ga ada ss dichapter ini ya
"Na..na...hmm...hmn.." Seorang wanita berambut hitam kebiruan indah sedang bersenandung sambil mencuci piring-piring kotor didapur, entah darimana datangnya sepasang tangan kekar sudah memeluk pinggangnya dari belakang dan mendaratkan ciumanya dipipi sang ibu yang masih cantik diusianya yang sudah 40tahun. "Julian..." Lisna tau itu suami tampannya yang sedang memeluknya.
"Selamat pagi..." Bisik Julian dengan senyumnya, Lisna memerah pipinya atas perlakuan suaminya yang juga masih terlihat tampan dan lebih muda dari usia 45nya.
"Kita sudah terlalu tua untuk bermesraan ditempat terbuka Julian.." Lisna mengingatkan suaminya yang masih suka sembarangan memeluk dan mencium istrinya tercinta dimanapun.
"Memangnya kenapa? kau istriku," Sebuah ciuman didaratkannya ditengkuk sang istri yang langsung membuatnya berjingkat kegelian.
"Mmmmhh... tidak apa-apa, hanya saja...ssh! Awh!" Kalimatnya terputus saat lidah sang suami menyapu lembut lehernya yang putih. Pasangan suami istri Nugraha itu tampak terbawa suasana romantis yang mereka ciptakan.
"Apa hanya ingin mengingat masa muda ki-"
"Ayah...Ibu selamat pagi," Pemuda berambut jabrik yang sedari tadi memperhatikan kemesraan orang tuanya itu terlihat berantakan, entah sejak kapan Aga datang, kedua orang tuanya sampai tak mendengar suara mobil anak kesayanganya itu.
"Aahaha... Aga, sejak kapan kau ada disana? Ibu tidak melihatmu," Lisna salah tingkah dan melepaskan pelukan suaminya.
"Ibu sibuk bermesraan dengan Ayah, jadi tidak mendengar suara mobil rongsokanku," Jawab Aga.
"Aga?!" Julian agak mendelik saat Aga lagi-lagi membahas mobilnya. Sedangkan Aga hanya diam mengacak-acak rambutnya lalu berjalan malas menaiki tangga menuju kamarnya, tanpa memperdulikan tatapan ayahnya.
"Dia masih marah..." Desis Julian memperhatukan punggung anaknya yang semakin menjauh dan menghilang dibalik kamarnya.
"Sudahlah... biar aku saja yang membujuknya," Lisna mengusap punggung suaminya yang wajahnya sangat tampan mencoba menenangkan.
"Baiklah, aku mengandalkanmu Lisna," Jawab Julian tersenyum, "Aku mau kopi," Lanjutnya sambil mencium pipi sang istri lagi.
Aga menghempaskan tubuh tegapnya ketempat tidur besarnya, mengusap-usap wajahnya dengan kedua telapak tanganya.
Menghela nafas lalu menghembuskanya, Aga masih frustasi atas kejadian satu minggu lalu. Ada setitik rasa bersalah didadanya. "Rubyyyy..." Bisiknya lirih, bayanganya menerawang, dia sadar tidak seharusnya dia kelewatan terhadap gadis itu, bagaimanapun niat awalnya tidak seperti itu. Aga hanya ingin menggertak Ruby, tapi alkohol sialan itu membuat rencana awalnya berubah.
'Tok..tok..tok...' Pintu kamar Aga
diketuk dari luar. "Aga? Boleh Ibu masuk?" Suara lembut Lisna membuyarkan lamunan pemuda tanggung yang tampak kurang tidur itu.
"Eh" Aga menoleh kearah pintu yang belum dibuka, "Masuklah Ibu, tidak dikunci."
Kriieett... Suara pintu kamar Aga terbuka, menampakan sesosok malaikat cantik tanpa sayap, yah setidaknya itulah julukan ibu Aga saat ibunya tersenyum lembut seperti itu.
Aga bangkit lalu duduk ditempat tidurnya, wajahnya masih kusut dan rambutnya berantakan. Tentu saja, sudah beberapa hari ini Aga tidak mandi dan kurang tidur. Lisna mendekatinya dan duduk disamping Aga. "Kau masih marah pada Ayah? Kau terlihat tidak sedang baik-baik saja," Lisna mengusap kepala Aga penuh kasih sayang.
"Tidak, aku benar-benar tidak apa-apa Ibu," Jawab Aga singkat. Tapi tetap dengan wajah yang muram.
"Kau tidak bisa bohong dari Ibumu," Batin Lisna dalam hati.
Aga berbisik dalam hatinya bahwa ibunya kali ini salah. Bukan, bukan karena Aga gagal dibelikan mobil baru seperti yang diketahui ibunya, tapi ada masalah lain yang lebih besar dibanding memiliki mobil idamannya. Memang mobil Lamborghini Veneno seharga US 4 juta atau sekitar 41 miliar rupiah itu seharusnya menjadi miliknya ,mobil yang tadinya akan dihadiahkan untuknya jika bisa mewakili olimpiade kimia tahun ini. Tapi sekali lagi, kali ini bukan karena itu Aga uring-uringan tidak jelas, melainkan karena gadis yang sudah membuatnya gagal telah ia nodai.
Memang tadinya Aga sangat marah ketika ia gagal dalam seleksi olimpiade kimia, karena itu artinya ia juga akan kehilangan kesempatan memiliki mobil idamanya itu. Sampai-sampai ia mengorbankan harga dirinya dengan melukai gadis yang tidak tau apa-apa. Tapi kini kenyataanya lain, setelah melukai gadis selembut itu Aga malah diselimuti rasa bersalah dan tak lagi berhasrat memiliki mobil mewah itu. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Meminta maaf? Ah itu sama saja membunuh dirinya sendiri bukan? Lalu bagaimana jika gadis itu melapor?
Fikiran Aga benar-benar tidak fokus. "Aga?" Lisna membuyarkan pikiran kalut anak semata wayangnya itu.
"Eeeibu aku, aku mau mandi dulu," Sebelum ibunya menanyai ini itu Aga berpamitan untuk mandi.
"Baiklah... sebaiknya kau tinggal disini dulu, kau harus memperbaiki hubunganmu dengan Ayah," Lisna mengacak-acak rambut kecoklatan anak kesayanganya itu, "Dan jangan lupa segeralah turun jika sudah selesai mandi, Ibu buatkan kau soto special kesukaanmu." Ibu bersurai indigonya tersenyum dan Aga hanya mengangguk, lalu beranjak dari tempat tidurnya untuk mandi.
Maaf Ibu aku tidak bisa jujur mengatakan semuanya saat ini.
Ruby mengayun-ayunkan tubuh mungilnya diatas ayunan kayu, dibawah pohon besar dipekarangan rumahnya. Sampai sebuah suara langkah kaki yang mendekatinya membuatnya menoleh memastikan siapa yang datang. " Ayah?"
"Ayah dengar dari Kakakmu, kau sudah satu minggu tidak kesekolah. Ada apa?" Henry Hanggoro bertanya kepada putrinya, dan duduk dikursi taman disamping ayunan Ruby.
"Eh...itu, aku.." Ruby ragu.
"Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk tidak bertanggung jawabkan?" Henri meneruskan kalimatnya. Sementara Ruby menundukan kepalanya berusaha menyembunyikan raut wajahnya.
"Sekarang katakan pada Ayah apa sebenarnya masalahmu?"
Ruby masih tetap bungkam menahan lelehan dimatanya yang sudah siap menetes, Ruby tak tau apa yang harus dikatakanya. Apa dia mengaku saja? Tidak mungkin. Ayahnya bisa saja membunuhnya sekarang, bahkan Gary pasti akan membencinya. Walau Ruby tau ini bukan kesalahanya.
"Setau Ayah anak satu-satunya wanita kuat seperti Mawar tidak secengeng ini," Sindir Henri melihat anaknya dan wanita bernama Mawar menangis."Kalau kau tidak mau mengatakanya pada Ayah, Ayah anggap kau mampu menyelesaikan masalahmu sendiri. Jika memang begitu... Ayah tidak ingin melihatmu menangis lagi!" Ucap Henri tegas, pria berusia 51tahun itu memang terkenal sangat tegas. Jarang tersenyum dan selalu bersikap datar, kadang raut wajahnya selalu masam membuat orang yang belum mengenalnya pasti akan menilainya jahat.
Ruby masih menundukan kepalanya, menyembunyikan tangisnya yang semakin deras,meski begitu ia tetap berusaha agar berhenti menangis.
"Sekarang istirahatlah, sudah malam. Angin malam tak baik untuk anak gadis Ayah," Henri menunggu Ruby turun dari ayunanya, sedikit tersenyum karena ternyata anaknya sudah mulai dewasa. Pasti hal yang membuatnya menangis adalah pria teman sekolahnya, ya masa muda memang selalu begitu. Jatuh cinta lalu patah hati memang sudah wajar kan? Namun sayang masalahnya tak semudah itu tuan Hanggoro.
Lalu Ruby menghapus air matanya dan turun dari ayunan kayu miliknya, tersenyum kepada ayahnya. "Terima kasih Ayah, dari dulu memang Ruby gadis yang kuat seperti Ibu." Ruby tersenyum, kalau mengingat ibunya memang wanita itu sangat kuat. Dan mulai malam ini Ruby berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan semua kejadian yang menimpanya, menguatkan hatinya jika disekolah nanti bertemu dengan Aga Nugraha, pria yang sangat ingin dia bunuh. Bunuh? Sejak kapan Ruby mempunyai pikiran seperti itu? Ruby tersenyum kecut mengingat wajah Aga.
Entahlah...yang Ruby rasakan saat ini hanyalah membenci Aga, namun kali ini Ruby tidak akan mendundukan kepalanya lagi jika berhadapan dengan pemuda bernama lengkap Aga Nugraha itu.
---***---
Aga sedang berada dikoridor sekolah bersama Arslan dan beberapa teman mereka yang lainya. Entah membicarakan apa tapi terlihat begitu seru dan menyenangkan, gelak tawa tampak menghiasi wajah pemuda-pemuda kaya, bersih dan tampan itu.
Seragam yang mereka kenakan membuat mereka semakin terlihat berkelas dan khas kaum elit. Jas sekolah hitam dengan kemeja berwarna putih dipadukan dengan dasi bergaris garis putih dan hitam. Tidak salah memang jika sekolah ini hanya diperuntukan untuk anak-anak orang kaya dan pintar saja seperti mereka.
Ruby menghentikan langkahnya, dadanya berdegup kencang saat melihat siapa yang sedang ada dikoridor sekolah yang akan dilewatinya. Berbalik atau terus berjalan menganggap pemuda bernama Aga yang telah merusak hidupnya itu tidak ada?. Tapi... jujur saja Ruby masih takut. Melihat rambutnya dari kejauhan saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri, Ah bukankah dia sudah berjanji pada Ayah dan dirinya sendiri untuk tidak takut menghadapi siapapun? Termasuk menghadapi pemuda bermata biru Itu bukan?
Setelah menimbang-nimbang keputusannya akhirnya Ruby memutuskan untuk meneruskan langkahnya. Ia kepalkan kedua tangannya menguatkan dirinya sendiri dan melangkah, tidak dipungkiri dadanya berdegup kencang, wajahnya mulai pucat saat bayangan didepanya semakin terlihat jelas.
Dan kerumunan para pria itu menghentikan candaanya, lalu mengalihkan pandanganya kepada Ruby. Tak terkecuali pemilik iris sebiru langit yang kini melebarkan matanya melihat Ruby yang semakin mendekat. Ruby mengumpulkan keberaniannya saat mulai melewati Aga, tapi entah siapa yang merasukinya tiba-tiba ia berhenti didepan Aga yang bersandar tiang koridor. Disampingnya ada Arslan yang memilih memalingkan wajahnya memperhatikan Yuka yang sedang bergurau dengan teman-temanya. Arslan tidak mau ikut campur, sedangkan Juna dan yang lain menunggu apa yang akan dilakukan gadis yang terkenal pendiam yang sekarang sedang memiliki pandangan dan aura kebencian disekelilingnya.
"Mau apa kau Hanggoro!" Bentak Aga menajamkan tatapannya, meski didalam dadanya sama-sama berdegup kencang tak kalah dengan Ruby, sedangkan Ruby masih tak bergeming. Hanya menatap tajam seakan dengan tatapan itu Ruby berkata 'Kubunuh kau brengsek!'
"Apa? Kau lihat apa?" Aga kembali membentak Ruby, Ruby mengangkat tanganya.
'Plakkk!
"Ouufh!" Juna dan yang lain memegang pipi masing-masing dengan wajah yang konyol saat tangan mungil Ruby menampar pipi Aga, Arslan hanya menoleh sebentar tersenyum sinis lalu kembali memandangi Yuka, meski dalam hati sedang menertawakan sahabatnya itu.
"Kau Bajingan! Nugraha!" Ruby berteriak dan mengangkat tangannya lagi, ia akan memukul Aga tapi tangan Aga berhasil menahanya.
"Hei apa yang sebenarnya terjadi padanya Aga?" Tanya Juna yang tak mengetahui apa-apa.
Juna sudahlah, biarkan mereka dan jangan ikut campur," Arslan akhirnya ikut angkat bicara, walau hanya menyuruh Juna diam.
Aga menarik paksa pergelangan tangan Ruby menjauh dari teman-temanya. Ruby berusaha melepaskanya namun sia-sia karena tenaganya terlalu lemah, ternyata Aga membawanya kebelakang sekolah yang sepi lalu mendorong dengan kasar tubuh Ruby ketembok ruang kelas.
Auh! Ruby meringis kesakitan, memegangi pergelangan tangannya yang memerah akibat cengkeraman kuat Aga sekaligus punggungnya yang terantuk tembok.
"Apa sebenarnya maumu! Ha?!" Teriak Aga meluapkan emosinya, hampir saja Ruby membongkar kelakuan memalukan Aga didepan teman-temanya. Dan itu artinya hidup Aga hampir saja tamat. Padahal kan Ruby sebenarnya juga tidak berani mengaku telah diperkosa pria yang kini sedang menatapnya dengan raut wajah yang memerah tanda ia sangat marah.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu Tuan muda Nugraha yang terhormat!" Bentak Ruby, air matanya mulai menetes, walau daritadi ia tahan sekuat mungkin. "SEKARANG KATAKAN PADAKU! APA SALAHKU KEPADAMU! KENAPA KAU TEGA MENYAKITI AKU Aga?!" Ruby meninggikan suaranya, emosi dan tangisnya meledak.
Aga mengepalkan kedua telapak tanganya, giginya tergeretak menatap tajam tubuh mungil tak berdaya didepanya. Dia tak tahu harus berkata apa, dia bingung sekaligus takut.
Lalu entah siapa yang menyuruh Aga, tanganya tak ragu mengangkat rahang Ruby dan mencengkeramnya dengan kasar. Ruby mendongak dengan mata dan pipi yang basah. "KAU MAU TAU JAWABANYA!?" Aga membentak Ruby yang terlihat kesakitan, tangannya berusaha menyingkirkan tangan Aga tapi tidak bisa. "KARENA AKU MEMBENCIMU!"
DEGH! Benci? Salah apa dirinya sampai Aga membencinya', batin Ruby.
"DAN AKU PERINGATKAN KAU! JANGAN PERNAH MENGGANGGUKU! DAN JANGAN PERNAH MEMBOCORKAN SEMUANYA! ATAU..." Aga menghentikan kalimatnya, memikirkan kata apa yang akan diucapkanya, setidaknya hal yang akan membuat Ruby bungkam. "KAU AKAN KUBUNUH!" Bunuh? Hah lucu sekali, setelah memperkosanya kini bunuh, apa yang Aga katakan? Gadis itu begitu ketakutan, kau bodoh Aga!
Aga sadar kata-kata spontanya membuat Ruby sangat ketakutan, merasa keterlaluan Aga melepaskan tanganya dari rahang Ruby. Sekilas Aga mengagumi bibir Ruby yang berwarna pink saat bibir itu berbentuk seperti bibir ikan waktu tanganya mengangkat rahang Ruby tadi.
Bibir yang lembut, bibir yang pernah dicium Aga dengan paksa, Ah apa yang dia pikirkannya, Aga menggelengkan kepalanya membayangkan 'rasa'nya bibir Ruby waktu itu.
Ruby masih terisak atas perlakuan Aga, sedangkan perasaan Aga begitu campur aduk antara kasihan, dan juga khawatir Ruby akan membocorkan perbuatan kejinya.
Lalu Aga memilih meninggalkan Ruby sendirian yang masih terus terisak, sementara didalam hatinya mengutuk Aga mati-matian, dia berdoa agar pemuda itu cepat-cepat mati.
---***---
Ruby berjalan pelan memasuki kelasnya, kelas yang diatas pintu masuknya bertuliskan angka 3-2, kelas yang ia rindukan tentu saja. Baru menginjakan kakinya dipintu kelas, "Ruuuu!" Teriak antusias seorang gadis berkuncir kuda yang tampak bersemangat, lalu berlari menghambur memeluk Ruby.
"Yuka..."
"Ruu... kupikir kau tidak akan pernah mau lagi kesekolah dan bertemu denganku, aku kesepian Ruu..." Suara Yuka memelan, memeluk sahabatnya, menumpahkan rasa rindunya.
"Yuka, aku kan sudah disini..." Kata Ruby tersenyum manis.
"Apa kau baik-baik saja Ruu?" Tanya Yuka, memperhatikan tubuh sahabat kesayangannya yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya, dan mata Ruby yang membengkak. Ruby mengangguk, mengiyakan bahwa dia baik-baik saja. "Kau habis menangis lagi ya?" Tanya Yuka khawatir.
"Yuka... sudah kubilang aku tidak apa-apa, kau terlalu menghawatirkanku, seperti Gary saja," Ruby menggembungkan pipi gemasnya melihat sahabatnya yang selalu berlebihan.
"Oke oke...baiklah, yang jelas kau sudah kembali. Ayo kita duduk, sebentar lagi pasti Guru Jiro datang," Ajak Yuka, lalu mereka duduk dibangku masing-masing.
Beberapa teman Ruby mengerubutinya, menanyakan kabarnya yang sebenarnya yang hanya dijawab dengan kata-kata 'Aku sakit, Kak Gary sibuk tidak sempat mengantarkan surat dokter kesekolah. Dan kebohongan-kebohongan yang lain yang dibuat gadis cantik itu.
---***---
"Ruby..." Yuka memecah keheningan ditengah kebisuan suasana taman belakang sekolah, tempat dimana dan ia dan Ruby sering mencurahkan perasaan.
"He? kenapa Yuka?" Jawab Ruby sambil menyedot Teh dalam kotak yang dibelinya dari kantin.
"Maaf ya kalau aku terlalu ikut campur urusanmu, tapi..." Belum selesai meneruskan kalimatnya, Ruby memotong kalimat Yuka.
"Aku mengerti Yuka, aku memang seharusnya tidak memendam semua ini sendirian." Ruby menundukan kepalanya, mengerti kemana arah perbincangan ini, serapi apapun dirinya menyimpan musibah ini dia tetap tidak sanggup menyimpanya sendirian.
"Aku tidak akan memaksamu Ruu," Gadis yang suka menguncir rambutnya keatas itu tersenyum lembut.
Menghela nafasnya dalam-dalam dan menghembuskanya berlahan. "Aku..." Ruby berbisik pelan, tapi masih bisa didengar sahabat
ponytail yang kini sedang memperhatikanya dengan seksama.
"Aku, sudah kehilangan kehormatanku Yuka," Ruby masih tertunduk, dadanya mulai sesak dan matanya mulai memanas menahan airmata dipelupuk kedua emeraldnya yang indah. Sebentar lagi air suci dari sana pasti akan terjatuh.
"Maksudmu apa, Ruu?" Yuka menautkan kedua alisnya, mencoba memahami maksud Ruby.
"Aga... aku diperkosa Aga!" Pundak Ruby berguncang hebat, kedua pahanya basah oleh titik-titik airmatanya yang mulai berjatuhan dipangkuannya.
"Ja-jadi malam itu??" Yuka menutup mulutnya dengan kedua telapak tanganya mendengar pengakuan Ruby. Ia amat terkejut sekaligus tidak percaya.
"Hidupku sudah Hancur Yuka! Hiks..." Tangis Ruby semakin tak terkontrol, "Bahkan, sekuat apapun aku mencoba menghadapinya aku tetaplah lemah, aku sudah hancur! Tidak akan ada yang mau menikahiku kan Yuka? Bahkan kau tau bagaimana jika Ayah dan Kak Gary tau? aku pasti akan dibunuh!"
Yuka tidak sanggup berkata apa-apa, ia pun mulai menangis lalu mendekap sahabatnya, memeluknya berharap dapat mengurangi luka hati Ruby sahabatnya. "Ruu, jangan berkata seperti itu. Ayahmu tidak akan melakukan hal bodoh semacam itu!" Ucap Yuka menenangkan Ruby, mengusap punggung Ruby. "Kalau kau mau aku bisa menemanimu melaporkan semua ini ke pihak berwajib!"
"Tidak Yuka... jangan," Ruby melepaskan pelukan Yuka, lalu menghapus airmatanya dengan kedua punggung tanganya dan tersenyum meski hatinya masih sakit, "Menghukum Aga dengan cara itu, juga tidak akan membuat kegadisanku kembali kan? Bahkan resikonya, semua penghuni sekolah akan tau kalau aku diperkosa dan aku tidak siap menanggung malu Yuka..hiiks," Ruby menutup wajahnya dengan kedua telapak tanganya, pundaknya berguncang-guncang, ia menangis lagi.
"Ruby..." Yuka kembali memeluk Ruby, menyalahkan dirinya kenapa ia tidak menemani Ruby malam itu, kenapa saat inipun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Payah Yuka benar-benar merasa payah dan tidak berguna.
---***---
3 Minggu kemudian...
Kamar apartemen yang lebih pantas disebut kapal pecah itu nampak kedua pemuda tanggung yang sedang asik dengan kegiatannya masing-masing disana.
"
Playboy tengik, ambilkan aku aspirin dikotak depanmu itu." Perintah Aga pada pemuda dengan model rambut yang mirip personil
boyband.
"Ini,"
"
Playboy sial, ambilkan aku air disampingmu itu,"
"Ini!"
"Arslan, aku mau makan pisang,"
"Iya!"
"Arslan..."
"Apa lagi Bodoh!" Bentak Arslan yang sedari tadi diperintah-perintah Aga kesal karena menganggu jalannya game yang sedang ia mainkan.
"Arslaaaan, aku kan hanya minta tolong, begitu saja marah," Aga ngeles dengan wajah sebal.
"Aku pulang saja kalau kau masih perintah-perintah pemuda keren sepertiku ini," Jawab Arslan kesal. "Atau sebaiknya kau pulang saja kalau sakit, biar bibi Lisna yang merawatmu! Kau pikir aku ini pacarmu, memintaku menemanimu dan merawatmu?" Arslan bersungut-sungut menanggapi sahabat jabriknya yang tidak tahu diri itu.
"Arslan ayolah... bukanya kau memang pacarku?" Goda Aga, membuat Arslan memasang wajah jijik.
"Kau menjijikan bodoh!" Sebuah bantal melayang kearah Aga, tapi tidak mengenainya karena bantalnya hanya mengenai sudut tempat tidur Aga.
"Hahaha...tidak kena! Aku juga jijik padamu," Aga terkekeh dengan cengiranya yang khas, "
Playboy busuk kau tau sendiri kan aku sedang malas pulang kerumah," Jawabnya murung.
"Kenapa malas pulang? Kau merepotkanku, kalau kau tidak bisa mengurus dirimu sendiri jangan tinggal sendirian, dan jangan sakit!" Arslan ngomel, tidak biasanya pria yang irit bicara itu banyak bicara. Memang beda urusannya kalau berurusan dengan orang bodoh macam Aga.
"Berisik! Aku mau tidur!" Aga membanting tubuhnya dikasur, menutup wajahnya dengan bantal mulai malas menanggpi Arslan yang selalu memarahinya.
Suasana hening sejenak, hanya suara dari monitor yang menampakan game yang sedang dimainkan Arslan. Layar monitor tidak lama bertuliskan 'You lose, try again!'. Arslab mendengus kesal, lalu menoleh kebelakang dimana Aga sedang berbaring. "Kau apakan lagi gadis itu?" Arslan tiba-tiba membuka percakapan.
Aga memindahkan bantal diwajahnya kesamping, "Hanya memperingatinya supaya tidak membuat kesalahan," Jawab Aga singkat.
"Sebenarnya siapa yang salah? Kau atau gadis malang itu?" Arslan mencoba menekan Aga lagi.
"Dia sudah membuatku gagal menjadi wakil sekolah dan menjadi kebanggan sekolah, dia juga sudah membuatku gagal mendapat mobil baru dari Ayah," Jawab Aga merasa tindakannya sudah tepat.
"Hah! Kau makhluk paling bodoh dan menjijikan Nugraha," Arslan kembali membuat telinga Aga gatal. "Kaupikir apa yang kau lakukan? Hanya karena sebuah mobil dan pengakuan membuatmu menjadi orang yang menjijikan? Bahkan jika itu semua ditukar dengan kesucian Ruby, itu masih sangat kurang!" Lanjut Arslan mencoba membuat sahabatnya itu berfikir.
"Sudahlah, tadinya aku berniat meminta maaf padanya, tapi kau tau kan dia malah menantangku didepan teman-teman? Sebagai seorang laki-laki aku tidak terima!"
"Jangan sebut dirimu laki-laki dasar brengsek! lalu apa hebatnya kalau kau menang melawan Ruby?" Ejek Arslan, "Dia hanya seorang perempuan, kalau kau kalah darinya itu sangat memalukan, tapi jika kau menang, kau juga tidak akan terlihat hebat,"
"Lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan? Kalau harus meminta maaf aku tidak bisa sekarang!" Pemuda penyuka buah nanas itu menjelaskan ketidak siapanya.
"Selain bodoh kau juga pengecut ya!" Arslan melemparkan bantal yang dipakainya duduk kearah Aga. Pemuda itu hanya mengaduh, lalu Arslan naik keranjang Aga berniat tidur.
"Mau apa kau
playboy brengsek?!" Tanya Aga sedikit sebal.
"Tidur, memangnya mau apa lagi?"
"Kenapa tidak tidur disofa?"
"Tidak mau, dingin,"
"Apa kau mau mencoba memperkosaku bocah brengsek?" Goda Aga dengan tampang menggoda.
"Tidak akan! Kau menjijikan dasar bodoh! Menyingkir dariku!"
'Braakkk!"
"Aargh sakit!...Sialan kau! Memangnya ini kamar siapa?!" Aga terjatuh dari ranjangnya setelah ditendang Arslan dengan kuat.
---***---
"Hmm..hooek...umh..hhoek!" Wajah putih itu memerah akibat tekanan dari dalam perutnya yang memaksa ingin dikeluarkan.
"Ruu, sebaiknya kau keruang kesehatan saja ya," Yuka memijat tengkuk Ruby yang sejak pagi mual-mual.
"Aku tidak apa-apa Yuka" Ruby menyeka bibirnya dengan tissue yang diambilnya dari dekat
wastafel.
"Tapi kau terlihat pucat, apa tadi kau sudah sarapan?"
"Sudah Yuka, mungkin aku hanya masuk angin,"
"Baiklah... ayo keruang kesehatan, biar aku gosok perutmu dengan minyak angin," Yuka mengajak Ruby keruang kesehatan. Setelah berjalan melewati perpustakaan dan berbelok Yuka dan Ruby masuk kedalam ruang kesehatan. Ruangan yang lebih pantas disebut sebagai puskesmas daripada hanya sebuah UKS.
"Berbaringlah disini aku akan minta obat Kak Tiara," Yuka pergi meninggalkan Ruby yang berbaring disalah satu ranjang pasien dibilik yang hanya disekat kain putih. Tak lama kemudian Yuka datang membawa sebotol minyak kayu putih lalu mengoleskannya diperut Ruby.
"Bagaimana Ruu, apa kau masih mual?" Tanya Yuka sambil menutup botol minyak kayu putih itu.
"Masih sedikit mual, dan aku merasa sangat pusing," Yuka meringis dan memijat kedua sisi keningnya, pusing juga mual masih dirasakanya.
"Apa sebaiknya aku menelepon Kak Gary agar membawamu kerumah sakit ?" Yuka menawari Ruby untuk pulang karena khawatir dengan Ruby yang masih belum pulih.
"Tidak usah, aku menunggu disini saja sampai Kak Gary menjemputku. Sekarang kau pergilah kekelas, nanti kau terlambat,"
"Baiklah, nanti aku bawakan tasmu kesini ya? Sekarang istirahatlah," Yuka menyelimuti tubuh Ruby sampai kelehernya, lalu meninggalkan Ruby sendirian diruang kesehatan.
Tanpa sepengetahuan kedua gadis cantik itu ternyata pembicaraan mereka sedang didengarkan oleh seorang pemuda berambut
raven yang sedang berbaring disamping ranjang Ruby, tampak lilitan perban membalut kepalanya. Pemuda itu mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Ruby mual, Ruby pusing, hah pasti gadis itu hamil! Itu yang ada didalam kepala pantat ayamnya itu.
"Sekarang, tamat kau bodoh!" Arslan bergumam mengingat Aga, lalu memejamkan matanya. Rasa nyeri didahinya yang didapat karena terantuk sudut meja kaca dikelas Fisika tadi masih terasa perih.
TBC