Dua hari kemudian
Sejujurnya Rifan mulai panik dengan kondisi ekonomi yang sudah di ambang batas untuk disebut sebagai kondisi kefakiran.
Sayangnya Winarni, mamahnya juga masih belum terbiasa dengan kondisi barunya karena sudah lama hidup dalam gelimang kemewahan sehingga sulit untuk sedikit menahan perilaku konsumtif nya.
"Van kamu masih pegang duit nggak ?" Tanya mamahnya yang kini luka luka dan lebam di wajahnya sudah mulai menghilang meskipun masih ada sedikit biasnya.
"Tinggal 300 ribuan paling Mah, kenapa duit mamah sudah abis ?" Jawab Rifan sambil menghempaskan tubuhnya di amben bambu tempat adiknya bermain main.
"Duit mamah juga hampir limit, kan kamu tau sendiri buat pasang listrik sama pompa air lebih dari dua juta." Ujar mamahnya yang ikut duduk di sebelah Rifan.
"Iya Mah, ini juga aku sedang berpikir untuk menghasilkan duit kok, sabar yah Mah."
"Iya Van, untuk sementara kerja apa saja ga apa apa yang penting segera ada pemasukan." Ujar Winarni mencoba memberi semangat moril meskipun sebenarnya hatinya benar benar gelisah.
"Beras masih ada kan Mah ?"
"Ada juga paling nggak sampai seminggu lagi habis."
"Mamah nanti malam kalo aku tinggal sebentar berani kan ?"
"Mau kemana memangnya ?"
"Ke rumah Geta cari info barangkali ada pekerjaan yang segera menghasilkan."
"Tapi jangan lama lama yah pulangnya."
Rifan menatap mamahnya yang sore ini hanya mengenakan t shirt lengan pendek dan celana legging pendek selutut cukup sexy.
Rifan lalu menggenggam tangan mamahnya sambil berujar.
"Jangan cemas Mah, aku takkan biarkan mamah dan Niko kelaparan."
Winarni hanya tersenyum tipis dan mengangguk dan membiarkan anak sulungnya itu membelai rambutnya sejenak, meskipun lama lama risih juga karena Rifan tiba tiba saja mengecup rambut kepalanya berulang ulang.
Winarni semula hanya membiarkan kelakuan Rifan yang telah melingkarkan tangannya untuk merangkul dirinya.
Dan hal yang tak disangka Winarni adalah tiba tiba saja Rifan mengusap pipinya dan memberi sedikit dorongan untuk kemudian bibir Rifan telah menempel di pipinya.
"Apa yang kau lakukan, aku mama kamu nak..." Ujar Winarni lirih.
Rifan seolah tak menghiraukan karena kemudian semakin nekad mendekap erat Winarni lalu menciumi pipi dan bibirnya.
"Ahhhhh... Hentikan apa apaan kamu Van, aku ini mamah kamu." Ujar Winarni lalu menghempaskan tangan Rifan dari bahunya.
Kemudian Winarni pergi dan masuk ke kamarnya yang pintunya hanya tertutup sebuah tirai saja.
Rifan segera menyusul mamahnya masuk ke kamar, Winarni yang duduk di ranjang bambunya kaget namun tak sempat berucap apapun Rifan sudah kembali mencium bibirnya dengan cukup buas.
"Rifan apa yang kau lakukan, aku ini mamah kamu !" Hardik Winarni membentak.
"Aku butuh penenang pikiran Mah." Bisik Rifan yang kemudian mendorong tubuh mamahnya supaya rebah di amben yang tak berkasur itu.
Winarni terus berusaha menolak dengan meronta ronta namun Rifan dengan cepat menindih dan mengunci tubuh wanita yang jelas kalah tenaganya.
"Van hentikan ! Jangan gila kamu !" Ujar Winarni terus berontak.
"Tolong Mah, segarkan pikiran ku aku butuh itu." Kata Rifan yang semakin gila dengan tangannya menggosok selangkangan Winarni dari luar celana legging nya, sementara bibirnya terus nyosor di seluruh wajah mamahnya.
Saat tekanan Rifan mulai kendor karena sedang berusaha melepaskan kancing celananya, Winarni langsung menghempaskan Rifan ke samping dan kemudian berlari keluar kamar dan menangis tersedu sedu sambil memeluk anak bungsunya yang tampak asyik bermain dengan mainan yang di buatkan Rifan.
Rifan yang kecewa, langsung keluar rumah dan berencana mengunjungi Geta di rumahnya, namun ia urung ketika mau mengetuk pintu setelah mendengar suara pertengkaran kedua orang tua Geta yang setau Rifan mereka adalah seorang pengajar.
Rifan lalu bergegas pergi dan berniat untuk mampir di warung tengah desa, karena saat ini ia butuh rokok guna merelaksasi pikiran yang kini benar benar penat, apalagi mulutnya juga kecut karena beberapa hari tak menghisap nikotin.
"Hei Fan mau kemana kamu ?" Tanya Edi yang belum lama dikenalnya saat dirinya ikut kerja bakti bikin irigasi tadi pagi.
"Mau ke warung Ed beli rokok kalian mau kemana ini ?" Balas Rifan sambil mencoba tersenyum ramah
"Biasa mau ke rumah Lik Panut." Kata Edi.
"Memang ada acara apa di tempat Lik Panut ?" Tanya Rifan yang kemudian membuat Edi dan beberapa rekannya tertawa.
"Ya biasa lah, kempyeng( judi )." Ujar Edi sambil tangannya memperagakan gaya mengocok kartu.
"Oh judi yah, main apaan ?" Tanya Rifan lagi.
"Banyak ada yang remi, samyong, gaple." Sahut seorang kawan Edi yang Rifan belum kenal namanya.
"Qiu qiu ada nggak ?" Tanya Rifan lagi.
"Ada lah, memang kamu bisa qiu qiu ayo gabung klo bisa mah." Ujar Edi.
"Bisa banget sih nggak tapi ayolah hitung hitung hiburan." Ujar Rifan, dalam hatinya sangat girang.
Tak lama kemudian rombongan itu telah sampai di rumah Panut yang juga menjadi kasino mini di desa itu, bahkan di dalam rumah juga tersedia warung kecil yang menyediakan keperluan para penjudi, termasuk rokok dan juga kopi berikut teman temannya.
"Tuh Fan, masih longgar arena qiu qiu nya !" Kata Edi sambil menunjuk sebuah kalangan judi domino yang ada lima orang.
Rifan langsung tertarik, apalagi ia melihat duit yang menumpuk di tengah mereka cukup banyak dengan nominal paling rendah 10 ribuan.
Namun Rifan sedikit enggan menunjukkan antusiasnya, dan barulah ketika salah seorang anggota kalangan itu memanggil dan memberi tempat, Rifan segera masuk dan duduk gabung mereka.
"Pasang awalnya 10 ribu yah lalu beli kartu maksimal 20 ribu dan terakhir maksimal 50 ribu," Kata seorang paruh baya yang Rifan tau rumahnya di RT sebelah.
"Siyap Pak," ujar Rifan sambil meletakkan duit 50 ribuan di tengah kalangan, ia sengaja tidak mengambil sisanya.
Pemenang terakhir mulai mengocok kartu dan membagikannya searah jarum jam. Sebenarnya tanpa membuka kartu pun Rifan sudah mengetahui kartu apa miliknya, begitu juga kartu milik lawan lawannya.
Untuk hal ini Rifan mengetahui ada tanda yang sengaja di bikin pabrik kartu sehingga memungkinkan dirinya untuk mengetahui dengan pasti isi kartu itu.
Kartu Rifan berisi sepasang kosong, sepasang enam dan kartu delapan. Dan setelah beli kartu sebesar 20 ribu Rifan mendapat tambahan kartu sembilan yang artinya murni besar.
"Ah sial mati." Ujar pemenang sebelumnya.
"20 ribu." Sahut Rifan yang pertama kali.
"30" giliran orang setelah Rifan.
"50" Sahut orang