyaku dengan suara agak keras.

"Nanti aja, lah. Mendung doang, kok," kata Rina.

Aku pun menuruti sarannya. Aku terus melaju, memanfaatkan jalanan yang sedikit lengang. Namun tak lama kemudian, beberapa tetes gerimis membasahi wajah dan pakaian kami. Aku mempercepat laju sepeda motorku karena di tempat itu tidak tampak ada jembatan atau bangunan yang bisa digunakan untuk berteduh.

Merasakan laju sepeda motor yang agak ugal-ugalan, Rina memeluk pinggangku. Tangannya melingkar erat dan tubuhnya menempel di punggungku. Samar-samar, aku dapat merasakan sepasang bantalan empuk yang terasa padat. Jantungku berdetak kencang.

Selama ini aku selalu menebak bahwa Rina memiliki buah dada yang kecil. Oleh karena itu, aku sedikit terkejut bahwa aku bisa merasakan kepadatannya dalam posisi seperti ini. Mungkin ini hanya busa dari bra yang ia kenakan? Atau mungkin memang buah dada Rina sebenarnya lebih besar dan lebih padat daripada yang kuperkirakan?

Tiba-tiba saja, sebelum kami sempat menepi, gerimis berubah menjadi hujan deras. Aku melambatkan laju sepeda motorku demi menjaga keseimbangan. Pakaian kami langsung basah kuyup. Sisi positifnya, hampir semua sepeda motor lain langsung menepi sehingga jalanan di hadapan kami cenderung lengang.

"Minggir dulu ya, Rin?" tanyaku.

"Yah, udah terlanjur, Mas! Udah terlanjur basah!" jawab Rina.

"Tapi lo kan nggak pakai jaket!" balasku.

"Kosanku udah tinggal satu belokan lagi. Kalau neduh di sini nanggung!"

Benar juga kata Rina. Aku hanya perlu mempercepat laju sepeda motorku agar kami cepat tiba di kost Rina. Ketika aku melaju lebih cepat, aku dapat merasakan pelukan Rina semakin erat. Sepasang benda kenyal itu kini benar-benar tergencet di punggungku. Sementara itu, kedua tangannya yang melingkar di pinggangku sesekali turun hingga ke pangkal paha. Entah disengaja atau cuma kebetulan karena menahan dingin.

Tak lama kemudian, akhirnya kami tiba di tempat kost Rina. Aku segera memasukkan motor ke garasinya, kemudian berlari ke teras untuk bereteduh. Kost Rina adalah kost khusus perempuan, tapi pemilik tempat itu tampak tak begitu peduli dengan perilaku penghuninya. Buktinya, Aris bisa sering mampir, bahkan menginap di tempat ini tanpa ada yang protes.

"Mas, masuk dulu yuk? Basah kuyup nih. Ada handuk di dalam," ucap Rina dengan tubuh sedikit menggigil.

Aku terpana melihat Rina. Air hujan menetes dari leher hingga sekujur tubuhnya. Kemeja toska yang ia kenakan basah kuyup dan mencetak dengan jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Sekilas, kemeja itu malah tampak transparan. Aku dapat melihat bayangan bra yang ia kenakan di balik kemejanya, pinggangnya yang langsing, dan sepasang paha mungil yang terbungkus celana katun basah.

"Mas? Mas Panji?"

"Oh, iya? Emangnya boleh masuk?"

"Udaaah, ga apa-apa, daripada masuk angin."

Tiba-tiba saja Rina menarik tanganku masuk ke dalam ruang tamu kost. Aku dapat merasakan jari-jemarinya yang keriput dan telapak tangannya yang dingin. Aku minta waktu sebentar untuk melepas sepatuku yang lumayan basah, tapi ia malah memintaku agar membawa masuk sepatuku ke dalam kamarnya. Rumah kost itu terasa sangat sepi. Mungkin para penghuni lainnya belum pulang kerja.

Melintasi ruang tamu yang gelap dan sepi, aku diajak masuk ke kamar Rina yang posisinya tak jauh dari pintu masuk. Aku tidak menyangka, rupanya kamar Rina lumayan lega. Ada sebuah ranjang single berwarna biru muda, boneka beruang besar di pojok ruangan bertuliskan "Happy Birthday", dan sebuah lemari kayu yang tertata rapi. samar-samar aku dapat mencium wangi dari aromaterapi yang diletakkan di atas meja kecil. Berbeda sekali dengan kamarku yang berantakan, kamar Rina rapi dan wangi.

Tiba-tiba saja sebuah handuk berwarna pink jatuh tepat ke wajahku.

"Dilap pakai handuk dulu, Mas. Aku mau ganti baju dulu ya di kamar mandi," ucapnya.

Aku hanya mengangguk dan melihat Rina terburu-buru masuk ke kamar mandi, kemudian menutup pintunya rapat-rapat. Tak lama kemudian, smar-samar aku mendengar suara aliran air dari dalam sana. Sepertinya ia sekalian mandi.

Aku membasuh wajahku yang basah menggunakan handuk pink itu. Teksturnya dan wanginya terasa lembut, membuat perasaanku tenang seketika. Pikiranku mulai traveling membayangkan apa yang sedang dilakukan Rina di dalam kamar mandi. Ia pasti sudah membuka bajunya sekarang. Mungkin sedang keramas? Atau sabunan? Aku mengacak-ngacak rambutku sendiri dengan handuk, berusaha mengusir pikiran ngeres itu.

Sambil mengelap rambut, aku memperhatikan sekeliling. Pada meja kayu di samping lemari, terdapat sebuah bingkai foto. Pada foto itu tampak Rina dan Aris yang sedang berdiri bergandengan tangan. Di belakang mereka, terpampang pemandangan Sydney Opera House di pagi hari. Sepertinya dulu Rina sering ikut pergi bersama Aris ke Australia. Aku berdecak kagum membayangkan kedekatan hubungan mereka. Tinggal tunggu waktu saja sampai mereka melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Timbul satu pertanyaan dalam benakku. Apakah Aris pernah mencurigai "kenakalan" Rina bersamaku? Kalau kuingat lagi, semua kejadian antara aku dan Rina selalu dimulai oleh Rina sendiri. Bahkan ketika aku sudah berusaha menahan diri, bahkan menolak, ia seolah berusaha memancing. Apakah Rina melakukan itu karena diam-diam ia menyukaiku? Ataukah jangan-jangan ... ia memang sudah biasa melakukan hal seperti itu dengan pria-pria lainnya sebelum aku?

Aku mencoba mengingat-ingat beberapa pria selain aku dan Aris yang sempat dekat dengan Rina sejak masa kuliah. Apakah Rina juga melakukan semua itu dengan mereka? Imajinasi dan bayangan datang berkelebat silih berganti. Blowjob di toilet. Handjob di kamar. Dengan siapa saja ia pernah melakukannya? Aku membayangkan, jika ia bisa "bermain" dengan pria-pria lain sambil tetap mempertahankan hubungannya dengan Aris, ia pasti adalah seorang "pemain" yang sangat lihai. Aku tidak ingin mempercayai itu, tapi kecurigaanku terus saja memuncak.

Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Wajah Rina muncul melongok dari sela-sela pintu. Rambutnya basah, tetesan air tampak segar mengalir di wajah dan lehernya.

"Mas?" panggilnya.

"Iya?" ucapku, kaget.

Aku dapat melihat tetesan air mengalir dari leher hingga ke belahan dada Rina. Sebagian payudara kirinya mengintip dari sela pintu, memperlihatkan lekukan mulus nan basah. Menyadari posisi berdirinya terlalu maju, ia pun segera mundur dan bersembunyi di balik pintu kamar mandi.

"Jangan ngintip, ih!" jeritnya.

"Siapa yang ngintip?" balasku. "Lagian lo kenapa buka pintu?"

"Handuknya! Udah belom?" tanya Rina sambil melirik handuk yang masih melingkar di leherku.

"Oh, iya. Sori, kirain lo ada handuk lain," jawabku sambil melangkah mendekat ke arahnya.

Semakin dekat langkahku, semakin kencang jantungku berdetak. Ketika sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi, aku dapat mencium wangi aroma sabun yang memancar lembut dari tubuh telanjang Rina. Wangi sabun itu membuat tubuhku mematung, seolah tak sadarkan diri.

"Cepetan ih!" ujar Rina sambil mengulurkan tangannya dan menarik handuk itu dari tanganku.

Namun tarikannya itu malah membuatku ikut masuk ke dalam kamar mandi.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd