Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.

Sumandono

Tukang Semprot
Daftar
7 Nov 2019
Post
1.148
Like diterima
20.099
Lokasi
Bandung
Bimabet
Semua yang ada dalam kisah ini adalah fiktif.
Nothing real.



ARMAN DONELLO

Bagian Satu
KELUAR DARI PENJARA

Siang menjelang sore cuaca sangat cerah. Hari itu adalah Jum'at di penghujung bulan Desember 2017.

Seorang anak muda tengah melenggang santai keluar dari pintu gerbang Lapas Sukamiskin, Arcamanik, Bandung. Dia melangkah tenang menyusuri pedestrian di depan pintu gerbang, lalu menyebrangi jalan Raya A.H. Nasution dan berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan kota.

Di dalam dompetnya yang lecek dan butut terdapat KTP dan uang 275 ribu rupiah. Itu adalah harta paling berharganya. Dia memasuki angkot pertama yang berhenti di depan hidungnya.

Dia mengenakan kemeja lengan pendek yang kebesaran berwarna pudar pemberian Kepala Lapas karena pandai memijit dan celana jean 3/4 yang membuat dengkul runcingnya tampak menonjol; duduk di pojokan angkot dengan ekspresi optimis. Sepatu sport warna putih murahan tampak robek pada bagian ujungnya, menambah betapa tidak matching penampilan mantan napi bernomor 23678 ini.

"Kiri!" Katanya dengan suara keras ketika angkot tiba di tempat yang ditujunya. Angkot itu tidak begitu penuh dan mantan napi itu berjalan membungkuk di dalam angkot, turun dengan cara meloncat dan membayar dengan uang pas.
"Kurang seribu, euy!" Kata Si sopir angkot, kesal.
"Seribu perak aja ditagih, nih!" Jawab mantan napi itu dengan wajah cuek sambil memberikan uang tambahan seribu rupiah. Sekilas dia melirik ke arah seorang lelaki tinggi besar memakai topi bisbol yang sedang merokok di dekat warung kopi. Mantan napi itu menyembunyikan senyum dalam hatinya, dia tahu itu adalah anggota reserse yang sedang mengawasi dirinya.
"Bodo amat, aku lebih cerdik dari polisi." Katanya dalam hati.

Memasuki gang kecil yang sempit, dia berjalan semakin santai. Membiarkan orang yang membuntutinya menjadi agak gagap.
"Hey, Arman kemana aja kamu?" Tanya seorang lelaki tua yang tengah memperbaiki sesuatu di area pintu rumahnya.
"Kerja atuh, Bah. Di kota." Jawabnya enteng.
"Katanya kamu di penjara karena narkoba?" Tanya lelaki tua itu, penasaran.
"Fitnah itu mah Bah, fitnah." Kata Arman sambil terus melangkah. "Aku bukan pecandu, sumpah demi awloh."

Dia menyusuri gang yang berlika-liku, setiap kali dia menemukan pinggul perempuan, matanya segera bersinar jelalatan. Seorang gadis ABG yang berdandan menor tidak keberatan dicolek pantatnya oleh Arman, apalagi ketika dikatakan cantik.
"Aduh cantiknya mau ke mana nih?"
"Heh jangan colak-colek sembarangan." Hardik gadis ABG itu, tapi dia tidak marah. Arman Donello mengedipkan sebelah matanya.

Tiba-tiba seorang lelaki muda tanggung menyeruduk dirinya dan menyilet mata Arman dengan tatapan sinis dan cemburu.
"Aku tidak cari masalah, dek. Cuma menyapa." Katanya kepada pemuda tanggung itu. Arman kemudian melangkah meninggalkan abg itu dan masuk ke dalam sebuah warung kelontong kecil.
"Eh, Arman, kemana aja koq enggak pernah kelihatan?" Kata seorang emak STW yang mengenakan daster batik yang tipis. Dia adalah pemilik sekaligus pelayan warung kelontong kecil itu.
"Ada aja, Ceu Romlah." Jawab Arman. Sepasang mata Arman dengan lapar melahap tubuh STW itu yang tampak menerawang di balik daster tipisnya.
"Udah lama enggak belanja ke sini." Kata Ceu Romlah. Usia STW ini sekitar 40-an, memiliki kulit putih dan bodi semok umumnya kaum STW. "Mau beli apa?"
"Mie instant ceu 4 bungkus, rokok filter setengah, kopi segantung dan kerupuk... Kang Odeng ada?"
"Barusan pergi sama si Atang... katanya mau mancing." Jawab Ceu Romlah sambil memasukkan barang-barang yang diminta Arman ke dalam kantong kresek hitam.
"Oh. Kalau mancing pasti pulangnya nanti pagi ya Ceu."
"Begitulah, Man. Ceuceu mah sudah biasa ditinggal sendirian malam-malam sama Kang Odeng." Kata Ceu Romlah dengan ujung matanya melihat sekilas bagaimana tangan Arman mengusap bagian depan celananya yang menggembung.

Ceu Romlah menyibakkan rambutnya yang panjang dan lurus, menatap sejenak ke arah mantan napi berusia 23 tahun itu dan menyerahkan kantong kresek berisi mie, rokok, kerupuk dan kopi kemasan.
"Jadi semuanya berapa ceu?"
"43 ribu 500." Jawab Ceu Romlah.

Arman mengeluarkan uang 50 ribuan, menyerahkannya kepada Ceu Romlah, lalu menerima kembaliannya.
"Mau terus pulang?"
"I ya Ceu, kasihan Enin --nenek-- sudah terlalu lama menunggu." Kata Arman sambil berbalik dan melangkah pergi.

Ceu Romlah menatap kepergian Arman Donelo dengan tatapan nanar. Tangannya mengusap kemaluannya dari balik daster... "Iiiihhh, awas nanti kalau kamu ketahuan onani, gua genjot lu sampai muncrat." Bisik Ceu Romlah dalam hatinya.

Diam-diam lelaki tinggi besar bertopi bisbol itu memperhatikan Ceu Romlah. Dia berjalan tenang, terus menguntit Arman Donello.
(Bersambung)
 
Nenek tua berumur 65 tahun itu sedang menyapu halaman teras rumah, dia menoleh kepada seorang anak muda yang membuka pintu pagar bambu.
"Enin." Kata Arman. "Saya pulang."
"Oalah, Gusti!" Jerit nenek tua itu. Dia melempar sapu dan menyerbu Arman. Memeluknya dan menciuminya.
"Sudah.... sudah... nin..."
"Kamu kemana aja ngger cucuku yang ganteng. Enin sampai bingung nyariin kamu."
"Arman kerja, Nin. Di Jakarta."
"Oh, syukurlah, cu. Ayo masuk, kamu udah mandi belum? Badan kamu bau... tapi koq kamu tambah gagah, cu."
"Habis selama kerja, tiap pagi dan sore Arman selalu rajin olahraga... jadi badan Arman kuat dan sehat."
"Banyak yang bilang katanya kamu masuk penjara gara-gara narkoba..."
"Ah, itu bohong Nin, itu fitnah." Kata Arman, dia merogoh kantong kresek hitam untuk mengambil kemasan rokok lalu dia menyerahkan kantong kresek itu kepada neneknya. "Buat enin."

Sepasang mata nenek tua itu mengembang oleh air mata saking terharunya oleh pemberian cucunya. Walau nilainya tak seberapa, namun bukan soal berapanya, tapi kebaikan cucunya yang sengaja membelikan mie instan dan kopi kesukaannya itu, rasanya lebih dari diberi sekeranjang emas berlian.

Arman Donello duduk di kursi tua dan membakar filternya. Mengisapnya dalam-dalam dan berpikir tentang langkah-langkah selanjutnya dalam hidupnya.

Dikurung selama enam bulan --dipotong tahanan 3 bulan di Polres Bandung-- membuatnya belajar banyak. Hakim telah memutuskan hukuman kurungan selama 9 bulan karena dianggap bersekongkol membantu secara merta atau tidak secara serta merta dalam pengedaran narkoba.... dan selama masa persidangan itu dia bersumpah bahwa dia adalah cuma pesuruh rumah tangga.
"Ya, tapi kan kamu yang mengantar saudara Hendrik Halim mengirim-ngirimkan narkobanya dengan motor kan?"
"Benar yang mulia... tapi waktu itu kan saya sebagai tukang ojeg... saya belum menjadi pesuruhnya."
"Tapi kamu tahu, saudara Hendrik Halim adalah pengedar narkoba, ya kan?"
"Tidak yang mulia, yang saya tahu Pak Hendrik adalah pedagang perhiasan."
"Bukti-bukti menunjukan bahwa kamu secara merta dan atau secara tidak serta merta telah bersekongkol dalam pengedaran gelap narkoba, kamu dijatuhi hukuman 9 bulan kurungan potong masa tahan."

Tok! tok! Palu hakim pun diketok.

Arman Donello mengisap lagi rokok filternya, pikirannya meloncat ke tempat lain... ke waktu yang lain.

Arman ingat persis siang itu ketika rumah bosnya digerebek polisi, dia sedang tidur-tiduran ayam di gudang, di atas tumpukan kardus. Suara teriakan-teriakan: "Polisi, jangan beregrak! Kalian sudah terkepung!" yang berasal dari luar gudang, mengejutkannya. Dia tahu bosnya adalah bandar narkoba kelas super kakap dan memiliki jaringan internasional dengan aset penjualan narkoba milyaran rupiah. Tapi tidak peduli. Dia cuma kacung yang bego yang pekerjaannya adalah disuruh-suruh dan dimaki-maki.

Saat itu, dia melihat gelagat yang buruk, dia segera menaiki tangga gudang dan menuju dak jemuran... dia melihat dua truk polisi serta sedikitnya selusin mobil polisi mengepung rumah besar itu. Puluhan anggota polisi mengepung sekeliling rumah dengan senjata lengkap.

Dia tidak bisa kabur.

Ketika dia hendak kembali lagi ke gudang, dia melihat ada 2 orang polisi berbaju preman sedang berbincang dengan berbisik-bisik.
"Siap, ndan. Kardus ini isinya uang 2 milyar."
"Bagus. Kita akan bagi 3 dengan pimpinan. Semua barang bukti lain kita keluarkan dan kita umumkan ke publik. Kardus ini kita simpan di sini. Pintu gudang ini kunci dengan kunci baru, suruh satu anggota berjaga di luar. Besok kita sama-sama ke sini untuk mengambilnya."
"Siap, ndan."

Arman tercekat. Begitu kedua orang polisi berbaju preman itu ke luar dari gudang, dia mendekati kardus besar itu dan membuka isinya. Benar! Ternyata uang. Uang. Uang. Dan Uang!!!

Arman hampir merasa gila dibuatnya. Sejak awal ketika dia mendekati Pak Hendrik dan mau mengantarnya ke sana ke mari sambil dicaci maki sebagai pesuruh sekaligus tukang ojek adalah karena ini, uang ini. Dia ingin merampok Pak Hendrik. Tapi dia tak pernah punya kesempatan.

Sekarang uang itu ada di depan matanya. Apa yang harus dilakukannya? Membawanya ke luar? Tidak mungkin. Di luar banyak polisi. Bahkan di luar gudang, pintu telah dikunci dan seorang penjaga berdiri di sana.

Arman berpikir keras. Dan ide itu muncul secara tiba-tiba. Dia cepat-cepat pergi ke sudut gudang dan mengambil kantong plastik besar untuk membuang sampah yang tebal berwarna hitam. Dia lalu memindahkan uang dalam kardus besar itu ke dalam kantung plastik besar itu dan menyisakan lima gepok --lima puluh juta-- yang dia masukan ke dalam kantong kresek kecil dan melipatnya dengan rapih.

Sementara uang yang terdapat dalam kantong plastik besar itu dia bawa ke sudut gudang di mana terdapat bak pengontrol saluran got tua yang sudah tidak terpakai. Dengan hati-hati Arman memindahkan tumpukan-tumpukan kardus yang menutupi bak pengontrol saluran got itu. Setelah tumpukan kardus itu tersisih, dia melihat penutup besi yang sudah karatan itu dan menggesernya hingga terbuka, lalu memasukkan kantung berisi uang itu. Menutupkan kembali penutup besi karatan itu dan menguncinya dengan kunci gembok persediaan yang selalu terdapat di gudang itu. Dia kemudian memasukkan anak kunci gembok itu ke dalam kantong kresek kecil berisi uang 50 juta. Kemudian dia menumpukkan kardus-kardus itu seperti sedia kala.

Arman naik kembali ke tangga gudang dengan perasaan gembira. Tidak sia-sia dicaci maki selama berbulan-bulan di rumah besar ini, sebab selama itu pula dia mempelajari rumah ini secara detil. Mengetahui seluk beluk rumah ini secara rinci.
"Akhirnya, kesampaian juga aku merampok si bangsat Hendrik ini." Bisik Arman dalam hatinya.

Dia membawa kresek hitam itu ke atas dak dan turun dari sana dengan cara meloncat. Tak ada polisi yang melihatnya karena mereka semua berjaga di luar pagar. Dia menyelinap ke taman belakang rumah itu dan mendorong bak sampah yang terbuat dari adukan plester dan bata merah hingga miring, dia kemudian meletakkan kantong kresek itu di bawahnya.

Arman tersenyum. Tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa di bawah bak sampah tembok itu terdapat uang 50 juta dan sebuah kunci menuju uang 2 milyar kurang sedikit.

Setelah itu dia masuk ke dalam kamar mandi pembantu, sekilas terlihat oleh Arman dua orang anggota polisi sedang mengendap-endap dengan hati-hati menuju ke arah kamar mandi tersebut. Tapi masih agak jauh.

Arman sengaja mandi dengan suara byar-byur yang keras. Dia dalam keadaan telanjang dan berlumur sabun ketika pintu kamar mandi itu ditendang.
"Jangan bergerak, kami polisi."

Arman berbalik, mengangkat ke dua tangan. Kedua orang anggota polisi berseragam anti teror yang lengkap itu menodongkan senjata ke arah Arman. Baik Arman mau pun anggota polisi itu sama-sama terperangah.

Arman lupa senjatanya yang berada di antara selangkangannya juga tengah menodong ke kedua anggota polisi itu yang ternyata salah satunya adalah polwan.
"Anjing, gede pisan!" maki salah seorang polisi itu dalam hatinya. Sementara si polwan hampir saja menjatuhkan senjatanya saking kagetnya.

Arman telah secara sengaja membiarkan dirinya tertangkap.
(Bersambung)
 
Dase dan Usep tengah bermain catur ketika anggota reserse yang tinggi besar itu mendatangi mereka.
"Cepat, dia sudah pulang." Kata anggota reserse itu. "Kalian harus memancing dia seperti yang sudah dilatih selama ini."
"Baik, Pak." Jawab Dase dan Usep serentak.

Dase yang dianggap teman paling dekat Arman, melepaskan kaosnya. Dibantu Usep, anggota reserse itu memasang mikrofon penyadap di dada Dase. Setelah terpasang, Dase mengenakan kaosnya kembali dan anggota reserse itu menyuruh Dase mengenakan kemeja tambahan di luar kaos. "Biar aman." Kata sang anggota reserse merasa puas.

***

Arman Donello tidak terkejut ketika Dase dan Usep mendatanginya. Mereka adalah tetangganya sekaligus teman sepermainannya ketika kecil. Bahkan Dase adalah teman sekelasnya ketika SMP. Arman menyambut mereka dengan gembira.

Mereka berbicara ngalor ngidul tidak berujung dan berpangkal. Namun Arman paham benar maksud Dase ketika secara sambil lalu mantan teman sekelasnya itu menanyakan rencananya ke depan.
"Aku mau ngojek di pangkalan, ngumpulin uang buat bikin SIM... nyari cewek... kawin."
"Cape amat." Kata Dase. "Bukannya kamu punya duit banyak hasil kerja sama Pak Hendrik. Enakan bikin toko."

Diam-diam Arman terkejut, dari mana si Dase tahu kalau dirinya kerja di Pak Hendrik. Hm, orang ini pasti penghianat.
"Duitnya kan habis buat ini itu." Jawab Arman dengan nada menggerutu. "Pak Hendrik itu orang pelit!" Kata Arman, dia sengaja menyebut nama Pak Hendrik untuk menutupi kelepasan omong Dase.
"Pasti si jangkung reserse itu sekarang sedang di rumahnya si dase... hm... mereka masih belum berhenti menduga akulah pencuri uang 2 milyar itu... aku harus hati-hati sekali." kata Arman dalam hatinya.

Sesekali Usep menanyakan bagaimana rasanya di bui di Polres Bandung, sebelum dipindahkan ke Lapas Sukamiskin.
"Aku juga pernah nginep di situ seminggu, man... edan rasanya seperti di neraka."
"Aku mah biasa saja." Kata Arman. "Soalnya, apa yang ditanyain para penyidik itu aku jawab sejujurnya... aku sebenarnya enggak bersalah... aku kan cuma pembantu. Aku cuma kerja disuruh-suruh."
"Katanya di rumah Pak Hendrik ada barang bukti yang hilang, benar enggak, Man?"
"Mana aku tahu. Mereka menangkap aku ketika aku mandi. Lagian aku enggak berurusan dengan narkoba, aku cuma jadi pesuruh ke sana ke sini... selain itu tugasku bersih-bersih rumah dan lain-lain." Jawab Arman. Sekarang Arman tahu kalau kedua temannya itu telah menjadi kaki tangan polisi.
"Dengarlah..." Kata Arman. "Aku ada sebuah cerita rahasia..."
"Apa itu? Apa itu?" Tanya Dase, sangat antusias.
"Sejak aku kerja di rumah Pak Hendrik, ada seorang kepercayaan Pak Hendrik namanya Rudi Budiman... aku yakin dia punya pabrik Sabu di Bogor, soalnya mereka sering berbicara berbisik-bisik dan mereka sangat merahasiakan pembicaraan mereka dari yang lainnya..." Arman pun bercerita panjang lebar tentang Pak Hendrik dan Rudi Budiman yang semuanya adalah bohong.

Arman memang pandai berbohong.

***

Setelah Dase dan Usep pergi, neneknya menyuruh Arman makan malam.
"Mungpung nasinya masih anget." Kata Enin.
"I ya, nin."
"Udah makan, kamu bantuin Enin bungkusin tempe ya."
"I ya, nin."

Nenek Arman yang biasa dipanggil Enin itu adalah penjual tempe bungkus di pasar Cileunyi, dia berjualan dari subuh jam 5 sampai sekitar jam 8 pagi. Setelah itu Nenek Arman pulang, memproduksi tempe sambil mengurus rumah.

Nenek Arman adalah perempuan yang mandiri.

Meskipun rumah itu terletak jauh di dalam gang, namun rumah itu adalah rumah terbesar yang ada di kampung itu walaupun bangunannya adalah bangunan lama. Satu-satunya rumah yang memiliki halaman yang luas serta memiliki pohon mangga dan pohon jeruk bali. Ketika Arman sedang bertekun membantu neneknya membungkusi kacang kedelai dengan daun pisan yang dilapis kertas koran, seorang lelaki tinggi besar mengintai dari jendela dan menguping pembicaraan nenek dan cucu itu.
"Kamu jangan bohongin Enin, Man. Enin tahu kamu dibui di sukamiskin."
"Kalau enin sudah tahu, kenapa juga nanya."
"Enin cuma khawatir... sejak kamu ditangkap, banyak orang-orang aneh lalu lalang ke rumah ini... bahkan beberapa di antaranya ada yang sempat menggeledah rumah ini... mereka mencari barang bukti... Arman, dengarlah, kamu harus jujur, apa yang kamu sembunyikan dari mereka?"
"Enggak, Nin. Arman enggak menyembunyikan apa pun... Arman jujur koq."
"Enin enggak bodoh Arman... dengar, katanya mereka kehilangan barang bukti uang 2 Milyar?"
"Dari mana enin tahu itu semua?"
"He he he... jangan tanya, pokoknya enin tahu. Kamu yang ambil uang itu kan?"
"Sumpah, Nin, demi awloh, Arman tidak tahu apa-apa soal uang itu."
"Sungguh?"
"Sumpah!"
"Ya, sudah sana tidur, kamu enggak bener ngebungkusin tempenya."

***

Pagi-pagi ketika bangun, Arman tahu neneknya sudah pergi ke pasar Cileunyi, namun di meja dapur sudah tersedia sepiring nasi goreng dan segelas kopi yang sudah hangat. Arman segera menyikat sarapannya kemudian pergi mandi dan gosok gigi.

Dia lalu pergi ke pangkalan ojek Cibeusi dan harus mendaftar lagi untuk menjadi anggota. Arman protes kepada Doni, pengurus ojek pangkalan itu, dengan kesal.
"Tapi kartu anggotanya ini masih berlaku kan?" Tanya Arman.
"I ya tentu saja masih berlaku, tapi masalahnya kamu berbulan-bulan tidak bayar iuran bulanan dan kamu juga tidak membayar registrasi tahunan jadi..."
"Tapi aku kan tidak narik, untuk apa aku iuran bulanan? Kalau iuran tahunan okelah aku terima... tapi kalau sama iuran bulanan kan berat, Kang Doni, aku kan mau mulai usaha. Bantu sedikit kenapa sih."
"Tidak, pokoknya kalau kamu mau mangkal di sini kamu harus lunasi iuran bulanan dan tahunan, atau membayar keanggotaan baru."

Arman terdiam, nafasnya memburu. Seorang tukang ojek lainnya yang sudah tua menyabarkannya.
"Sudahlah, kau pulang dulu. Tenangkan pikiranmu... kalau kamu mau, kamu ngojek nembak aja punya aku. Nanti kita ngobrol di rumah." Kata Mang Oha dengan suara tuanya yang khas.

Arman menatap mang Oha, jelas orangtua ini memiliki maksud baik kepadanya.
"I ya, baiklah Mang."
"Sabar, ya, Man." Kata Mang Oha. "Si Doni memang mata duitan... "

Arman mengangguk-angguk, dia berbalik dan melangkah pergi diikuti tatapan tukang ojek lainnya yang sedang mangkal. Sementara di warung kopi dekat gang, orang tinggi besar itu tak berkedip mengawasi Arman.
"Bisa saja komandan salah." Bisik Orang tinggi besar itu dalam hatinya. "Penjahat tengik itu tidak tahu menahu soal uang 2 milyar itu..."

***

Perasaan Arman masih kesal, dia menuju pasar Cileunyi dan melihat neneknya sedang membereskan jualannya.
"Enggak ngojek, Man?" Tanya Enin.
"Enggak, Nin."
"Enggak ada motornya atau apa?"
"Ah, biasa Nin, si Doni cari gara-gara."
"Sudah, kamu sabar. Kamu bantu enin aja bikin tempe di rumah."
"I ya, Nin. Yuk, pulang."

***
Pukul setengah sembilan pagi, mereka berjalan di dalam gang dari arah gang sebelah barat. Arman sepertinya tidak puas melirik betapa banyak emak-emak dan mamah-mamah muda yang sibuk bekerja di rumah-rumah yang mereka lewati. Ada yang menjemur, ada yang ngepel, ada yang pulang belanja... hampir semuanya mereka mengenakan baju seenaknya. Ada yang pake daster, celana pendek bahkan ada yang menjemur baju hanya dililit handuk.

Ketika melewati rumah Ceu Nuning, mamah muda itu baru saja mandi dan mencuci pakaian. Dia menjemur baju di depan rumahnya dengan mengenakan daster terusan yang tipis.
"Enin, tempenya masih ada... eh, Arman... kemana aja koq baru kelihatan?"
"Ada, Ning. Mau beli berapa?" Tanya Enin.
"Sepuluh aja, Nin." Katanya sambil menjepit baju di tali jemuran. Sementara itu Arman hanya bengong saja menatap tubuh mamah muda yang menggiurkan itu tanpa kedip. Nuning kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambil uang.

Nuning lebih tua 3 tahun dari Arman. Dulu, sebelum dia menikah dengan Kang Dadang, Ceu Nuning sering main ke rumahnya membantu Enin membuat tempe bungkus. Arman sering tak berkedip melihat Ceu Nuning membungkusi tempe. Soalnya, Nuning itu memiliki wajah yang manis dan sepasang payudara yang besar. Kulitnya kuning langsat dan betisnya mulus.

Jika Ceu Nuning datang membantu, Arman pasti ikut nimbrung duduk di atas tikar di depan ceu Nuning.
"Kamu ngapain sih ngeliatin aku terus?" Tanya Ceu Nuning waktu itu.
"Habis ceuceu cantik sih..."
"Hus, kecil-kecil suka ngerayu." Jawab ceu Nuning dengan mulut tersenyum senang. Ketika Enin pergi sebentar ke warung Ceu Romlah, Arman mencuri cium pipi Ceu Nuning dengan cepat.
"Iih... kamu apaan..."
"Aku... aku..."
"Awas ya kalau kamu melakukan itu sekali lagi... aku bilangin Enin." Ancam Ceu Nuning, tapi ekspresi wajahnya tidak marah. Malah sebaliknya.

Suatu hari Ceu Nuning datang sore-sore dan Arman baru saja pulang sekolah. Dia sedang bertengkar dengan Kang Dadang, dia ke situ untuk bersembunyi sekaligus mendinginkan kepala yang panas.
"Ceuceu kenapa?" Tanya Arman.
"Si akang ternyata selingkuh... punya pacar yang lain." Berkata begitu Ceu Nuning menangis tersengguk-sengguk. Arman memeluknya dan menghiburnya. Pada saat itu, tiba-tiba Arman kelepasan. Dia mencium bibir Ceu Nuning dan meremas bokongnya dengan erat. Lalu memeluknya dengan kuat merapatkan tubuhnya ke tubuh Arman.

Dan Ceu Nuning membalasnya dengan antusias. Mereka berciuman tanpa bisa dihentikan sampai tiba-tiba Kang Dadang berteriak-teriak di luar rumah.
"Nuning... nuning... jangan marah sayang... maafin akang."

Arman dan Ceu Nuning saling melepaskan diri dengan tatapan aneh.
"Arman... jangan bilang-bilang." Bisik Ceu Nuning. Lalu dia pergi ke luar dan menemui pacarnya. Arman menarik nafas panjang dan meraba celana dalamnya yang basah.

Ketika berpelukan tadi, kemaluannya yang tegang tidak kuasa menahan semburan hasrat. Dia muncrat saat itu.
"Ah... seandainya saat itu Kang Dadang tidak datang... aku mungkin... ah... tidak." Batin Arman saat melihat Ceu Nuning masuk ke dalam rumah.

Sekilas nenek tua yang berpengalaman itu melihat cucunya. Enin menghela nafas.
"Harusnya dia cepet-cepet kawin." Batin Enin.
"Kamu kenapa bengong aja Arman... nin, ini uangnya." Kata Ceu Nuning, dia datang dari dalam rumah dan membiarkan pintu terbuka.
"Eh, enggak ceu." Jawab Arman gagap. Dia sekilas melihat Pak Nanang, ayahnya Ceu Nuning tengah berbaring di sofa ruang tamu. "Itu bapak kenapa?"
"Kemarin jatuh waktu disuruh ngebenerin plafon rumah Pak Jono." Kata Ceu Nuning.
"Boleh saya lihat, biar saya pijit... " Kata Arman.
"Emang kamu bisa mijit?"
"Lumayanlah... Enin yang ngajarin."
"Betul, Nin?" Tanya Nuning. Nenek tua itu mengangguk sambil tersenyum. "Tapi Arman masih belajar." Kata Enin.
"Ya udah... coba aja, siapa tahu Bapak bisa tidur dan istirahat setelah dipijit." Kata Nuning, dia menatap tubuh Arman yang tampak semakin atletis.

Nuning juga teringat kejadian sore itu bertahun-tahun yang lalu.
"Ahh... aku tahu dia memiliki kontol yang gede..." Desah Nuning dalam hatinya.

***
"Ceu ada minyak tawon enggak?" Tanya Arman sambil memeriksa kaki Pak Nanang.
"Enggak ada, Man. Pake minyak goreng aja ya?"
"Jangan. Hasilnya kurang bagus. Aku pulang dulu sebentar ya ngambil minyak tawon..."
"I ya... cepet ya kasihan bapak."

Sebelum pergi, Arman menatap Ceu Nuning dengan lekat. Nuning membalasnya dan mengedipkan matanya.
"Ah!" Batin Arman.

Dia berlari ke rumahnya menyusul Enin yang pulang duluan, mengambil minyak tawon yang disimpan di lemari buffet tua. Arman kemudian masuk ke dalam kamar dan mengambil obat berbentuk tablet berwarna pink, yang dia sembunyikan dalam gulungan kaos kaki di dalam lemari bajunya.
"Satu saja cukup." Katanya dalam hati.

Ketika kembali ke rumah Nuning, Pak Nanang sudah pindah ke kamar.
"Bu Ros ke mana, Pak?" Tanya Arman, menanyakan istrinya.
"Pergi ke rumah Bu Jono, bantu masak-masak."
"Oh, diminum dulu ini obat sakit badannya pak." Kata Arman sambil memberikan tablet itu. Tanpa banyak pertanyaan, Pak Nanang yang sedang kesakitan itu langsung menelan tablet itu.

Pelahan-lahan kemudian Arman mengurut kaki Pak Nanang, menyusurinya dari dengkul hingga ke tungkai mata kaki. Memijit-mijitnya secara sistematis
"Ough!" Keluh Pak Nanang.
"Maaf, Pak, ini agak sakit." Kata Arman sambil menarik tungkai itu dan meluruskan telapak kakinya. Nuning diam-diam memperhatikan punggung Arman yang terlihat semakin kokoh.
"Nah, sudah. Mudah-mudahan cepat sembuh." Kata Arman.

Pak Nanang tampak santai akibat efek obat yang diberikan Arman. Dia memejamkan mata dan akhirnya tertidur.
"Bapak keseleo." Kata Arman kepada Nuning yang menatapnya.
"Makasih ya man."
"I ya sama-sama."
"Mana Nita? Koq enggak kelihatan dari tadi?" Tanya Arman.
"Nita sekolah, sekarang dia sudah TK."
"Oh." Kata Arman pendek. "Aku ikut cuci tangan ya." Berkata begitu Arman ngeloyor ke kamar mandi yang terletak di pojok, mencuci tangan dengan sabun sampai bersih. Nuning mengikutinya.

Ketika Arman berbalik, dia melihat Ceu Nuning diam dengan tubuh agak gemetaran. Wajahnya merah. Mereka bertatapan. Arman kini lebih tinggi 12 centi meter dari Nuning. Dia mendekati mamah muda itu dan dengan gerakan tak terduga, memeluk lehernya dari belakang. Lalu menarik kepala Nuning dan kemudian mencium bibirnya dengan penuh gairah.

Bibir Nuning terasa panas. Namun lebih panas lagi ketika membalas. Satu tangan Arman langsung menyentuh belahan kemaluan Nuning dari luar dasternya... walau tak sengaja.

Mereka saling berciuman dengan tak terkendali. Saling berpelukan dengan erat, sampai tahu-tahu Arman telah menjatuhkan celana jeans 3/4nya dan tangan Nuning menggenggam kontolnya yang besar itu, membimbing ke balik daster yang tak mengenakan apa-apa lagi. Lalu menempelkannya di mulut liang kemaluan mamah muda itu.
"Akh... Arman... masukkan..."

Arman menekan pinggulnya dan menyodok liang itu dengan ujung kontolnya... slepp... masuk.
"Adduuuhhh... "
"Uh! Uh!" Arman menjotoskan kontolnya ke dalam liang memek Nuning. Dalam keadaan sambil berdiri, memang itu agak sulit dilakukan.

Tapi baru saja kepalanya masuk di liang yang sudah basah itu, tiba-tiba di luar terdengar suara seorang anak kecil.
"Mamah... Nita pulang!" Suara itu berkata dengan riang dan lantang. Mereka tergeragap dan segera memperbaiki pakaiannya masing-masing.
"I ya sayang. Koq udah pulang lagi?" Kata Ceu Nuning, nadanya sangat gemetar.
"Tadi Bu Gurunya ada rapat jadi Nita dan teman-teman disuruh pulang."

Setelah memperbaiki celananya dengan baik, Arman ke luar dari dapur dan menyapa anak kecil itu.
"Eh, ada anak cantik baru pulang sekolah."
"Om siapa?"
"Ini Om Arman, dia baru saja selesai mijit Kakek Nanang... tuh sekarang kakek sudah bisa tidur dengan nyenyak." Kata Nuning.
"Ceu, saya pulang dulu ya." Kata Arman. Ceu Nuning menatap Arman dengan sorot gemerdep.
"I ya, Man. Makasih ya... kalau ada waktu dilanjutkan ya..."
"I..ii.. ya..." Jawab Arman gagap.

***

Tiba di rumah, kepala Arman terasa pening karena kentang (kena tanggung). Dia melihat Enin sedang sibuk mengaduk-aduk kacang kedelai yang dicampur ragi sebagai bahan pembuat tempe bungkus. Ketika Arman berniat mengambil handbody untuk onani, pintu ada yang mengetuk dan suara seorang perempuan berteriak permisi di luar.
"Ya... tunggu sebentar." Jawab Arman. Dia meloncat dari tempat tidurnya dan menuju pintu depan. "Eh, bu RW... ada apa?" Tanya Arman.
"Eh, Arman... " Kata Bu RW sambil matanya menatap terbelalak ke arah celana pendek Arman yang menggembung. "Saya mau pesan tempe bungkus... seratus bungkus..."

Arman tiba-tiba merasa malu.
"Ma.. maaf bu... Enin... ini ada yang pesan tempe... seratus bungkus." Arman berteriak.
"Ya... tunggu, ini lagi tanggung. Lagi ngaduk kedelai... sebentar ya..."
"Silahkan masuk Bu... maaf tempatnya berantakan." Kata Arman lagi.
"Engga apa-apa... Arman... koq lama enggak kelihatan?"
"Saya kerja Bu..."
"Panggil Tante Susi aja, kamu kenapa sih sukanya sok resmi-resmian?" Kata Bu RW sambil menatap Arman. "Kerjanya di mana?"
"Di Jakarta Bu eh Tante."
"Oh begitu ya? Dapat uang banyak dong."
"Ah, enggak banyak tante..."
"Tante rasanya baru ngelihat kamu tambah gede loh..." Berkata demikian Tante Susi melirik ke arah celana Arman yang masih menggembung karena efek kentang yang tak terselesaikan dengan Ceu Nuning. "Mmm... gimana kalo tempenya dianter aja ke rumah..."

Enin datang dari arah dapur.
"Eh, Bu RW maaf tadi lagi nanggung... pesennya seratus ya? Buat Kapan?" Tanya Enin.
"Buat besok ibu-ibu arisan... rencananya kita mau botram (makan bersama) dengan lauk tempe bungkus yang digoreng pake garam... begitu, Nin."
"Bisa koq Bu... ini ada persediaan..."
"Saya sedang buru-buru Nin, bapaknya mau berangkat... jadi tempenya dianter aja ke rumah sama Arman."
"Oh i ya Bu RW... kalau gitu saya bungkusin sekarang."
"I ya, ini uangnya Enin, seratus ribu... saya permisi dulu ya."
"I ya, mangga. Makasih loh sebelumnya bu RW."

Arman terdiam. Dia membalas tatapan Bu RW yang penuh arti... seperti mengisyaratkan sesuatu. Di antara semua emak-emak STW, Bu RW adalah yang paling cantik dan paling bersih. Kulitnya sawo matang dengan tubuh semampai. Suaminya, Pak Erik, adalah seorang pengusaha kecil yang terbilang sukses. Kehidupan mereka berkecukupan. Mereka memiliki dua orang anak laki-laki, Joko dan Edi. Arman mengenal keduanya yang sekarang sedang berada di akhir masa kuliah.

Selama Arman melamun, Enin sibuk menghitung tempe bungkus dan memasukkannya ke dalam kantong kresek hitam yang cukup besar.
"90, 91, 92,93... seratus." Gumam Enin. "Man, ini anter tempenya, keburu sore."
"Itu tempe udah mateng, Nin?"
"Kalau besok dibukanya, pasti udah mateng. Bilangin ya."
"I ya, Nin."
"Nih cepet anterin."

***

Masih dengan celana pendek katun yang sama, Arman melangkah menyusuri gang menuju rumah Pak RW. Dia berpikir, dia cuma datang ke rumah Pak RW, memberikan pesanan, sudah itu selesai. Lalu pulang.
"Paling juga semenit." Katanya dalam hati.

Tiba di rumah Pak RW dia menemukan Joko sedang menyalakan motor dan siap-siap pergi kuliah.
"Hey Man... elu bawa tempe pesanan mami ya?"
"I ya Ko, mau kuliah ya?"
"Enggak, gua mau bimbingan... kuliah sih udah selesai. Edi! Cepet, udah siang!"

Adiknya, Edi muncul dari pintu.
"Sabar dikit, nape lu tereak-tereak."
"Ganjen lu mo kuliah pake dandan segala."
"Sirik lu, lu tau gua lebih ganteng dari lu.. ayo cabut." Kata Edi sambil menaiki jok motor.

Mereka ngeloyor pergi.

Arman memasuki halaman rumah besar itu dan memasukinya dengan ragu.
"Permisi..."
"Arman, tante di dapur." Kata Bu RW. "Tutup pintunya, suka ada kucing masuk."

Arman menutup pintu dan menemukan rumah besar yang bagus itu terasa hening.
"Simpan di situ, Man, di atas meja..." Kata Tante Susi. Ketika Arman masuk ke dapur, Tante Susi sedang menungging membersihkan bagian bawah rak yang kelihatannya kotor.

Aih, pantat semok itu! Belahannya tercetak jelas karena Tante Susi sudah berganti mengenakan celana daster yang tipis. Sepertinya, bagian-bagian di dalamnya juga ikut tercetak. Belahan memeknya itu loh...

Arman menarik nafas. Kontolnya yang sudah dingin mengaceng kembali.
"Maaf, ini ada sendok yang jatuh ke bawah rak, sekalian tante sapuin biar bersih." Kata Tante Susi sambil bangkit dari menunggingnya. Sepasang matanya yang jeli dan berpengalaman, menangkap tatapan Arman yang tak berkedip.
"Di sini tante?" Tanya Arman sambil meletakkan kantong kresek itu di atas meja.
"I ya di situ... uangnya cukup kan?"
"Cukup tante."
"Arman... mmm... kamu enggak kuliah?"
"Enggak tante, enggak ada biaya."
"Selama ini kamu menghilang, apa betul kamu kerja?"
"Be... betul tante."

Tante Susi tersenyum. Wajahnya yang lembut dan keibuan nampak menampilkan ekspresi yang penuh pengertian. Dia mendekati Arman.
"Kabarnya sudah tersebar ke seluruh kampung... kamu jangan bohong, apa benar kamu dibui di sukamiskin?"

Arman terdiam.
"Begitulah tante... sebetulnya saya tidak salah..."
"Tante mengerti koq. Kamu cuma kerja jadi pembantu di rumahnya Pak Hendrik kan? Kamu enggak mungkin jadi bandar narkoba, tante yakin kamu cuma kena getahnya saja." Kata Tante Susi. "Jadi orang harus sabar menahan cobaan..." Tante Susi membelai rambut Arman yang mulai gondrong dengan lembut. "Kalau ada apa-apa tante bisa bantu koq..."

Arman menunduk.

Hidungnya mencium bau parfum Tante Susi yang lembut.
"Kamu jangan sungkan minta bantuan sama tante..." Katanya lagi dengan lebih lembut. "Tante tahu kamu butuh uang jajan... tante bisa kasih... asal..." Tangan Tante Susi yang lembut itu meraih tangan Arman, membawanya pelahan ke arah dadanya.
"Asal apa tante?"
"Kamu tahu... Pak Erik itu orang baik... dia sangat baik... cuma... dia selalu sibuk, tidak ada waktu buat tante... padahal tante sangat butuh... perhatian... kamu mengerti maksudnya kan?"

Arman menatap tante Susi. Dia tahu maksudnya.

Tante Susi sudah berusia sekitar 45 tahun. Wajahnya boleh dibilang manis, tanpa make up berlebihan. Bibirnya, walau agak keriput, namun masih menjanjikan kelembutan.
"Berbulan bulan di penjara... kamu pasti menginginkannya." Kata Tante Susi, sekarang tangannya hinggap di celana Arman. "Nah, kan, kamu sudah tegang."
"Tante..."
"Sssttt... ini rahasia kita berdua."

Tante Susi membawa Arman ke ruang tengah, dia mendorong anak muda bertubuh tinggi itu ke sofa. Sekali tarik, celana pendek itu lepas dengan celana dalamnya. Kontan saja, sebuah laras tank baja berwarna coklat muncul dan memantul-mantul.
"Oh Tuhan... Arman... kontolmu besar sekali." Bisik Tante Susi dengan mata melotot. Dia langsung menunduk dan melahap batang kontol itu dengan rakus. "Baunya enak sekali... Arman... Arman... telanjangi tante... cepat..."

Dalam sekejap Arman sudah menarik celana daster Tante Susi serta bajunya. Tante Susi menyorongkan pentil susunya untuk diisap oleh Arman. Jari jemari Arman dibimbing oleh Tante Susi untuk mengobel liang memeknya yang masih kering. Lalu tiba-tiba Tante Susi menaiki sofa dan mengangkangkan ke dua pahanya di depan wajah Arman.
"Jilat... itilnya... aghkhh... arman... i ya jilat... itu.. jilat terussss..."

Arman mencengkram ke dua buah pantat tante Susi yang terasa masih kencang, menjilati kelentit itu dengan liar. Dia pernah melakukan hal ini selama beberapa kali, Bu Polwan, Bu Kepala Lapas... ya dia pernah melakukannya beberapa kali.

"Ougkh... Armaannnn...." Tante Susi menjerit tertahan. "Sekarang... sekarang..." Tante Susi menurunkan pinggulnya, dia mengangkangi Arman yang duduk menyandar sofa. "Ini..ah... ini.. baru pas... huft...."

Cleb!!! Gebrus!!!

Tante Susi menggenjot kontol Arman dengan cepat. Batang yang besar dan berurat itu tampak timbul tenggelam ke dalam liang memek Tante Susi yang terbeliak-beliak kelaparan.
"Oh Tuhan... oh tuhan... enaaak sekali Arman... aduuuh.... euh euh euh..." Jerit Tante Susi dengan tertahan.

Crot crot crot... tampak dari bibir-bibir memek Tante Susi mengalirkan sebuah cairan berwarna putih seperti susu.

Sementara itu, di luar jendela, seorang lelaki tinggi besar tengah mengintip secara diam-diam apa yang telah dilakukan oleh Arman dan Tante Susi.
"Jancok bener itu memek sampai ambyar begitu!" Maki orang itu sambil melakukan onani.

***

Tante Susi benar-benar kerasukan setan. Selama hampir satu jam dia minta disodok terus dengan berbagai gaya. Tubuhnya bersimbah keringat dan Arman melayaninya dengan semangat yang sama.

Walau pun liang memek itu sudah longgar, tapi Arman menikmatinya sepenuh hati. Hanya saja dia menikmatinya sambil membayangkan sedang menusuk-nusuk memek Ceu Nuning yang lebih sempit atau memek Gisela yang putih dan tembem. Gisela adalah keponakannya pak Hendrik yang bening dan cantik.

Akhirnya, ketika dalam gaya doggy style, Arman mengerang dan mengatakan akan ke luar.
"Tante... tante... saya sudah enggak kuat..."
"Keluarin aja di dalam Arman... di dalam..."

Arman mengerang ketika dia memuncratkan pejuhnya di dalam memek Tante Susi.

"Aghrrr... tante..."
Srrrr.... crot... srrrr... crot... Dia memuncratkan pejuh banyak sekali. Ketika Arman menarik kontolnya, pejuhnya masih menetes di ujung mulut kontolnya.

Dia lalu terkapar di lantai yang berkarpet merah.

***

"Ini buat kamu... makasih ya... tante puas sekali. 500 ribu cukup kan?"
"Cukup, tante. Tante baik sekali."
"Kamu juga... kontolmu enak dan mantap... tante suka sekali. Nanti, kalau ada waktu luang dan tepat... kita ke hotel, kamu mau kan?"
"Mau tante. Memek tante juga masih sempit dan legit." Kata Arman berbohong.

Tante Susi tertawa kecil.
"Soalnya aku rajin senam." Katanya sambil mengenakan celana dalamnya. Sekilas Arman melihat bibir-bibir memek tante Susi tampak memble karena sudah dihajar kontolnya yang garang dan ganas.

(bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd