Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Izin pantau suhuuu...
 
mulai meraba alur ceritanya..nuwun updatenya
 
Part 3 The Gambler


Fajar belumlah menyingsing, ketika bis malam cepat yang mereka tumpangi telah sampai di batas kota kabupaten yang menjadi tujuan akhir sebelum melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh setengah kilometer lagi sebelum sampai di rumah, yang akan menjadi tempat tinggal baru buat mereka.

Sebuah hunian yang terletak sedikit terpencil dari pemukiman lainnya yang lebih tepat untuk di sebut gubug saja mengingat kondisi hunian itu yang mulai lapuk termakan usia, dan telah lama tanpa perawatan yang berarti.

Seorang pemuda berparas tampan dengan hidung mancung meskipun agak keling berjalan gontai dengan dua buah tas travel dan sebuah kardus di bawanya sementara seorang perempuan paruh baya berjalan didepannya dengan menggendong anak lelaki kecil, yang setelah di perhatikan lebih jelas ternyata sedikit memiliki cacat pada sebelah kakinya.

Gubug itu harta satu satunya yang tersisa dari peninggalan orang tua perempuan itu yang kini sudah tiada.

Winarni, begitulah nama wanita paruh baya berkulit bersih khas orang kota yang terlihat cantik menarik di usianya yang semakin matang menjelang 46 tahun.

Namun terdapat lebam lebam biru di pipi dan pelipisnya juga sedikit sobek di bibirnya hasil dari perlakuan dari suaminya kemaren saat Winarni dan suaminya bertengkar hebat yang berujung talak tiga sekaligus pengusiran menyakitkan.

Rifan adalah anak sulungnya yang memilih menemani Winarni meskipun harus kehilangan semua fasilitas dari bapaknya yang sebenarnya juragan spbu kaya raya di kota satelit sebelah selatan ibukota.

Niko adalah adik Rifan berusia 3 th yang sedikit kurang beruntung karena lahir abnormal dengan kaki yang timpang.

Setelah seperempat jam lamanya mereka berjalan terseok seok akhirnya sampai juga di sebuah gubug yang kanan kirinya di tumbuhi rumpun pohon pisang dan ilalang karena tepat di belakang gubug itu sudah merupakan area persawahan. Gelap dan terlihat angker adalah kesan pertama saat mereka tiba di tempat yang akan jadi hunian mereka itu.

Setengah tahun lalu Winarni memang pernah pulang saat itu karena bapaknya meninggalkan dunia selamanya menyusul simboknya yang telah lebih dulu di panggil menghadap Yang Kuasa.

Saat itu rumah itu masih cukup layak dijadikan hunian, namun kini bahkan pintunya saja telah terbuka lebar dan gemboknya hilang.

"Sebaiknya jangan masuk dulu Mah !" Himbau anak sulungnya.

Winarni yang sebenarnya telah merasa lelah badan dan pikirannya itu hanya menurut saja, kemudian duduk di sebuah amben bambu yang masih cukup kokoh setelah di bersihkan oleh Rifan.

Rifan sendiri kemudian juga duduk merapat mamahnya yang memangku Nikolas adiknya yang dengan asyiknya tertidur pulas tanpa terbebani pikiran ibunya yang tengah tenggelam dalam keterpurukan.

"Mamah tinggal pegang duit 600 ribu Van...." Winarni berkata lirih mengeluh, dan untuk kesekian kalinya air matanya kembali tumpah berderai.

"Aku masih ada cash 5 juta Mah, nanti aku ambil sejuta dan sisanya buat pegangan mamah. Aku janji secepatnya akan menemukan pekerjaan dan menghasilkan duit jadi mamah nggak usah terlalu cemas." Balas Rifan sambil mengelus pundak Winarni yang kemudian usapan itu beralih ke punggung wanita itu selama beberapa saat.

"Besok kita masih harus memperbaiki rumah ini Van, istirahatlah !" Ujar Winarni sambil menatap anak sulungnya yang ternyata juga sedang menatapnya itu.

Entah kenapa Winarni merasa tatapan mata anak sulungnya itu sangat berbeda kali ini.

"Aku akan masuk dulu Mah, silahkan tidur dulu disini, masih ada sedikit waktu sebelum hari menjadi terang." Ujar Rifan sambil beringsut lalu berdiri dan kemudian buru buru melangkah sambil menghidupkan senter pada hp nya.

Rifan masuk kedalam ruang rumah yang bersih tanpa apapun selain debu dan sarang laba laba hampir memenuhi langit langit atap, sesekali Rifan membenarkan posisi batang kontolnya yang tadi sempat ereksi cukup keras, saat berdekatan dengan Winarni.

Rifan mulai memeriksa seluruh ruangan rumah berdinding gebyok kayu jati antik turun temurun yang masih kokoh itu, ruangan yang hanya terdiri dari dua kamar tidur selain ruang tengah dan dapur itu.

Di salah satu kamar bahkan Rifan masih menemukan sebuah foto usang gadis remaja yang tampak cantik dengan senyuman bersahaja yang Rifan pastikan itu adalah foto mamahnya.

Waktu terus berjalan merayap hingga tak sadar hari sudah mulai terang saat Rifan terus sibuk membersihkan hampir seluruh ruang rumah itu meskipun hanya dengan peralatan seadanya.

Rifan memang sempat menemukan beberapa serangga berbisa di beberapa sudut kamar namun dengan mudah ia matikan.

Setelah selesai bersih bersih Rifan segera ke sumur timba di samping rumah lalu sekali lagi bersih bersih sebelum mengisi bak mandi lalu mengguyur tubuhnya yang kotor dengan debu dan peluh itu.

"Vannn !"

Rifan mendengar teriakan dari mamahnya, yang mungkin sudah terbangun.

"Aku di sumur Mah !" Jawab Rifan agak keras supaya terdengar mamahnya.

Tak lama kemudian terdengar suara timba berderit yang kemudian di susul suara desisan khas wanita yang sedang buang air kecil di luar bilik mandi Rifan yang tentunya tak disia siakan Rifan untuk sekedar melongoknya.

Rifan terus melihat semua proses yang dilakukan mamahnya yang berlangsung beberapa menit saja itu, yang meski singkat namun sukses membuat kontolnya kembali menggeliat keras.

Saat hari semakin terang keduanya kemudian semakin tenggelam dalam kesibukan.

"Mah aku cari sarapan dulu yah." Pamit Rifan pada mamahnya.

"Iya, masih hafal kan tempatnya?"

"Masih donk, di tempatnya Mbah Yoto kan ?"

"Iyah..."

Rifan memang cukup hafal desa kelahiran mamahnya itu karena waktu kecil saat liburan panjang sekolah hampir selalu menghabiskan waktunya di tempat ini.

Rifan pun bahkan memiliki sahabat karib disini yang cukup akrab adalah dua saudara Prisma dan Geta, sebenarnya Rifan lebih sebaya dengan Prisma namun karena saat bermain Geta hampir selalu mengikuti kakaknya yang membuatnya mau tak mau akrab juga dengan Geta yang sering di panggilnya Si Gembul karena badannya yang cukup bongsor dan gendut.

Di sebuah simpang jalan, entah bagaimana ternyata Rifan berpapasan dengan Geta yang sedang berjalan dengan busana seragam sekolahnya.

"Loh Mas Rifan kan ? Kapan datang mas ? Apa kabar mas ?" Sapa Geta yang langsung menghampiri Rifan.

"Panjang umur kamu Mbul, aku baru saja memikirkan kamu dan Prisma loh, hahaha kabarku baik kalian gimana sehat semua kan sekeluarga." Ujar Rifan saat menyambut jabat tangan erat dari Geta.

"Baik mas, oh iya Mas Prisma sekarang kerja di Makassar mas.." Geta mulai bercerita.

"Walah jauh sekali, memang kerja apa Prisma di sana ?" Rifan tertegun.

"Wah kurang tau juga mas, bilangnya sih kerja di IT mas, tapi detailnya kurang paham aku."

"Ya sudah yang penting sehat aza Prisma nya, eh kamu mau sekolah kan ya sudah buruan berangkat tar malah telat."

"Iya mas, tuh tebenganku sudah datang aku pamit yah mas !" Sekali lagi Geta menjabat tangan Rifan dan menyalimnya sebelum kemudian berlari menghampiri temannya yang duduk diatas sebuah motor matik sejuta umat.

Rifan lalu melanjutkan perjalanan untuk mencari pengisi perutnya, namun disebuah rumah ia sempat memperhatikan kerumunan beberapa orang tampak keluar secara bersamaan.

"Jo menang berapa kamu?"

"Iya mecing donk Jo"

Rifan sempat mendengar perkataan orang orang itu saat berpapasan dengan mereka. Rifan hanya tersenyum ramah saja pada orang orang itu.

Jujur saja Rifan memang kurang begitu akrab selain dengan beberapa gelintir orang saja di desa ini.

Dua hari kemudian
 
Bimabet
Dua hari kemudian

Sejujurnya Rifan mulai panik dengan kondisi ekonomi yang sudah di ambang batas untuk disebut sebagai kondisi kefakiran.

Sayangnya Winarni, mamahnya juga masih belum terbiasa dengan kondisi barunya karena sudah lama hidup dalam gelimang kemewahan sehingga sulit untuk sedikit menahan perilaku konsumtif nya.

"Van kamu masih pegang duit nggak ?" Tanya mamahnya yang kini luka luka dan lebam di wajahnya sudah mulai menghilang meskipun masih ada sedikit biasnya.

"Tinggal 300 ribuan paling Mah, kenapa duit mamah sudah abis ?" Jawab Rifan sambil menghempaskan tubuhnya di amben bambu tempat adiknya bermain main.

"Duit mamah juga hampir limit, kan kamu tau sendiri buat pasang listrik sama pompa air lebih dari dua juta." Ujar mamahnya yang ikut duduk di sebelah Rifan.

"Iya Mah, ini juga aku sedang berpikir untuk menghasilkan duit kok, sabar yah Mah."

"Iya Van, untuk sementara kerja apa saja ga apa apa yang penting segera ada pemasukan." Ujar Winarni mencoba memberi semangat moril meskipun sebenarnya hatinya benar benar gelisah.

"Beras masih ada kan Mah ?"

"Ada juga paling nggak sampai seminggu lagi habis."

"Mamah nanti malam kalo aku tinggal sebentar berani kan ?"

"Mau kemana memangnya ?"

"Ke rumah Geta cari info barangkali ada pekerjaan yang segera menghasilkan."

"Tapi jangan lama lama yah pulangnya."

Rifan menatap mamahnya yang sore ini hanya mengenakan t shirt lengan pendek dan celana legging pendek selutut cukup sexy.

Rifan lalu menggenggam tangan mamahnya sambil berujar.

"Jangan cemas Mah, aku takkan biarkan mamah dan Niko kelaparan."

Winarni hanya tersenyum tipis dan mengangguk dan membiarkan anak sulungnya itu membelai rambutnya sejenak, meskipun lama lama risih juga karena Rifan tiba tiba saja mengecup rambut kepalanya berulang ulang.

Winarni semula hanya membiarkan kelakuan Rifan yang telah melingkarkan tangannya untuk merangkul dirinya.

Dan hal yang tak disangka Winarni adalah tiba tiba saja Rifan mengusap pipinya dan memberi sedikit dorongan untuk kemudian bibir Rifan telah menempel di pipinya.

"Apa yang kau lakukan, aku mama kamu nak..." Ujar Winarni lirih.

Rifan seolah tak menghiraukan karena kemudian semakin nekad mendekap erat Winarni lalu menciumi pipi dan bibirnya.

"Ahhhhh... Hentikan apa apaan kamu Van, aku ini mamah kamu." Ujar Winarni lalu menghempaskan tangan Rifan dari bahunya.

Kemudian Winarni pergi dan masuk ke kamarnya yang pintunya hanya tertutup sebuah tirai saja.

Rifan segera menyusul mamahnya masuk ke kamar, Winarni yang duduk di ranjang bambunya kaget namun tak sempat berucap apapun Rifan sudah kembali mencium bibirnya dengan cukup buas.

"Rifan apa yang kau lakukan, aku ini mamah kamu !" Hardik Winarni membentak.

"Aku butuh penenang pikiran Mah." Bisik Rifan yang kemudian mendorong tubuh mamahnya supaya rebah di amben yang tak berkasur itu.

Winarni terus berusaha menolak dengan meronta ronta namun Rifan dengan cepat menindih dan mengunci tubuh wanita yang jelas kalah tenaganya.

"Van hentikan ! Jangan gila kamu !" Ujar Winarni terus berontak.

"Tolong Mah, segarkan pikiran ku aku butuh itu." Kata Rifan yang semakin gila dengan tangannya menggosok selangkangan Winarni dari luar celana legging nya, sementara bibirnya terus nyosor di seluruh wajah mamahnya.

Saat tekanan Rifan mulai kendor karena sedang berusaha melepaskan kancing celananya, Winarni langsung menghempaskan Rifan ke samping dan kemudian berlari keluar kamar dan menangis tersedu sedu sambil memeluk anak bungsunya yang tampak asyik bermain dengan mainan yang di buatkan Rifan.

Rifan yang kecewa, langsung keluar rumah dan berencana mengunjungi Geta di rumahnya, namun ia urung ketika mau mengetuk pintu setelah mendengar suara pertengkaran kedua orang tua Geta yang setau Rifan mereka adalah seorang pengajar.

Rifan lalu bergegas pergi dan berniat untuk mampir di warung tengah desa, karena saat ini ia butuh rokok guna merelaksasi pikiran yang kini benar benar penat, apalagi mulutnya juga kecut karena beberapa hari tak menghisap nikotin.

"Hei Fan mau kemana kamu ?" Tanya Edi yang belum lama dikenalnya saat dirinya ikut kerja bakti bikin irigasi tadi pagi.

"Mau ke warung Ed beli rokok kalian mau kemana ini ?" Balas Rifan sambil mencoba tersenyum ramah

"Biasa mau ke rumah Lik Panut." Kata Edi.

"Memang ada acara apa di tempat Lik Panut ?" Tanya Rifan yang kemudian membuat Edi dan beberapa rekannya tertawa.

"Ya biasa lah, kempyeng( judi )." Ujar Edi sambil tangannya memperagakan gaya mengocok kartu.

"Oh judi yah, main apaan ?" Tanya Rifan lagi.

"Banyak ada yang remi, samyong, gaple." Sahut seorang kawan Edi yang Rifan belum kenal namanya.

"Qiu qiu ada nggak ?" Tanya Rifan lagi.

"Ada lah, memang kamu bisa qiu qiu ayo gabung klo bisa mah." Ujar Edi.

"Bisa banget sih nggak tapi ayolah hitung hitung hiburan." Ujar Rifan, dalam hatinya sangat girang.

Tak lama kemudian rombongan itu telah sampai di rumah Panut yang juga menjadi kasino mini di desa itu, bahkan di dalam rumah juga tersedia warung kecil yang menyediakan keperluan para penjudi, termasuk rokok dan juga kopi berikut teman temannya.

"Tuh Fan, masih longgar arena qiu qiu nya !" Kata Edi sambil menunjuk sebuah kalangan judi domino yang ada lima orang.

Rifan langsung tertarik, apalagi ia melihat duit yang menumpuk di tengah mereka cukup banyak dengan nominal paling rendah 10 ribuan.

Namun Rifan sedikit enggan menunjukkan antusiasnya, dan barulah ketika salah seorang anggota kalangan itu memanggil dan memberi tempat, Rifan segera masuk dan duduk gabung mereka.

"Pasang awalnya 10 ribu yah lalu beli kartu maksimal 20 ribu dan terakhir maksimal 50 ribu," Kata seorang paruh baya yang Rifan tau rumahnya di RT sebelah.

"Siyap Pak," ujar Rifan sambil meletakkan duit 50 ribuan di tengah kalangan, ia sengaja tidak mengambil sisanya.

Pemenang terakhir mulai mengocok kartu dan membagikannya searah jarum jam. Sebenarnya tanpa membuka kartu pun Rifan sudah mengetahui kartu apa miliknya, begitu juga kartu milik lawan lawannya.

Untuk hal ini Rifan mengetahui ada tanda yang sengaja di bikin pabrik kartu sehingga memungkinkan dirinya untuk mengetahui dengan pasti isi kartu itu.

Kartu Rifan berisi sepasang kosong, sepasang enam dan kartu delapan. Dan setelah beli kartu sebesar 20 ribu Rifan mendapat tambahan kartu sembilan yang artinya murni besar.

"Ah sial mati." Ujar pemenang sebelumnya.

"20 ribu." Sahut Rifan yang pertama kali.

"30" giliran orang setelah Rifan.

"50" Sahut orang
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd