Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

Halo para suhu sekalian!

Perkenalkan ane Sticky Liquid (pen name), bisa dipanggil Pak Liq.

Setelah lama menjadi silent reader yang diam-diam ngecrot saja, akhirnya ane bisa memberikan kontribusi dalam perlendiran duniawi forum ini. ;)

Cerita ini terinspirasi dari beberapa kisah yang menyentuh hati, baik dari forum ini maupun buku-buku romansa semi-dewasa bacaan ane. Juga berawal dari keresahan ane dalam mencari cinta dan merasa butuhnya menumpahkan dalam sebuah cerita.

Kalau ditanya mulustrasi dong?
Jawab: ane memang sengaja tidak merinci bentuk tubuh dan memberikan mulustrasi agar kita semua bisa memasukkan tokoh kesukaan kita masing-masing. Juga rasanya kalau ane mendeskripsikan bentuk tubuh perempuan yang ane gunakan dalam cerita (yang mana memang benar-benar ane cintai) terasa sangat salah aja :(
Mohon maklum, ya, hu! Hehehe

Disclaimer:
Saat ane pertama memposting cerita, sudah tersusun struktur tiap chapter dan ending cerita. Cerita juga sudah ditulis setengah jalan dan harapannya nanti bisa selesai sesuai harapan. Jadi kalau agan-agan dan suhu-suhu sekalian ingin memberi masukan, sebaiknya untuk cerita Sequel atau Spin-off saja ya, hehe. :beer:

Rencana akan ane update normal seminggu dua kali.
Worst case
(karena ane sedang ada project), satu kali seminggu.
Ane juga menarget tiap chapter untuk lebih dari 1000 kata agar agan-agan bisa puas :)

JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT ATAU KENTANG) :adek:


*TBP = To Be Published

1. KONTAK PERTAMA - Hal 1 (di bawah)
2. APARTEMEN - Hal 1 (di bawah)
3. FARAH AZIZIYAH - Hal 4
4. LOVEBIRD - Hal 6
5. PEDULI - Hal 7
6. RUMAH - Hal 9
7. BUNGA YANG MEKAR - Hal 11
8. DAYS GONE BY - Hal 13
9. TOGA DAN MAHKOTA - Hal 16
10. ASAM GARAM KEHIDUPAN - Hal 18

< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >


PROLOG



Zul terbaring lemas tak berdaya di atas dipan. Anak-anaknya mengelilinginya. Lengkap. Dari si sulung hingga si bungsu. Istrinya pun dengan setia memegangi tangannya, mengecup kepalanya. Zul telah menjalani hidup yang bahagia. Ia pun banyak membahagiakan orang lain.

Setidaknya begitu pikiran orang-orang.

Kenangan Istri dan anak-anak akan Zul ternodai ketika surat wasiat diberikan kepada keluarganya. Zul tidak meninggalkan utang, bahkan ia memberi banyak warisan dan terbagi adil. Bukan. Ini bukan tentang harta. Ini tentang dendam masa lalu yang tersimpan jauh di lubuk hati Zul.

Bahwa Zul takut masa lalunya yang kelam akan membawa petaka bagi keluarganya.
Bahwa Zul takut sesuatu terjadi pada keluarganya dan perempuan yang pernah ia cintai itu.

Ketakutan bahwa kelak orang lain akan merasakan pedihnya cinta tak berbalas hanya karena kutukan yang diberikan oleh Zul. Dan keluarganya akan menerima akibat sebagai tumbal dari kutukan itu.




< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >


CHAPTER 1
KONTAK PERTAMA



"Bintang," kataku menyebutkan namaku pada teman seangkatan. Kami bertukar nama, berusaha mengingat-ingat satu sama lain. Tugas ospek kuliah mengharuskan kami kenal satu angkatan. Seluruhnya berjumlah dua ratus tiga puluh anak.

Aku menggaruk kepala sambil terus merapal nama-nama anak di hadapanku. Hingga akhirnya kami bosan dan kegiatan kumpul angkatan itu berubah menjadi acara gosip. Topik paling hot tentu saja mengenai dosen killer.

Belum genap satu minggu kami kuliah, sudah beredar kabar dari kelas lain mengenai dosen killer yang satu itu: Ibu Wulan. Usia kepala empat yang katanya secantik artis namun berperingai seperti macan. Galaknya minta ampun. Telat satu menit harus rela mendapat alpa di absen. Bolos tiga kali harus bersiap mengulang tahun depan.

"Menurutmu gimana, Tang?" Yoga, teman baruku bertanya. Aku yang tidak siap akhirnya tergagap.

"Yah, eh, anu, kita ya harus... nurut aja mungkin?"

Yoga yang memang sejak lama membaca romansa aktivisme 98 langsung mendengus. "Kita gak boleh kalah. Harus ada perubahan yang kita bawa. Kalian ingat sama Farah?"

Kelompok gosip kami menggeleng.

"Bah!" Yoga menyahut kecewa. "Itu anak dari wakil rektor!"

Kami tetap menggeleng.

"Yang putih, cantik, berjilbab, tapi kadang pake baju agak ketat. Badannya bohai, itu loh yang pake bros mawar!" Yoga lalu menunjuk hati-hati pada seseorang di kelompok lain di kumpul angkatan itu.

"Oooooh," bak paduan suara teman-teman di sebelahku menyahut bersamaan. Tentu saja mereka ingat pada orang seperti itu. Ingat pada fitur tubuhnya, bukan namanya.

Aku yang tak biasa melihat perempuan hanya menggeleng. Yoga melihatku dengan tatapan kasihan. Memang sepertinya aku harus lebih banyak bergaul.

Masa SD-SMP aku habiskan di pondok pesantren, sebuah tradisi turun temurun di keluarga. Kemudian aku masuk SMA Negeri, tapi itu pun lebih banyak aktif di ekskul rohis. Sekarang pun aku memutuskan ikut LDK pula. Membuat pengalamanku dengan perempuan sangat minim.

"Intinya begini," Yoga lanjut berbicara, "kita bisa manfaatkan Farah buat mengadu ke wakil rektor supaya cara ngajarnya diubah. Lagian apa gunanya keras pada mahasiswa? Jaman kayak gitu sudah lama lewat!"

Kami mengangguk-angguk saja meng-iya-kan. Siapa pula yang akan menjalankan rencana bodohnya ini?

"Bintang, kamu sama-sama ikut LDK kan? Mungkin bisa deketin Farah!" tiba-tiba Yoga mengusulkan.

Aku hanya tertawa gugup. Berharap itu hanya guyonan semata.

< b >

"JANCOK" pertama kalinya aku mengumpat dalam hidupku.

Tidur siang setelah sholat Jumat merupakan hal paling nikmat setelah berusaha menahan kantuk selama khutbah. Naasnya, itu bisa membuatku bangun terlambat untuk ikut kuliah Bu Wulan.

Perkuliahan akan mulai sepuluh menit lagi. Tepat waktu yang diperlukan dari kosku ke kampus. Jika tak ingin terlambat, aku harus berlari.

Lorong-lorong berkelebat sementara aku terburu-buru menuju ke kelas. Kulihat jam tangan, tersisa satu menit lagi. Sialnya di ujung sana sudah kulihat Bu Wulan sedang memasuki ruang kelas.

Benar kata teman-teman. Usianya sudah kepala empat, ia terlihat anggun meski dari jauh. Tak terasa, aku memelankan lariku. Menyebabkan pintu kelas sudah tertutup saat aku sampai di depannya.

Aku benar-benar takut, namun mau tak mau kuketuk juga pintu kelas itu kemudian kubuka dan berusaha masuk.

"Kamu tahu kamu terlambat?" suara Bu Wulan menusuk tajam.

Aku hanya menunduk, setengah badanku masih di luar.

"Iya, Bu. Maaf, saya ketiduran," jawabku polos. Badanku semakin menunduk.

"Tatap mata saya kalau berbicara!" Bu Wulan membentak.

Aku benar-benar tak biasa melakukannya. Menatap mata perempuan, terutama dosen – guru -- biasanya adalah lancang dilakukan di pondok. Tapi melawan perintahnya lebih lancang lagi. Akhirnya kuangkat daguku dan kutatap matanya.

Bu Wulan memang sangat cantik. Kulitnya yang kuning langsat khas Indonesia. Rambutnya yang hitam, bergelombang dibiarkan terurai. Bibirnya yang tebal dan begitu sensual. Wajahnya yang minim make-up tapi terlihat sangat terawat. Ia begitu cantik tanpa perlu berusaha. Parasnya anggun dan tubuhnya seolah memanggilku. Aku begitu terpesona sampai tak bisa berkata-kata.

Sedang Bu Wulan menatapku balik dengan pandangan yang tajam. Ia tak berkata apa-apa juga. Ada diam yang tak mengenakkan di antara kami untuk beberapa saat.

Sampai akhirnya Bu Wulan yang berbicara duluan. Kali ini nadanya tak sekeras nada tadi.

"Ya-ya sudah... kamu cepat duduk," Bu Wulan berkata pelan. Hampir-hampir seperti berbisik.

Aku butuh sedetik untuk mengalihkan pandangan dari Bu Wulan dan bergerak ke kursi barisan belakang. Kulihat ekspresi teman-temanku yang kaget.

Bu Wulan yang galak kayak macan tiba-tiba berubah jinak?

< b >

Usai kelas, aku diminta tetap di ruangan. Mungkin ada hukuman atas 30 detik keterlambatanku. Aku berdoa semoga itu bukan sesuatu yang berat. Tugas ospek dan praktikum sudah cukup berat.

"Bintang, ya? Ambil kursi, duduk," Bu Wulan memberi instruksi. Nadanya jauh lebih tenang ketimbang waktu dia sedang mengajar.

Wajahnya terlihat lebih cerah dan menentramkan.

"Anda sepertinya terlihat familiar. Apa saya pernah bertemu anda sebelumnya?" Bu Wulan bertanya setelah aku mengambil kursi dan duduk di hadapannya.

Sekarang saat kupikirkan, aku merasa mengenal Bu Wulan. Seolah ia adalah seseorang yang dekat, tapi tak tahu kapan dan dimana.

"Maaf, Bu. Saya juga merasa pernah bertemu Ibu, tapi tidak ingat bertemu di mana," kujawab dengan jujur.

"Kamu asalnya dari mana?" Bu Wulan bertanya lagi. Nadanya semakin tenang.

"Sumbawa, Bu. NTB."

Bu Wulan menggeleng. "Aku tau ada keluargaku dari sana, tapi aku sendiri nggak pernah ke sana. Mungkin kita memang nggak pernah ketemu, ya?" Ia menghembus napas panjang.

Perubahan dari 'saya' menjadi 'aku' oleh Bu Wulan membuat kesannya menjadi sangat manja dan menghilangkan sekat yang ada sebelumnya.

“I… Iya, mungkin Bu…” jawabku sekenanya.

Rasa apa ini?
Mengapa Bu Wulan terasa begitu akrab?
Mengapa aku merasa begitu tertarik dengannya?

Kutatap matanya. Mata yang gelap, menghisapku ke dalamnya. Menenggelamkan dalam pesonanya. Dan aku rela...

Saat itu juga kulihat ada hal yang sama dalam mata Bu Wulan. Sebuah tatapan rindu.
Sebuah tatapan kasih sayang.
Tatapan yang menenggelamkanku dalam pesonanya.
Tatapan penuh perasaan... penuh... gairah...

Tenggelam dalam pesona masing-masing, wajah kami semakin mendekat. Hingga tak sadar, kami menutup mata dan bibir kami saling bersentuhan.

Bibirnya begitu empuk, lembut. Begitu hangat. Rasa yang begitu familier.
Sekejap, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang bergairah. Tangan Bu Wulan meremas rambutku. Bibir kami mulai membuka dan saling memainkan satu sama lain. Lidah Bu Wulan juga ikut beraksi, membuat setiap kecupan kami menjadi sangat basah. Sementara tanganku kaku mengusap wajah Bu Wulan. Merasakan lembutnya kulit wajah itu.

Hingga suara office boy yang memutar kunci di kelas sebelah mengagetkan kami. Menyadarkan kami bahwa kami masih di kampus.

Kami melepas ciuman.

"Kamu ada acara nanti malam?" Bu Wulan bertanya cepat. Sepertinya nafsunya masih memburu.

Aku menggeleng. Tak bisa mengingat apa pun. Nafsuku pun masih mendahului proses berpikir.

"Ikut aku ke apartemen."

< b >

Ada perasaan aneh saat kami berada di lift menuju kamar Bu Wulan.

Otak warasku bertanya-tanya mengenai moral dan etis dalam kegiatan yang akan kulakukan.

Namun perasaanku begitu menggebu-gebu. Dadaku terasa panas dan detak jantungku terasa begitu keras seolah bisa terdengar Bu Wulan yang berdiri di sampingku.

Begitu kami masuk dan pintu apartemen tertutup, kami kembali berciuman. Masih bersepatu dan berbaju lengkap, tapi perasaan kami mendorong satu sama lain. Mulut Bu Wulan melumat habis bibirku dengan gelagapan. Tangan kami saling meraba punggung satu sama lain.

Tanpa melihat, kami terus berciuman dengan ganas menuju sofa. Di sana, Bu Wulan mendorongku ke sofa, membuka baju dan rok selututnya. Untuk kemudian dengan cepat kembali menyosor mulutku.

Tanganku diarahkan ke payudara dan vaginanya yang masing-masing masih terbungkus bh dan celana dalam. Satu tangan Bu Wulan mengelus penisku dari luar, sedang tangan yang lain mengusap putingku.

Kami berdua melenguh karena nikmatnya.

Bu Wulan seolah tak tahan, langsung menggesekkan vaginanya ke atas penisku. Bu Wulan masih memakai CD dan aku bahkan belum membuka celanaku.

Ia bergoyang dengan liar, berusaha menggesek sambil terus menciumku.

Tangan kananku mulai berpindah, mengelus perutnya yang terlihat terawat. Sedang tangan kiriku menyelip dari balik BH, memutir putingnya.

Setitik kesadaran dalam diriku bertanya-tanya.

Mengapa ini terasa familier?
Bentuk dan lekuk tubuhnya...
Helai rambut yang menggantung seksi di depan wajahnya...
Aroma tubuhnya...
Setiap kecup dan setiap tetes liur yang dengan rela kutampung...

Namun semua pikiran logis itu tenggelam saat aku merasakan sesuatu akan keluar. Bu Wulan terlihat sama. Napasnya semakin memburu. Kini ia merapatkan tubuhnya padaku. Menggesekkan vagina dan putingnya pada badanku sambil terus mengunci mulutnya dengan mulutku.

Ia terlihat begitu dilanda kenikmatan. Sedang aku pun sama nikmatnya. Setiap gesekannya pada ujung penisku (yang masih terbungkus) terasa nikmat tiada tara. Setiap pergerakan putingnya akan menggesek putingku dan memberikan setruman listrik, menambah kenikmatan itu.

Kami berpacu, bercumbu, saling bergesek. Ingin mendekap satu sama lain begitu hebatnya. Hingga akhirnya aku dan Bu Wulan bergetar hebat dalam selang waktu yang bersamaan. Membuat kami saling merangkul lebih ketat satu sama lain.

"Ohhhhhh!" lenguh Bu Wulan dan langsung mendekapku erat. Membenamkan mulutnya kembali dengan mulutku.

Spermaku meluncur deras tanpa halangan, membasahi celanaku.

Oh rasa nikmat ini?
Apakah ini surga?
Badanku ringan, seolah melayang di udara.




To be continued

JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT, ATAU KENTANG, ATAU YANG LAIN) :pantat:
Lanjutkan karya nya gan.. alur nya ceritanya bagus... mengalir ...
 
CHAPTER 11

UNION




Farah kembali bercermin di kamarnya. Cermin besar yang selalu jujur kepadanya. Menampilkan Farah apa adanya. Wajahnya yang dulu lonjong dan menarik perhatian kini terlihat tirus. Tangan dan pahanya yang dulu berisi dan orang-orang anggap seksi kini hanya tersisa kulit yang menempel pada tulang. Tiga bulan pernikahan, beratnya turun drastis.

Padahal Farah setiap hari berdiri di cermin ini, bertelanjang diri. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa pernikahannya bukanlah suatu kesalahan. Bahwa ia sekarang benar-benar bahagia.

Tapi cermin ini selalu jujur. Kantung mata kehitaman adalah bukti nyata. Parasnya yang selalu terlihat berantakan seolah berteriak padanya. Tapi Farah menutup telinga dan tak ingin mendengarnya.

Perasaan Farah semakin kacau balau karena ia tidak bekerja. Gaji Yoga di angka dua digit sebagai seorang data scientist cukup menghidupi mereka berdua. Terutama karena fasilitas rumah dan mobil sudah diberikan oleh orang tua Farah. Semua kenyamanan itu malah memperburuk mental Farah. Tak ada hal lain untuk dipikirkan selain pernikahannya yang terasa sangat salah.

Tapi hari ini Farah ingin mencoba sesuatu yang lain. Ia ingin memberikan makan siang pada suaminya, langsung mengantarnya ke kantor. Setidaknya kesibukan seperti ini akan mengalihkan pikirannya.

Farah tak ingat makanan kesukaan Yoga. Ia malah mengingat makanan kesukaan Bintang yang ia selalu ingat semenjak mengisi biodata Bintang pada tugas angkatan. Semur. Farah merasa Yoga pun akan suka semur. Siapa yang tak suka?

Berbekal kotak makan tahan panas, Farah naik ojek online ke kantor Yoga. Di jalan baru terlintas sesuatu olehnya. Bagaimana jika Yoga pergi makan siang di luar saat Farah sampai? Farah buru-buru mengirim chat pada Yoga.

Terkirim. Tapi belum terbaca. Farah berdoa agar ia sampai sebelum Yoga pergi makan siang.

Farah sampai di gedung kantor Yoga. Kantornya di lantai dua. Farah bergegas masuk. Meja resepsionis menyambut Farah saat ia keluar dari lift. Meja itu penuh dengan bungkusan. Farah menduga para istri lain pasti juga mengirim bekal untuk suami mereka.

Ia menanyakan keberadaan suaminya. Penjaga resepsionis menelpon meja kerja Yoga untuk memastikan. Tak ada jawaban. Yoga makan di luar. Farah kecewa, tapi setidaknya ini pelajaran baginya untuk memberitahu Yoga dulu.

Farah membawa kembali makanannya. Ia pikir, daripada mubazir akan ia berikan pada office boy atau pemulung di jalan. Yoga tak suka makan terlalu banyak. Bekalnya hanya akan dibawa Yoga pulang lagi nanti, atau dibuang di jalan.

Farah lalu pamit sembari menanyakan letak pantry atau tempat office boy biasa berada.

Berbekal arahan dari resepsionis, Farah menuju belakang gedung lantai 1. Ia merasa agak kebingungan karena gedung ini cukup luas dan berasitektur rumit. Ia merasa salah jalan saat tiba di pintu belakang yang sepi.

Farah hampir berbalik arah ketika ia mendengar suara yang familier. Suara Yoga. Ia berjalan pelan ke balik tembok di samping pintu.

Pandangan matanya menelusur. Melihat kejadian yang membuat hatinya sakit. Dada Farah sesak, napasnya memendek. Kakinya lemas, bekal yang dijinjingnya terjatuh.

Suara kotak makan terjatuh itu membuat Yoga yang sedang berciuman dengan Sisi tersadar.

“Farah?” Yoga terkesiap. Ia merapikan kemejanya yang acak-acakan dan berdiri tegang. Sisi terlihat bingung harus bertindak seperti apa.

Mata Farah berkaca-kaca. Ia berbalik arah dan lari.

Nggak!
Nggak lagi!


Farah berlari sekuat tenaganya. Tak peduli ke mana. Tak peduli teriakan Yoga yang memanggilnya kembali. Tak peduli walau ia berlari menuju jalan raya yang penuh kendaraan. Tak peduli tatapan orang-orang yang melihatnya. Ia terus berlari. Hingga kaki-kakinya sakit. Hingga napasnya tak mau lagi berkompromi.

Di sebuah gang sepi di antara gedung-gedung, Farah terduduk, punggungnya menyandar ke dinding. Tak peduli betapa kotor dinding dan tanah di sana. Ia meraung-raung sejadinya.

Kini, ia benar-benar merasa sendiri.

Tuhan?
Apakah kau di sana?
Mengapa kau timpakan ini kepadaku?
Mengapa AKU?
Aku tahu aku berdosa.
Tapi mengapa harus aku?
Seberat ini kah kesalahanku selama ini?
Jawablah Tuhan!
Berhenti berlindung dibalik kesucian orang-orang yang memujamu!
Jawab tangisan hambamu ini!
Apakah Kau juga Maha Pengecut yang bersembunyi di balik tirai?
Ataukah selama ini kau hanyalah khayalan?
Bahwa keberadaanmu tak pernah ada?
Jawablah!
Jelaskan padaku!




< b >

“Kamu yakin nggak mau pergi? Mau atau nggak kamu mengakui, Farah adalah salah satu temanmu yang paling dekat, lho,” Wulan menatapku cemas. “Kamu selalu peduli sama dia. Dan kamu tahu bagaimana perasaannya.”

Aku menatap Wulan balik sama intensnya. Sungguh ia begitu baik. Begitu tulus. Tak pernah terbakar api cemburu yang tak jelas.

“Aku punya kamu. Farah punya Yoga,” jawabku pelan.

Wulan membelai wajahku dengan satu tangannya. “Itu gak berarti kamu nggak bisa jenguk dia di rumah sakit.”

“Tapi kamu—”

Wulan memotong, “Aku nggak apa-apa, sayang. KAMU yang harus kita pikirkan. Kalau kamu nggak jenguk, kamu akan khawatir sendiri. Selalu begitu.”

Aku tak bisa menjawabnya. Wulan sungguh begitu mengerti aku. Setelah berpikir sesaat akhirnya aku putuskan.

“Kamu ikut juga, oke?” aku memaksa Wulan.



< b >

Aku membuka pintu ruang VIP rumah sakit itu dan mendapati Yoga yang sedang duduk menemani Farah. Yoga terlihat shock, rambutnya acak-acakan. Ia terlihat begitu terdampak melihat Farah terbaring tak berdaya.

Di seberang ranjang aku berdiri menatap Farah, Wulan menggandeng tanganku. Kutatap Farah lekat-lekat. Badannya kurus, wajahnya tampak pucat. Ia terlihat sangat menderita.

“Farah kenapa, Yog?” tanyaku pelan.

Yoga menjawab terbata-bata, “Farah… Farah tiba-tiba pingsan nggak sadar. Aku nggak tahu dia sakit apa, dokter masih belum ngasih diagnosa.”

Dulu aku selalu menghindari menatap perempuan. Termasuk Farah. Namun ada rasa iba dan suatu perasaan lain yang keluar sekarang saat aku berada di hadapannya. Sesuatu yang tak dapat kujelaskan.

Di saat aku memperhatikan wajah dan matanya, saat itu secara kebetulan Farah membuka matanya. Ia balik menatapku. Awalnya ia terlihat bingung, kemudian seperti tersadar sesuatu, matanya mulai berkaca-kaca.

“Farah?” Yoga yang menyadari Farah sudah sadarkan diri lantas memeluknya, menciumi wajahnya. Pipi, kening, hidung, semuanya ia kecup dengan disertai tangis haru. Namun tatapan mata Farah masih terkunci padaku.

“Kamu nggak apa-apa? Kamu kenapa? Aku minta maaf, Far. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu…” Yoga bertanya bertubi-tubi. Farah masih membisu, masih menatapku. Ia menggigit bibirnya, seolah teringat suatu kejadian pahit.

Seorang suster di ambang pintu mengalihkan Yoga. Ia izin sebentar, katanya ia perlu mengurus administrasi. Wulan yang berada di sampingku tiba-tiba melangkah mundur, bersandar ke dinding. Memberikanku ruang berdua dengan Farah.

“Kamu… kamu peduli…” Farah berkata pelan, suaranya serak. Seperti habis menangis berjam-jam. Matanya yang berkaca-kaca mulai meneteskan air mata.

Aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Aku hanya berdiri di sana, di sampingnya.

Farah mengangkat tangan kanannya dengan lemas, tangannya yang sekarang terlihat kurus itu. Berusaha meraih tanganku. Tak tahu mengapa, aku menyambut uluran tangannya. Menggenggamnya dengan kedua tanganku.

Tangannya dingin. Ia telah melalui banyak hal. Ia telah melalui penderitaan yang bertubi-tubi.

“Aku… aku cinta sama kamu,” Farah berbisik lirih dengan suara bergetar. Tangisnya mengucur semakin deras.

Apa yang dikatakannya begitu berat. Amat berat. Aku memiliki istri. Ia pun memiliki suami. Tapi ia tetap menerobos semua itu, menahan semua rasa sakit itu. Hanya untuk mengucapkan sepotong kalimat itu padaku.

Mungkin Wulan benar. Andaikan aku tak bersama Wulan, mungkin aku akan bersama Farah.

Tapi takdir sudah berkata lain. Nasi sudah menjadi bubur. Aku mencintai Wulan. Wulan pun mencintaiku. Di kehidupan lain, hatiku mungkin bisa menyambut cinta Farah. Tapi pernikahanku dengan Wulan telah mengunci seluruh perasaanku pada Wulan. Sama halnya pernikahan Farah dengan Yoga telah menguncinya bersama Yoga.

Aku membelai wajahnya yang tirus itu. “Farah. Kamu perempuan kuat. Aku percaya itu. Apapun yang telah kamu lalui kuharap nggak akan pernah bisa menjatuhkanmu. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu.”

Dengan lembut, kukecup tangannya. Hanya sejauh itu yang bisa kulakukan untuknya. Ia terisak-isak. Ekspresi wajahnya mengingkari kejadian di hadapannya.

Tepat saat aku melepas tanganku dari tangan dan wajah Farah, Yoga kembali masuk ruangan. Kini Farah memberanikan diri menatapnya. Tapi aku tak melihat tatapan kasih seorang istri. Farah hanya menatap Yoga dengan nanar. Sisa air mata masih membekas di wajahnya. Entah apa maksud tatapan itu.

“Farah ada yang jaga?” tanyaku pada Yoga.

“Orang tuanya sebentar lagi datang. Nanti aku minta mereka buat jaga semisal Farah perlu rawat inap beberapa hari,” Yoga menjawab. Kini ia terlihat lebih tenang setelah melihat Farah sadar.

Aku berbicara sebentar dengan Yoga dan pamit untuk pulang.

“Cepet sembuh, ya, Far,” ujarku. Entah mengapa, aku menghindari tatapan matanya saat beranjak pulang.

Perasaan campur aduk di kamar rumah sakit itu untungnya sedikit mereda saat Wulan menggandengku pulang. Ya. Aku punya Wulan. Bagiku itu cukup.



< f >

Farah melihat Bintang pergi. Kunjungannya hari ini sangat menyakitkan namun secara ajaib memberinya kekuatan. Farah menggenggam selimut yang menutup badannya. Bekas kecupan bibir Bintang di punggung tangannya masih ia rasakan. Itu membakarnya, membuatnya bersemangat. Farah berusaha menegarkan diri untuk berbicara dengan Yoga.

“Kamu tega,” Farah langsung melempar.

Yoga terlihat tak siap. Ia duduk di kursi dekat ujung kasur, tangannya memegang kepala.

“Aku…” Yoga berusaha merangkai kata.

“Kenapa? Kita baru tiga bulan menikah, Yog dan kamu udah bosen?”

Yoga berdiri dan berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Ia mengusap mulutnya, terlihat gugup dan tak memiliki respons yang tepat.

“Ya,” akhirnya Yoga berkata. “Ya aku minta maaf. Tapi aku nggak pernah ngerasa intim sama kamu. Kamu selalu menghindar, Far. Pikiranmu nggak pernah sama aku.”

Yoga berlutut di samping kasur. Ia menggenggam tangan Farah. Seperti Bintang menggenggam tangannya beberapa saat lalu.

Ia berkata lirih, “Aku selalu sayang sama kamu Far. Tapi kamu kelihatan nggak pernah bener-bener sayang sama aku. Aku cuma jadi pilihan terakhirmu. Aku mau jadi yang pertama.”

Farah terdiam. Ia merasa Yoga ada benarnya. Ia tak pernah benar-benar mencintai Yoga. Bahkan setelah mereka berdua satu atap selama tiga bulan. Bukan hanya satu atap, satu ranjang.

“Harusnya kamu ngomong sama aku. Bukan lari sama perempuan lacur itu,” Farah mengumpat. “Keluar,” tambahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia sudah tak kuat menangis lagi.

Yoga terkesiap. Ia tak bisa menjawab. “Sisi bukan pela-“

“Please, Yog. Keluar,” Farah memotong tajam.

Yoga bimbang, namun akhirnya ia beranjak ke pintu.

Begitu Yoga keluar, tangis Farah pecah sekali lagi. Air matanya tak lagi membanjir, ia sudah muak menangis sedih. Ini tangis amarah. Amarah untuk mengutuki hidupnya dan keputusan Tuhan yang menimpakan derita ini padanya.



< b >

Wulan menutup pintu kamar dan dengan langkah manja menghampiriku yang duduk di sofa. Ia langsung mengambil posisi di depanku, duduk di pangkuanku. Tangannya ia rangkulkan ke leherku. Napasnya begitu dekat ke wajahku, menatapku lekat.

Aku memperhatikan detil-detil wajah itu. Guratan seorang perempuan di usia kepala empat yang mulai muncul, tak menghalangi pendar kecantikannya. Rautnya yang selalu terlihat tulus dan penyayang meski ia tajam di kelas dan kepada orang asing.

Kening kami saling bersentuhan. Matanya… aku melihat ke dalam matanya. Tenggelam di dalam telaga tanpa dasar itu.

Sedetik kemudian mata kami berdua menutup, bibir kami bertemu dalam kecupan hangat. Kecupan yang selalu familiar. Kecupan yang terasa seperti tempat kembali, tempat bibirku sendiri beristirahat. Kecupan yang mengingatkanku akan rumahku yang sebenarnya.

Di dalam kecup penuh makna itu, sepotong imaji melintas di kepalaku. Wajah Farah yang sedang menderita.

Di dalam pikiranku itu aku mencumbunya. Berusaha mengobati hatinya yang terluka. Mengulurkan cintaku padanya. Berkata padanya bahwa ia tak sendiri. Bahwa ia tak perlu menderita lagi. Ia tak perlu menangis lagi. Ada aku.

Sedetik, aku sadar.

Aku membuka mata dan memundurkan kepalaku.

Wulan bingung, ia menangkupkan tangannya di kedua belah pipiku. Bertanya, “Sayang, kamu kenapa?”

Aku tak berani berbohong. Tak berani menjawab. Hanya kutatap matanya dalam. Ada secercah sinar di sana yang membuatku berpikir bahwa Wulan bisa membaca isi kepalaku. Ia selalu mengerti. Tak ada rahasia yang bisa kusembunyikan dari tatapan matanya itu.

Tapi reaksinya membuatku luluh.

Ia tak marah. Tak juga berkata apa-apa. Hanya menatapku penuh prihatin. Ia mengusap kepalaku, lalu menciumku lembut.

Ciuman panjang yang lama. Tak bergejolak. Tak terburu-buru. Hanya penuh dengan cinta.

Ya, ia mengingatkanku pada ciuman pertama kami. Ciuman yang mempertemukan jiwa kami hingga sekarang. Sekeping kenangan yang selalu akan teringat di memori kami yang paling dalam.

Entah berapa lama kami berciuman. Mungkin setengah jam. Hanya duduk di sana dan saling mengecup satu sama lain tanpa pernah bosan. Merasakan bibirnya yang lembut, empuk, mempesona.

Wulan kemudian mulai meraba-raba penisku dari luar celana. Batangku yang setengah tegang menjadi semakin keras diperlakukan seperti itu.

Aku pun sama, mulai meraba-raba vagina Wulan dari luar celana longgarnya.

“Enggghhh, sayangg…” Wulang menggerang. Ia berdiri sejenak, melepaskan baju dan celananya. Kemudian membantu membuka kancing baju dan risleting celanaku. Sekejap, ia sudah memposisikan diri lagi di hadapanku.

Wulan menurunkan pinggangnya, memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang licin. Lantas menciumku mesra. Ia menggoyangkan pinggulnya ke atas dan ke bawah, perlahan-lahan. Sejak Wulan menunjukkan test pack kehamilannya, kami tak pernah bermain terlalu cepat. Lagipula begini saja sudah sangat memuaskan.

Sensasi nikmat ini kami resapi setiap detiknya.

Wulan menggerakkan pinggulnya semakin cepat, tanda bahwa ia akan mencapai klimaks. Aku meremas pantatnya yang naik turun sementara ia membantuku meraih puncak dengan menggesek-gesek putingku.

Kepala penisku menyentuh dinding rahim saat Wulan membanjirinya, ia klimaks.

“Nggggghhhhh cuppp, cuppp, sayang….” Wulan mencapai klimaksnya dan menciumku bertubi-tubi. Hentakannya membuatku tak tahan dan tak lama mengeluarkan sperma di dalam vaginanya.

CROTT CROT CROT

Wulan membenamkan pinggulnya semakin dalam, berusaha meraup setiap tetes spermaku. Aku menyambutnya dengan memeluknya erat.

Kami bercumbu selama beberapa menit sebelum Wulan berpindah di sampingku di atas sofa. Berbaring manja merangkul tangan kananku. Aku membelai-belai rambutnya, pipinya, dadanya, hingga akhirnya turun ke perutnya. Mengusap-usapnya dengan penuh sayang.

Semua momen itu adalah kebahagiaan sempurna dalam hidupku.

Dalam sisa kepingan kesadaran di penghujung tidurku, aku memikirkan Farah dan semua kesulitan yang dilaluinya. Tak bisakah kami membagi kebahagiaan ini?

Aku terlelap tanpa pernah benar-benar memikirkannya.




To be continued...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd