Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Seratus Susu ~ Tamat

Beberapa minggu kemudian, kondisi kaki kananku sudah hampir sembuh total, kerak luka sudah lepas semua. Aku sudah bisa berjalan, walau masih terasa pegal dan jari kakiku tidak bisa ditekuk dengan sempurna.

Hari ini adalah hari senin dan aku bersama sahabatku Toni sedang melihat papan pengumuman yang berisi ratusan nama. Itu adalah nama-nama calon mahasiswa yang diterima di kampus. Lebih cepat mengecek langsung daripada menunggu surat pemberitahuan.

Aku mendaftar dan sudah melakukan tes masuk untuk jurusan Seni di salah satu kampus. Aku memilih jurusan ini bukan karena aku suka Seni, tapi hanya untuk menghindari ilmu pasti dan hafalan. Aku yang tidak bisa menggambar sama sekali, mulai meragukan keputusanku dan tidak berharap banyak akan diterima.

Tes masuknya adalah tes psikologi dan tes prakteknya adalah menggambar suasana pasar. Kemungkinan masuk di jurusan ini sangat besar, karena peminatnya cenderung sedikit dibandingkan jurusan lainnya. Tapi tetap saja aku hanya bisa membuat coretan ngasal saat tes praktek itu.

Toni terlihat gembira karena menemukan namanya di kolom jurusan Manajemen. Akhirnya aku menemukan namaku juga di kolom jurusan Seni. Rasa senang dan lega bercampur aduk, dan kami memutuskan untuk nongkrong dulu di depan kampus tersebut.

Sebatang rokok belum habis, terdengar suara SMS dari HP di kantong celanaku. Pesan teks itu dari pacarku yang menanyakan hasil pengumuman masuk dan memintaku datang kerumahnya. Kebetulan Toni juga mau menemui pacarnya, jadi aku berpamitan dan memutuskan untuk pergi ke rumah Putri.

Aku mengendarai motorku dibawah langit yang cerah, sampai akhirnya terjebak macet. Jalanan di kota ini memang kecil, bahkan jalan protokol selalu macet sepanjang hari. Motorku hanya bisa jalan setengah meter lalu berhenti, baru maju sedikit sudah berhenti lagi. Lama-kelamaan aku mulai bosan dan mulai membayangkan Putri.

Semasa sekolah, Putri adalah salah satu cewek populer. Wajahnya cantik, tingginya 173 cm, langsing tapi susunya besar. Karakternya periang dan selalu membawa keceriaan ke lingkungan sekitarnya. Dia memiliki talenta menyanyi dan bermain piano yang membuatnya selalu menjadi bintang di acara sekolah.

Perbedaan level terutama level ekonomi membuatku tidak kepikiran sedikit pun untuk mendapatkannya. Dia juga pada awalnya tidak suka denganku. Dia ramah dan suka bercanda ke semua orang, tapi berbanding terbalik saat berhadapan denganku dan empat orang sahabatku.

Kami sekelas saat kelas 12, tapi kami tidak pernah mengobrol. Satu-satunya informasi yang aku dapatkan dari teman sekelasku adalah umurnya 19 tahun karena saat dia kecil sempat telat masuk sekolah.

Aku dekat dengan semua orang, bahkan bisa dibilang cukup populer di mata cewek. Mungkin daya tarikku saat itu adalah anak basket yang memiliki tinggi badan 176 cm dan atletis. Tapi itu tidak berlaku bagi Putri dan dua orang sahabatnya. Jika ditanya apa pun biasanya dia tidak menjawab, bahkan memalingkan wajahnya seakan aku tidak ada.

Aku tidak suka saat ada orang yang membenciku, rasanya tidak nyaman, terlebih aku tidak merasa melakukan kesalahan apapun ke orang itu. Timbul niat untuk mencairkan suasana dengan Putri, sekaligus ingin menemukan jawaban mengapa dia membenciku.

Terdengar suara jam istirahat sudah berakhir, aku yang baru masuk ke kelas melihat dia sudah duduk dan sedang makan permen. Aku bertanya basa-basi, "Permen apa tuh?... Boleh minta?" Dia menjawab ketus sambil memalingkan wajahnya, "Beli sendiri sono, miskin lu?" Itu pertama kalinya dia menjawab pertanyaanku, dan jawabannya itu langsung membuatku malas. Sejak itu aku berhenti mengajak ngobrol Putri.

Semua berubah di suatu jam pelajaran olah raga. Sambil memainkan bola, guruku menjelaskan rencana kegiatan di hari itu.

"Olah raga hari ini adalah basket, dan ada tes kecil."
"Yang saya panggil pertama lakukan free throw selama dua menit."
"Yang saya panggil kedua menjaga bola dibawah ring, lalu di lemparkan kembali ke si pelempar."

Basket adalah olah raga favoritku, jadi aku sangat senang mendengarnya. Beberapa orang termasuk aku sudah melakukan free throw. Tibalah giliran Putri, dan semua orang menyoraki namaku untuk menjadi penjaga bolanya. Semua tahu kalau hubunganku dan Putri tidak baik, dan bagi mereka itu adalah hal yang lucu.

Pak Guru dengan tertawa jahil memanggil namaku, disambut dengan sorakan keras semua orang. Sebenarnya aku tidak mau berurusan lagi dengan Putri, melihatnya saja malas. Tapi aku tidak menolaknya karena percuma, semua orang akan menolak untuk membantu Putri, agar aku mau tidak mau mau melakukannya.

Putri tidak bisa melakukan shoot, bolanya tidak terarah dan terlontar kemana-mana. Hidupnya yang terbiasa dimanja terlihat saat bola terjatuh hanya satu meter di sampingnya, dia hanya diam tanpa berusaha mengambil bola tersebut. Aku harus berlari kesana kemari untuk mengejar bola itu, padahal tugasku sebenarnya hanya menjaga bola air ball di bawah ring dan sampingnya, tidak sampai jauh ke depan.

Lama kelamaan ini membuatku sedikit kesal, jadi aku meminta tolong kepada Pak Guru untuk menghentikan timer, lalu aku berjalan ke arah Putri untuk mengajarinya. Maksud awalku hanyalah agar tidak terlalu capek mengejar bola.

"Lu jangan pakai kekuatan tangan,"
"Tekuk lutut, buat ancang-ancang yang nyaman,"
"Tekuk sikut, tahan bola dengan tangan kiri, arahkan bola dengan tangan kanan,"
"Lalu lempar bola dengan momentum lompatan dari kaki, badan sampai ke tangan lu,"

Teman-teman sekelasku tidak berhenti mengeluarkan suara siulan dan candaan. "Ciieeee.... Ciieeee... Ciieeee..."

"Jangan perdulikan suara mereka... Rileks saja, lu pasti bisa."

Aku memperagakannya dua kali, dan Putri mulai memahaminya. Aku adalah orang yang suka berbagi ilmu, ada kepuasan tersendiri melihat orang lain berkembang karena saran yang kuberikan, jadi aku saat itu lupa dengan rasa kesalku. Lemparannya mulai terarah, dan aku terus menyemangatinya.

Tiba-tiba bola memantul dari ring ke wajahnya, aku langsung menghampirinya, "Aduhh... Nggak apa-apa Put?" Matanya berair karena hidungnya terbentur bola, dan dia menjawab sambil cemberut centil, "Sakit dongo... Pake nanya lu..."

Nadanya kali ini berbeda, dia mengatakan itu dengan nada bercanda. Ada senyuman di raut wajahnya, lalu kami pun tertawa berdua. Suara sorak-sorai teman-teman sekelasku yang berjumlah 40 orang mendadak terdengar sunyi...

Perasaan malas dan kesal yang ada di hatiku selama ini mendadak hilang...

Aku tertegun selama beberapa detik dengan kecantikan dan tingkahnya, sampai melupakan suasana disekitarku...

"Ayo semangat! Dikit lagi masuk kok, sudah benar teknik lu," ucapku yang mencoba untuk fokus kembali. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya bola yang dilempar Putri masuk ke ring. Peluit berbunyi menandakan waktu sudah habis. Total bola yang dia masukan hanya 3, tapi Putri terlihat senang sekali.

"Makasih Bud," ucapnya sambil berlari kecil menuju temannya.

Aku kembali ke teman-temanku dan kulihat Putri seperti membicarakan sesuatu dengan kedua sahabatnya, dan dia sesekali melirik padaku. Itulah awal mula tembok es itu mencair dan aku mulai mendekatinya. Butuh waktu dua bulan sampai aku mengutarakan isi hatiku dan Putri menerimanya.

Dia mulai terbuka dan menjelaskan alasannya kenapa dulu membenciku. Semua itu karena aku bersahabat dengan 4 orang yang merupakan salah satu kubu pembuat onar di sekolah. Setelah mengenalku lebih dekat, Putri meyakini kalau aku adalah orang baik, dan menyuruhku untuk menjauhi 4 orang itu. Dua dari mereka adalah sahabatku dari Es De, jadi aku tidak bisa menuruti keinginannya.

Aku terbangun dari lamunanku...

Setelah terjebak macet parah dibawah terik matahari yang menyengat, akhirnya aku sudah sampai di depan rumah dua lantai yang besar milik orangtua Putri. Melihat rumah ini selalu membuatku minder, rasanya aku tidak pantas untuk menjejakan kaki disana.

Pada siang hari seperti ini, biasanya hanya ada ART dan omnya yang bernama Yanto. Om Yanto ini adalah seorang pengangguran pemalas yang sudah bertahun-tahun menumpang hidup kepada orangtua Putri. Orangnya sombong, tidak pernah membalas saat di sapa, bahkan melihatku dengan sudut matanya. Sikapnya membuatku tidak memperdulikan orang ini dan tidak pernah menyapanya lagi.

Putri tidak membalas SMS dan teleponku, jadi aku memencet bel rumahnya. Setelah beberapa menit dan tidak ada orang yang keluar, aku memencet belnya sekali lagi.

Dari sela-sela gerbang, aku melihat ART-nya yang bernama Wati keluar rumah dan berjalan cepat kearahku dengan terburu-buru sambil merapihkan rambut, kaos dan rok yang acak-acakan. Aku sempat melihat susunya bergoyang-goyang bebas tanpa bra dan ada tonjolan puting. Dia memberitahu bahwa Putri ada di kamarnya, lalu mempersilahkanku untuk memasukan motor dan menunggu di teras.
 
Terakhir diubah:
Setelah memasukan motor, aku duduk di sebuah kursi kayu antik sambil memandangi taman kecil di halaman rumah Putri. Rumah ini berada di dalam sebuah komplek yang tertutup untuk umum, bahkan tukang jualan saja tidak boleh masuk.

Suasananya sunyi sekali walaupun siang hari, hanya ada suara burung pipit liar yang berkicau. Aku bahkan bisa mendengar suara langkah kaki di dalam rumah yang mendekat kearahku. Wati yang cantik dan masih muda ini keluar dan memberitahuku kalau Putri sedang tidur dan Wati memintaku untuk menunggu. Dia tidak berani membangunkan karena biasanya "tuan putri" akan marah jika dibangunkan.

Wati lalu masuk lagi ke dalam rumah dengan terburu-buru. Pada awalnya aku berpikir dia baru bangun tidur siang, jadi rambutnya acak-acakan dan tidak memakai bra. Tapi firasatku merasakan ada yang janggal dengan gelagatnya.

Beberapa menit kemudian, aku mendengar ada suara kecil yang tidak terlalu jelas. Suara itu hanya terdengar beberapa detik dan sunyi lagi... Lalu terdengar dan sunyi lagi... Suara ini menimbulkan tanda tanya di benakku.

Yang terlintas pertama kali di pikiranku adalah perampok, dan seketika aku khawatir dengan keadaan Putri. Tidak sempat terpikirkan rasa takut, aku memutuskan untuk mengecek sumber suara itu.

Bangunan rumah ini tidak menyentuh tembok samping pembatas dengan tetangga, jadi ada lorong kecil di kedua sisi rumah ini. Aku tidak berani untuk masuk dari pintu depan, walaupun pintu tersebut terbuka lebar. Rasanya sungkan dan aku tidak ingin disangka lancang atau dicurigai ingin mencuri.

Suara yang berasal dari arah kiri menuntunku berjalan mengendap ke lorong sebelah kiri. Ruangan pertama yang kulewati adalah kamar orangtua Putri yang dari jendelanya terlihat rapih dan kosong. Setelah jendela itu ada pintu kaca besar yang menembus ke tengah rumah, dan kosong. Ruangan selanjutnya adalah ruang makan, yang semakin aku mendekat, semakin terdengar suara aneh itu.

Aku mengintip dari sudut jendelanya, dan diruangan tersebut ada om Yanto yang sedang duduk di atas kursi meja makan yang membelakangi jendela . Di pangkuannya ada Wati yang juga membelakangi jendela. Mereka berdua sedang telanjang bulat dan bercinta.

Dari sudut 45 derajat sisi belakang nampak susu yang menonjol mengayun ke atas dan ke bawah mengikuti gerakan tubuhnya. Tangan kanan Om Yanto menjambak rambut Wati dan menariknya. Wati mengerang, lalu Om Yanto menutup mulut Wati dengan tangan kirinya agar tidak berisik.

Gerakan tubuh Wati yang liar membuat kursi yang mereka duduki bergeser sesekali dan mengeluarkan suara. Krekkk... krekkk... krekkk... Ternyata yang aku dengar daritadi adalah suara erangan Wati dan suara kursi itu.

Om Yanto meremas-remas kedua susu Wati dari belakang dengan kasar. Erangan Wati terdengar kesakitan, tapi menikmatinya karena setelah itu goyangan pinggulnya semakin cepat dan liar.

Tangan kanan Om Yanto kembali menjambak rambut Wati, dan tangan kirinya sekarang mengarah ke depan dan sedang mengocok klitoris dengan cepat dan kasar. Tidak lama kemudian, Om Yanto mengatakan kalau dia akan keluar dan menyuruh Wati untuk menghisap joninya.

Wati mengangkat tubuhnya dan hendak membalik badan untuk berjongkok dan menghisap joni Om Yanto. Aku menarik kepalaku dan mendengar suara becek dari mulut Wati yang sedang mengulum. Daripada ketahuan, aku kembali ke teras dengan mengendap-ngendap.

Aku menunggu di teras sambil ditemani sebatang rokok yang sedang kuhisap. Beberapa saat setelah rokok itu habis, Putri datang dengan muka bantalnya. Aku memberitahu kalau aku diterima kuliah, dia nampak senang dan mengucapkan selamat. Dia lalu menarik tanganku dan mengajak untuk ke kamarnya. Aku sudah sering ngewe di kamarnya, tapi biasanya menunggu Om Yanto melayap.

Hubungan Putri dan Om Yanto tidak terlalu baik. Putri menganggap pamannya ini adalah benalu yang menumpang makan dan tidur bertahun-tahun di rumahnya. Belum lagi dia sering ikut campur saat Putri ada masalah dengan orangtuanya. Pacarku ini tidak pernah membalas sapaan Om Yanto dan selalu memalingkan mukanya seakan pria paruh baya ini tidak ada.

Aku sempat menolak permintaan pacarku untuk ke kamarnya, karena takut Om Yanto memberitahu orangtua Putri. Tapi dia sepertinya sudah kangen berat dan terus memaksa sambil menarik-narik tanganku. Tingkah centil dan manjanya seakan menghipnotisku, sampai akhirnya aku berjalan mengikutinya dengan pasrah.
 
Bimabet
Kamar Putri besar, lengkap dengan AC dan kamar mandi dalam. Semua barang tertata rapih dan ruangannya beraroma lavender. Di atas meja belajarnya terlihat iPhone generasi pertama yang saat itu baru rilis, berbeda kelas dengan HP-ku yang masih berbasis Java. Aku membalik kursi dari meja itu dan menaruh jaketku pada senderannya.

Aku duduk di kursi, rasanya nikmat sekali masuk di ruangan ber-AC sehabis bermandikan teriknya matahari. Putri mengunci pintu kamar lalu duduk di ranjang menghadap ke arahku. Wajahnya cantik, tubuhnya tinggi, langsing, berkulit kuning langsat, mulus tidak ada bekas luka sedikitpun, dan susunya besar.

"Ayang lama banget... Aku sampai ketiduran nungguin..." ucapnya sambil cemberut dan bertolak pinggang.


"Aduhhhh kasian ayang nunggu ya... Sorry ya ayang... Tadi macet soalnya..."

Sebenarnya menye-menye begini bukan sifat asliku, dan aku tidak suka melakukannya. Tapi tuan putri yang satu ini ingin dimanja dan disayang-sayang seperti anak kecil. Aku senang saat melihat dia senang, jadi aku beradaptasi untuk memberikan apa yang dia mau.

Putri mengatakan kalau dia kangen dan langsung mengajak bercinta. Nafsu dia memang besar, tiga hari tidak ngewe saja sudah begitu. Tentu saja aku tidak langsung mengiyakan dan ingin menggodanya. Aku berpura-pura menolak dengan alasan karena capek habis terjebak macet.

Dia lalu menggerakan tubuhnya kesana-kemari sambil merengek-rengek seperti anak kecil yang sedang meminta dibelikan permen. Aku tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lakunya, dan tetap menolaknya. "Ayolah ayanggggg..." sambil cemberut dan tangannya meremas-remas selangkangannya.


Tidak tega lagi melihatnya, aku mulai berdiri dan dengan perlahan membuka kaos, celana jeans, dan boxer. Dia terus menggosok selangkangannya sambil memperhatikanku. Aku mengocok si joni sampai tegang lalu mengarahkannya ke mulut Putri, dan dia mulai mengulumnya.

Tekniknya biasa saja, tapi wajahnya yang cantik memberikan sensasi yang luar biasa. Setelah beberapa lama, aku menarik si joni dan membuka tank top hitam yang dikenakan Putri. Aku meremas dengan lembut bra ungu beserta isinya, lalu membukanya.

Nampak dua susu yang bulat, mulus dan masih kencang. Lingkaran putingnya kecil, begitu juga dengan pentolnya yang berwarna cokelat muda. Dulunya pentol ini dempes tidak menonjol, tapi sekarang agak menonjol keluar karena sering aku hisap.

Aku menarik celana pendek dan celana dalamnya sampai dia telanjang bulat. Tidak seperti biasanya, selangkangannya tampak botak tanpa bulu, dan aku menanyakan tentang hal ini. "Biar terlihat bersih... Ayang suka nggak?" jawab Putri. "Kalau aku lebih suka yang berbulu... Tapi kalau kamu lebih nyaman begini, ya tidak apa-apa," balasku.

Aku ingin melihat lebih dekat dan menjilatnya, namun Putri bilang kalau dia malu lalu melipat kakinya ke samping. Aku mau buka kakinya, dan dia berbalik lagi ke arah lainnya. Begitu saja terus sampai aku gemas sendiri.


Dia memang agak rewel dan senang memancing untuk dirayu, tapi kali ini aku tidak bisa meladeninya. Om Yanto ada di lantai bawah, dan aku tidak mau digerebek, jadi aku harus menyelesaikannya dengan cepat. Muncul sebuah ide untuk mengewe sambil berdiri, agar aku tidak harus melihat ke arah lubangnya dan dia tidak akan merasa malu.

Putri meraih kedua tanganku yang kusodorkan di depannya. Aku tarik dia sampai berdiri, lalu aku peluk dan arahkan sampai tubuhnya membelakangi dan menyentuh tembok.

Mata Putri terpejam dan tubuhnya sedikit menggeliat setelah aku menghisap putingnya. Kami mulai bercumbu dengan liar sembari aku meremas-remas susunya sedangkan dia mengocok si joni. Aku mengusap lubangnya dan terasa sudah mulai basah.

Aku mengangkat kaki kirinya menggunakan bagian dalam lengan kananku dan menahannya. Aku mengarahkan si joni dengan tangan kiriku dan mengarahkan ke lubangnya.

Beberapa kali kugesekan kepala joni ke sela lubangnya sebelum memasukannya. Lubangnya terasa sempit dan menggigit. Hembusan nafas Putri semakin kencang, terasa meniupi wajahku. Kami lalu bercumbu dengan liar sambil menggerakan pinggul kami.

Postur badan Putri yang tinggi membuatku nyaman melakukan gaya ngewe ini tanpa membuat kakiku pegal. Aku mempercepat goyangan pinggulku. Putri melepaskan ciumannya lalu menyenderkan kepalanya di depan bahuku sambil mendesah.

Aku terus mengewenya dengan irama cepat. Entah setelah berapa lama, tangannya mencengkram erat punggungku dan terasa lubangnya berkedut. Lubang itu menjepit si joni dengan erat, dan aku juga tidak menahannya lagi. Aku menurunkan kaki Putri lalu mencabut si joni.

Putri seperti akan terjatuh lemas dan aku menopang kedua ketiaknya dengan bagian dalam sikuku sambil kuelus bagian belakang kepalanya. Kubiarkan si joni memuncratkan laharnya sendiri.

Setelah tubuh Putri kembali stabil, aku melepaskannya dan kami berdua duduk di lantai. Terlihat daerah selangkangannya sudah basah dengan lendir, dan lahar si joni menetes dari area perutnya.

Kami bercakap-cakap ringan sambil bercanda gurau. Aku mengajaknya nonton di salah satu mall, tapi dia ternyata sudah ada janji dengan kedua sahabatnya yang akan datang sebentar lagi. Jadi aku memutuskan untuk pulang setelah kami mandi bersama.

Putri sempat mengecup bibirku di teras lalu mengantarkanku sampai depan gerbang rumahnya. Aku menyalakan motor hendak memanaskannya sambil membalas lambaian tangan Putri dan melihat gerbang besar itu ditutup.

Motorku belum panas dan aku baru saja mengecek HP dan tiba-tiba gerbang itu terbuka kembali. Yang keluar adalah Om Yanto, dan setelah menutup gerbang itu, dia berlari dan duduk di kursi boncengan motorku. "Ayo maju," ucapnya. "Maju kemana om?" tanyaku. Dia membalas ketus, "Nggak usah banyak tanya, ikutin arahan gw saja."

Aku mengikuti arahannya sampai tiba di salah satu blok yang masih banyak tanah kosong. Dia menyuruhku mematikan motor dan berjalan mengikutinya ke tengah salah satu tanah kosong tersebut. Dia berbalik badan dan menggenggam erat jaket di bagian dadaku dengan tangan kirinya.

"Bangsat lu ya, berani-beraninya ngentot ponakan gw!" teriaknya penuh amarah.

Pada awalnya aku tidak mengaku, tapi ternyata dia menguping saat aku dan Putri bercinta, jadi aku tertangkap basah dan tidak bisa mengelak lagi.

Aku bukan orang yang tempramental, dan tidak pernah marah dengan caci maki verbal. Tapi emosiku gampang tersulut saat ada kontak fisik seperti ini. Walau begitu, mengingat dia adalah orang yang lebih tua, aku berusaha meredam emosiku dan tetap tenang.

"Sebelumnya saya minta maaf ya om. Saya melakukan itu dengan Putri atas dasar cinta dan tanpa paksaan."
"Sekarang om maunya saya gimana?"

Dia berusaha mendorong badanku, tapi aku menahan kakiku sehingga tubuhku tidak bergeming. Terlihat dia semakin kesal dan beberapa kali berusaha menarik dan mendorong jaketku yang digenggamnya.

"Gw mau lu putusin Putri dan jangan pernah temui dia lagi selamanya!" ucapnya dengan penuh emosi.

"Maaf om, nggak bisa... Putri akan sedih jika saya memutuskannya tanpa alasan yang tidak jelas."

"Nggak tau diri ya! Lu nggak pantas untuk Putri!"
"Lu itu orang miskin!" lanjutnya.

Ini menyulut emosiku sampai badan dan kepala ini terasa panas. Aku punya harga diri dan tidak terima jika diinjak-injak seperti itu oleh siapa pun.

Walau emosi, aku tetap menggunakan nada rendah dan berusaha tenang.
"Om, lu nggak usah sok suci, lu juga sering ngentotin Wati, ART Putri kan? Gw tadi lihat lu di ruang makan."

Dia mengambil ancang-ancang ingin memukulku, tangan kanannya mengepal dan terangkat.

"Om, gw kasih tau dulu ya, gw ngga akan pernah memukul orang duluan."
"Tapi sekalinya gw dipukul, gw nggak akan menahan diri dan akan membalasnya dengan sekuat tenaga."
"Ayo silahkan kalau mau memukul," ucapku sambil menyodorkan pipiku.

"Nantang lu ya!... Lu pikir gw takut?!... Gw ngga takut sama lu!..." balasnya tapi tidak memukul juga.

Aku sudah sering bertemu orang yang "berisik" seperti ini, jadi aku yakin dia tidak akan memukul. Aku genggam tangan kirinya yang sedang menggenggam jaketku dan menghempaskannya. Tubuhnya sedikit oleng lalu dia menurunkan tangan kanannya.

"Gini ya om, coba kita rundingkan secara baik-baik."
"Saya dan Putri saling mencintai, dan melakukan hal itu tanpa paksaan."
"Kalau misalnya om memberitahu orangtua Putri tentang ini dan kami sampai putus, jujur saja saya pasti sedih, tapi selanjutnya akan melanjutkan hidup seperti biasanya."
"Tapi bagaimana dengan om? Kalau ketahuan sudah bercinta dengan Wati, mungkin kalian berdua akan diusir. Wati akan pulang ke kampungnya, sedangkan om akan tinggal dimana?"

Raut wajahnya berubah dari penuh amarah menjadi terlihat cemas.

"Bagaimana kalau kita berdua merahasiakan hal ini."
"Rahasia om akan aman selama om tidak membocorkan rahasia saya."

"Dan satu hal lagi, jangan pernah ikut campur saat Putri ada masalah dengan orangtuanya."
"Itu urusan pribadi keluarga mereka dan om adalah orang luar yang seringnya malah memperkeruh suasana."

"Keputusan terakhir terserah om, bagaimana?"

Aku mengeluarkan rokok dan menawari Om Yanto, kami berdua merokok sambil berdiri dan terdiam. Akhirnya dia menyetujui kedua syaratku. Aku menyuruhnya untuk pulang berjalan kaki karena aku malas untuk mengantarkannya.

Pikiranku campur aduk saat perjalanan pulang...

Aku merasa memang tidak pantas untuk Putri. Timbul rasa bersalah sudah selingkuh dengan Tante Bunga dan Susi. Seharusnya aku dapat menahan hawa nafsuku dan bersyukur telah mendapatkan Putri, seorang wanita yang sempurna dalam segi apapun.

Melihat "chemistry" dan postur tubuh kami yang klop, banyak orang yang memuji bahwa kami adalah pasangan ideal. Yang tidak setuju hanyalah orangtua Putri, Om Yanto, dan keluarga besar mereka.

Orangtua Putri ingin anaknya mendapatkan pacar yang selevel dengan mereka. Aku memahami dan tidak menyalahkannya, karena merupakan hal yang wajar jika orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Mungkin juga mereka takut aku berniat memoroti anaknya.

Saking seringnya disindir dan dihina membuatku lama-kelamaan merasa capek. Firasatku mengatakan kalau hubungan ini tidak akan panjang, terlalu banyak perbedaan, dan terlalu banyak gangguan dari sekitar. Yang membuatku bertahan hanyalah rasa cinta Putri yang besar. Jika aku memutuskannya sekarang, hatinya pasti akan hancur, dan aku tidak mau itu terjadi.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd