Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jumpa Lagi, Rina!

15. Begini Ceritanya
Kemunculan Aris secara tiba-tiba itu nyaris membuatku pingsan. Ia seharusnya tidak ada di sini. Ia seharusnya ada di benua lain, jauh di luar sana. Namun kenyataannya, ia kini sedang melihat ke arahku dan Rina sambil tersenyum dan melipat tangannya di depan dada.

"Ris! Gue ... Gue ...." ucapku terbata-bata.

"Sssst!" Aris meletakkan telunjuk di depan bibirnya sendiri. "Lo mau bilang kalau 'gue bisa jelasin semua ini!', ya kan? Nggak, Ji, nggak. Gue tau lo nggak bisa jelasin. Karena cuma gue yang bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi."

"Terus apa yang terjadi? Kenapa lo bisa ada di sini?" tanyaku dengan lutut yang masih gemetar.

Aris menghela napas, sementara matanya sesekali melirik ke arah Rina yang sejak tadi diam seribu bahasa. Apakah Rina juga kaget dengan kemunculan Aris? Sepertinya tidak. Meski ia tak berkata apa-apa, tapi raut wajahnya tampak tenang, seolah semua ini sudah ia duga sebelumnya.

"Gue akan jelasin, tapi ada satu syarat," kata Aris.

"Apa?"

"Lo harus have sex sama cewek gue. Selagi lo genjotin dia, gue bakal jelasin semuanya, satu per satu sampai jelas, dari awal sampe akhir. Tapi kalau lo berhenti, gue juga akan berhenti jelasin. Gimana?" ucap Aris.

Kata-kata Aris terdengar sangat aneh di telingaku. Rasanya perutku seperti diaduk-aduk dengan sangat kasar. Ada perasaan mual yang mulai muncul dan berputar-putar.

"Anjing! Gila lo, Ris! Sakit! Nggak normal!" umpatku, tak sanggup memahami apa yang ada dalam pikirannya.

"Nggak normal? Kata orang yang sekarang tititnya menggantung bebas di depan pacar orang lain yang telanjang bulat? Fuck! Kita semua sama-sama nggak normal, Ji. Lo sadar nggak sih sejak awal?" balasnya.

Kata-kata Aris itu membuatku terhantam oleh realita. Saat ini, posisiku lah yang sebenarnya paling mirip orang gila. Orang gila yang cabul dan tidak tahu diri.

Tiba-tiba saja Rina bangkit dan maju selangkah sambil memegang lenganku. Matanya tajam memandang Aris. "Beb? Kok gini, sih? Rencana kita harusnya nggak kaya gini, kan?"

"Rina Sayang," jawab Aris, "kalau nggak gini, dia nggak akan mau! Kamu denger sendiri kan, tadi dia udah nolak kamu? Semua ini nggak akan selesai-selesai. Mau sampai kapan? Rencana pernikahan kita udah tinggal menghitung hari, lho. Ini kan bagian dari Plan B yang pernah aku omongin."

"Tapi kalau kamu paksa begini, malahan bisa jadi masalah baru," balas Rina.

"Udah, udah, sekarang kita jalanin aja Plan B dari aku. There's no choice."

Kepalaku pusing mendengarkan obrolan mereka berdua. Rencana? Plan B? Ada apa sebenarnya antara Aris dan Rina? Apakah ini sejenis prank? Puluhan pertanyaan menghajar kepalaku bertubi-tubi. Hanya Aris yang bisa menjawab semua pertanyaan itu, dan ia hanya mau menjawabnya bila aku setuju dengan syarat gilanya.

Rina menggenggam tanganku dengan lembut, kemudian meletakkan telapak tanganku itu di pipinya, memaksaku untuk menatap wajahnya. Matanya tampak bulat dan berkaca-kaca, seolah ia sedang mengiba memohon sesuatu. Sementara itu, tangan kanannya mulai meraba penisku yang tadi sempat lemas selemas-lemasnya. Perlahan, ia mengelus dan memijat batang penisku dengan jari-jemarinya yang lembut itu. Semua ini sangat membingungkan.

"Mas?" ucap Rina sambil menatap wajahku. "Mau, ya?"

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Ada dua alasan kenapa aku ingin menerima tawarannya. Pertama, aku benar-benar ingin mendapat penjelasan dari Aris, dan ini adalah satu-satunya cara agar dia mau membuka mulut. Alasan kedua, tentu saja karena Rina sangat cantik dan aku tak kuasa untuk menolaknya sekali lagi.

Rina kembali membalikkan badan dan menungging, memperlihatkan pantatnya yang bulat dan mulus. Aku memposisikan diriku agar tak melihat Aris yang sedang berada di pojok ruangan. Aku berusaha melupakan bahwa ada laki-laki lain di dalam ruangan ini.

Ini bukan hal yang mudah. Aku mencoba mencari titik terang dari semua kegilaan ini. Jika Aris ada di ruangan ini dan memaksaku menyetubuhi Rina, bukankah artinya semua yang terjadi di sini benar-benar konsesual? Tidak ada pemaksaaan, tidak ada perselingkuhan. Siapa tahu Aris dan Rina selama ini memang menjalani open relationship dan mereka punya suatu fetish yang tidak biasa?

Sambil berusaha menanamkan sugesti itu di kepalaku, aku menggesek-gesekkan ujung penisku ke belahan pantat Rina. Batangku perlahan-lahan mulai kembali bangun, kemudian berdiri tegak dan tegang sempurna. Kudorong masuk kepala penisku ke arah lubang vagina Rina yang sudah terasa basah. Aku mendorongnya perlahan, tapi semakin lama semakin dalam. Aku dapat merasakan jepitan dinding vagina Rina yang terasa sangat sempit. Aku yakin Rina dan Aris sudah sering melakukan ini, jadi aku tak perlu khawatir.

"Aaaah! Mas!" desah Rina ketika batang penisku akhirnya masuk seluruhnya ke dalam liang vaginanya.

Aku diam sejenak, berusaha mengumpulkan kesadaran sambil menikmati hangat dan lembabnya bagian dalam tubuh Rina. Aku tidak menyangka, akhirnya ini terjadi juga. Rina, perempuan manis yang kuanggap seperti adikku sendiri, kini sedang merasakan denyut batang penisku di dalam jepitan lubang vaginanya.

Tiba-tiba saja, suara Aris terdengar lagi dari belakang punggungku.

"Gimana, Honey? Udah masuk semua?" tanya Aris.

"Mmmh... Udah, Beb. Udah dimasukin semua," jawab Rina sambil menahan desahannya.

"Enak nggak punyanya Aji?"

"Ssshh... ah.. enak banget."

"Sama punya aku enakan mana?"

"Udah ah... jangan nanya terus ...," desah Rina.

Aku mulai kesal dengan basa-basi Aris.

"Katanya lo mau kasih penjelasan, Ris?" ucapku tanpa menoleh ke arahnya.

"Okay! Tapi lo jangan cuma diem gitu!"

Mendengar ucapan Aris, aku pun mulai menggerakkan penisku di dalam vagina Rina. Kutarik perlahan, lalu kudorong kembali. Setiap kali batang penisku bergesekan dengan bagian dalam dinding vaginanya, Rina selalu mengeluarkan suara desahan merdu yang membuatku semakin terangsang.

"Jadi gini, Ji," kata Aris memulai penjelasannya. "Sebelumnya gue mau minta maaf dulu. Semua ini mungkin awalnya adalah kesalahan gue. Jadi ...."

Aris pun memulai ceritanya. Aku mendengarkan ceritanya dengan seksama sambil tak henti menggenjot vagina Rina dalam posisi doggy style.

Menurut cerita Aris, semuanya dimulai ketika dulu aku dan Aris masih berkuliah di kampus yang sama. Saat itu, Aris belum mengenal Rina. Kami sama-sama mahasiswa yang masih menikmati masa muda. Meski begitu, pergaulan Aris agak berbeda denganku. Sementara aku semakin dekat dengan Eva dan akhirnya resmi berpacaran, Aris masih asyik berpetualang dan tebar pesona sambil berganti-ganti pasangan. Sebagai mahasiswa dari kalangan menengah ke atas, ia memang memiliki akses yang lebih luas untuk menjalani "petualangan cinta"-nya.

Ia berkata, salah seorang teman memperkenalkannya dengan dunia prostitusi elit. Berbeda dengan pelacuran pinggir kota yang berkualitas rendah dan jadi sumber penyakit, jaringan prostitusi elit ini diisi oleh perempuan-perempuan berkualitas yang masuk ke dunia hitam hanya untuk sementara: mantan model, artis sinetron pendatang baru, anak pejabat yang kesepian, atau mahasiswi yang terlilit utang. Aturan mainnya, ia tidak bisa memilih perempuan mana yang ingin ia booking. Ia hanya bisa membayar dan menentukan waktu, sisanya akan ditentukan secara random. Semacam blind date.

Aris pun tertarik dengan permainan itu. Ia membayar sejumlah uang kepada temannya yang menjadi perantara, lalu ia membuat janji temu di sebuah hotel bintang lima. Di sana, ia menunggu dengan hati berdebar, membayangkan perempuan cantik macam apa yang akan mengetuk pintu kamarnya di malam itu.

"Dan ... ketika perempuan itu akhirnya muncul, gue kaget, Ji. Sumpah!" ucap Aris.

"Haaah? Kaget... mmmh, kaget kenapa?" tanyaku dengan suara napas yang tersengal-sengal. Di hadapanku, tubuh Rina masih terus berguncang-guncang menerima hentakanku.

"Soalnya cewek yang dateng itu cantik banget, dan ... dan gue kenal dia."

"Mmm...maksud lo?"

"Namanya Eva, Eva Indrianika, pacar sahabat gue sendiri,"

"Bangsat! Eva? Maksud lo, Eva mantan gue?" tiba-tiba saja emosiku meledak mendengar nama itu disebut Aris.

"Iya. Tapi gue nggak salah, kan? Gue kan nggak tau kalau ternyata Eva, pacar lo saat itu, punya kerja sampingan jadi ayam kampus? Gue kira dia cewek alim."

"Terus? Terus... lo pake juga dia?"tanyaku.

Emosiku yang memuncak malah membuatku lebih keras lagi menyetubuhi Rina. Namun Rina tak tampak keberatan. Ia masih terus mengerang dan mendesah menikmatinya.

"Bukan cuma gue pake. Gue videoin juga malah. Lo masih simpen rekamannya sampe sekarang, kan? Badan cowok yang lo liat di video itu, itu adalah badan gue. Lo nggak peka sih sama sahabat sendiri," ujar Aris sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Kenapa, Ris? Kenapa lo lakuin itu semua?" bentakku.

Dalam pikiranku, seharusnya saat Eva mendatangi hotel itu, ia langsung menolaknya, kemudian memberitahukan kepadaku. Bukankah itu lebih terhormat? Bukankah itu seharusnya yang dilakukan seorang sahabat?

"Karena dia nggak pantes buat lo, Ji. Dia jadi cewek baik-baik di depan lo, tapi semua itu cuma topeng. Sebelum dia ketemu gue, entah udah berapa banyak pelanggan yang dia layani. Makanya, gue videoin mukanya. Gue sebarin. Biar lo tau siapa Eva sebenarnya dan nggak ada yang bisa dia sembunyiin lagi."

Aku terengah-engah. Rina tiba-tiba saja mencengkeram tanganku. Sepertinya lututnya sudah pegal karena terus menerus berada dalam posisi menungging. Ia pun meminta untuk berganti posisi.

"Mas, aku tiduran aja, ya? Mmmh..."

Sambil berusaha mencerna penjelasan Aris, aku melepaskan penisku, kemudian membiarkan Rina tidur rebahan di atas lantai kamar mandi. Ia membuka kedua pahanya, memperlihatkan vaginanya yang basah dan indah merekah, kemudian memberikan sebuah anggukan kepadaku. Aku kembali memasukkan penisku ke dalam lubang vaginanya, kali ini dalam posisi missionary.

"Lo kan bisa aja rekam mukanya tanpa harus ngewe sama dia, Ris? Lo kan bisa aja ngasih tau gue supaya gue jauhin dia. Kenapa harus kaya gitu, sih?" tanyaku kepada Aris sambil kembali menggenjot Rina, kekasihnya.

"Iya, gue bisa. Bisa aja sih gue. Tapi gue cuma manusia biasa, Ji. Eva itu cantik dan manis banget, mukanya juga innocent banget. Kaya bidadari. Waktu dia datang ke kamar hotel gue, ya ... jujur ya, gue horny banget, gue penasaran banget pengen tau rasanya ngentotin pacar sahabat gue sendiri."

"Anjing lo! Bangsat!" teriakku.

"Mmmh... Mas... Ahhhh...." desah Rina.

"Maaf, Ji. Makanya tadi gue udah minta maaf duluan, kan? Gue nggak mengelak bahwa gue emang salah. Gue terbawa nafsu. Makanya waktu gue kenal sama Rina, dan gue mutusin untuk punya komitmen hubungan yang serius, gue ceritain semuanya sama Rina dan dia ...."

"Dan lo kenapa, Rin?" tanyaku.

Kini pandanganku tertuju kepada Rina yang sedang mendesah menahan nikmat di bawah tindihan tubuhku.

"Dan aku ... mmmh ... mmmh aku ...." gumam Rina tak jelas.

"Apa? Jelasin, Rin!" bentakku.

"Mas Panji ... ahhh... agak pelan dulu mas sedikit, aku susah ngomongnya kalau sambil disodok kenceng-kenceng gini... mmmh."

Aku menuruti permintaan Rina. Aku kurangi kecepatan hentakan penisku, tapi tak sampai berhenti. Kini gerakan penisku memutar, mengaduk lubang vaginanya perlahan, merasakan setiap tekstur dan kelembabannya. Rina mulai bisa mengatur napasnya.

"Segini cukup?" tanyaku.

"Iya, Mas. Cukup. Nah, iya. Ahh...."

"Jadi gimana ceritanya, Rin?"

-----
 
Makasih updatenya Suhu @azlam
Wuihhh kereennnn
Alur ceritanya bener2 gak terduga euy. Ss nya juga gak vulgar2 banget. Tapi seriusan teuteup bikin tegang atas bawah hohoho :konak:
Gak berani nebak ah, apa yg mau dibilangin ama Rina. Mending nungguin update berijutnya ajah.
Emang layak buat ditongkrongin nie lapak. Gak nyesel nungguin updatenya biar lama dan ringkas2
Eh tapi... klo bisa sih, ringkas2 g papa, tapinya jangan lama2 Hu @azlam updatenya wkwkwk :Peace:
Bikin nagih soalnya hehehe
Monggo dilanjut Hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd