Kamar Putri besar, lengkap dengan AC dan kamar mandi dalam. Semua barang tertata rapih dan ruangannya beraroma lavender. Di atas meja belajarnya terlihat iPhone generasi pertama yang saat itu baru rilis, berbeda kelas dengan HP-ku yang masih berbasis Java. Aku membalik kursi dari meja itu dan menaruh jaketku pada senderannya.
Aku duduk di kursi, rasanya nikmat sekali masuk di ruangan ber-AC sehabis bermandikan teriknya matahari. Putri mengunci pintu kamar lalu duduk di ranjang menghadap ke arahku. Wajahnya cantik, tubuhnya tinggi, langsing, berkulit kuning langsat, mulus tidak ada bekas luka sedikitpun, dan susunya besar.
"Ayang lama banget... Aku sampai ketiduran nungguin..." ucapnya sambil cemberut dan bertolak pinggang.
"Aduhhhh kasian ayang nunggu ya... Sorry ya ayang... Tadi macet soalnya..."
Sebenarnya menye-menye begini bukan sifat asliku, dan aku tidak suka melakukannya. Tapi tuan putri yang satu ini ingin dimanja dan disayang-sayang seperti anak kecil. Aku senang saat melihat dia senang, jadi aku beradaptasi untuk memberikan apa yang dia mau.
Putri mengatakan kalau dia kangen dan langsung mengajak bercinta. Nafsu dia memang besar, tiga hari tidak ngewe saja sudah begitu. Tentu saja aku tidak langsung mengiyakan dan ingin menggodanya. Aku berpura-pura menolak dengan alasan karena capek habis terjebak macet.
Dia lalu menggerakan tubuhnya kesana-kemari sambil merengek-rengek seperti anak kecil yang sedang meminta dibelikan permen. Aku tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lakunya, dan tetap menolaknya. "Ayolah ayanggggg..." sambil cemberut dan tangannya meremas-remas selangkangannya.
Tidak tega lagi melihatnya, aku mulai berdiri dan dengan perlahan membuka kaos, celana jeans, dan boxer. Dia terus menggosok selangkangannya sambil memperhatikanku. Aku mengocok si joni sampai tegang lalu mengarahkannya ke mulut Putri, dan dia mulai mengulumnya.
Tekniknya biasa saja, tapi wajahnya yang cantik memberikan sensasi yang luar biasa. Setelah beberapa lama, aku menarik si joni dan membuka tank top hitam yang dikenakan Putri. Aku meremas dengan lembut bra ungu beserta isinya, lalu membukanya.
Nampak dua susu yang bulat, mulus dan masih kencang. Lingkaran putingnya kecil, begitu juga dengan pentolnya yang berwarna cokelat muda. Dulunya pentol ini dempes tidak menonjol, tapi sekarang agak menonjol keluar karena sering aku hisap.
Aku menarik celana pendek dan celana dalamnya sampai dia telanjang bulat. Tidak seperti biasanya, selangkangannya tampak botak tanpa bulu, dan aku menanyakan tentang hal ini. "Biar terlihat bersih... Ayang suka nggak?" jawab Putri. "Kalau aku lebih suka yang berbulu... Tapi kalau kamu lebih nyaman begini, ya tidak apa-apa," balasku.
Aku ingin melihat lebih dekat dan menjilatnya, namun Putri bilang kalau dia malu lalu melipat kakinya ke samping. Aku mau buka kakinya, dan dia berbalik lagi ke arah lainnya. Begitu saja terus sampai aku gemas sendiri.
Dia memang agak rewel dan senang memancing untuk dirayu, tapi kali ini aku tidak bisa meladeninya. Om Yanto ada di lantai bawah, dan aku tidak mau digerebek, jadi aku harus menyelesaikannya dengan cepat. Muncul sebuah ide untuk mengewe sambil berdiri, agar aku tidak harus melihat ke arah lubangnya dan dia tidak akan merasa malu.
Putri meraih kedua tanganku yang kusodorkan di depannya. Aku tarik dia sampai berdiri, lalu aku peluk dan arahkan sampai tubuhnya membelakangi dan menyentuh tembok.
Mata Putri terpejam dan tubuhnya sedikit menggeliat setelah aku menghisap putingnya. Kami mulai bercumbu dengan liar sembari aku meremas-remas susunya sedangkan dia mengocok si joni. Aku mengusap lubangnya dan terasa sudah mulai basah.
Aku mengangkat kaki kirinya menggunakan bagian dalam lengan kananku dan menahannya. Aku mengarahkan si joni dengan tangan kiriku dan mengarahkan ke lubangnya.
Beberapa kali kugesekan kepala joni ke sela lubangnya sebelum memasukannya. Lubangnya terasa sempit dan menggigit. Hembusan nafas Putri semakin kencang, terasa meniupi wajahku. Kami lalu bercumbu dengan liar sambil menggerakan pinggul kami.
Postur badan Putri yang tinggi membuatku nyaman melakukan gaya ngewe ini tanpa membuat kakiku pegal. Aku mempercepat goyangan pinggulku. Putri melepaskan ciumannya lalu menyenderkan kepalanya di depan bahuku sambil mendesah.
Aku terus mengewenya dengan irama cepat. Entah setelah berapa lama, tangannya mencengkram erat punggungku dan terasa lubangnya berkedut. Lubang itu menjepit si joni dengan erat, dan aku juga tidak menahannya lagi. Aku menurunkan kaki Putri lalu mencabut si joni.
Putri seperti akan terjatuh lemas dan aku menopang kedua ketiaknya dengan bagian dalam sikuku sambil kuelus bagian belakang kepalanya. Kubiarkan si joni memuncratkan laharnya sendiri.
Setelah tubuh Putri kembali stabil, aku melepaskannya dan kami berdua duduk di lantai. Terlihat daerah selangkangannya sudah basah dengan lendir, dan lahar si joni menetes dari area perutnya.
Kami bercakap-cakap ringan sambil bercanda gurau. Aku mengajaknya nonton di salah satu mall, tapi dia ternyata sudah ada janji dengan kedua sahabatnya yang akan datang sebentar lagi. Jadi aku memutuskan untuk pulang setelah kami mandi bersama.
Putri sempat mengecup bibirku di teras lalu mengantarkanku sampai depan gerbang rumahnya. Aku menyalakan motor hendak memanaskannya sambil membalas lambaian tangan Putri dan melihat gerbang besar itu ditutup.
Motorku belum panas dan aku baru saja mengecek HP dan tiba-tiba gerbang itu terbuka kembali. Yang keluar adalah Om Yanto, dan setelah menutup gerbang itu, dia berlari dan duduk di kursi boncengan motorku. "Ayo maju," ucapnya. "Maju kemana om?" tanyaku. Dia membalas ketus, "Nggak usah banyak tanya, ikutin arahan gw saja."
Aku mengikuti arahannya sampai tiba di salah satu blok yang masih banyak tanah kosong. Dia menyuruhku mematikan motor dan berjalan mengikutinya ke tengah salah satu tanah kosong tersebut. Dia berbalik badan dan menggenggam erat jaket di bagian dadaku dengan tangan kirinya.
"Bangsat lu ya, berani-beraninya ngentot ponakan gw!" teriaknya penuh amarah.
Pada awalnya aku tidak mengaku, tapi ternyata dia menguping saat aku dan Putri bercinta, jadi aku tertangkap basah dan tidak bisa mengelak lagi.
Aku bukan orang yang tempramental, dan tidak pernah marah dengan caci maki verbal. Tapi emosiku gampang tersulut saat ada kontak fisik seperti ini. Walau begitu, mengingat dia adalah orang yang lebih tua, aku berusaha meredam emosiku dan tetap tenang.
"Sebelumnya saya minta maaf ya om. Saya melakukan itu dengan Putri atas dasar cinta dan tanpa paksaan."
"Sekarang om maunya saya gimana?"
Dia berusaha mendorong badanku, tapi aku menahan kakiku sehingga tubuhku tidak bergeming. Terlihat dia semakin kesal dan beberapa kali berusaha menarik dan mendorong jaketku yang digenggamnya.
"Gw mau lu putusin Putri dan jangan pernah temui dia lagi selamanya!" ucapnya dengan penuh emosi.
"Maaf om, nggak bisa... Putri akan sedih jika saya memutuskannya tanpa alasan yang tidak jelas."
"Nggak tau diri ya! Lu nggak pantas untuk Putri!"
"Lu itu orang miskin!" lanjutnya.
Ini menyulut emosiku sampai badan dan kepala ini terasa panas. Aku punya harga diri dan tidak terima jika diinjak-injak seperti itu oleh siapa pun.
Walau emosi, aku tetap menggunakan nada rendah dan berusaha tenang.
"Om, lu nggak usah sok suci, lu juga sering ngentotin Wati, ART Putri kan? Gw tadi lihat lu di ruang makan."
Dia mengambil ancang-ancang ingin memukulku, tangan kanannya mengepal dan terangkat.
"Om, gw kasih tau dulu ya, gw ngga akan pernah memukul orang duluan."
"Tapi sekalinya gw dipukul, gw nggak akan menahan diri dan akan membalasnya dengan sekuat tenaga."
"Ayo silahkan kalau mau memukul," ucapku sambil menyodorkan pipiku.
"Nantang lu ya!... Lu pikir gw takut?!... Gw ngga takut sama lu!..." balasnya tapi tidak memukul juga.
Aku sudah sering bertemu orang yang "berisik" seperti ini, jadi aku yakin dia tidak akan memukul. Aku genggam tangan kirinya yang sedang menggenggam jaketku dan menghempaskannya. Tubuhnya sedikit oleng lalu dia menurunkan tangan kanannya.
"Gini ya om, coba kita rundingkan secara baik-baik."
"Saya dan Putri saling mencintai, dan melakukan hal itu tanpa paksaan."
"Kalau misalnya om memberitahu orangtua Putri tentang ini dan kami sampai putus, jujur saja saya pasti sedih, tapi selanjutnya akan melanjutkan hidup seperti biasanya."
"Tapi bagaimana dengan om? Kalau ketahuan sudah bercinta dengan Wati, mungkin kalian berdua akan diusir. Wati akan pulang ke kampungnya, sedangkan om akan tinggal dimana?"
Raut wajahnya berubah dari penuh amarah menjadi terlihat cemas.
"Bagaimana kalau kita berdua merahasiakan hal ini."
"Rahasia om akan aman selama om tidak membocorkan rahasia saya."
"Dan satu hal lagi, jangan pernah ikut campur saat Putri ada masalah dengan orangtuanya."
"Itu urusan pribadi keluarga mereka dan om adalah orang luar yang seringnya malah memperkeruh suasana."
"Keputusan terakhir terserah om, bagaimana?"
Aku mengeluarkan rokok dan menawari Om Yanto, kami berdua merokok sambil berdiri dan terdiam. Akhirnya dia menyetujui kedua syaratku. Aku menyuruhnya untuk pulang berjalan kaki karena aku malas untuk mengantarkannya.
Pikiranku campur aduk saat perjalanan pulang...
Aku merasa memang tidak pantas untuk Putri. Timbul rasa bersalah sudah selingkuh dengan Tante Bunga dan Susi. Seharusnya aku dapat menahan hawa nafsuku dan bersyukur telah mendapatkan Putri, seorang wanita yang sempurna dalam segi apapun.
Melihat "chemistry" dan postur tubuh kami yang klop, banyak orang yang memuji bahwa kami adalah pasangan ideal. Yang tidak setuju hanyalah orangtua Putri, Om Yanto, dan keluarga besar mereka.
Orangtua Putri ingin anaknya mendapatkan pacar yang selevel dengan mereka. Aku memahami dan tidak menyalahkannya, karena merupakan hal yang wajar jika orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Mungkin juga mereka takut aku berniat memoroti anaknya.
Saking seringnya disindir dan dihina membuatku lama-kelamaan merasa capek. Firasatku mengatakan kalau hubungan ini tidak akan panjang, terlalu banyak perbedaan, dan terlalu banyak gangguan dari sekitar. Yang membuatku bertahan hanyalah rasa cinta Putri yang besar. Jika aku memutuskannya sekarang, hatinya pasti akan hancur, dan aku tidak mau itu terjadi.